Bersamaan dengan Nolen, membaiknya APA didukung pula oleh V.Schmidt yang memimpin APA sejak tahun 1952 hingga 1958 yang kemudian berhasil menciptakan
suasana kerja yang baik, sehingga lembaga penelitian AVROS ini dapat dengan cepat berkembang lagi.
154
Pengembalian perusahaan-perusahaan asing kepada pemiliknya pengusaha asing yang dilakukan oleh pemerintah pasca kemerdekaan merupakan tindakan yang
sudah melalui pertimbangan terlebih dahulu. Aspek ekonomi menjadi alasan pokok dari hal ini. Indonesia yang pada saat itu baru menjadi sebuah negara yang merdeka,
tentunya sangat membutuhkan pemasukan untuk kelangsungan dan pembangunan negara yang baru berdiri ini. Pada saat itu pemasukan ini berasal dari industri-industri
penting salah satunya perkebunan. Pengelolaan industri ini ditangani oleh pengusaha- pengusaha asing yang memang sudah telaten dalam menanganinya, serta didukung
AVROS yang sejak awal berdirinya telah berperan sebagai perwakilan dan lembaga yang mengurusi segala kepentingan dan permasalahan yang dihadapi oleh
para anggotanya, maka pada masa-masa sulit pasca kemerdekaan ini juga tetap memiliki peran yang sama. Permasalahan tersebut antara lain penduduk liar yang
mengokupasi tanah perkebunan dan tuntutan kenaikan upah dari serikat-serikat buruh yang banyak terbentuk setelah masa kemerdekaan.
4.2.1 Okupasi Tanah Perkebunan oleh Penghuni Liar
154
Sjafrul Latief, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
juga oleh kelengkapan dari perlengkapan alat dan pengetahuan mereka. Indonesia yang pada saat itu belum memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjalankan
industri ini, kemudian mengambil keputusan untuk mengembalikan pengelolaannya ke tangan asing dengan syarat keuntungan dari produksi perkebunan tersebut juga
diberikan kepada Indonesia sebagai devisa asing maupun pajak .
155
Keinginan pengusaha untuk dapat segera mungkin beroperasi kembali seperti sebelumnya, tampaknya agak sulit untuk terealisasikan. Masalahnya, tanah-tanah
perkebunan terutama tembakau telah banyak yang diokupasi oleh penghuni liar dengan dalih bahwa mereka memiliki hak atas tanah-tanah tersebut. Tindakan
okupasi ini tidak hanya menjadi masalah bagi pengusaha perkebunan tetapi juga Pemerintah Republik Indonesia. Penghuni liar ini menjadikan dasar hukum yang
semu untuk melakukan okupasi tanah, mulai dari peraturan wajib tanam tahun 1939, dekrit-dekrit yang dikeluarkan oleh penguasa Jepang, hingga perintah Residen kepada
Dinas Pertanian Republik Indonesia.
156
Kedudukan para pengusaha asing ini kemudian diperkuat dengan ditandatanganinya persetujuan Konfrensi Meja Bundar KMB
157
155
Pelzer, Sengketa…, op.cit., hlm.26-27.
156
Ibid., hlm.27.
pada tahun 1949.
157
KMB sebenarnya sebagai “Konfrensi Damai” untuk tawar-menawar yang dilakukan agar Belanda mau memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia.Persetujuan KMB dibuat tidak
terlepas kaitannya dengan urusan ekonomi, dimana tanah-tanah Indonesia melaui industri perkebunan telah memberikan Belanda keuntungan yang besar dan sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan ini yang mengandung pengakuan hak para pengusaha atas tanah perkebunan ini semakin memicu pertentangan dan pertikaian atas tanah antara
pengusaha dan penduduk liar yang harus dihadapi oleh pemerintah. Di satu sisi pemerintah harus menghadapi tuntutan para pengusaha yang masih ingin menguasai
tanah-tanah perkebunan yang menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar, dan sisi lain pemerintah harus menghadapi penduduk yang menuntut keadilan dan
pengembalian tanah sebagai tuntutan dari kemerdekaan seperti yang tertera pada Undang-Undang Dasar 1950 bahwa seluruh bumi, air dan segala kekayaan alam
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
158
Pada permasalahan okupasi tanah yang dilakukan oleh penduduk liar ini, perkebunan tembakau diwakili oleh DPV dan industri tanaman keras diwakili
AVROS, tetapi dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada AVROS. Hamparan luas tanah milik perusahaan perkebunan yang tergabung dalam anggota AVROS
menjadi sasaran para buruh maupun imigran. Sebagai contoh kasus yang dialami oleh industri tanaman keras perkebunan karet, maka dipaparkan kasus okupasi tanah
sekaligus penderesan getah karet perkebunan yang dialami oleh salah satu anggota AVROS yaitu perkebunan Bukit Lembasa milik perusahaan Geowehry.Pada
perkebunan karet banyak ditemukan kasus-kasus okupasi tanah yang disertai dengan
Belanda.Sehingga dengan diadakannya persetujuan ini, maka Belanda kembali memiliki hak-hak istimewa di Indonesia. Tauchid, op.cit., hlm, 263.
