II.3. Berita dan Konstruksi Realitas
Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Astrid S. Susanto Sunario berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian
yang dianggap penting Sunario, 1993: 159. Mitchell V. Charnley mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang
menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang Kusumaningrat, 2005: 39. Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan
tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar
biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup segi- segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan Assegaf, dalam
Sumadiria, 2005: 64-65. Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak
semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita. Beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah Santana, 2005: 18-20:
1. Immediacy, kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan
kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya
terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu amat penting di sini.
2. Proximity, adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa
dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan
sehari-harinya.
Universitas Sumatera Utara
3. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita
yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri, kenaikan harga BBM, masyarakat dengan segera akan
mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi.
4. Conflict, perseteruan antarindividu, antartim atau antarnegara
merupakan elemen-elemen natural dari berbagai berita-berita yang mengandung konflik.
5. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi unussualness ialah sesuatu
yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat. 6.
Seks, kerap seks menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Segala hal yang berhubungan dengan seks pasti menarik dan menjadi
sumber berita. 7.
Emotion, sering disebut elemen human interest. Elemen ini menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan,
simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau tragedi. 8.
Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar intilah “names make news” nama membuat berita. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan orang terkenal public figure, pejabat, pembuat kebijakan, dan lain-lain akan dibuu berita.
9. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu
terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berta yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting.
Kejelasan fakta tetap dituntut oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Peristiwa di sini adalah realitas atau fakta yang diliput oleh wartawan dan pada gilirannya akan
dilaporkan secara terbuka melalui media massa. Dengan demikian, dapat pula dikatakan secara sederhana, bahwa dalam suatu proses jurnalisme, upaya
menceritakan kembali suasana atau keadaan, orang, dan benda, bahkan pendapat yang terdapat dalam sebuah peristiwa merupakan upaya untuk merekonstruksikan
realitas. Karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional media massa, seperti wartawan, editor, redaktur, redaktur, redaktur pelaksana, dan juga pemimpin
redaksi adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh isi surat kabar atau majalah merupakan realitas yang
telah dikonstruksikan constructed reality. Laporan-laporan jurnalistik yang ada di media pada dasarnya tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam
bentuk “cerita”. Berita merupakan realitas yang telah direkonstruksi Birowo, 2004: 168.
Menurut Fishman, ada dua kecenderungan studi bagaimana proses
produksi berita dilihat. Pandangan pertama sering disebut sebagai pandangan seleksi berita selectivity of news. Dalam bentuknya yang umum pandangan ini
seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih
mana yang penting dan mana yang tidak. Setelah berita itu masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang
perlu ditambah. Pandangan ini mengandaikan seolah-olah ada realitas yang benar- benar riil yang ada di luar diri wartawan. Realitas yang riil itulah yang akan
diseleksi oleh wartawan untuk kemudian dibentuk dalam sebuah berita.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita creation of
news. Dalam perspektif ini, peristiwa itu bukan diseleksi melainkan sebalikbya, dibentuk. Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita dan
mana yang tidak. Peristiwa dan realitas bukanlah diseleksi, melainkan dikreasi oleh wartawan. Dalam perspektif ini, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
wartawan membuat berita. Titik perhatian terutama difokuskan dalam rutinitas dan nilai-nilai kerja wartawan yang memproduksi berita tertentu. Ketika bekerja,
wartawan bertemu dengan seseorang. Wartawan bukanlah perekam yang pasif yang mencatat apa yang terjadi dan apa yang dikatakan seseorang. Melainkan
sebaliknya, ia aktif. Wartawan berinteraksi dengan dunia realitas dan dengan orang yang diwawancarai, dan dengan sedikit banyak menentukan bagaimana
bentuk dan isi berita yang dihasilkan. Berita dihasilkan dari pengertahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas yang objektif yang berada di luar, melainkan
karena orang akan mengorganisasikan realitas yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan berarti serta mempunyai makna Eriyanto , 2004: 100-101.
Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai
faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasi ada lima factor yang mempengaruhi kebijakan redaksi.
Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar
belakang profesi dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan
yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media.aspek
Universitas Sumatera Utara
personal tersebut secara hipotetik mempengaruhi skema pemahaman pengelola media. Wartawan yang beragama Islam secara hipotetik lebih berempati dengan
kondisi warga Islam di Maluku atau Poso dibandingkan dengan kelompok Kristen. Atau wartawan lokal di Kalimantan Barat akan lebih berermpati dengan
warga Dayak asli dibandingkan dengan warga pendatang Madura ketika memberitakan konflik etnis di Kalimantan Barat. Selain personalitas, level
individu ini juga berhubungan dengan segi profesionalisme dari pengelola media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik
sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang punya orientasi politik tertentu akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik
yang kebetulan menjadi idolanya.
