Sosiologi Sastra Resepsi Sastra

merangsang membaca, mengembangkan daya imajinasi, dan mengembangkan rasa keindahan, sedangakan hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada komik, maka komik pun dapat dikategorikan sebagai salah satu genre sastra anak. Selain itu, di samping untuk menyajikan cerita, komik juga mampu untuk mengekspresikan berbagai gagasan, pemikiran atau maksud-maksud tertentu sebagai mana halnya dengan karya sastra. Gagasan yang di ungkapkan juga dapat bervariasi: cerita fiksi, cerita binatang, cerita faktual dan historis, biografi, dan ide-ide faktual untuk menyindir atau menempilkan cerita lucu. Kesemua itu dikemas dalam gambar- gambar yang berisi tulisan tangan singkat yang ditampilkan secara menarik. Jadi, menikmati komik berarti menikmati gambar dan sekaligus cerita verbal dan keduanya bersifat saling menguatkan dan melengkapi.

2.3.3 Sosiologi Sastra

Kajian sosiologi sastra dilatarbelakangi oleh fakta bahwa, keberadaan karya sastra tidak terlepas dari realita sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sesuai dengan pendapat Sapardi Djoko Damono 1979: 38, bahwa karya tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra dan masyarakat. Sebagai salah satu kajian dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra dengan menilai sastra dari segi kemasyarakatan. Sejalan dengan itu pandangan Swingewood dalam Sapardi Djoko Damono 2002:11 bahwa dalam melakukan sosiologi terhadap karya sastra, kritikus Universitas Sumatera Utara harus berhati-hati mengartikan “slogan” sastra cerminan masyarakat. Selanjutnya slogan itu merupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Selanjutnya Wellek dan Warren 1993: 111 juga membuat tiga tipe dalam pendekatan sosiologi sastra, yaitu : 1. Sosiologi pengarang, yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang. 2. Sosiologi karya sastra, yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. 3. Sosiologi sastra, yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Teori ini ditekankan pada tipe kedua yaitu sosiologi karya, karena teori ini mendukung bagaimana nilai moral yang ada dalam komik Naruto dan yang ada dalam sebuah karya sastra.

2.3.4 Resepsi Sastra

Resepsi sastra berasal dari kata rezeptionnaesthetik yang sejajar sebagai penerimaan estetik. Istilah itu pada mulanya digunakan oleh Franco Maregalli pada tahun 1980. Mana Sikana 2009:304 mengatakan, “Teori resepsi bermakna pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggung terhadap bacaannya.” Artinya teori ini berhubungan dengan cara dan teknik membaca, melihat tanggapan pembaca, dan Universitas Sumatera Utara reaksi pembaca yang pada akhirnya pembaca dapat memahami makna dari bacaannya. Dalam teori respon pembaca atau resepsi ini, Mana Sikana 2009:312 merumuskan beberapa faktor penerimaan tentang teori resepsi yang bisa diterima oleh masyarakat pembaca, seperti : 1 faktor intelektual, 2 faktor perasaan atau emosi, dan 3 faktor gender. Dalam hubungannya dengan hakekat karya dan hakekat pembaca memerlukan adanya suatu cara penerimaan tertentu. Umar Junus 1985:115 membuat dua klasifikasi pembaca yaitu : 1 Pembaca biasa dan 2 Pembaca ideal. Sejalan dengan hal di atas, Iser dalam Umar Junus 1985:36 membuat tiga langkah bagaimana hubungan teks dan pembaca, yaitu : 1. Sketsa tentang kelainan suatu teks yang membedakannya dengan teks-teks sebelumnya; 2. Pengenalan dan penganalisaan kesan dasar dari suatu teks; 3. Pembaca memiliki kekuasaan sendiri dalam menafsirkan sendiri apa yang dibacanya lewat teks. Teori Iser ini peneliti jadikan untuk dapat mengetahui hasil resepsi pembaca anak Indonesia. Universitas Sumatera Utara BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian terhadap komik Naruto Karya Mashashi Khisimoto akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. “Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.” Ratna, 2004 : 47. Dalam metode ini dikenal dua strategi analisis, yaitu model strategi deskriptif dan model strategi verifikatif kualitatif Bungin, 2003 : 83. Kedua model analisis ini dapat dilakukan secara bersama-sama ataupun terpisah. Model kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini akan disejajarkan dengan metode hermeneutika, yakni dengan cara menafsirkan atau menginterpretasikan teks sastra. Hasil penafsiran tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu metode dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis. Sejalan dengan pendapat diatas Moleong 1994 : 5 mengatakan bahwa metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden. Dalam arti metode ini menggunakan cara-cara yang disajikan 36 Universitas Sumatera Utara dalam bentuk deskripsi dan dibatasi oleh fakta-fakta sosial serta gejala sosial yang relevan. Selanjutnya Muhadjir 2002 : 120-121 mengatakan bahwa sosok penelitian kualitatif berupaya melepaskan diri dari pola pikir kualitatif. Artinya teori ini berupaya menemukan teori berdasarkan data empirik, bukan membangun teori secara deduktif logis. Sehingga penemuan dari data empirik yang diperoleh secara sistematis. Hermeneutika merupakan pemahaman secara mendasar dan mendalam pada sebuah karya, dengan prinsip interpretasi atau penafsiran. Proses ini oleh Heidegger dan Gadamer disebut lingkaran hermeneutik. Dalam praktiknya, lingkaran itu dipecahkan secara dialektik, sistem bertangga, atau dengan gerak spiral. Ratna, 2004 :46 Tujuan hermenutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman dan interpretasi. Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menempatkan metode “tafsir sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan kedua metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks histories-kultural. Hermeneutik juga berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik, yang membuat penjelasan teks sasra dan pemahaman makna dengan menggunakan Universitas Sumatera Utara “makna kata” dan makna bahasa. Menurut Djojo Suroto, 2007 : 243 mengatakan bahwa, makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa.” Oleh karena itu, seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia harus berusaha mengubah makna yang terdapat dalam sebuah karya. Berusaha menginterpretasikan pesan dan tujuan dari si pengarang. Sejalan dengan pernyataan di atas Palmer 2003 : 48 mengatakan bahwa, hermeneutik adalah proses menelaah isi dan maksud yang mengejewantah dari sebuah karya kepada makna yang terdalam, laten dan tersembunyi. Palmer juga menambahkan 2003 :277 bahwa, apa yang dibutuhkan dalam interprestasi sastra adalah penalaran dialektis yang tidak menginterogasi teks tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk menginterogasi balik, kemudian mengajak penafsir ke dalam pertanyaan dan melakukan transformasi pemahaman seseorang terhadap subjek. Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermenutik merupakan, metode yang dilakukan secara diakletik, artinya peneliti harus bolak-balik dari ekstrinsik ke instrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran yang berupa spiral, sehingga menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis. Pemahaman dan interprestasi objek dilakukan untuk mendapatan tingat objektivitas yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, metode hermeneutik tersebut sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. Universitas Sumatera Utara

3.2 Lokasi Penelitian