158
Tauchid,op.cit., hlm. 286. Lihat juga, Pelzer, Sengketa…op.cit., hlm.74.
Universitas Sumatera Utara
penyadapan atau penderesan getah karet yang dilakukan oleh penghuni liar yang kemudian hasilnya mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya
dilakukan oleh Badan Pemupuk Bekas Anggota Angkatan Perang Republik Indonesia B.P. BAAPRI. Menurut keterangan dari salah satu surat milik anggota AVROS,
BAAPRI dibentuk pada tahun 1950.
159
Sesuai dengan namanya, BAAPRI mengaku bahwa anggotanya terdiri dari orang-orang yang berjasa karena turut andil dalam perjuangan kemerdekaan,
sehingga mereka merasa bahwa pemerintah telah berhutang budi pada mereka. Atas hal ini, maka BAAPRI meminta bantuan kepada pemerintah agar mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup dengan memberikan tanah-tanah perkebunan yang sudah habis masa konsesinya kepada mereka.
160
Di tahun yang sama dengan terbentuknya organisasi ini, BAAPRI melakukan okupasi pada perkebunan Bukit Lembasa milik perusahaan Geowehry, mereka
membuat pemukiman sebagai tempat tinggal mereka dan membersihkan membabat kebun-kebun yang sudah dipenuhi tanaman liar. Tidak hanya itu, BAAPRI juga
menderes getah karet dari perkebunan Bukit Lembasa lebih kurang 24.000 pohon
159
Surat Permohonan dari Konsulat Perkebunan dan Perindustrian B.P Baapri. Sumatera Utara, Kepada Directeur Manajer HAPM Mij., Tentang Permintaan Kebun jang Dikembalikan, No.
002P.P.S-1951, 2 April 1951, dalam Inventaris AVROS No. 306.
160
Berita Atjara Permusjawaratan Antara Koordinator Sumatera Timur, Bupati Langkat, Polisi dan dengan Pemimpin2 Geowehry, AVROS dan Pusat Perkebunan Negara, bertempat di
Gedong Komando T.T.S.U Djalan Djakarta, 27 Desember 1950, dalam Inventaris AVROS No. 306, hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
karet dengan total getah sebanyak 9 ton yang terdiri dari 6 ½ ton getah bantal dan 2 ½ ton getah lembaran sheet. Akibat dari tindakan ini, BAAPRI dilaporkan ke polisi
oleh pihak Geowehry. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi, pada saat itu anggota BAAPRI berjumlah 78 orang dan getah yang disita sebanyak 3650 kg dan
3 ton yang disita dari BAAPRI dan 3 ton lagi berada dalam rumah asap seorang Tionghoa. Geowehry menerangkan bahwa sebenarnya BAAPRI telah bekerjasama
dengan orang Tionghoa. Jumlah anggota BAAPRI pada awalnya hanya 13 orang, sedangkan jumlah anggota BAAPRI yang semakin banyak disebabkan oleh
berdatangannya penduduk sekitar dan kemudian bergabung dengan BAAPRI sehingga jumlahnya menjadi 80 orang. Akibat dari hal ini Geowehry menderita
kerugian yang cukup besar.
161
Saat ditangkap, BAAPRI berdalih bahwa mereka tidak mengetahui bahwa perkebunan yang mereka okupasi adalah milik Geowehry, sebaliknya mereka berpikir
bahwa perkebunan itu sudah menjadi milik Pusat Perkebunan Negara PPN. Persoalan ini kemudian dibicarakan penyelesaiannya dengan cara musyawarah antara
Koordinator Sumatera Timur, Bupati Langkat, pihak AVROS, dan pihak PPN.
162
161
Ibid.
162
Ibid.hlm.2.
Dari hasil pertemuan, maka dihasilkan kesepakatan seperti berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Geowehry tidak keberatan apabila getah-getah yang telah disadap
diberikan kepada BAAPRI, tetapi setelah itu BAAPRI harus pindah dari perkebunan Geowehry.
2. Bila ada dari anggota BAAPRI yang berkeinginan untuk bekerja di
perkebunan Geowehry, maka akan diterima.
163
Kedatangan BAAPRI di perkebunan Geowehry ini, selain merugikan sebenarnya dianggap sebagai sebuah keuntungan juga oleh pihak Geowehry, karena
perkebunan dan pondok-pondok yang ditinggali oleh BAAPRI tadinya telah rusak dan tidak terurus. Namun, dengan datangnya BAAPRI perkebunan dan pondok-
pondok tersebut diperbaiki dan dibereskan, sehingga pihak perkebunan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya dan tenaga untuk membereskan lahan perkebunannya.
164
1. Anggota BAAPRI seluruhnya berjumlah 97 orang, 4 diantaranya telah
beristri, dan 3 anak-anak, jadi seluruhnya berjumlah 100 orang. Keesokan harinya setelah dilakukan musyawarah, maka sebagai
kelanjutannya diadakan perjalanan oleh Koordinator Sumatera Timur ke perkebunan Bukit Lembasa untuk meninjau langsung kasus ini. Dalam tinjauan langsung ini,
BAAPRI yang diwakili oleh ketuanya yang bernama Ismail, menjelaskan bahwa:
163
Ibid.
164
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Anggota BAAPRI berasal dari tentara laskar-laskar lainnya dan dari
tentara –tentara tersebut, 10 orang merupakan anggota tentara yang resmi. Selain itu penderesan getah dilakukan oleh 93 orang.
3. Getah yang disita terdiri dari 6 ½ ton getah bantal dan 2 ½ ton getah sheet.
Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa hasil dari penjualan getah ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun tetap hasil
getah yang telah di deres ini tidak dapat menutupi modal yang telah dikeluarkan oleh BAAPRI. Selain itu BAAPRI juga memiliki hutang
sebesar 100.000 gulden dan BAAPRI akan segera membuat anggarannya. 4.
BAAPRI setuju untuk ditempatkan dimana saja dan kapan saja asalkan usul-usul BAAPRI dapat diterima oleh Pemerintah.
5. Usul-usul BAAPRI adalah:
• BAAPRI meminta ganti rugi atas segala kerugian.
• Semua perkakas BAAPRI seperti pisau, talang, parang, babat, dan
lainnya dibayar oleh pihak Geowehry. •
BAAPRI meminta kepada pemerintah luntuk menyediakan tempat penampungan untuk anggota bekas angkatan perang dan
pemukiman kembali dilakukan secepat mungkin karena penghidupan yang semakin sulit.
Universitas Sumatera Utara
• Selain itu BAAPRI juga meminta agar pemerintah menyediakan
transport.
165
Dari penjelasan dan usul yang dikemukakan oleh ketua BAAPRI ini, Koordinator Sumatera Timur menetapkan bahwa:
1. Sebelum dikeluarkan keputusan untuk pemukiman kembali, BAAPRI
tetap tinggal di pondok yang telah diperbaiki. 2.
Sebelum menyerahkan getah kepada BAAPRI, akan terlebih dahulu dilakukan pembicaraan dengan polisi.
3. Penderesan getah yang dilakukan BAAPRI harus dihentikan, dan
4. Agar kesepakatan dapat terwujud, maka pemerintah meminta adanya
kerjasama dari pihak BAAPRI.
166
Pihak perkebunan yang pada saat itu diwakili Trooyen yang merupakan tuan kebun di perkebunan Bukit Lembasa, menyatakan bahwa ganti rugi yang diminta
oleh BAAPRI untuk perkakasnya tidak dapat disetujui karena perkakasnya tidak dapat dipergunakan oleh perkebunan. Selain itu, walaupun atap masih dapat
dipergunakan oleh perkebunan, namun Trooyen menyarankan agar BAAPRI
165
Laporan Perdjalanan Rombongan Koordinator Sumatera Timur ke Onderneming Geowehry, Bukit Lembasa, 28 Desember 1950, dalam Inventaris AVROS No. 306, hlm. 1-2.
166
Ibid., hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
menyerahkannya kepada orang Tionghoa yang telah membiayai semua pekerjaan dari BAAPRI.
167
Keputusan akhir menyatakan bahwa BAAPRI menerima keputusan dari musyawarah ini. Dalam kasus ini BAAPRI terlihat tidak begitu sulit untuk
dikendalikan oleh pemerintah. Tetapi dalam perjalanannya, pada tahun 1951 BAAPRI kembali mengirimkan surat permohonannya kepada perkebunan milik
perusahaan HAPM yang berisi agar menyerahkan lahan perkebunannya yang telah habis masa konsesinya kepada BAAPRI. Dalam suratnya BAAPRI mengatakan
bahwa dengan menyerahkan tanah tersebut, maka pihak perkebunan telah berkontribusi untuk menolong pengangguran yang akhirnya dapat meningkatkan
keamanan.
168
Peningkatan jumlah penduduk liar yang mengokupasi tanah perkebunan telah sangat mengganggu aktivitas perkebunan, terutama tembakau yang memiliki masa
rotasi tanam. Untuk menangani masalah ini, maka diadakanlah pertemuan antara perwakilan dari pemerintah dengan AVROS maupun DPV serta perwakilan dari
Hal yang terjadi pada perkebunan Bukit Lembasa pada saat itu hanya merupakan salah satu contoh tindakan okupasi tanah perkebunan dengan jumlah
penghuni liar yang terbilang masih sedikit. Karena pada tahun–tahun berikutnya jumlah penghuni liar ini terus meningkat.
167
Ibid.
168
Surat Permohonan dari Konsulat Perkebunan…2 April 1951, dalam Inventaris AVROS No. 306.
Universitas Sumatera Utara
organisasi petani maupun buruh pada akhir tahun 1950. Dari pertemuan ini dihasilkan keputusan bahwa agar pihak pengusaha dan petani maupun buruh sama-sama
mendapatkan bagian dari tanah perkebunan, maka industri tembakau harus mengembalikan tanah konsesinya seluas 135.000 hektar dan begitu juga dengan
industri tanaman keras yang harus mengembalikan seluas 215.000 hektar kepada pemerintah provinsi. Tanah yang dikembalikan nantinya dijadikan pemukiman baru
bagi penduduk liar, sehingga pengusaha dapat kembali mempergunakan tanah perkebunan.
169
DPV dengan cepat bergerak untuk menentukan bagian tanah yang harus dikembalikan, namun bagian yang ditentukan ini ditolak oleh pemerintah dan hal ini
yang membuat DPV mengalami kerugian dan akhirnya sebagai tindakan antisipasi, DPV meleburkan diri ke dalam AVROS.
170
169
Pelzer, Sengketa … op.cit.,hlm. 76-77.
170
Kerugian yang dialami oleh DPV disebabkan oleh penyerahan peta yang menunjukkan bagian-bagian dari lokasi tanah yang telah ditentukan oleh DPV untuk diserahkan kepada pemerintah
provinsi, namun ditolak karena dianggap lokasi yang diserahkan tidak baik.Selanjutnya pemerintah sendiri yang menentukan lokasi tanah mana saja yang harus dikembalikan kepada pemerintah.Tanah-
tanah yang dipilih langsung oleh pemerintah ternyata merupakan tanah-tanah terbaik, terutama yang tanah yang potensial dan sangat cocok untuk dijadikan sawah.Tindakan tergesa-gesa DPV ini juga
memiliki alasan sendiri yaitu seperti yang telah diketahui bahwa untuk menjalankan perkebunan tembakau, maka dibutuhkan lahan yang sangat luas, sedangkan lahan perkebunan semakin mengecil
akibat dari tindakan penduduk liar. Hal inilah yang kemudian membuat DPV mengalami kerugian, Ibid., hlm.79-81. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri No.Agr.12514 tahun 1951 Keputusan
Gubernur Hakim No. 36KAgr tanggal 28 September 1951.Keputusan ini juga menginstruksikan meneliti kembali masalah pembagian tanah.Ibid., hlm. 114. Hal ini membuat DPV akhirnya
memutuskan untuk meleburkan diri ke dalam AVROS. Setelah peleburan, permasalahan DPV kemudian ditangani oleh AVROS, tetapi perwakilan DPV, E.M. Vorstmen tetap ikut dalam setiap
perundingan dengan pemerintah.Selanjutnya dalam penulisan ini hanya disebutkan AVROS sebagai perwakilan dari industri tanaman keras maupun tembakau.Gezamenlijk Comunique van AVROS en
DPV, Medan, 11 September 1952, dalam Inventaris AVROS No.308.
Belajar dari apa yang dialami oleh DPV,
Universitas Sumatera Utara
AVROS menjadi lebih hati-hati dalam bertindak. Para pengusaha tidak menyerahkan peta rahasia yang memperlihatkan bagian tanah yang telah ditentukanpara anggotanya
untuk diserahkan kepada pemerintah.
171
Pada tahun 1952 untuk menjamin operasi rasional perkebunan, maka AVROS bersedia untuk menyerahkan tanahnya seluas
180.000 hektar dan penyerahan ini diterima oleh Gubernur dalam suratnya tertanggal 23 Mei 1953 dan sejak saat itu persiapan untuk pembagian tanah kepada penduduk
terus berjalan.
172
Pembagian tanah yang diharapkan oleh para pengusaha dapat dilakukan secepatnya agar penduduk liar tidak mengganggu perkebunan tampaknya tidak
terjadi. Hal ini terjadi karena setiap kali penduduk liar dipindahkan, maka penduduk liar yang berasal dari daerah lain langsung menempati tanah yang baru saja
ditinggalkan oleh penduduk liar yang di relokasi, sehingga permasalahan penduduk liar tidak selesai. Selain itu pemberian kredit dan ganti rugi kepada para penduduk
liar juga menjadi pemicu semakin banyaknya penduduk liar yang datang ke Sumatera Timur.
173
Permasalahan penduduk liar tidak kunjung selesai dan perundingan yang dilakukan antara AVROS dan pemerintah hanya berlarut-larut.
174
171
Pelzer, Sengketa…, op.cit., hlm.115.
172
Ibid.,hlm.123.
173
Ibid, hlm.91 dan 155.
174
Lindblad, op.cit.,, hlm. 185.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan para pengusaha perkebunan di Indonesia semakin diperparah dengan dibuatnya Rancangan Undang-Undang untuk menaikkan secara integral canon dan
cijns yang telah diajukan kepada Parlemen di tahun 1956. Dasar pemerintah untuk menaikkan canon dan cijns ini karena untuk menyesuaikan dengan keadaan pada saat
itu. Dimana pada saat ditetapkannya jumlah canon dan cijns yang harus dibayarkanmasa Pemerintahan Hindia Belanda, nilai rupiah lebih tinggi daripada di
tahun –tahun 1950-an. Selain itu merosotnya nilai rupiah sejak masa perang dunia kedua, juga menjadi faktor dinaikkannya canon dan cijns tersebut.
175
Pihak pengusaha sangat menyesalkan kemerosotan nilai rupiah ini dan juga menyadari bahwa besarnya canon dan cijns pada saat itu tidak terletak pada tingkat
yang sama tinggi seperti jika diberikan suatu hak kebendaan baru atas tanah. Perkebunan yang pada saat itu diwakili oleh Algemeene Syndycaat van
Suikerfabrikanten in Indonesie ASSI, Algemeene Landbouw Syndicaat Zuid en West Sumatra Syndycaat ALS ZWSS, dan AVROS, menyatakan keberatannya
melalui pernyataan dalam sebuah surat tertanggal 18 Desember 1956, No.253Bl, yang ditujukan kepada Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan,
Menteri Negara Urusan Perencanaan.
176
175
Surat dari ASSI, ALS dan AVROS Kepada Empat Menteri yaitu Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Urusan Perentjanaan Tentang Penaikan Canon dan
Cijns, No. 253Bl, 18 Desember 1956, dalam Inventaris AVROS No.8, hlm.1.
176
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Isi pernyataan keberatan yang di sampaikan oleh perwakilan perkebunan, sebagai berikut:
1. Saat pemberian hak erfpacthatau konsesi telah ditetapkan berapa besarnya
canon dan cijns yang harus dibayarkan untuk seluruh waktu, sehingga apabila terjadi perubahan dalam hal ini, maka tidak mustahil apabila para
calon penanam modal akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya. 2.
Banyaknya penduduk liar yang mengokupasi tanah perkebunan, padahal tanah-tanah tersebut juga merupakan erfpact dan konsesi dan juga luas
areal yang diokupasi juga tidak dapat dihitung dengan pasti luasnya, masih juga harus dibayarkan canon dan cijns- nya. Sehingga apabila RUU
ini tetap dilaksanakan pasti akan menimbulkan keberatan yang sungguh- sungguh.
3. Pengusaha merasa keberatan atas keputusan pemerintah yang bermaksud
membuat undang-undang agrarian yang diperbarui secara integral. Menurut pengusaha akan lebih baik dan dapat diterima apabila pemerintah
ingin menaikkan canon dan cijns, maka peraturan hukum dalam memberikan hak kebendaan kepada para pemodal juga harus diperbarui
agar lebih sesuai. 4.
RUU ini menimbulkan kesan bahwa kenaikan antar waktu yang akan dilaksanakan oleh pemerintah ini berlawanan dengan politik keuangan
pemerintah untuk tidak menaikkan beban tetap perusahan-perusahaan
Universitas Sumatera Utara
yang bekerja untuk ekspor. Bagi para pengusaha RUU kenaikan canon dan cijns yang akan berlaku pada 1 Januari 1956 ini, akan semakin
memperberat beban pengusaha. 5.
Pengusaha memohon pertimbangan pemerintah untuk tidak menaikkan canon dan cijns untuk erfpacth dan konsesi karena bila melihat kurs
perhitungan penghasilan pengusaha yang semakin menurun. Dan melihat sejumlah besar perusahaan perkebunan, seperti sisal, teh, dan kopi yang
telah hampir melintasi garis marge keuntungan dan ada diantaranya yang telah menderita kerugian. Pengusaha berharap agar terjadi perbaikan
situasi untuk perusahaan perkebunan maupun sejenisnya.
177
Keputusan pemerintah untuk menaikkan canon dan cijns ini telah memperparah keadaan perkebunan dan semakin menyulitkan keberadaannya. Selain
itu, permasalahan penduduk liar juga telah menimbulkan perpecahan dalam tubuh AVROS. Merasa bahwa usaha yang dilakukan oleh AVROS tidak juga mendapat
hasil, maka salah satu anggota AVROS pada tahun 1956 perusahaan Deli United Company yang mengambil tindakan sendiri dengan melakukan perundingan langsung
dengan penghuni liar.
178
AVROS yang hingga saat itu masih melakukan perundingan dengan pemerintah, masih berharap agar dapat mempertahankan eksistensi dari anggota-
177
Ibid., hlm. 1-2.
178
Pelzer, Sengketa…op.cit., hlm.177.
Universitas Sumatera Utara
anggotanya. Namun, persoalaan Irian Barat yang kembali muncul karena tidak juga direalisasikannya penyerahan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia, membuat
persoalan penduduk liar yang selama bertahun-tahun diupayakan oleh AVROS untuk dirundingkan dengan pemerintah segera terhenti.
179
Segera setelah kemerdekaan, serikat-serikat buruh mulai bermunculan di Indonesia. Pada awalnya terbentuk Barisan Buruh Indonesia BBI di Jawa dan
setahun kemudian terbentuk pula Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia SOBSI
4.2.2 Tuntutan Kenaikan Upah dari Serikat Buruh