Paradigma Konstruksionis URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS

II.1. Paradigma Konstruksionis

Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konsruksi sosial atas realitas. Tesis utama dar Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa Eriyanto,

2004: 14-15. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri

manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia ─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Universitas Sumatera Utara Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan mengahadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi ─kebudayaan─ itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda plural. Setiap orang bisa Universitas Sumatera Utara mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural, komstruksi sosial itu juga bersifat dinamis Eriyanto, 2004: 15. Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis paradigma transmisi Eriyanto, 2004: 37. Kalau asumsi trasmisi melihat komunikasi sebagai proses penyebaran pengiriman dan penerimaan pesan, maka paradigma konstruksionis melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial di mana mereka berada Eriyanto, 2004: 40. Pendekatan konstruksionis memusatkan perhatian kepada bagaimana seseorang membuat gambaran mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas, konstruksi melalui mana realitas politik dibentuk dan dibuahi. Semua individu, Universitas Sumatera Utara lembaga atau kelompok mempunyai peran yang sama dalam menafsirkan dan mengkostruksi peristiwa politik Eriyanto dalam Bungin, 2003: 155. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri Eriyanto, 2004: 40-41. Dalam konteks berita, sebuah teks tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan pemaknaan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam Universitas Sumatera Utara arti yang riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta Eriyanto, 2004: 17. Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu per satu di bawah ini. Fakta peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif., karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dari pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta realitas pada dasarnya dikonstruksi. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas bergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda Eriyanto, 2004: 20-21. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Universitas Sumatera Utara Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan seolah-olah media sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kalau ada demonstrasi mahasiswa selalu diberitakan dengan anarkime, itu bukan menunjukkan realitas sebenarnya, tetapi juga menggambarkan bagaimana media ikut berperan dalam mengkonstruksikan realitas. Apa yang tersaji dalam berita, dan kita baca tiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak Eriyanto, 2004: 23. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita itu ibaratnya sebagai drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda Berita bersifat subjektif konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai subjektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standard yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk Universitas Sumatera Utara dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Berita bersifat subjektif dan opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standard tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas suatu realitas Eriyanto, 2004: 27. Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya; karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topik apa yang diangkat dan siapa yang diwawancarai disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian dari pilihan profesioanal individu. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan juga dipandang sebagai aktor agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, dalam berada di luar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di luar” yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Universitas Sumatera Utara Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan Eriyanto, 2004: 28-30. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Dalam pendekatan konstruksionis, aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang memilih apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai- tertentu ─ umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu ─ adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksikan realitas. Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati Eriyanto, 2004: 32. Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakan peneliti mejadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses penelitian. Peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti Universitas Sumatera Utara yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula Eriyanto, 2004: 33-34. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Dalam pandangan konstruksionis khalayak dipandang bukanlah subjek yang pasif. Ia adalah subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti polisemi. Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi penyebaran dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi Eriyanto,

2004: 35.

II.2. Analisis Framing

Dokumen yang terkait

Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Di Kota Medan (Studi Deskriptif Tentang Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Pada Surat Kabar Harian Analisa Dan Harian Waspada)

19 150 104

Objektivitas Pemberitaan Media Cetak (Studi Analisis Isi Objektivitas Pemberitaan Kandidat Calon Walikota dan Wakil Walikota pada Pilkada Kota Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Waspada)

2 55 178

Persepsi Mahasiswa FISIP USU terhadap Berita Politik di Harian Analisa Medan (Studi Deskriptif mengenai Pemberitaan atas Perilaku dan Sikap Anggota Pansus Century Selaku Anggota DPR –RI Pada Harian Analisa)

0 64 102

Proyeksi Dalam Teks Berita Dan Tajuk Rencana Dalam Harian Waspada

1 36 116

KEBIJAKAN PEMBERITAAN TENTANG KENAIKKAN HARGA BBM Analisis Framing Pada Headline Berita Harian Kompas dan Jawa Pos Edisi 28 September - 1 Oktober 2005

0 7 2

Analisis Framing Pemberitaan Perjalanan Koalisi Gerindra Dengan Ppp Pada Pilpres 2014 Di Harian Kompas

0 23 143

ANALISIS CAMPUR KODE PADA JUDUL BERITA DI HARIAN ANALISIS CAMPUR KODE PADA JUDUL BERITA DI HARIAN KEDAULATAN RAKYAT.

0 0 14

Analisa tema dan arah opini Berita Tajuk Rencana pada Harian Kompas(studi Analisa tema dan arah opini Berita Tajuk Rencana pada Harian Kompas Periode Pebruari - April 2008).

0 1 9

Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Di Kota Medan (Studi Deskriptif Tentang Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Pada Surat Kabar Harian Analisa Dan Harian Waspada)

0 0 10

Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Di Kota Medan (Studi Deskriptif Tentang Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Pada Surat Kabar Harian Analisa Dan Harian Waspada)

0 1 15