AVROS yang notabene terdiri dari perusahaan-perusahaan asing ternyata masuk dalam daftar yang harus segera dinasionalisasikan, sehingga AVROS melakukan
upaya untuk menyelamatkan diri. Pembahasan mengenai perubahan nama AVROS menjadi GAPPERSU merupakan penutup dari bab ini.
4.1 Situasi Perkebunan Pasca Kemerdekaan
Kekalahan yang dialami oleh Jepang saat melawan sekutu pada tahun 1945, membuat Jepang harus “angkat kaki” dari Indonesia. Berakhirnya kekuasaan
Penguasa Jepang di Indonesia bukan berarti segala permasalahan yang dihadapi juga ikut berakhir, tetapi justru meninggalkan masalah-masalah baru, salah satunya terjadi
di wilayah Sumatera Timur. Di Sumatera Timur telah terjadi kekacauan-kekacauan yang diakibatkan selama masa pendudukan Jepang. Di antara kekacauan yang paling
parah terjadi pada lingkungan perkebunan.
133
Dapat dilihat dari jumlah perkebunan yang ada di seluruh Indonesia tepatnya sebelum perang berjumlah sekitar 1530 buah. Perkebunan-perkebunan ini dimiliki
oleh para pengusaha yang berasal dari berbagai bangsa, antara lain Belanda memiliki 673 kebun, Inggris dengan 204 kebun, Amerika 9 kebun, Belgia 45 kebun, Prancis 26
kebun, Swiss 36 kebun, warga negara asing lainnya 32 kebun, Tionghoa 314 kebun, Arab 26 kebun, warga negara Indonesia 83 kebun dan semuanya meliputi 2.026.506
133
Sutrisna Lestari, “Sengketa Tanah Bekas Perkebunan Tambakau Bandar Chalifah, Kabupaten Deli Serdang Tahun 1947-1960”, Skripsi belum diterbitkan, Surakarta: Universitas, Sebelas
Maret, 2010, hlm. 43
Universitas Sumatera Utara
ha. Dari keseluruhan luas tanah perkebunan di Indonesia, perkebunan karet mengambil tempat untuk tanamannya dengan luas 372.143 ha.
134
Luas seluruh areal perkebunan karet di Indonesia dan disertai juga dengan jumlah produksi getah karet yang dihasilkan, telah menjadikan Indonesia sebagai
produsen karet terbesar kedua setelah daerah Malaya yang memang sudah terkenal dengan perkebunan karetnya. Walaupun karet merupakan tanaman yang sangat
diminati oleh orang-orang Amerika, namun pada kenyataannya Belanda tetap mendominasi kepemilikan perkebunan karet. Hal ini dapat dilihat dari luas arealnya
yang mencapai 171.608 ha atau sekitar 48 dari seluruh luas perkebunan di Indonesia. Luasnya areal perkebunan Belanda ini, membuatnya menjadi pemilik
sekaligus produsen karet terbesar bila dibandingkan dengan modal-modal asing lainnya di Indonesia. Namun, akibat dari pendudukan Jepang dalam hal ini
khususnya di Sumatera Timur, luas tanah-tanah perkebunan mengalami penciutan yang disebabkan oleh pengubahan fungsi tanah perkebunan dari tanaman komersil
menjadi tanaman pangan dan penyerobotan tanah perkebunan yang dilakukan oleh para penanam pangan.
135
Setelah beberapa tahun meninggalkan perkebunan karena diambil alih oleh penguasa Jepang, maka pasca Indonesia merdeka para pengusaha memutuskan untuk
134
“Undang-Undang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan Djangan Didjadikan Untuk Kontjo-Sistim”,SARBUPRI, Februari 1957.
135
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kembali keperkebunannya dengan harapan dapat kembali berproduksi. Harapan pengusaha tersebut ternyata belum dapat terealisasi karena tertahan di Medan dan
tidak memiliki akses untuk masuk ke perkebunan karena sedang perang. Tidak dapatnya para pengusaha ini masuk ke lingkungan perkebunan dikarenakan
kedatangannya yang tidak diharapkan oleh laskar-laskar rakyat.
136
Selama masa perang berlangsung, tentara dan laskar-laskar ini membutuhkan logistik dan senjata. Untuk mendapatkan persediaan logistik dan senjata ini, maka
para tentara dan laskar harus menguasai perkebunan terutama perkebunan karet. Perkebunan karet pada saat itu memang memiliki peran yang sangat besar, karena
hasil panennya dijarah dan kemudian dibawa ke Singapura yang pada saat itu menjadi “pasar gelap”. Di Singapura, karet hasil penjarahan ini ditukar dengan bahan logistik
dan senjata-senjata modern yang akan digunakan untuk melawan musuh mereka.
137
Pada tahun 1948, masa-masa perang telah berakhir. Para pengusaha berbondong-bondong kembali ke perkebunannya masing-masing, namun situasi
diperkebunan sudah berbeda. Perkebunan terlihat kacau, sehingga membuat mereka hampir tidak mengenali tanah-tanah perkebunannya sendiri. Hal ini disebabkan oleh
136
Karl J. Pelzer, ToeanKeboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm.164.
137
Budi Agustono, dkk.,Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN II: Sengketa Tanah di Sumatera Utara, Bandung : AKATIGA, 1997, hal. 52. Lihat juga, Suprayitno, Mencoba
lagi Menjadi Indonesia: Dari Federalisme ke Unitarisme: Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2001, hlm. 67-68.
Universitas Sumatera Utara
pengubahan lahan perkebunan yang tadinya ditanami dengan tanaman komersil menjadi tanaman pangan.
138
Pada perkebunan karet selain getahnya dijual, banyak pula pohon-pohon karet yang ditebang selama masa pendudukan Jepang. Penebangan ini membuat para
pengusaha harus melakukan penanaman kembali pohon-pohon pada daerah yang telah kosong. Untuk perkebunan karet yang tidak ditebang, dalam beberapa saat para
pengusaha dapat langsung mengambil getahnya. Hal ini dapat dilihat dari perkebunan karet milik perusahaan The United Sumatra Rubber Estates,Ltd., yang kembali
menduduki perkebunan pada tanggal 2 April 1948 dan pada bulan Agustus 1948 sudah kembali mendapatkan hasil dari perkebunannya
139
1. Sejak April 1948 sampai akhir Maret 1949 menghasilkan sebanyak 227.730
lbs. dengan angka-angka
penghasilan sebagai berikut:
2. April 1949 sampai Maret 1950 menghasilkan getah sebanyak 532.595 lbs.
3. April 1950 sampai Maret 1951 menghasilkan getah sebanyak 344,179 lbs.
140
Kerusakan ternyata tidak hanya terjadi lahan perkebunan, tetapi juga tetapi juga meliputi hampir seluruh lingkungan perkebunan. Pada perusahaan The United
138
Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria : Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta: Sinar Pustaka, 1991, hlm.25-26.
139
Surat Permohonan dari Per Pro Sandilands Buttery Co. Kepada Kementerian Dalam Negeri Bagian Agraria Tentang Permintaan Perpanjangan konsesi lahan perkebunan, bertanggal 20
September 1951, dalam Inventaris AVROS No.306, hlm.1.
140
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sumatra Rubber Estates, Ltd., yang juga memilki perkebunan kelapa, kerusakan meliputi fabrik getah, bangsal tempat kopra rusak seluruhnya, bangsal tempat getah
dan kopra petikan, rumah-rumah pengasapan, rumah-rumah manajer dan pembantu, serta kantor, bahkan pondok untuk buruh juga dirusak. Atas segala kerusakan ini,
para pengusaha harus mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan perbaikan pada lingkungan perkebunan. Sejak 1948-1951 perusahaan telah mengeluarkan biaya
sebesar Rps. 582.361.59.
141
Permasalahan yang dihadapi oleh perkebunan sebenarnya telah lebih rumit lagi. Para pengusaha perkebunan kebingungan untuk menjalankan kembali aktivitas
produksi perkebunannya, masalahnya tanah-tanah luas yang masih menjadi hak konsesi mereka dibagikan kepada penanam pangan yang kemudian semakin lama
semakin bertambah jumlahnya. Pada awalnya para penanam tanaman pangan ini hanya berasal dari kalangan buruh Jawa, Cina yang pada pada kolonial bekerja di
perkebunan, namun kemudian bertambah dengan orang Cina yang bekerja sebagai tukang kebun dan peternak babi, penduduk desa setempat, dan kelompok imigran dari
Tapanuli Utara yang semakin banyak, dan yang terakhir adalah orang-orang yang datang dari bagian Sumatera lainnya. Orang-orang inilah yang kemudian disebut
sebagai penduduk liar.
142
141
Ibid.,hlm.2.
