Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat
(TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada
Penggunaan Injeksi Intramuskular
SKRIPSI
SIVIA NURULLIANA SEPTIANINGRUM
108102000025
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JANUARI 2013
(2)
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat
(TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada
Penggunaan Injeksi Intramuskular
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SIVIA NURULLIANA SEPTIANINGRUM
108102000025
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JANUARI 2013
(3)
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum NIM : 108102000025
Tanda Tangan :
(4)
iv
HALAMAN PERSERUJUAN PEMBIMBING
Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum NIM : 108102000025
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU)
dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan
Injeksi Intramuskular
Disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Azifitria, M.Si., Apt. Yuni Anggraeni, M.farm., Apt. NIP. 197211272005012004 NIP. 198310282009012008
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(5)
v
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum NIM : 108102000025
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU)
dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan
Injeksi Intramuskular
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Dr. Azifitria, M.Si., Apt. ( )
Pembimbing II : Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. ( )
Penguji I : Sabrina, M.Farm., Apt. ( )
Penguji II : Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. ( )
Penguji III : Supandi, M.Si., Apt. ( )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Januari 2013
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(6)
vi ABSTRAK
Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular.
Mikroemulsi dipilih sebagai pembawa testosteron undekanoat dalam rangka mencari formula alternatif injeksi intramuskular TU. Pada penelitian ini perbandingan campuran minyak (isopropil miristat : minyak jarak : benzil bezoat) untuk meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat diinvestigasi. Selanjutnya, dibuat sediaan mikroemulsi dengan berbagai komposisi minyak, air dan surfaktan dengan perbandingan campuran minyak (20 : 8 : 41) lalu dimasukan ke dalam diagram fase pseudoterner. Formula yang paling stabil dievaluasi meliputi cycling test, uji sentrifugasi, uji pH dan uji ukuran partikel serta dilakukan uji difusi dan dibandingkan dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran. Uji difusi menggunakan sel difusi Franz dengan membran otot tikus galur Sprague dawley bagaian biceps femoris serta kompartemen reseptor berisi
phosphate buffer saline pH 7,4. Hasil evaluasi menunjukan sediaan mikroemulsi terpilih adalah formula J yang terdiri dari fase air 3% air dan surfaktan (Tween 80) 28%, serta campuran fase minyak 69% memberikan stabilitas fisik yang baik dengan range pH 6-7 dan ukuran partikel 90,1 nm. Setelah 8 jam pengujian difusi didapatkan Persen TU terpenetrasi pada mikroemulsi dan kosolvensi yang beredar dipasaran secara berturut–turut adalah 1,026 % ; 2,698% dan fluks secara berturut-turut yaitu 63,95 μg/cm2.jam ; 170,476 μg/cm2.jam. Dari hasil uji difusi secara in vitro menunjukan mikroemulsi mempunyai penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
Kata kunci : Testosteron Undekanoat, Mikroemulsi, Diagram fase
pseudoterner, sel difusi Franz
(7)
vii ABSTRACT
Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum Program Study : Pharmacy
Tittle : Optimization and Preparation Testosterone Undecanoate (TU) Microemulsions with Optimum Strength Intramuscular Injection Administration
Microemulsion chosen as the carrier of undekanoat testosterone in order to find an alternative formula of TU intramuscular injection. In this study the mixing ratio of oil (isopropyl myristate: castor oil: benzyl bezoat) to increase solubilization undekanoat testosterone was investigated. Furthermore, microemulsions were made with various compositions of oil, water and surfactant with oil mixture ratio (20: 8: 41) and then inserted into the pseudoterner phase diagram. The most stable formula was evaluated include cycling test, centrifugation test, pH test, particle size test, and then difussion test and compared with cosolvensi preparations in the marketplace. Diffusion test using Franz diffusion cells with membrane strain of
Sprague Dawley rat muscle biceps femoris and the receptor compartment is containing phosphate buffered saline pH 7.4. The result of evaluations shown formula J as the selected microemulsion preparation comprising water phase 3%, and surfactant (Tween 80) 28%, also 69% oil phase mixture gave good physical stability with pH range 6-7 and particle size 90.1 nm. After 8 hours of diffusion tested, percentation of TU in microemulsion and cosolvensi in the marketplace
respectively were 1.026%, 2.698% and flux respectively were 63.95 μg/cm2
.hour; 170.476 μg/cm2.hour. The result of in vitro diffusion test shown that microemulsion had a lower penetration than cosolvensi preparations in the marketplace.
Key Word : Testosterone Undecanoate, Microemulsions, Pseudo-Ternary Phase Diagrams, Franz Diffusions Cell
(8)
viii KATA PENGANTAR
ِميِحَرلا ِنم ْحَرلاِه ِمْسِب
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tidak terhimgga sehimgga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari segala pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, kiranya sulit bagi saya untuk menyelesaikan penulisan ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati saya menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:
1) Ibu Dr. Azifitria, M.Si., Apt. selaku pembimbing pertama dan Yuni Anggraeni, M.farm, Apt. sebagai pembimbing kedua yang selalu sabar membimbing dan memberi saran dalam penyusunan skripsi dan teknis pengerjaan selama penelitian berlangsung sampai tersusunnya skripsi ini. 2) Bapak Prof. (hc) dr. MK. Tadjudin s.and., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3) Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4) Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5) Kedua orang tua saya tercinta Bapak Suroso dan Ibu Rosmalarita atas doa, nasehat, perhatian, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan baik moral maupun materil yang diberikan kepada saya.
6) Adik-adik tersayang Hafina Rehana Jannah dan Shalscha Fatimah Az Zahra yang selalu mendoakan dan menyemangati selama ini.
(9)
ix
7) Seluruh karyawan dan laboran khususnya Eris Risenti Amd. yang telah membantu saya selama penelitian di dalam laboratorium.
8) Ilham Adraviatma S.Kom. atas segala bantuan, saran, semangat dan doa yang tiada henti kepada saya agar skripsi ini selesai tepat pada waktunya.
9) Teman-teman terbaik (Widya dwi arini, RR. Alvira Widjaya, Indah Prihandini, Amalia Khairunnisa, Ade Fithrotinnadhiroh, Septi Purnamasari, Yosseane Widia Kristi) yang tidak bosan untuk memberikan saran dan semangat dan selalu mendorong saya untuk cepat menyelesaikan skripsi ini. 10)Teman-teman satu perjuangan dalam labolatorium Dina Haryani, Dwi Nur
Astria, dan Mahmudah yang selalu membuat suasana di labolatorium menjadi hangat seperti keluarga.
11)Teman-teman ALCOOLIQUE yang selalu mewarnai hari-hari selama masa kuliah (yuni, endah, sinthi, nia, dian, fitri, dewa, ikhsan) dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
12)Seluruh teman-teman farmasi 2008 yang banyak membantu selama masa perkuliahan maupun selama penelitian serta atas kebersamaan yang tidak akan terlupa.
Saya berharap Allah SWT, berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, Januari 2013 Penulis
(10)
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sivia Nurulliana Septianiingrum NIM : 108102000025
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya yang berjudul :
Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum Pada Penggunaan Injeksi Intramuskular.
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan,
(Sivia Nurulliana Septianingrum)
(11)
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISININALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Testosteron Undekanoat ... 5
2.2 Mikroemulsi ... 7
2.2.1 Tipe-Tipe Mikroemulsi ... 8
2.2.2 Surfaktan ... 9
2.2.3 Ko-surfaktan ... 11
2.2.4 Komponen Mikroemulsi ... 11
2.2.4.1 Benzil Benzoat ... 11
2.2.4.2 Isopropil miristat (IPM) ... 12
2.2.4.3 Minyak Jarak ( Castrol Oil ) ... 13
2.2.4.4 Tween 80 ... 13
2.3 Kestabilan Mikroemulsi ... 13
2.4 Sediaan Parenteral Intramuskular ... 14
2.5 Uji Difusi ... 15
2.6 Hukum Fick ... 15
2.7 Sel Difusi Statis (Franz Cell) ... 16
2.8 Prosedur dan Alat Pengujian Difusi ... 17
2.9 Solubilisasi ... 19
BAB3 METODOLOGI PENELITIAN ... 22
3.1 Alur Penelitian ... 22
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23
3.3 Alat dan Bahan ... 23
3.3.1 Alat ... 23
(12)
xii
3.3.2 Bahan ... 23
3.4 Prosedur Kerja ... 23
3.4.1 Percobaan Pendahuluan ... 23
3.4.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi ... 24
3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi ... 26
3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi ... 26
3.4.4.1 Cycling Test ... 26
3.4.4.2 Uji Sentrifugasi ... 26
3.4.4.3 Uji pH ... 26
3.4.4.4 Uji Ukuran Partikel ... 27
3.4.5 Uji Difusi ... 27
3.4.5.1 Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan KCKT ... 28
3.4.5.2 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 28
3.4.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 28
3.4.6 Analisis Data ... 29
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
4.1. HASIL ... 30
4.1.1 Percobaan Pendahuluan ... 30
4.1.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi .. 31
4.1.3 Pembuatan Mikroemulsi ... 32
4.1.4 Evaluasi Mikroemulsi Lanjutan ... 32
4.1.4.1 Cycling Test ... 32
4.1.4.2 Uji Sentrifugasi ... 33
4.1.4.3 Uji pH ... 33
4.1.4.4 Uji Ukuran Partikel ... 33
4.1.5 Uji Difusi ... 33
4.1.5.1 Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat untuk Cuplikan Uji Difusi ... 33
4.1.5.2 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 34
4.1.5.3 Hasil Uji Difusi Sediaan Mikroemulsi dibandingkan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 34
4.2. PEMBAHASAN ... 36
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46
5.1 Kesimpulan ... 46
5.2 Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
(13)
xiii DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut ... 6
Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik ... 12
Tabel 3.1 Perbandingan Campuarn Minyak ... 24
Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi ... 25
Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak ... 30
Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan ... 30
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Partikel Mikroemulsi ... 33
Tabel 4.4 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 34
Tabel 4.5 Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 35
Tabel 4.6 Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan ... 36
(14)
xiv DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat ... 5
Gambar 2.2 Mekanisme Aksi Testosteron Undekanoat ... 6
Gambar 2.3 Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi ... 9
Gambar 2.4 Molekul Surfaktan ... 9
Gambar 2.5 Rumus Bangun Benzil Benzoat ... 11
Gambar 2.6 Rumus Bangun Isopropil Miristat ... 12
Gambar 2.7 Ketidakstabilan Emulsi ... 14
Gambar 2.8 Franz Diffusion Cell ... 17
Gambar 2.9 Solubilisasi Sebagai Reaksi Permukaan ... 21
Gambar 4.1 Diagram Fase pseudoterner ... 31
Gambar 4.2 Hasil Uji Cycling Test Mikroemulsi ... 32
Gambar 4.3 Mikroemulsi Setelah Sentrifugasi ... 33
Gambar 4.4 Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat ... 34
Gambar 4.5 Grafik Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Bereadar di Pasaran ... 35
Gambar 4.6. Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Kosolvensi yang beredar di Pasaran Selama 8 jam ... 36
(15)
xv DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Konsentrasi dan AUC dari Kurva Kalibrasi ... 51
Lampiran 2 Contoh Perhitungan Jumlah Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Komersil Jam ke-3 ... 52
Lampiran 3 Contoh Perhitungan persen Zat Aktif yang Terpenetrasi dari Sediaan Kosolvensi Terhadap Kadar yang diaplikasikannya ... 52
Lampiran 4 Contoh Perhitungan Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi ... 53
Lampiran 5 Perhitungan Kadar testosteron Undekanoat Sebenarnya yang dimasukan ke Dalam Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi 1 ... 54
Lampiran 6 Hasil Uji Penetrasi Testosteron Undekanoat dalam Larutan Phosphate Buffer Saline pH 7,4 dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Komersi yang Beredar ... 55
Lampiran 7 Gambar Hasil Optimasi Formula ... 56
Lampiran 8 Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan ... 57
Lampiran 9 Gambar Hasil Distribusi Ukuran Partikel Sediaan Sebelum Cycling Test ... 58
Lampiran 10 Kromatogram TU dalam Sediaan Mikroemulsi ... 59
Lampiran 11 Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar ... 59
Lampiran 12 Kromatogram TU dalam PBS ... 60
Lampiran 13 Kromatogram Blangko Medium PBS ... 60
Lampiran 14 Certificate of Analysis Testosteron Undekanoat ... 61
Lampiran 15 Certificate of Analysis Benzil Benzoat ... 62
Lampiran 16 Certificate of Analysis Minyak Jarak ... 63
(16)
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelarutan suatu zat berkhasiat memerankan peran penting dalam formulasi suatu sediaan farmasi (Kim CK, & Park KM, 1999 dalam Rahmawati J., 2004). Rendahnya kelarutan suatu zat hidrofobik menyebabkan kecilnya penetrasi obat tersebut dalam tubuh sehingga kegunaan obat menjadi tidak efisien (Lawrence, & Ress, 2000).
Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17β-yl undecanoate) bersifat hidrofobik dengan nilai kelarutan dalam air 0,00052 mg/ml (Saraswati A., 2012) dan nilai koefisien partisi [n-oktanol/air] (log P) sebesar 6,91+ 0,49 (Azifitria, 2012). Secara klinik testosteron undekanoat (TU) digunakan untuk pengobatan
hypogonadism dan sedang dikembangkan sebagai kontrasepsi hormonal pada pria (Kamischke A., 2005 dalam Wistuba J., 2005).
Sifat testosteron undekanoat yang sangat hidrofobik menyebabkan tantangan dalam memformulasikannya. Salah satu sediaan komersil TU yang beredar di pasaran adalah dalam bentuk kapsul lunak dengan dosis 40 mg tetapi dosis yang dibutuhkan 80 mg sehingga pasien harus meminum 2 kapsul. Setiap kapsul mempunyai berat sekitar 777 mg sehingga jika diminum 2 kapsul menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Muchow M., 2011). Pemberian secara oral mempunyai kelemahan dalam hal mempunyai waktu paruh yang pendek setelah dikonsumsi (Nieschlag E., 2006).
Berdasarkan keterbatasan sediaan oral tersebut maka dikembangkan formula testosteron undekanoat dalam bentuk injeksi intramuskular. Pemberian Injeksi intramuskular testosteron undekanoat mempunyai waktu paruh yang panjang (+ 70 hari) sehingga pemberianya dapat dilakukan setiap 3 bulan (Zitzmann M., 2006). Pengembangan formulasi obat-obat hidrofobik yang ditujukan untuk penggunaan parenteral lebih sulit dibanding dengan pengembangan obat hidrofobik untuk penggunaan oral (Date, A.A. & Nagarsenker, M.S., 2008) karena keterbatasan kelarutannya.
(17)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Injeksi intramuskular testosteron undekanoat yang beredar di pasaran diformulasi dalam bentuk kosolvensi minyak jarak. Formula testosteron undekanoat belum berkembang banyak, hanya sebatas penggantian minyak yang menjadi pembawanya. Di negara China minyak yang digunakan adalah minyak biji teh. Akan tetapi, penggunaan minyak biji teh mengharuskan penyuntikan dalam volume besar karena kelarutan testosteron undekanoat kecil pada minyak biji teh.
Formulasi dengan pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu dapat menimbulkan nyeri saat disuntikan. Oleh karena itu, formula injeksi testosteron undekanoat perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menghasilkan sediaan yang dapat mengurangi rasa nyeri saat penyuntikan.
Salah satu teknologi formulasi yang dapat dijadikan sebagai sediaan parenteral adalah mikroemulsi. Mikroemulsi mempunyai kelebihan yaitu dapat meningkatkan solubilisasi zat aktif lipofilik dan meningkatkan bioavailibilitas obat dalam sirkulasi sistemik. Mikroemulsi stabil secara termodinamika, transparan, viskositasnya rendah, preparasi mudah (Date, A.A. & Nagarsenker, M.S., 2008) serta mempunyai ukuran partikel yang kecil (10-100 nm) (Myers D., 2006). Selain itu, peningkatan profil farmakokinetik terlihat pada pengembangan formulasi paclitaxel yang dibuat dalam bentuk mikroemulsi dibandingkan dengan kosolven. Nilai Area Under Curve (AUC) mikroemulsi paclitaxel adalah 34,98 gmL-1.h sedangkan dalam kosolven 21,98 gmL-1.h (He L et al., 2003).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Retno Kemala Dewi (2010), testosteron undekanoat dapat dijadikan dalam bentuk mikroemulsi yang stabil selama 2 bulan penyimpanan. Namun, mikroemulsi yang dibuat menggunakan ko-surfaktan etanol. Azrifitria (2011) membuat mikroemulsi testosteron undekanoat dalam bentuk kombinasi dengan MPA. Namun dalam mikroemulsi tersebut belum diketahui kapasitas maksimal testosteron undekanoat yang dapat tersolubilisasi. Kemampuan mikroemulsi dalam mensolubilisasi zat aktif berhubungan dengan volume pemberian. Hal ini dikarenakan pemberian secara intramuskular harus memenuhi syarat pemberian maksimal untuk sediaan intramuskular yaitu 4 mL (TPC,92; Lachman 1992). Jika diberikan lebih dari
(18)
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
volume maksimal akan mengakibatkan nyeri bahkan dapat menyebabkan nekrosis.
Penelitian yang dilakukan Afrini (2012) memperlihatkan kelarutan testosteron undekanoat pada beberapa pelarut antara lain isopropil miristat, minyak jarak, benzil benzoat, tween 80, dan air. Hasilnya menunjukan kelarutan testosteron undekanoat paling besar pada benzil benzoat dan peningkatan benzil benzoat dalam sediaan mikroemulsi dapat meningkatkan kelarutan testosteron undekanoat.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk membuat mikroemulsi TU sesuai dosis klinis 1000 mg dengan memperhatikan volume maksimal pemberian intramuskular (4 mL) mikroemulsi yang dibuat dengan komponen isopropil miristat, minyak jarak, benzil benzoat sebagai fase minyak, tween 80 sebagai surfaktan dan air sebagai fase airnya dengan variasi konsentrasi fase minyak dan surfaktan. Selanjutnya, mikroemulsi yang dibuat dievaluasi meliputi cycling test, uji pH, uji sentrifugasi, uji ukuran partikel serta dilakukan uji difusi secara in vitro yang dibandingkan dengan uji difusi sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah mikroemulsi yang dibuat dapat meningkatkan solubilisasi
testosteron undekanoat di dalamnya?
2. Bagaimanakah profil uji difusi testosteron undekanoat dalam sediaan mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan formula mikroemulsi TU yang dapat meningkatkan
solubilisasi TU.
2. Membandingkan laju difusi hormon testosteron undekanoat dari sediaan mikroemulsi yang dibuat dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
(19)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mendapatkan formula mikroemulsi testosteron undekanoat yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat sehingga dapat dibuat sesuai dosis klinis serta mengetahui profil difusi mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.
(20)
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Testosteron Undekanoat
Gambar 2.1. Rumus Bangun Testosteron Undekanoat
(H.M Behre et al., 2000)
Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17β-yl undecanoate; 17β -Hydroxyandrost-4-en-3-one undecanoate) mempunyai 30 atom C, 48 atom H dan 3 atom O (C30H48O3) serta mempunyai bobot molekul 456,7. Secara organoleptis
testosteron undekanoat berbentuk kristal atau serbuk kristal tidak berbau dan tidak berwarna atau putih serta tidak berasa. Testosteron undekanoat merupakan derivat testosteron yang berbentuk ester yang dihasilkan melalui esterifikasi testosteron
alami pada posisi 17β.
Panjangnya rantai atom karbon yang dimiliki testosteron undekanoat menyebabkan hormon ini bersifat sangat hidrofobik. Estserifikasi mengurangi kepolaran suatu zat namun meningkatkan kelarutan terhadap minyak/lemak. Kelarutan testosteron undekanoat yaitu sangat mudah larut dalam metanol dan larut dalam minyak nabati dan etanol. Testosteron undecanoat stabil di bawah suhu dan temperatur normal.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Saraswati 2012 diketahui kelarutan tu pada beberapa komponen
(21)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut
Pelarut TU (mg/mL)*
Benzil Benzoat 544,17096 ± 19,52971 Isopropil Miristat 289,59857 ± 16,90818 Minyak jarak 162,06436 ± 55,68066 Tween 80 37,95878 ± 4,72130
Air 0,00052 ± 0,00012
Mekanisme kerja TU berawal dari hidrolisis terhadap gugus ester. Hasil hidrolisis kemudian berikatan dengan reseptor spesifik dari hormon testosteron membentuk kompleks. Kompleks hormon-resrptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA.
Gambar 2.2. Mekanisme Aksi Testosteron Undekanoat
(Ilyas, 2008)
Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel (Ilyas, 2008).
Spermatogenesis memerlukan kerja stimulasi dari kedua hormon gonadotropin di hipofisis yaitu LH dan FSH. LH berfungsi untuk menstimulasi sel leydig untuk memproduksi testosteron dan mempertahankan kadar testosteron
(22)
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
agar tetap tinggi di dalam testis yang dibutuhkan untuk spermatogenesis. Sedangkan FSH berfungsi untuk menginisiasi proses spermatogenesis.
Kontrasepsi hormonal bekerja menghambat sekresi GnRH yang ada pada hipotalamus sehingga kadar testosteron intra-testikuler menjadi rendah yang mengakibatkan mengurangi atau mencegah spermatogenesis. Pemberian testosteron dari luar menyebabkan kadar testosteron dalam darah tetap tinggi menyebabkan reaksi umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi FSH dan LH menurun sehingga proses spermatogenesis terhambat.
Bioavailibilitas TU hanya sekitar 7% di dalam tubuh (Muchow, Maincent, Muller, & Keck 2011) Testosteron ester lambat diabsorbsi ke dalam peredaran darah dan secara cepat berubah menjadi metabolit aktif yang tidak teresterifikasi. Ekskresi testosteron 90% melalui urin, 6% melalui feses dalam bentuk asal, metabolit dan konjugat. Hanya 30% dari 17-ketosteroid yang diekskresi melalui urin, dengan demikian kadar 17-ketosteroid urin tidak menggambarkan jumlah sekresi androgen oleh testis tetapi terutama oleh korteks adrenal (Katzung, 2004; Ilyas, 2008).
2.2 Mikroemulsi
Mikroemulsi adalah sistem dispersi minyak dan air yang secara termodinamika stabil, transparan atau jernih yang distabilkan oleh lapisan antarmuka dari molekul surfaktan (El-Laithy, 2003). Mikroemulsi terdiri dari empat komponen yaitu minyak, air, surfaktan dan kosurfaktan. Hampir semua penggunaan tunggal surfaktan baik ionik maupun nonionik tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air yang mendekati nol. Oleh karena itu, kosurfaktan dibutuhkan dalam pembuatan mikroemulsi (Kim, & Cherng-ju, 2004).
Dalam prakteknya, kunci perbedaan antara emulsi dan mikroemulsi adalah pembentukannya. Emulsi cenderung membentuk dua lapisan di fasa awal sedangkan mikroemulsi tidak dan mikroemulsi bersifat stabil secara termodinamik. Selain itu, secara penampilan emulsi terlihat keruh sedangkan mikroemulsi terlihat jernih dan transparan (Lawrence et al., 2000). Penggunaan surfaktan pada emulsi biasanya 0,1% sedangkan mikroemulsi sedikitnya 10%.
(23)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari segi ukuran droplet (tetesan), emulsi memiliki ukuran diatas 103 nm sedangkan mikroemulsi memiliki ukuran 10 nm–100 nm (Myers D., 2006).
Mikroemulsi terbentuk dari dua cairan tak tercampurkan yang saling menguntungkan dimana salah satunya secara spontan terdispersi ke dalam cairan lainnya dengan bantuan satu atau lebih surfaktan dan kosurfaktan (Rakshit dan Satya, 2008). Hubungan perilaku fase di dalam mikroemulsi dapat terlihat dengan bantuan diagram fase (Phase Diagram). Diagram fase ini berguna untuk menentukan komposisi yang tepat dari fase air, minyak dan surfaktan yang akan membentuk suatu sistem mikroemulsi. Perilaku fase sederhana sistem mikroemulsi dapat dipelajari dengan bantuan diagram tiga fase (pseudo-ternary phase diagram) yang setiap sudut diagram mewakili 100 % tiap komponen mikroemulsi (air, minyak,surfaktan) (Bakan, J.A., 1995).
Mikroemulsi dapat diberikan secara parenteral. Kelebihan mikroemulsi jika digunakan untuk parenteral adalah sebagai berikut: a) ukuran droplet yang kecil sehingga jika masuk ke dalam sirkulasi darah tidak menghambat peredaran darah, b) stabil secara termodinamika, c) kemampuan mensolubilisasi yang besar, d) viskositas yang rendah, e) dapat disterilkan dengan filtrasi, f) mengurangi rasa sakit pada injeksi jika dibandingkan dengan sediaan pelarut campur, g) mikroemulsi air dalam minyak dapat digunakan untuk penghantaran obat terkontrol.
2.2.1 Tipe-Tipe Mikroemulsi
Ada tiga tipe sistem dispersi yang dibentuk oleh mikroemulsi yaitu tipe minyak dalam air (M/A atau O/W), tipe air dalam minyak (A/M atau W/O) dan tipe kesetimbangan air dan minyak (bicountinous structure). Tipe sistem dispersi mikroemulsi tersebut terbentuk tergantung komposisi dari komponen mikroemulsi itu sendiri.