Kedua, level rutinitas media routine. Rutinitas media berhubungan
dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media pada umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, ap cirri-ciri berita
yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media
yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang
harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa
penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebaai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya mempengaruhi bagaimana
wujud akhir sebuah berita.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur
organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia
sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi berita itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-
sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.
Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan
target tersebut. Setiap organisasi berita selain mempunyai banyak elemen, juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri. Berbagai elemen tersebut
mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
Dialekitika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang
tajam, sensasional, bahkan bombastis. Di Era Orde Baru, tak dapat dibayangkan munculnya genre pemberitaan yang semacam itu. Perkembangan ini muncul
karena pada era reformasi, state regulation telah mengalami kebangkrutan dan digantikan oleh dominasi market regulation. Persolannya kemudian market
regulation ternyata lebih akomodatif terhadap genre pemberitaan yang seperti itu. Dalam era market regulation, yang dibutuhkan adalah sajian-sajian yang dapat
menarik perhatian kalangan pengiklan dan pemirsa ─terma
suk berita-berita bombastis itu
─tanpa terburu-buru menegang perasaan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Pada perkembangan selanjutnya kalangan redaksi mungkin bosan dengan genre pemberitaan seperti itu, dan mencoba untuk mengembangkan angle-angle
lain. Namun, pihak sirkulasi menuntut agar genre pemberitaan itu tetap dipertahankan karena pasar pembaca ternyata menyukainya. Akhirnya, berita-
berita sensasional dan bombastis tetap disajikan media.
Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor
lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam bayak kasus mempengaruhi
pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media.
Pertama, sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai
kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberikan citra kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai
pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik untuk
dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepntingan sumber berita ini seringkali tidak disadari oleh media. Pengelola media tidak
sadar, lewat teknik yang canggih, sebetulnya orientasi pemberitaan telah diarahkan untuk menguntungkan sumber berita. Media lalu, secara tidak sadar,
telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.
Kedua, sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan pembeli media. Media harus survive
Universitas Sumatera Utara
dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan
kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin
kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo beritayang buruk mengenai mereka. Pelanggan dalam
banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus diliput oleh media.
Media tidak akan menyia-nyiakan momentum berita yang disenangi oleh khalayak.
Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan
eksternal media. Dalam Negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini
karena dalam Negara yang otoriter, Negara menentukan apa yang tidak boleh dan apa yang boleh diberitakan. Pemerintah dalam banyak hal memeganag lisensi
penerbitan, kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan oleh pemerintah tersebut. Berita yang berhubungan dengan
pemerintah terutama berita buruk akan diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media bersangkutan akan mati. Keadaan ini tentu saja berbeda di Negara yang
demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan Negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan media.
Keempat, level ideologi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat
Universitas Sumatera Utara
realitas dan bagaimana mereka mengahadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan
dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyaarkat dan bagaimana
media menetukan. Sudibyo, 2001: 7-12 Dalam ilmu komunikasi sebagai paying dunia jurnalisme sebenarnya ada
dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang benama “berita”. Pertama, berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu proses manajemen produksi
institusi media cetak surat kabar ataupun majalah. Di sini, berita yang merupakan hasil dari suatu proses kerja manajemen redaksional dengan sejumlah panduan
atau kriteria, mulai dari pencarian dan peliputan peristiwa di lapangan oleh reporter, proses editing di redaktur dan redaktur pelaksana, kemudian sampai pada
proses seleksi layak muat pada sidang meja redaksi. Dengan demikian pandangan ini pun meyakini bahwa berita merupakan cerminan dari realitas mirror of
reality. Berita merupakan potret dari realitas sosialnya. Kesimpulannya, berita merupakan rekonstruksi realitas yang objektif sifatnya. Sedangkan yang kedua,
berita sebagai hasil rekonstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna. Bahwa berita yang merupakan hasil konstruksi realitas dari
sebuah proses manajemen redaksional ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan oleh wartawan dalam diri khalayak
pembacanya. Berita tidaklah mencerminkan realitas sosial yang direkamnya. Berita yang ada di media dapat memberikan realitas yang sama sekali baru dan
berbeda dengan realitas sosialnya. Berita merupakan hasil rekonstruksi realitas yang subjektif dari proses kerja wartawannya Birowo, 2004: 168-169.
Universitas Sumatera Utara
Untuk lebih menjelaskan kembali, apakah suatu berita objektif atau tidak, terdapat dua tokoh yang berbeda yang mewakili dua pendekatan seperti yang telah
disebutkan di atas. Tokoh pertama adalah John C. Merril, yang berkeyakinan bahwa objektivitas sebuah karya jurnalistik merupakan hal yang tidak mungkin
untuk dapat dilakukan. Proses kerja jurnalistik, mulai dari pencarian berita, peliputan, editing, kemudian juga seleksi berita merupakan kerja yang subjektif.
Jelas dalam hal ini John C. Merril merupakan tokoh dari kubu Kaum Konstruksionis. Sebaliknya, Everette E. Denis, berkeyakinan bahwa objektivisme
berita merupakan hal yang tidak mustahil, karena pada dasarnya proses kerja jurnalistik dapat diukur dengan nilai-nilai yang objektif. Nilai-nilai yang objektif
ini misalnya, memisahkan fakta dari opini, menghindari pandangan emosional dalam melihat peristiwa, memperhatikan prinsip keseimbangan dan keadilan, dan
melihat peristiwa dari dua sisi cover both side. Semua ini berfungsi untuk membatasi sifat subjektf wartawan ketika melakukan peliputan, pengeditan, dan
pemilihan berita dalam proses krja jurnalistik. Demikianlah dapat disimpulkan, bahwa Everette E. Denis merupakan tokoh dari kubu Kaum Positivistik Birowo,
2004: 169-170. Ahli sosiologi, Gaye Tuchman dalam bukunya Making News, menyatakan
bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial. Tindakan membuat berita, kata Tuchman adalah tindakan mengkonstruksi realita itu sendiri, bukan penggambaran
realita. Dia menekankan bahwa berita adalah sekutu bagi lembaga-lembaga yang berlegitimiasi dan bahwa berita juga melegitimasi status quo Severin, 2007: 400.
Mengapa dan bagaimana media menjaga berita dan kebijakan editorial dibahas dalam dua artikel Warren Breed, bekas wartawan surat kabar, peraih gelar
Universitas Sumatera Utara
Ph.D. dari Columbia, dan anggota dewan pengajar di Tulane University. Dalam artikel “Social control in the news room”, Breed membahas bidang-bidang di
mana berita dan kebijakan editorial biasanya dijaga dan di mana biasanya dilepaskan. Breed mengamati bahwa penerbit surat kabar, sebagai pemilik atau
representasi pemilik, memiliki hak untuk menetapkan dan memberlakukan kebijakan surat kabar. Tetapi kepatuhan terhadap kebijakan tidak bisa diperoleh
secara otomatis Severin, 2007: 401. Yang dimaksud Breed sebagai kebijakan di sini adalah orientasi yang
diperlihatkan oleh surat kabar dalam editorialnya, kolom beritanya, dan berita utamanya berkenaan dengan kejadian atau permasalahan tertentu. Pandangan
surat kabar tak akan menimbulkan pembohongan, kata Breed, melainkan “penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan preferensial, seperti
‘menampilkan di halaman depan’ berita yang pro-kebijakan, ‘mengubur’ berita yang anti-kebijakan, dan sebagainya”. Breed berpendapat bahwa setiap surat
kabar, diakui atau tidak, memiliki kebijakan. Politik, bisnis, dan perburuhan adalah bidang kebijakan yang utama, yang sebagian besar berasal dari
pertimbangan kelas. Breed menyatakan bahwa kebijakan biasanya bersifat terselubung karena kebijakan itu sering berseberangan dengan kode etik
jurnalisme dan para eksekutif media tidak ingin dituduh telah memerintahkan agar surat kabarnya miring ke berita-berita tertentu Severin, 2007: 402.
Setiap media mempunyai konstruksi dan pembingkaian yang berbeda-beda atas suatu realitas peristiwa. Demikian juga dengan harian Waspada dan Analisa
dalam membuat pemberitaan demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM. Melalui pembingkaian, wartawan mampu membuat peristiwa yang
Universitas Sumatera Utara
rumit menjadi sederhana dan dapat diterima oleh logika khalayak. Bahkan budaya, pengetahuan, lingkungan, atau faktor lain yang dimiliki wartawan
mempengaruhi bagaimana ia mengkonstruksi realitas menjadi satu berita. Oleh karena itulah satu realitas yang sama dapat diberitakan secara berbeda oleh media
yang berbeda. Dalam setiap pemberitaan, ada aspek-aspek yang ditonjolkan dengan
harapan perhatian khalayak tertuju pada aspek tersebut. Penelitian ini akan melihat bagaimana harian Waspada dan harian Analisa memahami dan
mengkonstruksi peristiwa demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM dan menyajikannya sebagai berita yang layak dikonsumsi khalayak.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN