bahwa bakteri
Aeromonas
strain A 199 memiliki kemampuan menurunkan kejadian saprolegniosis pada ikan.
2.4. Bakteri Kitinolitik sebagai Pengendali Hayati
Saprolegnia
sp.
Kitin ada lah adalah homopolimer β 1-4 N-asetilglukosamin yang tersebar luas
di alam ini dan ditemukan pada kutikula serangga, kerapas krustasea dan dinding sel Saprolegnia Watanabe
et al.
1999; Gohel
et al.
2006. Enzim yang dapat melakukan degradasi kitin adalah kitinase atau enzim kitinolitik. Kitinase terdiri atas famili
glycosyl hydrolase
18 dan 19 berdasarkan klasifikasi dari Henrissat Bairoch 1993, serta 20 Chernin Chet 2002. Klasifikasi ini didasarkan pada persamaan
sekuen asam amino dari domain katalitik enzim tersebut Henrissat dan bairoch 1993. Walaupun dalam famili yang sama, kitinase menunjukkan perbedaan dalam
hal spesifikasi substrat, reaksi dan pH optimum Chernin Chet 2002. Sifat hidrolisis dari kitinase menjadi dasar untuk dapat digunakan sebagai pengendali
hayati
Saprolegnia
dengan memanfaatkan organisme yang menghasilkan enzim ini. Organisme yang dapat mendegradasi kitin tersebar luas di alam, termasuk
organisme yang tidak memiliki kitin seperti bakteri, virus, tumbuhan tingkat tinggi dan hewan yang memiliki peran penting dalam fisiologi dan ekologi. Mikroba
mendegradasi kitin dengan mensekresikan enzim yang memiliki spesifitas tertentu untuk mengubah atau menghidrolisis kitin Matsumoto 2006. Kitinase yang
diproduksi oleh beberapa mikroba memiliki perbedaan dalam hal berat molekul, suhu optimum dan tingkat stabilitasnya serta memiliki rentang pH yang luas Chernin
Chat 2002. Sebagian besar pendapat menyebutkan bahwa bakteri yang ditemukan di
perairan atau lingkungan akuatik berasal dari tanah dan terlarut di dalam air secara alami hujan ataupun aktivitas manusia.
Bacillus
dan
Pseudomonas
adalah bakteri yang dapat beradaptasi dengan lingkungan tanah atau air Sousa Siva-sousa 2001.
Mikroba yang berada di perairan atau lingkungan akuatik telah banyak dilaporkan memiliki kemampuan kitinolitik, pada air tawar seperti danau Donderski
Brzezinska 2001; Brzezinska Donderski 2006 dan Chang
et al.
2007 maupun pada
Universitas Sumatera Utara
air laut Han
et al.
2009 dan danau yang memiliki hipersalin dan alkalin Lecleir Hollibaugh 2006.
Keberadaan bakteri kitinolitik di lingkungan akuatik berperan penting sebagai pendegradasi sisa kitin dari eksosekeleton karapas krustasea, diatom, protozoa,
nematoda Brzezinska Donderski 2006 yang telah mati sehingga berperan dalam siklus C dan N dalam ekosistem perairan Chernin Chat 2002. Bakteri ini dapat
mengubah kitin menjadi bahan organik sehingga dapat digunakan sebagai sumber nitrogen dan karbon Han
et al.
2009. Bakteri kitinolitik menyebabkan
shell diseases syndrome
yaitu kondisi degradasi pada eksoskeleton krustasea sehingga terbentuk lesi spot hitam Vogan dan Rowley 2002.
Bakteri kitinolitik merupakan kandidat bakteri yang dapat digunakan dalam pengendali hayati jamur. Gohel 2006 menyebutkan beberapa bakteri yang
digunakan sebagai biokontrol jamur patogen pada tanaman antara lain
Pseudomonas syringae
sebagai biokontrol patogen
Botrytis cinerea, Penicillium
spp.
, Mucor pyroformis
dan
Geotrichum candidum
. Jamur patogen pada tanaman yaitu
Fusarium semitectum, Ganoderma boninense and Penicillium citrinum
dapat dihambat oleh isolat bakteri kitinolitik Suryanto Munir 2006.
Mikroba hidup yang memberikan pengaruh positif pada hewan akuatik inang dengan memodifikasi inang atau komunitas mikroba di lingkungan inang,
meningkatkan pengggunaan pakan atau meningkatkan nilai nutrisi, meningkatkan respons inang melawan penyakit atau dengan meningkatkan kualitas lingkungan
inang didefinisikan sebagai probiotik dalam akuakultur Watson
et al.
2008. Penggunaan probiotik atau bakteri menguntungkan yang dapat mengendalikan
patogen secara alami dengan mekanisme yang bervariasi merupakan suatu alternatif penggunaan antibiotik Balcazar
et al.
2006. Ringkasan penelitian probiotik sebagai pengendali hayati
Saprolegnia
sp. dalam bidang akuakultur ditampilkan pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Ringkasan penelitian penggunaan probiotik sebagai pengendali hayati
infeksi
Saprolegnia
sp. dibidang akuakultur Hewan
Percobaan Probiotik
potensial Patogen
Metode uji Referensi
Aeromonas media
Ed. tarda, V. anguillarum, Y.
ruckeri, A. salmonicida,
Lactococcus garvieae,
Saprolegnia parasitica
In vitro
Lategan
et al
. 2006
Pseudomonas fluorescens
Saprolegnia
spp.
In vitro
Bly
et al.
1997
Eel Aeromonas
media Saprolegnia
spp.
In vitro dan In
vivo
Lategan dan Gibson
2003
Eel Aeromonas
media Saprolegnia
parasitica In vivo
Lategan
et al.
2004b
Silver perch
Aeromonas media
Saprolegnia
sp.
In vivo
Lategan
et al.
2004a Peningkatan kolonisasi dan pengaruh penghambatan secara langsung melawan
patogen adalah faktor utama yang dimiliki probiotik dalam mengurangi kejadian dan lamanya penyakit. Strain beberapa probiotik menunjukkan kemampuan menghambat
bakteri patogen baik secara
in vitro
maupun
in vivo
Balcazar
et al.
2006. Selanjutnya, Balcazar
et al.
2006 menyebutkan bahwa probiotik sebagai pengendali hayati memiliki mekanisme kerja antara lain kompetisi, sumber nutrisi dan kontribusi
enzim untuk pencernaan, mempengaruhi kualitas air, meningkatkan respon kekebalan tubuh. Watson
et al.
2008 menyebutkan bahwa kompetisi oleh probiotik adalah kompetisi sumber energi dan perlekatan probiotik pada mukosa hewan akuatik.
Aktivitas probiotik
Aeromonas media
strain A199 berasal dari produksi bahan penghambat ekstraseluler Lategan
et al.
2006.
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian hayati infeksi
Saprolegnia
sp. menggunakan bakteri telah banyak dilaporkan. Beberapa jenis bakteri yang dapat digunakan sebagai pengendali
hayati
Saprolegnia
sp. adalah
P. fluorescens
yang diisolasi dari jaringan tubuh ikan salmon yang terinfeksi
S. parasitica
Hatai Willoughby 1988.
Aeromonas
media strain A199 memiliki kemampuan sebagai pengendali hayati infeksi
Saprolegnia
sp. pada
Bidyanus bidyanus
Mitchell Lategan
et al.
2004a dan
Anguilla australis
Lategan
et al.
2004b. Pengendalian hayati infeksi
Saprolegnia
sp. pada telur gurami dengan menggunakan bakteri kitinolitik yang berasal dari perairan tawar belum
banyak dilaporkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN