BAB III GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA
A. Pengertian Vihara
Vihara adalah tempat ibadah agama Buddha, kata vihara berasal dari bahasa pali bahasa India Kuno yang berarri tempat tinggal atau tempat puja
bhakti. Vihara dapat juga diartikan sebagai biara Buddha atau tempat para biarawan Budha. Vihara dapat juga di jabarkan sebagai suatu kompleks yang
terdiri dari : 1.
Dhammasala adalah tempat puja bakti, upacara keagamaan dan pembabaran Dhamma ajaran Sang Buddha. Di tempat ini umat buddha
melakukan puja bakti, upacara keagamaan dan mendengarkan pembabaran Dhamma yang disamapaikan dan dipimpin oleh para bhikku, pandita dan
dhammaduta umat yang menyampaikan dhamma. Tempat ini merupakan tepat vihara yang bersifat umum.
2. Uposathagara adalah gedung tempat uposatha persamuan para Bikkhu
yang berfungsi sebagai tempat pentabisan bikkhu, tempat upacara keagamaan, pembaca patimokkha, yaitu 227 peraturan kebikkhuan yang
dilakukan setiap bulan gelap tidak ada bulan dan bulan terang bulan purnama, penyelesaian pelanggaran bikkhu dan penentuan hak dan
sebagai tempat meditasi bersama umat Buddha, tempat ini bersifat tidak
untuk umum hanya untuk para bikkhu, samanera dan pandita saja meskipun tidak ada larangan untuk umat secara langsung.
3. Kuthi adalah tempat tinggal para bikkhu, bhikkuni bikkhu wanita,
samanera calon bhikku atau samneri calon bhikkuni. 4.
Bhavana Sabha gedung meditasi gedung ini digunakan para samanera dan bikkhu serta umat dalam latihan meditasi Yayasan Dhammadipa
Arama, 1981 : 39-43. Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa vihara adalah
tempat ibadah agama Buddha yang berupa kompleks, yang terdiri dari : Kuthi, Dhammasala, Uphosathagala, Bhavana, Sabha. Selain sebagai tempat ibadah
dan tempat para bikkhu, vihara mempunyai fungsi kegiatan dan sebagai pusat keagamaan.
B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya
Pada saat Raja Bimbisara berniat untuk memberikan tempat penginapan bagi Buddha Gotama dan para siswa-Nya, Buddha Gotama menyarankan agar
tempat tersebut tidak terlalu jauh dari rumahperkampungan penduduk, mudah dikunjungi oleh umat, pada siang hari tidak terlalu berisik dan pada malam hari
agak sepi, tanpa keributan yang ditimbulkan oleh orang yang lalu-lalang, sesuai untuk mereka yang menjalankan kehidupan sebagai petapa samaa, serta sesuai
untuk dijadikan tempat tinggal seorang Arahat Sammasambuddha. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya VJDJ didirikan pada saat umat Buddha di Indonesia
khususnya di Jakarta sangat memerlukan sebuah tempat representatif yang selain
dapat memenuhi kebutuhan spiritual umat Buddha, juga sebagai pusat pembinaan dan pendidikan keagamaan bagi pembina umat maupun umat awam.
Pada saat umat Buddha melihat lokasi pembangunan vihar-vihara pada masa-masa awal, banyak di antara mereka yang heran dan terkejut. Memang
Buddha Gotama sendiri menganjurkan agar lokasi sebuah vihara sebaiknya di daerah yang tenang dan tidak berisik. Tetapi apakah mungkin daerah yang masih
dipenuhi alang-alang setinggi manusia serta rawa-rawa ini akan dikunjungi oleh banyak orang? Adakah umat yang bersedia datang setiap harinya untuk
mendanakan makanan kepada para bhikkhu yang tinggal di vihara? Walaupun beberapa pihak menunjukkan sikap pesimis, tetapi berkat semangat dan
usaha keras untuk dapat menciptakan sebuah vihara yang berkualitas, maka jadilah sebuah vihara yang kita lihat sekarang ini. Vihara yang terletak di Jalan
Agung Permai XV Blok C-3, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara ini merupakan vihara pertama yang telah memenuhi persyaratan sebuah vihara.
Kehadiran VJDJ di tanah air telah membuat sejarah penting bagi umat Buddha Indonesia yang tidak dapat dilupakan. Tercatat Putra Mahkota Kerajaan Thailand,
Prince Vajiralongkorn dan Princess Mahachakri Sirindhorn pernah bernamakara
di VJDJ ini. Begitu pula dengan pemimpin rakyat Kamboja, Prince Norodom Sihanouk
. Sungguh merupakan kebanggaan bagi kita umat Buddha di Indonesia. Tetapi, mengapa dinamakan ”Jakarta Dhammacakka Jaya?” Jakarta berasal dari
kata ”Jaya Ing Karta”, adalah nama Ibukota tercinta, yang berarti kejayaan
dalam kemakmuran. Sedangkan Dhammacakka sendiri berarti Perputaran Roda Dhamma
.