142
Pelzer, Sengketa…., op.cit.,hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
Seakan tidak cukup dengan hanya menduduki lahan-lahan perkebunan, penduduk liar yang sangat menginginkan tanah ini akhirnya merambah ke daerah
hutan-hutan cadangan yang sengaja disediakan oleh pihak perkebunan. Selain itu, seolah tidak lagi memikirkan alasan-alasan hidrologis, para penghuni liar ini juga
terus melakukan penebangan hutan baik itu di dalam tanah perkebunan maupun di hutan cadangan yang berfungsi sebagai penyerap air. Hal inilah yang kemudian
dipermasalahkan oleh pengusaha perkebunan karena telah menyebabkan erosi berat pada tanah.
143
Pendudukan2 tanah liar di tanah2 perkebunan tidak sadja dilakukan oleh penduduk di tanah-tanah yang belum ataupun yang akan diusahai oleh
perkebunan, akan tetapi pengambilan2 tanah liar djuga dilakukan mereka didalam hutan-hutan hudjan regen bossen dari perkebunan-perkebunan
bersangkutan dan kedjadian2 demikian bukan sedikit terdjadi di Sumatera Timur ini dengan segala akibatnya.
Permasalahan mengenai hal ini dapat dilihat pada sepenggal pernyataan dari salah satu perkebunan yang menjadi anggota AVROS, sebagai
berikut :
144
Para pengusaha perkebunan ini tidak terima dengan yang dilakukan oleh para penghuni liar ini. Mereka mengacu pada akta konsesi yang mereka sepakati pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda dimana konsesi yang mereka peroleh tidak
143
Mochammad Tauchid, Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Persaudaraan Warga
Tani “Pewarta”, 2009, hlm. 260.
144
Surat Permohonan dari Perkebunan Boeloe Telang Estates Langkat kepada Kepala Daerah Hutan Sumatera Timur Tentang Luas hutan dalam Konsesi-Konsesi Pertaian , bertanggal 11
Maret 1958, dalam Inventaris AVROS No. 77.
Universitas Sumatera Utara
pernah diukur berapa luasnya, dan hutan-hutan yang ada sampai saat itu adalah hutan-hutan yang sengaja dipelihara atau ditinggalkan sebagai hutan cadangan yang
nantinya akan digunakan untuk kepentingan perkebunan.
145
Kondisi perkebunan ternyata semakin diperparah dengan masalah minimnya ketersediaan buruh yang mengakibatkan industri perkebunan kekurangan buruh.
146
Kemunculan dari berbagai serikat buruh di Indonesia yang berkembang dengan sangat pesat juga telah mengganggu aktivitas perkebunan. Serikat-serikat buruh ini
muncul karena adanya kesadaran dan keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Serikat-serikat buruh ini menuntut kenaikan upah dan taraf hidup yang
lebih baik kepada pihak perkebunan. Rendahnya upah yang mereka terima dari hasil menjadi seorang buruh perkebunan dapat digambarkan seperti berikut, upah seorang
buruh laki-laki yang bekerja pada perkebunan hanya sebesar 0,70 rupiah setiap hari. Inspektorat Perburuhan pada saat itu menyampaikan bahwa dengan upah tersebut,
buruh hanya dapat menghidupi dirinya sendiri, sedangkan untuk anak dan istri mereka upah ini tidak mencukupi.
147
Kebutuhan hidup yang semakin mendesak dan keinginan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik telah membuat mereka melakukan aksi mogok kerja dengan
145
Ibid.
146
Aan Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi: di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870- 1997, Yogyakarta: Karsa, 2005, hlm.201.
147
Ibid.,hlm.208.
Universitas Sumatera Utara
tujuan agar tuntutan mereka direalisasikan. Aksi mogok kerja dan keengganan bekas- bekas buruh ini untuk kembali bekerja di perkebunan telah membuat para pengusaha
perkebunan ini memilih untuk melakukan perekrutan buruh kembali.
148
Sama halnya dengan situasi perkebunan yang masih belum stabil untuk berproduksi kembali walaupun Indonesia telah merdeka dan perang juga sudah
berakhir, AVROS pun juga mengalami hal yang sama. AVROS yang sempat dibekukan selama penguasa Jepang menduduki Sumatera Timur, pasca kemerdekaan
perhimpunan ini kembali diaktifkan. Walaupun telah aktif kembali, namun keadaannya perhimpunan ini juga belum kembali stabil seperti pada masa
pemerintahan kolonial.
4.2 Kondisi AVROS dan Masalah-Masalah yang Muncul Pasca Kemerdekaan