Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa)

(1)

BERITA DEMONSTRASI MAHASISWA DI HARIAN WASPADA DAN HARIAN ANALISA

(Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh: NOVA HUTABARAT

040904081

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana konstruksi harian Waspada dan Analisa terhadap berita demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Penelitian ini menggunakan 2 metodologi yang berbeda yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Fokus penelitian ini adalah pada analisis kualitatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruktivis. Sebagai awal/ pengantar penelitian digunakan analisis kuantitatif (analisis isi kuantitatif/ content analysis) yang bertujuan untuk mengukur data sebaran berita di harian Waspada dan Analisa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dalam model ini perangkat penanda framing dibagi ke dalam 4 struktur besar. Pertama, Struktur Sintaksis (headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup). Kedua, Struktur Skrip (5W + 1H). Ketiga, Struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat). Keempat, Struktur Retoris (kata, idiom, gambar/ foto, grafik).

Dalam penelitian ini yang menjadi unit penelitian adalah berita-berita seputar demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM yang dimuat oleh harian Waspada dan harian Analisa selama bulan Mei sampai Juni 2008. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini, peneliti mencari isu-isu yang dimuat pada berita di kedua harian tersebut dan isu yang tidak dimuat di satu harian namun dimuat di harian lainnya. Lalu berita-berita tersebut dianalisis dengan perangkat frame yang telah ditentukan. Berdasarkan 2 jenis isu tersebut, berita yang diteliti di harian Waspada berjumlah 21 berita, sedangkan di harian Analisa diteliti sebanyak 14 berita. Adapun isu yang dipilih peneliti adalah: Demo BBM rusuh, Insiden Unas, dan Respon Pemerintah, Polisi terhadap Demo.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan wartawan harian Waspada dan Analisa. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pembingkaian wartawan dan redaksi kedua harian tersebut terhadap berita demonstrasi mahasiswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harian Waspada dan Analisa melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pengkonstruksian tersendiri atas berita demonstrasi mahasiswa yang ada. Konstruksi harian Waspada menunjukkan penonjolan pada isu kerusuhan dan anarkisme demo sedangkan harian Analisa menonjolkan isu respon pemerintah, polisi terhadap demo. Perbedaan pandangan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga ditunjukkan di mana harian Waspada menganggap kebijakan tersebut belum tepat, sebaliknya harian Analisa menganggapnya sudah tepat.


(3)

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Nova Hutabarat

Tempat, Tanggal Lahir : Balige, 30 Nopember 1986 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 2 (dua) dari 5 (lima) bersaudara

Alamat : Jl. Marakas No. 41 Padang Bulan, Medan No. Telp./ HP : -/ 081370258886

Nama Orang Tua : - Ayah : Maruasa Tua Hutabarat - Ibu : Mastiur Sianturi

Pekerjaan Orang Tua : - Ayah : Pegawai BUMN - Ibu : Ibu Rumah Tangga

Alamat Orang Tua : Jl. Sipitu-pitu Narumonda, Porsea, Tobasa Nama Saudara : - Betharia Telma S. Hutabarat

- David Hotman Hutabarat - Togar Parnaehan Hutabarat - Berlian Tua Hutabarat

Pendidikan Formal :

1. SD Negeri No. 173637 Narumonda, Porsea tamat tahun 1998 2. SLTP Negeri 3 Porsea tamat tahun 2001 3. SMU N 2 Soposurung Balige tamat tahun 2004 4. Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU stambuk 2004


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis penjatkan ke hadirat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa, atas berkat dan rahmat-Nya yang selalu dicurahkan kepada penulis. Dengan kekuatan dari-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa).

Skripsi ini penulis persembahkan kepada 2 orang terhebat dalam hidup penulis, kedua orang tuaku: Mama (Mastiur Sianturi) dan Bapak (Maruasa Tua Hutabarat). Tuhan begitu baik telah memberikan orang tua yang begitu hebat mengasihi penulis, yang selalu mendukung penulis dalam segala hal. Walau tidak ada yang dapat dilakukan membalas cinta kasih mereka, penulis berharap skripsi ini bisa menjadi salah satu cara mengungkapkan rasa kasih dan terima kasih penulis. Terima kasih juga kepada keempat saudara penulis (Kak Betha, David, Togar, dan Berlian) untuk dukungan dan semua hal yang pernah kita lakukan bersama. Semoga kita mampu mendapatkan impian kita masing-masing dan bisa membanggakan kedua orang tua kita.

Begitu banyak pihak yang telah mendukung penulis hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, antara lain kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(5)

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Mazdalifah M.Si, selaku Dosen Wali penulis. Terima kasih untuk pengajaran, nasehat, saran, dan diskusi selama ini khususnya di setiap awal semester.

4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si selaku Dosen Pembimbing penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih banyak untuk semua hal yang telah Bapak berikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di kampus ini, untuk ilmu, dukungan, diskusi, pengalaman, bahkan obrolan-obrolan selama ini. Penulis sadar tidak bisa melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan Bapak. Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak.

5. Seluruh staf pengajar di FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi yang selama ini telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Seluruh staf administrasi Departemen Ilmu Komunikasi: Kak Icut, Kak Ros, Rotua, Maya, dan Yusi. Terimakasih untuk bantuannya.

7. Seluruh pihak harian Waspada dan harian Analisa, terkhusus wartawan yang bersedia penulis wawancara. Terima kasih untuk bantuannya. 8. Sahabat-sahabatku (Mei, Ibeth, Rita, Cheesna, Julika, Debby, Betty,

Sudi). Terima kasih untuk kebersamaan dan semua hal yang kita bagi bersama. Untuk teman-teman yang masih mengerjakan skripsi, semangat!!


(6)

9. Teman-teman sesama Pohaners (Dian, Nova, Mei, Tri, Budi). Terima kasih terkhusus untuk Mei dan Tri yang menjadi teman berdiskusi tentang skripsi dan menjadi tempat curahan hati penulis. Hidup Pohaners!

10.Teman-teman PKL penulis di Metro TV Biro Medan, Mei, Ibeth, Dian, Indah, Widya. Penulis merasakan kedekatan dan kebersamaan yang indah selama PKL bersama kalian.

11.Teman-teman di Paduan Suara Consolatio. Terima kasih untuk pengalaman dan pembelajaran kita selama ini. Penulis menemukan petualangan, suka-duka, canda tawa, bahkan cinta di dalam kalian. 12.Teman-teman di PD/PA Filipi. Terima kasih sudah menganggap

penulis sebagai bagian dari kalian.

13.Bang Deddi Hutauruk. Terima kasih dukungan, bantuanmu dan kebersamaan kita selama ini. Semoga abang selalu mendapatkan yang terbaik dalam hidup.

14.Alumni SMA N 2 Soposurung Balige khususnya lulusan tahun 2004 kelas 3 IPA 2. Semoga kita tetap saling mendukung di manapun kita berada.

15.Para senior stambuk 2003 khususnya kak Mery dan kak Chay. Teman-teman sesama stambuk 2004, terima kasih untuk kebersamaan kita selama menjalani kuliah di kampus ini.

16.Seluruh teman-teman kost penulis di Marakas No.41,khususnya kak Eva yang telah meminjamkan laptopnya kepada penulis.


(7)

17.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk setiap pertanyaan “kapan selesai?” yang tanpa sadar hal itu menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan yang membangun untuk skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Desember 2008


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 7

I.3. Pembatasan Masalah ... 7

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

I.4.1. Tujuan Penelitian ... 7

I.4.2. Manfaat Penelitian ... 8

I.5. Kerangka Teori ... 8

I.5.1. Analisis Framing ... 8

I.5.2. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 10

I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas ... 12

I.6. Kerangka Konsep ... 15

I.7. Definisi Konsep ... 17

BAB II. URAIAN TEORITIS... 21

II.1. Paradigma Konstruktivis ... 21

II.2. Analisis Framing ... 29

II.3. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki .. 35


(9)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 52

III.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 52

III.1.1. Harian Waspada ... 52

III.1.1.1. Sejarah Berdirinya PT. Harian Waspada ... 52

III.1.1.2. Visi dan Misi PT. Harian Waspada ... 55

III.1.1.3. Prinsip-Prinsip Dasar PT. Harian Waspada ... 56

III.1.1.4. Badan Hukum PT. Harian Waspada... 57

III.1.1.5. Struktur Organisasi Redaksi PT. Harian Waspada... 58

III.1.2. Harian Analisa ... 59

III.1.2.1. Sejarah Berdirinya Harian Analisa ... 59

III.1.2.2. Visi, Misi, dan Motto... 61

III.1.2.3. Rubrik ... 63

III.1.2.4. Struktur Organisasi Harian Analisa ... 64

III.2. Metode Penelitian ... 65

III.2.1. Unit Penelitian ... 66

III.2.2. Teknik Pengumpulan Data ... 66

III.2.3. Unit dan Level Analisis ... 67

III.2.4. Teknik Analisis Data ... 67

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

IV.1. Analisis Isi (Content Analysis) ... 69

IV.2. Analisis Framing ... 76

IV.2.1. Frame 1: Demo BBM Rusuh ... 77

IV.2.1.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 78


(10)

IV.2.2.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 93

IV.2.2.2. Analisis Framing terhadap Harian Analisa ... 100

IV.2.3. Frame 3: Respon Pemerintah/ Polisi terhadap Demo ... 107

IV.2.3.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 107

IV.2.3.2. Analisis Framing terhadap Harian Analisa ... 115

IV.2.4. Frame 4: Berita yang Dimuat di Satu Media namun tidak Dimuat di Media Lainnya... 123

IV.2.4.1. Frame Waspada: Respon Pihak Oposisi terhadap Keputusan Pemerintah ... 123

IV.2.4.2. Frame Analisa: Mahasiswa Menganiaya Polisi... 127

BAB V. PENUTUP V.1. Kesimpulan ... 130

V.2. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)... 15 Skema 2. Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 16 Skema 3. Metode Penelitian (Research Framework) ... 66


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persentasi kemunculan berita demonstrasi mahasiswa terkait kenaikan harga BBM di harian Waspada dan Analisa ... 70 Tabel 2. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah

Medan/ Sumatera dan luar Medan/ Sumatera oleh harian Waspada ... 71 Tabel 3. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah

Medan/ Sumatera dan luar Medan/ Sumatera oleh harian Analisa 72 Tabel 4. Posisi penempatan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Waspada ... 73 Tabel 5. Posisi penempatan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Analisa ... 73 Tabel 6. Pola pengemasan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Waspada ... 74 Tabel 7. Pola pengemasan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Analisa ... 75 Tabel 8. Perangkat Penanda Frame Demo BBM Rusuh di Harian

Waspada ... 88 Tabel 9. Perangkat Penanda Frame Demo BBM Rusuh di Harian Analisa . 92 Tabel 10. Perangkat Penanda Frame Insiden Unas di Harian Waspada... 99 Tabel 11. Perangkat Penanda Frame Insiden Unas di Harian Analisa ... 106 Tabel 12. Perangkat Penanda Frame Respon Pemerintah/ Polisi terhadap

Demo di Harian Waspada ... 114 Tabel 13. Perangkat Penanda Frame Respon Pemerintah/ Polisi terhadap

Demo di Harian Analisa ... 122 Tabel 14. Perangkat Penanda Frame Harian Waspada: Respon Pihak

Oposisi terhadap Keputusan Pemerintah ... 126 Tabel 15. Perangkat Penanda Frame Harian Analisa: Mahasiswa


(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana konstruksi harian Waspada dan Analisa terhadap berita demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Penelitian ini menggunakan 2 metodologi yang berbeda yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Fokus penelitian ini adalah pada analisis kualitatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruktivis. Sebagai awal/ pengantar penelitian digunakan analisis kuantitatif (analisis isi kuantitatif/ content analysis) yang bertujuan untuk mengukur data sebaran berita di harian Waspada dan Analisa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dalam model ini perangkat penanda framing dibagi ke dalam 4 struktur besar. Pertama, Struktur Sintaksis (headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup). Kedua, Struktur Skrip (5W + 1H). Ketiga, Struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat). Keempat, Struktur Retoris (kata, idiom, gambar/ foto, grafik).

Dalam penelitian ini yang menjadi unit penelitian adalah berita-berita seputar demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM yang dimuat oleh harian Waspada dan harian Analisa selama bulan Mei sampai Juni 2008. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini, peneliti mencari isu-isu yang dimuat pada berita di kedua harian tersebut dan isu yang tidak dimuat di satu harian namun dimuat di harian lainnya. Lalu berita-berita tersebut dianalisis dengan perangkat frame yang telah ditentukan. Berdasarkan 2 jenis isu tersebut, berita yang diteliti di harian Waspada berjumlah 21 berita, sedangkan di harian Analisa diteliti sebanyak 14 berita. Adapun isu yang dipilih peneliti adalah: Demo BBM rusuh, Insiden Unas, dan Respon Pemerintah, Polisi terhadap Demo.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan wartawan harian Waspada dan Analisa. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pembingkaian wartawan dan redaksi kedua harian tersebut terhadap berita demonstrasi mahasiswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harian Waspada dan Analisa melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pengkonstruksian tersendiri atas berita demonstrasi mahasiswa yang ada. Konstruksi harian Waspada menunjukkan penonjolan pada isu kerusuhan dan anarkisme demo sedangkan harian Analisa menonjolkan isu respon pemerintah, polisi terhadap demo. Perbedaan pandangan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga ditunjukkan di mana harian Waspada menganggap kebijakan tersebut belum tepat, sebaliknya harian Analisa menganggapnya sudah tepat.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Media massa merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi manusia. Media massa merupakan alat bantu bagi masyarakat untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan gejala-gejala sosial/ kebutuhan-kebutuhan sosial. Di jaman teknologi modern seperti sekarang ini, manusia pun mampu menciptakan alat-alat modern yang memudahkan mereka untuk mendapatkan informasi. Misalnya internet, televisi (baik yang berbayar ataupun tidak), radio, dan lain-lain. Melalui media, manusia mampu berinteraksi atau berhubungan dengan orang di belahan dunia lain. Media juga dianggap penting dalam semua sistem masyarakat karena dianggap mampu memberi/ menciptakan second reality. Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, media sering ditempatkan sebagai salah satu variabel determinan. Bahkan , media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial dan politik. Dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Hanya mereka yang mempunyai akses kepada informasi yang bakal menguasai percaturan kekuasaan (Sobur, 2004: 31).

Bagi sebagian orang media mungkin dianggap sebagai wadah untuk menampung aspirasi rakyat (demokrasi). Sebagian orang lain menganggap media massa tidak pernah lebih banyak memberikan kebenaran/ kenyataan apa adanya.


(15)

Media massa tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, memahami kebenarannya dan memberitakannya kepada publik. Ia mendahului semua itu. Ia menciptakan peristiwa. Menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Tidak selalu untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu secara setia dan terkontrol (Sobur, 2004: 33).

Ada juga orang-orang yang menganggap media sebagai kekuatan keempat dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik sebuah Negara (the fourth estate). Sebagai alat untuk menyampaikan berita dan informasi tentang berbagai hal, media mampu membentuk opini publik dalam menyikapi suatu peristiwa. Abrar menyatakan, sebagai sponsor opini khalayak, pers (media) perlu berperilaku fair (jujur) dan modesty (rendah hati). Perilaku fair akan menjamin berita objektif, akurat dan berpihak pada kebenaran. Sedangkan perilaku modesty akan menjamin lahirnya berita yang cermat dan tidak emosional (Abrar, 1997: 8). Namun hal penting yang patut diketahui adalah media (wartawan) tidak pernah bisa membuat pemberitaan yang netral dan seobjektif mungkin. Hal ini disebabkan karena ada kepentingan-kepentingan lain (misalnya kepentingan media, pemilik media, atau wartawan sendiri) yang terdapat dalam sebuah pemberitaan media massa.

Akhir-akhir ini media massa sedang ramai mengangkat pemberitaan tentang kenaikan harga BBM. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat penting sehingga saat isu kenaikan BBM muncul, kebijakan tersebut menuai banyak penolakan. Penolakan ini muncul terutama dari kalangan masyarakat menegah ke bawah, alasannya adalah di samping kenaikan BBM yang dirasa semakin memberatkan masyarakat, kenaikan BBM juga mampu


(16)

memicu naiknya harga kebutuhan-kebutuhan lain seperti sembako, tarif angkutan, dan lain-lain.

Pemerintah sendiri menilai kebijakan untuk menaikkan harga BBM memang harus dilakukan akibat tingginya harga minyak dunia. Presiden dalam pidatonya pernah menyebutkan agar rakyat memahami bila pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM. Dan walaupun terjadi berbagai aksi penolakan, akhirnya pada tanggal 23 Mei 2008 harga BBM resmi naik sebanyak 28,7 %.

Pemerintah mengakui naiknya harga BBM sangat berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat, khususnya yang menengah ke bawah. Oleh karena itu pemerintah telah mempersiapkan kompensasi yaitu memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebanyak Rp. 100.000,- per bulan bagi masyarakat miskin. Namun, banyak pihak menganggap BLT bukanlah jalan keluar bagi masyarakat. Bercermin dari kebijakan pemberian BLT setelah naiknya BBM tahun 2005, pemberian dana BLT tidak merata bagi seluruh masyarakat miskin, bahkan jadwal pemberian BLT tidak tepat pada waktunya. Keadaan tersebut memunculkan anggapan bahwa BLT tidak efektif dalam meringankan beban masyarakat miskin. Sebaliknya dikhawatirkan jumlah masyarakat miskin semakin meningkat.

Berbagai lapisan masyarakat mulai dari LSM, mahasiswa, buruh. ibu-ibu, tukang becak, dan supir angkutan umum berunjuk rasa menolak naiknya harga BBM. Tidak hanya sebelum harga BBM dinyatakan naik, pasca kebijakan tersebut aksi protes pun tetap terjadi di mana-mana. Aksi protes tersebut ditunjukkan dalam berbagai hal seperti demonstrasi , aksi teatrikal, aksi tutup


(17)

mulut, mogok makan, dan lain-lain. Berbagai upaya dilakukan dengan harapan pemerintah mau “melihat ke bawah” dan mengubah kebijakannya. Salah satu elemen masyarakat yang menonjol dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM adalah mahasiswa. Mahasiswa secara bergantian berunjuk rasa menolak kebijakan tersebut. Salah satu situs internet membuat pernyataan bahwa bagi mahasiswa, pemberian BLT bagi masyarakat miskin dianggap sebagai cara untuk membungkam gejolak di masyarakat terkait dengan kenaikan harga BBM. Namun, tidak semua aksi protes terhadap kenaikan harga BBM berlangsung aman dan damai. Bahkan banyak yang berakhir ricuh, bentrok dengan petugas keamanan, dan mengakibatkan jatuhnya korban.

Kerusuhan serta bentrok antara mahasiswa Universitas Nasional dan aparat polisi mengawali hari pertama dikeluarkannya kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Mahasiswa memprotes kebijakan tersebut dengan berunjuk rasa sejak malam di kampus Unas. Unjuk rasa berakhir ricuh di mana terjadi tindakan-tindakan anarkis: melempari bom Molotov, botol, dan batu. Aksi mahasiswa tersebut dibalas polisi dengan menyerang mahasiswa sampai ke kampus Unas. Polisi juga melakukan tindakan anarkis dengan melakukan pemukulan, penangkapan terhadap mahasiswa, dan pengrusakan fasilitas kampus.

Demonstrasi mahasiswa terus berlangsung di beberapa tempat di Indonesia dan tidak sedikit yang berakhir ricuh. Aksi bakar ban, lempar batu dengan pihak aparat pun mewarnai demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM.

Terkait dengan tingginya tingkat keseringan demonstrasi mahasiswa yang berakhir ricuh, muncul berbagai pendapat, penilaian terhadap aksi mahasiswa. Ada anggapan bahwa demonstrasi mahasiswa telah kehilangan tujuannya, demo


(18)

mengakibatkan kemacetan lalu-lintas dan berujung kekerasan. Anarkisme yang dilakukan mahasiswa dalam berbagai aksi unjuk rasa dinilai kontra produktif. Aksi anarkis bisa menghilangkan dukungan masyarakat yang merupakan modal utama mencapai tujuan demonstrasi (http://hariansib.com/2008/05/29/mahasiswa-aniaya-polisi-di-kampus-moestopo/). Mantan Ketua Umum PB Himpunan mahasiswa Islam periode 2003-2005, Hasanuddin menghimbau semua eksponen mahasiswa semua sikap kritis yang sebagaimana terekspresi antara lain dalam demonstrasi mulai berlangsung secara santun dan tidak merugikan rakyat yang dibelanya. Menurutnya, aksi demonstrasi sudah memakan banyak korban sehingga mahasiswa harus mengukur lagi efektivitas penyampaian aspirasi dengan cara-cara kekerasan (http://beritasore.com/2008/25/08/alumni-hmi-seyogianya-aksi-demonstrasi-mahasiswa-berlangsung-santun/).

Dukungan terhadap aksi mahasiswa juga bermunculan. Beberapa pihak berpendapat bahwa demostrasi yang dilakukan adalah untuk membela hak rakyat khususnya rakyat miskin. Ada juga yang menyatakan mahasiswa pada awalnya tidak berniat untuk melakukan aksi anarkis dalam kegiatan unjuk rasa. Ada anggapan bahwa kemungkinan ricuh dalam aksi demonstrasi mahasiswa terjadi karena ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu lewat demonstrasi tersebut, dan akibatnya citra demonstrasi mahasiswa menjadi buruk.

Banyak ungkapan yang muncul tentang aksi demonstrasi mahasiswa. Media massa (pers) dalam setiap pemberitaannya pun dapat menimbulkan citra-citra tersendiri bagi pihak yang diberitakan, seperti mahasiswa. Media memang dituntut untuk membuat berita yang real yaitu fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Namun ada kepentingan-kepentingan lain yang pada akhirnya membuat


(19)

realitas media berbeda dengan realitas sesungguhnya. Ada fakta-fakta yang diangkat menjadi berita ada juga yang tidak. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya, siapa narasumber yang ditanyai, isu-isu apa yang dominan diangkat dari suatu peristiwa, posisi berita dalam surat kabar, dan lain-lain.

Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita (Eriyanto, 2002: 91). Peristiwa-peristiwa yang kompleks, tidak beraturan diolah sedemikian rupa dan dibuat supaya beraturan dan bermakna lewat skema interpretatif wartawan. Wartawan berusaha mengembangkan beritanya sehingga peristiwa yang tidak menarik sekalipun menjadi menarik dan bermakna.

Setiap media memiliki ideologi masing-masing dalam memaknai dan memahami suatu peristiwa. Harian Waspada dan Analisa, seperti halnya media lain, juga memiliki perspektif sendiri dalam menulis berita. Perbedaan segmen pembaca dan “kuat” di segmen berita (misalnya: politik, ekonomi, dan lain-lain) mampu membuat media mengarahkan suatu peristiwa sesuai dengan segmen tersebut. Dengan perbedaan ideologi, 1 (satu) fakta yang sama dapat diberitakan secara berbeda oleh media yang berbeda, misalnya peristiwa demonstrasi mahasiswa karena naiknya harga BBM.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana harian Waspada dan harian Analisa mengemas peristiwa demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM menjadi berita yang akhirnya menurut media tersebut layak untuk dikonsumsi khalayak.


(20)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

“Bagaimanakah aksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM dikonstruksi oleh harian Waspada dan harian Analisa?”.

I.3. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari permasalahan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Penelitian terbatas hanya dilakukan terhadap harian Waspada dan harian Analisa edisi 1 Mei 2008-30 Juni 2008,

2. Berita-berita yang diteliti terbatas pada berita tentang aksi mahasiswa terkait penolakan terhadap kebijakan naiknya harga BBM,

3. Penelitian ini bersifat kualitatif/ konstruktivis,

4. Penelitian menggunakan analisis framing dengan menggunakan model analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perspektif atau ideologi media Waspada dan Analisa dalam menulis berita demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM.


(21)

2. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa mengemas pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM.

3. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa mengonstruksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM.

I.4.2. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya kajian-kajian tentang analisis framing,

2.Secara teoritis, peneliti dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan menambah wawasan peneliti mengenai konstruksi media terhadap suatu berita, 3.Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pembaca surat kabar dan media Waspada serta media Analisa.

I.5. Kerangka Teori

Setiap metode ataupun pendekatan selalu didasari oleh pemikiran-pemikiran ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Salah satu fungsi utama teori ialah memberikan fondasi dalam berpikir ilmiah (Sarwono, 2006: 197).


(22)

I.5.1. Analisis Framing

Framing adalah metode penyajian realitas di mana kebenaran suatu

realitas tidak diingkari secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001: 186).

Gagasan mengenai framing pada awalnya dikemukakan oleh Baterson tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Tahun 1974, Goffman mengembangkan konsep frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Seperti layaknya kalau kita melihat lewat jendela, seringkali batasan pandangan menghalangi kita untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Melalui berita, kita mengetahui apa yang terjadi di daerah manapun di dunia. Melalui media, kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik di Jakarta, kehidupannya, kegiatannya. Tetapi apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita rasakan mngenai dunia itu tergantung pada jendela apa yang kita pakai. Pandangan lewat jendela itu, tergantung pada apakah jendela yang kita pakai besar atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara jendela yang kecil membatasi pandangan kita. Apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu dapat dibuka lebar ataukah hanya dapat dibuka setengahnya. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas ke luar atau


(23)

kah kita hanya bisa mengintip dari balik jerujinya. Yang paling penting, apakah jendela itu terletak dalam rumah yang punya posisi tinggi ataukah dalam rumah yang terhalang oleh rumah lain. Dalam berita, jendela itu yang kita sebut sebagai frame atau bingkai (Eriyanto, 2004: 4).

Pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Imawan, dalam Sobur, 2004: 162).

Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana, adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks. Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)

I.5.2 Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks,


(24)

media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252).

Menurut Pan dan Kosicki ada 2 dari konsepsi framing yang saling berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan kosepsi sosiologis (social). Bagaimana kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Dalam mengkonstruksi suatu realitas wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam dirinya semata. Namun proses konstruksi juga melibatkan nilai-nilai sosial yang melekat dalam diri wartawan, khalayak yang akan membaca berita, dan ditentukan juga oleh proses produksi yang melibatkan standard kerja, profesi jurnalistik, dan standard profesional dari wartawan.

Dengan cara apa wartawan atau media menonjolkan pemaknaan atau penafsiran mereka atas suatu peristiwa? Wartawan memakai secara strategis kata, kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca (Eriyanto, 2004: 254). Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide.


(25)

I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas

Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Astrid S. Susanto Sunario berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian yang dianggap penting (Sunario, 1993: 159). Mitchell V. Charnley mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang (Kusumaningrat, 2005: 39). Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan (Assegaf, dalam Sumadiria, 2005: 64-65).

Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita. Beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah (Santana, 2005: 18-20):

1. Immediacy, kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu amat penting di sini.

2. Proximity, adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa

dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan sehari-harinya.


(26)

3. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri, kenaikan harga BBM, masyarakat dengan segera akan mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi.

4. Conflict, perseteruan antarindividu, antartim atau antarnegara

merupakan elemen-elemen natural dari berbagai berita-berita yang mengandung konflik.

5. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi (unussualness) ialah sesuatu yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat.

6. Seks, kerap seks menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Segala hal yang berhubungan dengan seks pasti menarik dan menjadi sumber berita.

7. Emotion, sering disebut elemen human interest. Elemen ini

menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau tragedi.

8. Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar intilah

“names make news” (nama membuat berita). Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang terkenal (public figure, pejabat, pembuat kebijakan, dan lain-lain) akan dibuu berita.

9. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu

terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berta yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Kejelasan fakta tetap dituntut oleh masyarakat.


(27)

Dalam ilmu komunikasi sebagai payung dunia jurnalisme, sebenarnya ada dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama, berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu proses manajemen produksi institusi media setak surat kabar ataupun majalah. Kedua, berita sebagai hasil rekonstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna (Birowo, 2004: 168-169).

Ahli sosiologi, Gaye Tuchman dalam bukunya Making News, menyatakan bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial. Tindakan membuat berita, kata Tuchman adalah tindakan mengkonstruksi realita itu sendiri, bukan penggambaran realita. Dia menekankan bahwa berita adalah sekutu bagi lembaga-lembaga yang berlegitimiasi dan bahwa berita juga melegitimasi status quo (Severin, 2007: 400).

Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka dapat dibuat skema yang dapat menjelaskan kerangka teori (Theorytical Framework) sebagai berikut:


(28)

Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)

I.6. Kerangka Konsep

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun, 1995: 17). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995: 40). Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Analisis Framing Model Pan dan Kosicki

Informasi

Proses Produksi Berita oleh Media

Pola Konstruksi Realitas

Teks Berita Konstruktivis


(29)

STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK

Cara wartawan menulis fakta.

RETORIS Cara wartawan menekankan fakta

UNIT YANG DIAMATI

Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup

5W + 1H

Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, idiom, gambar/foto, grafik PERANGKAT FRAMING

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki


(30)

I.7. Definisi Konsep 1. Sintaksis

Dalam pengertian umum, sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan bagan berita-headline, lead, latar informasi, sumber, penutup- dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan.

Unit yang diamati dari struktur sintaksis adalah:

a. Headline

Berita yang menjadi topik utama media. b. Lead

Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita. c. Latar informasi

Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

d. Kutipan sumber berita

Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak memihak. Ia juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata, melainkan pendapat orang yang mempunyai otoritas tertentu.


(31)

Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai menyimpang.

e. Pernyataan

Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita. f. Penutup

Bagian akhir berita. 2. Skrip

Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita.

Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita, yaitu:

a. Who (siapa), siapa yang terlibat

b. What (apa), apa peristiwa yang diberitakan c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa d. Where (dimana), lokasi peristiwa

e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi


(32)

3. Tematik

Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

Tematik memiliki perangkat framing: a. Detail

Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan)

b. Koherensi

Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau sebab-akibat.

c. Bentuk kalimat

Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada, berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat deduktif atau kalimat induktif.


(33)

d. Kata ganti

Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya : aku, dia., mereka, itu, dan lain-lain.

4. Retoris

Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin di tonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca.

Retoris memiliki perangkat framing sebagai berikut: a. Leksikon

Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa.

b. Grafis

Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar, termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.

c. Metafora


(34)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Paradigma Konstruksionis

Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konsruksi sosial atas realitas. Tesis utama dar Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya.

Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa (Eriyanto, 2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.


(35)

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan mengahadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi ─kebudayaan─ itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa


(36)

mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural, komstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004: 15).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis/ paradigma transmisi (Eriyanto, 2004: 37).

Kalau asumsi trasmisi melihat komunikasi sebagai proses penyebaran (pengiriman dan penerimaan pesan), maka paradigma konstruksionis melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial di mana mereka berada (Eriyanto, 2004: 40).

Pendekatan konstruksionis memusatkan perhatian kepada bagaimana seseorang membuat gambaran mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas, konstruksi melalui mana realitas politik dibentuk dan dibuahi. Semua individu,


(37)

lembaga atau kelompok mempunyai peran yang sama dalam menafsirkan dan mengkostruksi peristiwa politik (Eriyanto dalam Bungin, 2003: 155).

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004: 40-41).

Dalam konteks berita, sebuah teks tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan pemaknaan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam


(38)

arti yang riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta (Eriyanto, 2004: 17).

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu per satu di bawah ini.

Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif., karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dari pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/ realitas pada dasarnya dikonstruksi.

Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas bergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda (Eriyanto, 2004: 20-21).

Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.


(39)

Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan seolah-olah media sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kalau ada demonstrasi mahasiswa selalu diberitakan dengan anarkime, itu bukan menunjukkan realitas sebenarnya, tetapi juga menggambarkan bagaimana media ikut berperan dalam mengkonstruksikan realitas. Apa yang tersaji dalam berita, dan kita baca tiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2004: 23).

Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita itu ibaratnya sebagai drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda

Berita bersifat subjektif/ konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai subjektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standard yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk


(40)

dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Berita bersifat subjektif dan opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standard tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas suatu realitas (Eriyanto, 2004: 27).

Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya; karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topik apa yang diangkat dan siapa yang diwawancarai disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian dari pilihan profesioanal individu. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan juga dipandang sebagai aktor/ agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka.

Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, dalam berada di luar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di luar” yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan.


(41)

Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan (Eriyanto, 2004: 28-30).

Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Dalam pendekatan konstruksionis, aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang memilih apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai- tertentu ─ umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu ─ adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksikan realitas. Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati (Eriyanto, 2004: 32).

Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakan peneliti mejadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses penelitian. Peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti


(42)

yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula (Eriyanto, 2004: 33-34).

Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Dalam pandangan konstruksionis khalayak dipandang bukanlah subjek yang pasif. Ia adalah subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi (Eriyanto, 2004: 35).

II.2. Analisis Framing

Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sudibyo, 2001: 219).

G. J. Aditjondro dalam sudibyo (2001: 222) menyatakan bahwa framing adalah metode penyajian realitas di mana kebenaran suatu realitas tidak diingkari


(43)

secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001: 186).

Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana. Framing secara umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi lebih

noticeable, meaningfull, dan memorable bagi khalayak. Framing juga dapat

dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga elemen isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dalam kognisi individu, sehingga lebih besar pula kemungkinannya untuk mempengaruhi pertimbangan individu (individual judgment). Proses framing lebih dari sekedar proses rekonstruksi dan interpretasi realitas. Dalam pandangan Charlotte Ryan, framing pada dasarnya adalah proses perekayasaan peristiwa, serta proses menandai apa yang signifikan dari peristiwa –sehari-hari (Sudibyo, 2001: 221).

Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana realitas/ dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-perisiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas. Menurut Gitlin, frame media pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan frame dalam pengertian sehari-


(44)

hari yang sering kali kita lakukan. Setiap hari jurnalis berhadapan dengan beragam peristiwa dengan berbagai pandangan dan kompleksitasnya. Lewat frame, jurnalis mengemas peristiwa yang kompleks itu menjadi peristiwa yang dapat dipahami, dengan perspektif tertentu dan lebih menarik perhatian khalayak. Frame media dengan demikian adalah bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi), penafsiran, dan penyajian, dari seleksi, penekanan, dan pengucilan dengan menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana yang terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak (Eriyanto, 2004: 68-69).

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/ realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas ang tidak diberitakan ? penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bias jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.


(45)

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di

headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk

mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004: 69-70).

Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi. Namun, secara umum teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi.

Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas yang begitu kompleks dan penuh dimensi, ketika dimuat dalam berita bisa jadi akan menjadi realitas satu dimensi. Perbedaan muncul karena realitas pada dasarnya bukan ditangkap dan ditulis, realitas sebaliknya dikonstruksi. Dalam proses konstruksi


(46)

tersebut ada banyak penafsiran dan pemaknaan yang berbeda-beda dalam memahami realitas. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas/ peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita yang secara radikal berbeda.

Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi, dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana beraturan dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka. Teori framing menunjukkan bagaimana jurnalis membuat simplifikasi, prioritas, dan struktur tertentu dari peristiwa. Karenanya framing menyediakan kunci bagaimana peristiwa dipahami oleh media dan ditafsirkan ke dalam bentuk berita. Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu maka realitas setelah dilihat khalayak adalah realitas yang sudah terbentuk oleh bingkai media. Di sini media cenderung melihat realitas sebagai sesuatu yang sederhana. Misalnya, liputan terorisme yang kompleks disederhanakan sebagai tindakan tidak bermoral. Konflik etnis, rasial, diberitakan semata sebagai konflik atau kerusuhan (Eriyanto, 2004: 140).

Ada beberapa hal yang menjadi ciri suatu frame antara lain, menonjolkan aspek tertentu-mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan mnonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan sering disebut sebagai


(47)

fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari perspektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Menampilkan sisi tertentu-melupakan sisi lain. Sebut misalnya pemberitaan media mengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya, banyak menampilkan bagaimana demonstrasi akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekad menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan menampilkan sisi seperti ini dalam berita, ada sisi lain yang dilupakan. Yakni, apa tuntutan dari mahasiswa tersebut? Seolah dengan menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan saja di tengah masyarakat. Berita misalnya, ditandai dengan gerutuan sopir angkutan yang tidak suka dengan demonstrasi karena menyebabkan kemacetan, dan sebagainya. Di sini, menampilkan aspek terterntu menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami relaitas tidak mendapatkan liputan yang memadai dalam berita.

Menampilkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lainnya. Berita sering kali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjadi tersembunyi (Eriyanto, 2004: 141-142).


(48)

Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana, adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks. Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)

II.2. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks, media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252).

Pan dan Kosicki menilai, sebagai suatu metode analisis isi, analisis

framing agak berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam analisis isi

kuantitatif. Pertama, analisis isi tradisional melihat teks berita sebagai hasil stimuli psikologis yang objektif, dan karenanya maknanya dapat diidentifikasi dengan ukuranyang objektif pula. Sebaliknya dalam analisis framing, teks berita dilihat terdiri dari berbagai simbol yang disusun lewat perangkat simbolik yang dipakai yang akan dikonstruksi dalam memori khalayak. Dengan kata lain, tidak ada pesan atau stimuli yang bersifat objektif, sebaliknya teks berita dilihat sebagai seperangkat kode yang membutuhkan interpretasi. Makna karenanya, tidak


(49)

dimaknai sebagai sesuatu yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan ukuran yang objektif, sebaliknya, ia hasil dari proses konstruksi, dan penafsiran khalayak. Kedua, analisis framing tidak melihat teks berita sebagai suatu pesan yang hadir begitu saja seperti diandaikan dalam analisis isi tradisional. Sebaliknya, teks berita dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk lewat struktur dan formasi tertentu, melibatkan proses produksi dan konsumsi atas suau teks. Ketiga, validitas dari analisis framing tidaklah diukur dari objektivitas dari pembacaan peneliti atas teks berita. Tetapi lebih dilihat dari bagaimana teks menyimpan kode-kode yang dapat ditafsirkan dengan jalan tertentu oleh peneliti. Ini mengandaikan tidak ada ukuran yang valid, karena tergantung pada bagaimana seseorang menafsirkan pesan dari teks berita tersebut (catatan kaki dalam Eriyanto, 2004: 251-252).

Menurut Pan dan Kosicki, ada dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing di sini dilihat sebagai penempatan informasi dalam suatu konteks yang unik/ khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu dengan penempatan lebih menonjol dalam kognisi seseorang. Elemen-elemen yang diseleksi dari suatu isu/ peristiwa tersebut menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan dalam membuat keputusan tentang suatu realitas. Kedua, konsepsi sosiologis. Kalau pandangan psikologis lebih melihat pada proses internal seseorang, bagaimana individu secara kognitif menafsirkan suatu peristiwa dalam cara pandang tertentu, maka pandangan sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas. Frame di sini dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman


(50)

sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Frame di sini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat dimengerti karena sudah dilabeli dengan label tertentu (Eriyanto, 2004: 252-253).

Proses framing bagi Pan dan Kosicki berkaitan dengan strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam hubungannya dengan rutinitas dan konvensi profesional jurnalistik (Sudibyo, 2001: 187). Dengan cara apa wartawan atau media menonjolkan pemaknaan atau penafsiran mereka atas suatu peristiwa? Wartawan memakai secara strategis kata, kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca (Eriyanto, 2004: 254).

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melalui tulisan mereka “Framing Analysis: An Approach to News Discourse” mengoperasionalkan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita −kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu− ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks (Sobur, 2004: 175).

Dalam pendekatan ini, perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis; kedua, struktur skrip; ketiga, struktur tematik;


(51)

keempat, struktur retoris. Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media. Ia dapat diamati dari bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk umum berita, cara wartawan mengisahkan peristiwa, kalimat yang dipakai, dan pilihan kata atau idiom yang dipilih. Ketika menulis berita dan menekankan makna atas peristiwa, wartawan akan memaknai semua strategi wacana itu untuk meyakinkan khalayak pembaca bahwa berita yang dia tulis itu adalah benar (Eriyanto, 2004: 256).


(52)

(53)

II.3. Berita dan Konstruksi Realitas

Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Astrid S. Susanto Sunario berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian yang dianggap penting (Sunario, 1993: 159). Mitchell V. Charnley mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang (Kusumaningrat, 2005: 39). Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan (Assegaf, dalam Sumadiria, 2005: 64-65).

Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita. Beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah (Santana, 2005: 18-20):

1. Immediacy, kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu amat penting di sini.

2. Proximity, adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa

dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan sehari-harinya.


(54)

3. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri, kenaikan harga BBM, masyarakat dengan segera akan mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi.

4. Conflict, perseteruan antarindividu, antartim atau antarnegara

merupakan elemen-elemen natural dari berbagai berita-berita yang mengandung konflik.

5. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi (unussualness) ialah sesuatu yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat.

6. Seks, kerap seks menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Segala hal yang berhubungan dengan seks pasti menarik dan menjadi sumber berita.

7. Emotion, sering disebut elemen human interest. Elemen ini

menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau tragedi.

8. Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar intilah

“names make news” (nama membuat berita). Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang terkenal (public figure, pejabat, pembuat kebijakan, dan lain-lain) akan dibuu berita.

9. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu

terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berta yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Kejelasan fakta tetap dituntut oleh masyarakat.


(55)

Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Peristiwa di sini adalah realitas atau fakta yang diliput oleh wartawan dan pada gilirannya akan dilaporkan secara terbuka melalui media massa. Dengan demikian, dapat pula dikatakan secara sederhana, bahwa dalam suatu proses jurnalisme, upaya menceritakan kembali suasana atau keadaan, orang, dan benda, bahkan pendapat yang terdapat dalam sebuah peristiwa merupakan upaya untuk merekonstruksikan realitas. Karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional media massa, seperti wartawan, editor, redaktur, redaktur, redaktur pelaksana, dan juga pemimpin redaksi adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh isi surat kabar atau majalah merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Laporan-laporan jurnalistik yang ada di media pada dasarnya tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk “cerita”. Berita merupakan realitas yang telah direkonstruksi (Birowo, 2004: 168).

Menurut Fishman, ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi berita dilihat. Pandangan pertama sering disebut sebagai pandangan seleksi berita (selectivity of news). Dalam bentuknya yang umum pandangan ini seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak. Setelah berita itu masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang perlu ditambah. Pandangan ini mengandaikan seolah-olah ada realitas yang benar-benar riil yang ada di luar diri wartawan. Realitas yang riil itulah yang akan diseleksi oleh wartawan untuk kemudian dibentuk dalam sebuah berita.


(56)

Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita (creation of news). Dalam perspektif ini, peristiwa itu bukan diseleksi melainkan sebalikbya, dibentuk. Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita dan mana yang tidak. Peristiwa dan realitas bukanlah diseleksi, melainkan dikreasi oleh wartawan. Dalam perspektif ini, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana wartawan membuat berita. Titik perhatian terutama difokuskan dalam rutinitas dan nilai-nilai kerja wartawan yang memproduksi berita tertentu. Ketika bekerja, wartawan bertemu dengan seseorang. Wartawan bukanlah perekam yang pasif yang mencatat apa yang terjadi dan apa yang dikatakan seseorang. Melainkan sebaliknya, ia aktif. Wartawan berinteraksi dengan dunia (realitas) dan dengan orang yang diwawancarai, dan dengan sedikit banyak menentukan bagaimana bentuk dan isi berita yang dihasilkan. Berita dihasilkan dari pengertahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas yang objektif yang berada di luar, melainkan karena orang akan mengorganisasikan realitas yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan berarti serta mempunyai makna (Eriyanto , 2004: 100-101).

Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasi ada lima factor yang mempengaruhi kebijakan redaksi.

Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media.aspek


(57)

personal tersebut secara hipotetik mempengaruhi skema pemahaman pengelola media. Wartawan yang beragama Islam secara hipotetik lebih berempati dengan kondisi warga Islam di Maluku atau Poso dibandingkan dengan kelompok Kristen. Atau wartawan lokal di Kalimantan Barat akan lebih berermpati dengan warga Dayak (asli) dibandingkan dengan warga pendatang Madura ketika memberitakan konflik etnis di Kalimantan Barat. Selain personalitas, level individu ini juga berhubungan dengan segi profesionalisme dari pengelola media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang punya orientasi politik tertentu akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik yang kebetulan menjadi idolanya.

Kedua, level rutinitas (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media pada umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, ap cirri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebaai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.


(1)

Kutipan Wawancara dengan Wartawan Waspada yang Meliput Demo Mahasiswa terkait Kenaikan Harga BBM

Nama Wartawan : Surya

Hari/ Tanggal : Rabu/ 26 Nopember 2008 Waktu Wawancara : 10.00-10.30 WIB

Keterangan : P = Pewawancara, N = Narasumber

P : Bagaimana proses kerja wartawan dalam meliput aksi mahasiswa?

N : Mulanya kita dapat kabar, misalnya ada kabar demo di DPR jam 9. Nah, sebelum itu kita sudah ada di situ.

P : Berarti tiap berita yang akan diliput tidak selalu dirapatkan dulu dalam proyeksi?

N : Kalau berita yang diproyeksi itu biasanya berita-berita yang terencana, kalau peristiwa yang tiba-tiba seperti demo atau kebakaran kita taunya

juga mendadak jadi langsung meliput ke lokasinya. P: Bagaimana pendapat abang tentang aksi mahasiswa? N : Aksi demo bagus karena membawa suara rakyat miskin.

P : Lalu bagaimana dengan aksi mahasiswa yang berakhir ricuh? Itu kan sudah menyimpang fungsinya?

N : Ya, bisa juga merusak citra mahasiswa karena kalau bentrok pasti ada yang memulainya, ada yang memancing kericuhan. Biasanya itu dua, kalau ga pendemo, pihak keamanannya.

P : Menurut abang pribadi, apakah demo bisa merubah keputusan pemerintah? Misalnya karena demo menolak kenaikan BBM, akhirnya pemerintah tidak jadi menaikkan harga BBM

N : Bisalah! Kalau demo itu besar-besaran, lalu alasan kita kuat, bisa mengubah keputusan pemerintah. Jadi bukan demo yang asal-asalan. P : Menurut abang, apakah keputusan pemerintah menaikkan harga BBM

bulan Mei lalu sudah tepat?


(2)

ada sektor lain yang bisa dinaikkan misalnya pajak-pajak perusahaan. Kalau masalah BBM ini kan langsung mengena ke masyarakat kecil.

P : Apakah wartawan Waspada sendiri bisa memasukkan pendapat pribadinya dalam berita yang ditulis?

N : Kalau pantauan terhadap fakta bisa, tapi kalau sekedar pendapat pribadi ga

bisa.

P : Abang fotografer ya bang?! Dalam meliput aksi-aksi demo, angle-angle

atau moment apa yang abang ambil untuk ditampilkan dalam berita?

N : Selain keramaian demo, abang juga ambil ekspresi pendemo, misalnya teriakan-teriakan mereka, lalu simbol atau spanduk yang menandakan aksi mereka..

P : Lalu bagaimana saat mengambil gambar situasi yang ricuh, misalnya aksi lempar-lemparan batu?

N : Kalau aksi masih dorong-dorongan, biasanya abang dekat dengan mereka ngambil gambarnya, tapi kalau udah lempar-lemparan biasa pake lensa zoom aja

P : Apakah seorang fotografer bisa menulis berita juga, atau hanya mengambil gambar? Dan lalu abang sendiri, apakah abang menulis sendiri berita untuk gambar yang abang ambil?

N : Fotografer yang bagus itu yang bisa menulis berita juga. kalau abang ikut juga nulis, tapi itu ada koordinasi dengan reporternya, kerja sama. Misalnya ga ada reporter abang bisa nulis.

P : Jadi dalam meliput suatu berita itu reporter harus selalu bersama dengan fotografer?

N : Ga selalu bersama, kadang aja misalnya untuk acara-acara besar. Kalau acara lainnya sendiri-sendiri

P : Berita yang diambil dari kantor berita lain, diedit dulu atau diambil bulat-bulat?

N : Harus diedit. Kalau ga diedit, bisa-bisa beritanya sama dengan yang lain. Judul, leadnya bisa diganti tapi isi atau topiknya harus tetap sama, ga boleh diubah.


(3)

P : Misalkan posisi abang sebagai masyarakat biasa, ketika melihat berita demo mahasiswa yang ricuh. Tanggapan abang gimana?

N : Ya itulah, mahasiswa kan masyarakat juga. kalau ada yang memberatkan rakyat dia yang akan meyampaikan pendapat rakyat. Dia harus peka dengan masalah yang dihadapi rakyat. Tapi kalau ricuh ga boleh lah.


(4)

Kutipan Wawancara dengan Wartawan Analisa yang Meliput Demo Mahasiswa terkait Kenaikan Harga BBM

Nama Wartawan : War Djamil Hari/ Tanggal : 27 Nopember 2008 Waktu Wawancara : 10.00-11.00 WIB

Keterangan : P = Pewawancara, N = Narasumber

P : Bagaimana proses kerja wartawan Analisa dalam meliput aksi demo BBM?

N : Ada dua cara. Satu, berita yang sifatnya inisiatif, artinya wartawan yang bertugas di bagian tersebut dengan inisiatif sendiri meliput berita yang di luar itu. Kedua, berita yang diproyeksikan oleh redaksi, wartawan meliput berita seperti poin-poin yang diberikan redaktur untuk diliput. Prosesnya setelah diliput, beritanya dibuat/ ditulis lalu diserahkan ke redaktur untuk diedit, diputuskan dimuat atau harus dilengkapi lagi.

P : Apakah setiap berita yang akan diliput dibicarakan dulu dalam rapat proyeksi?

N : Oh ya. Kalau beritanya tergolong peristiwa besar dan kita dapat informasi lebih awal, itu diproyeksikan dahulu. Tapi kalau ada peristiwa yang tiba-tiba atau mendadak, kita ga bisa proyeksikan tapi kita spontan turun ke lapangan

P : Seperti apa kriteria berita yang laik muat bagi harian Analisa? Apakah kriteria tersebut juga berlaku bagi berita yang diambil dari kantor-kantor berita?

N : Ada beberapa kriteria: aktual , menarik, ada rasa ingin tahu dari masyarakat, bermanfaat, informasi, akurat, dan punya news value (nilai berita). Begitu juga dengan berita yang diambil dari kantor berita. Berita yang diambil dari kantor berita itu juga diedit, dikurangi, tapi tanpa merubah isi.


(5)

P : Apakah wartawan bisa memasukkan analisa/ pendapat pribadinya dalam berita yang ditulis?

N : Tidak bisa! Karena itu namanya sudah opini. Opini wartawan yang menjadi berita, itu harus pakai nama si wartawan dan menjadi tanggung jawab dia. Berbeda dengan kalau tidak ada nama, itu menjadi tanggung jawab korannya. Bedakan lagi dengan pengamatan wartawan, pengamatan atas fakta bisa dimasukkan, dan tetap berdasarkan fakta.

P : Bagaimana pendapat bapak pribadi tentang aksi mahasiswa dan tentang kerusuhan dalam aksi menolak BBM?

N : Demo bisa berdampak positif jika sasarannya juga positif, latar belakang demo, materinya jelas. Bisa juga berdampak negatif kalau sasarannya tidak jelas, latar belakangnya juga tidak jelas.

P : Menurut bapak, apakah keputusan pemerintah menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu sudah tepat?

N : Untuk kenaikan BBM kemarin, media menganggap keputusan itu tepat. Karena kita lihat situasi saat itu, harga minyak dunia sangat mahal, dan Negara tetangga yang lain juga menaikkan harga BBM mereka. Jadi dampak mahalnya minyak dunia itu juga dirasakan Negara yang lain

P : Lalu menurut Bapak, apakah demo mampu mengubah keputusan pemerintah?

N : Tergantung. Bisa saja isi demo menjadi bahan pertimbangan/ masukan bagi eksekutif Negara. Masukan itu bisa ditinjau pemerintah sehingga misalnya harga minyak dinaikkan tapi tidak terlalu mahal, atau bahkan tidak mengabulkan materi demo dengan tetap menaikkan BBM seperti rencana mereka sebelumnya. Dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Saya sendiri yakin pemerintah tdak mungkin membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat. Kalau BBM harus dinaikkan, itu berarti tidak ada cara lain yang lebih tepat.

P : Terkait isu tentang aksi menolak kenaikan BBM ini, Analisa membuat 1 beritanya dengan bentuk feature news, apa alasan membuat seperti itu? padahal kan hampir semua media membuat berita demo ini berbentuk


(6)

N : Itu karena ada nilai yang menarik dari berita itu jadi bisa diolah menjadi karangan khas, walau asalnya dari berita straight. Dengan menulisnya menjadi berita ringan lewat penggunaan kata-katanya, orang akan lebih tertarik membacanya.

P : Bagaimana Bapak memandang aksi mahasiswa yang berakhir ricuh, dan bagaimana image mahasiswa yang ditimbulkan?

N : Mahasiswa adalah warga kampus dan tergolong kalangan intelektual. Pers tetap melihat aksi kalangan kampus sebagai hal yang positif. Kalau ada aksi yang rusuh, yang dianalisis pers adalah kenapa menjadi rusuh? Apakah karena tidak dilayani oleh pemerintah/ rektor? Atau mungkin ada 1-2 orang mahasiswa yang bandal, yang membuat rusuh sehingga mengganggu/ mencemari sasaran awal aksi. Namun pers tidak pernah memandang aksi sebagai hal negatif.


Dokumen yang terkait

Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Di Kota Medan (Studi Deskriptif Tentang Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Pada Surat Kabar Harian Analisa Dan Harian Waspada)

19 150 104

Objektivitas Pemberitaan Media Cetak (Studi Analisis Isi Objektivitas Pemberitaan Kandidat Calon Walikota dan Wakil Walikota pada Pilkada Kota Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Waspada)

2 55 178

Persepsi Mahasiswa FISIP USU terhadap Berita Politik di Harian Analisa Medan (Studi Deskriptif mengenai Pemberitaan atas Perilaku dan Sikap Anggota Pansus Century Selaku Anggota DPR –RI Pada Harian Analisa)

0 64 102

Proyeksi Dalam Teks Berita Dan Tajuk Rencana Dalam Harian Waspada

1 36 116

KEBIJAKAN PEMBERITAAN TENTANG KENAIKKAN HARGA BBM Analisis Framing Pada Headline Berita Harian Kompas dan Jawa Pos Edisi 28 September - 1 Oktober 2005

0 7 2

Analisis Framing Pemberitaan Perjalanan Koalisi Gerindra Dengan Ppp Pada Pilpres 2014 Di Harian Kompas

0 23 143

ANALISIS CAMPUR KODE PADA JUDUL BERITA DI HARIAN ANALISIS CAMPUR KODE PADA JUDUL BERITA DI HARIAN KEDAULATAN RAKYAT.

0 0 14

Analisa tema dan arah opini Berita Tajuk Rencana pada Harian Kompas(studi Analisa tema dan arah opini Berita Tajuk Rencana pada Harian Kompas Periode Pebruari - April 2008).

0 1 9

Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Di Kota Medan (Studi Deskriptif Tentang Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Pada Surat Kabar Harian Analisa Dan Harian Waspada)

0 0 10

Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Di Kota Medan (Studi Deskriptif Tentang Peralihan Media Cetak Menjadi Media Online Pada Surat Kabar Harian Analisa Dan Harian Waspada)

0 1 15