Pada saat umat Buddha dari segala penjuru yang berkunjung ke Buddha Metta Arama semakin bertambah, vihara yang sudah dikelilingi oleh berbagai
bangunan rumah ini dirasakan tidak mencukupi lagi. Maka timbulah niat untuk membangun vihara yang baru. Pada saat itu di Bangkok, Bhikkhu Sombat Pavitto
atau yang akrab disebut Bhante Sombat bersama dengan Drs. Teja Suryaprabhava Mochtar Rashid tanpa sengaja diperkenalkan oleh Phrakru Wimon kepada Laksda
Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno, seorang bendaharawan di sebuah kelenteng, Bogor. Pada saat membicarakan tentang pembangunan vihara, beliau tertarik
untuk ikut membantu dengan menyumbangkan tanahnya di perkebunan teh Pamanukan Tugu, Puncak-Bogor untuk dibangun vihara. Untuk mengelola
pembangunan vihara tersebut, maka dibentuk sebuah yayasan bernama Yayasan Paripurno Samiddhi. Laksda Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno bersama Khun
Pot telah berhasil mengumpulkan dana, demikian pula dengan Bhante Sombat yang telah menyiapkan sketsa vihara serta bekerja membuat pondasi dan tiang.
Akan tetapi, ternyata pembangunan tersebut tidak disetujui warga sekitarnya, sehingga Pemerintah daerah meminta agar menunda pembangunan tersebut.
Namun demikian semangat mereka tidak berhenti sampai di situ. Pada suatu ketika Bhante Sombat dibantu dengan Kolonel Somchit dan Khun Suthat -atase
militer dari Thailand yang juga seorang paranormal, mendapat vision dari Acharn Nirod, ’seorang’ pembimbing spiritual. Dikatakan bahwa di bagian Utara Jakarta,
ada sebuah lokasi yang baik untuk dibuat vihara, lokasi tersebut pada zaman kuno pernah menjadi pusat kota. Disebutkan juga bahwa di lokasi tersebut tanahnya
agak tinggi, terdapat sebuah pohon besar dengan sebuah kolam berair bening di
bawahnya. Maka segeralah Bhikkhu Sombat Pavitto bersama Om Liem Liem Tiang Sing, kemudian menjadi Bhikkhu Piyadhammo, almarhum berkeliling
mencari tempat tersebut, saat itu awal tahun 1981. Om Liem mengendarai mobilnya sendiri mengantar Bhante Sombat mendatangi berbagai lokasi.
Setelah melalui pencarian yang cukup sulit, di daerah sekitar Ancol yang sedang diadakan pembangunan perumahan itulah akhirnya mereka menemukan
sebuah tempat dengan ciri-ciri yang sesuai. Setelah mencari informasi, diketahui bahwa tanah tersebut milik PT. Agung Podomoro. Mengingat harga tanah yang
cukup tinggi, maka tanah yang akan dibeli hanya seluas 1.000 m2 saja. Setelah mengetahui bahwa tanah tersebut akan dipergunakan untuk membangun vihara,
ternyata Anton Haliman atas nama Direksi PT. Agung Podomoro sebaliknya ingin menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar kepada Sagha, asalkan ijin
pembangunannya sudah didapatkan. Pernyataan PT. Agung Podomoro untuk menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar tersebut dituangkan dalam
surat resmi kepada Sagha Therav āda Indonesia dan diserahkan langsung oleh
Anton Haliman kepada bikkhu Pannavaro selaku Sekretaris Jenderal Sagha Theravada Indonesia dalam suatu rapat di kantor PT. Agung Podomoro, Sunter.
Pada waktu itu Sagha Theravada Indonesia dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Dengan penuh semangat mereka pun segera mengurus ijin pembangunan vihara,
dimulai dengan pembuatan gambar. Tetapi terjadi perdebatan mengenai bentuk vihara, ada pihak yang menginginkan bentuk vihara Thailand yang ’glamor’ tetapi
di lain pihak menginginkan bentuk vihara yang sederhana tetapi anggun. Akhirnya diputuskan untuk membangun vihara yang seperti vihara sebelumnya yang pernah
ada di Indonesia. Selanjutnya dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya, di mana para pendirinya adalah delapan bhikkhu
Indonesia selaku Badan Pengawas, Anton Haliman selaku Ketua Kehormatan, Oyo Prayogo Kusno selaku Ketua Umum, dan Drs. Teja Suryaprabhava Mochtar
Rashid selaku sekretaris. Akhirnya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka ijin tersebut berhasil didapat. Selanjutnya Bhante Sombat mendirikan sebuah gubuk di
sana dan mulai mendirikan Uposathagara dan Sima. Arsitek pada waktu itu adalah Ir. Rai Pratadaya dan Ir. Aswin Suganda. Setelah dikurangi untuk sarana
jalan dan sebagian diminta oleh Kota Praja untuk pembuatan jalur hijau, akhirnya luas tanah tersebut menjadi 8.640 m2. Dana pembangunan vihara pun mulai
mengalir dari berbagai pihak di antaranya dari Presiden ke-2 Republik Indonesia, H.M. Soeharto sebesar Dua Puluh Juta Rupiah, Departemen Agama sebesar Dua
Juta Dua Ratus Ribu Rupiah, Pemerintah DKI Jakarta sebesar Enam Juta Rupiah, dan sumbangan umat Buddha Indonesia serta Thailand secara sukarela pada saat
itu mencapai kurang lebih Dua Ratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah.
1
C. Etika Masuk Vihara