mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.
Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang
ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan, dan kemampuan dalam memenuhi hidupnya baik
yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti yang memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai matapencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial,
dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
10
Dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, pemberdayaan masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan di desa ditujukan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat malalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi dan prioritas kebutuhan masyarakat. Pada
dasarnya pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, Kartasasmita mengungkapkan pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
1.5.1.2 Pemberdayaan Masyarakat
11
Kartasasmita mengungkapkan pemberdayaan masyarakat community empowerment adalah perwujudan capita building yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia
10
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hal. 61.
11
Ir. Lucie Setiana, Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005, Hal. 6.
melalui pengembangan kelembagaan, pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, sarana dan prasarana, serta pengembangan 3P, yaitu:
12
1. Pendampingan, yang dapat menggerakaan partisipasi total masyarakat.
2. Penyuluhan, yang dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di
masyarakat, dan 3.
Pelayanan, yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketetapan distribusi aset sumber daya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat.
1.5.1.3 Indikator Pemberdayaan
Sculer, Hashemi, dan Riley mengembangkan delapan indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index pemberdayaan. Keberhasilan pemberdayaan
masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek
tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: kekuasaan di dalam power within, kekuasaan untuk power to, kekuasaan atas power over dan kekuasaan dengan
power with, yakni sebagai berikut:
13
1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau wilayah tempet
tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-
barang kebutuhan keluarga sehari-hari beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu, kebutuhan dirinya minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, shampo. Individu
12
Ginanjar Kartasasmita, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas, 1996, Hal. 249.
13
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009, Hal. 63-66
dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika dia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika dia dapat membeli barang-barang
tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri. 3.
Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang- barang sekunder atau tersier seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian
keluarga. Seperti halnya indikator diatas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika dia dapat
membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri. 4.
Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga, mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suamiistri mengenai keputusan-keputusan
keluarga misalnya, mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternakan, memperoleh kredit usaha.
5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu
tahun terakhir ada seseorang suami, istri, anak-anak, mertua yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya, yang melarang mempunyai anak atau melarang
bekerja di luar rumah. 6.
Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintahan desakelurahan, seorang anggota DPRD setempat, nama presiden, mengetahui pentingnya
memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris. 7.
Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seorang dianggap berdaya jika dia terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya terhadap
suami yang memukul istri, istri yang mengabaikan suami dan keluarganya, gaji yang tidak adil, penyalahgunaan bantuan sosial, atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan
pegawai pemerintahan.
8. Jaminan ekonomi dalam kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, aset produktif,
tabungan, seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika dia memiliki aspek-aspek tertentu secara sendiri atau terpisah dar pasangannya.
1.5.2 Administrasi Pembangunan