(24)
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.3. Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi
(Lawrence dan Rees, 2000)
Mikroemulsi tipe M/A atau O/W akan terbentuk jika volume fraksi minyak lebih sedikit dari volume fraksi air. Sebaliknya, mikroemulsi tipe A/M atau W/O akan terbentuk jika volume fraksi minyak lebih banyak dari volume fraksi air. Sedangkan mikroemulsi tipe kesetimbangan air dan minyak (bicountinous structure) akan terbentuk jika volume fraksi minyak sama banyak dengan volume fraksi air (Lawrence dan Rees, 2000).
2.2.2 Surfaktan
Surfaktan atau zat aktif antarmuka adalah suatu zat yang dapat menurunkan tegangan antarmuka (Martin, 1993). Surfaktan mempunyai struktur bipolar yaitu bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Hal ini menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritasnya.
Gambar 2.4. Molekul Surfaktan
(Gevarsio,1996)
Ada empat jenis surfaktan berdasarkan ionisasinya dalam larutan air yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Myers, 2006).
(25)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active), seperti gugus karboksilat sulfat atau sulfonat. Secara luas, surfaktan ini banyak digunakan karena harganya yang murah. Namun, surfaktan ini dapat menyebabkan iritasi dan toksik sehingga hanya digunakan untuk sediaan luar. Surfaktan ini hanya menghasilkan emulsi A/M. Contoh surfaktan ionik yaitu: Garam Na, K, atau ammonium dari asam lemak rantai panjang seperti sodium stearat, Sodium lauril sulfat dan sebagainya (Matheson, 1996; Rosen, 2004).
Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface active). Surfaktan ini memiliki sifat toksik sehingga cenderung digunakan untuk formula krim antiseptik. Contohnya surfaktan kationik yaitu cetrimide, cetrimonium bromide benzalkonium klorida dan quarternery ammonium salt (QUAT) (Matheson, 1996; Rosen, 2004).
Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004).
Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan nonionik mempunyai kemampuan melarutkan senyawa yang kurang larut dan memiliki toksisitas rendah. Contoh surfaktan nonionik yaitu: Glikol dan gliserol ester, Sorbitan ester, Polysorbate, PEG, Poloxalkol (Matheson, 1996; Rosen, 2004).
Surfaktan membantu pembentukan emulsi dengan mengabsorpsi pada antar muka, dengan menurunkan tegangan interfasial dan bekerja sebagai pelindung agar butir-butir tetesan tidak bersatu. Emulgator membantu terbentuknya emulsi dengan 3 jalan yaitu (Mayers D., 2006): 1) penurunan tegangan antar muka (stabilisasi termodinamik), 2) terbentuknya film antar muka yang kaku (pelindung mekanik terhadap koalesen), 3)Terbentuknya lapisan ganda listrik, merupakan pelindung listrik dari partikel.
(26)
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3 Ko – Surfaktan
Kosurfaktan merupakan molekul kecil bersifat amfifilik, sebuah alkohol rantai pendek hingga medium (C2-C10). Surfaktan dalam keadaan sendiri tidak
dapat menurunkan tegangan antarmuka air-minyak secara cukup untuk menghasilkan sebuah mikroemulsi. Penambahan kosurfaktan dapat membantu menghasilkan tegangan antarmuka mendekati nol. Tegangan antarmuka yang mendekati nol mengakibatkan diameter globul menjadi sangat kecil. Secara luas molekul yang dapat berfungsi sebagai kosurfaktan meliputi surfaktan nonionik, alkohol, asam alkanoat, alkanediol dan alkil amina (Lawrence, 2000).
2.2.4 Komponen Mikroemulsi 2.2.4.1Benzil Benzoat
Benzil benzoat adalah ester dari benzil alkohol dan asam benzoat, dengan rumus C14H12O2. Sinonim benzil benzoat adalah benzil ester, benzyl benzene
carboxylate, benzylis benzoas, benzil phenylformate, phenylmethyl benzoate. Benzil benzoat adalah larutan yang jernih dengan bau yang khas. Untuk menjaga kejernihannya maka benzil benzoat disimpan pada suhu 17oC. Benzil benzoat larut dalam aseton dan benzen, praktis tidak larut dalam gliserin dan air dan dapat bercampur dalam kloroform, etanol (95%), eter dan minyak esensial. Benzil Benzoat merupakan pelarut yang non polar dengan nilai logP 3.7. Benzil benzoat terutama digunakan sebagai pelarut yang banyak digunakan untuk sediaan intramuskular dengan kadar 0,01-46% v/v. Selain itu benzil benzoat digunakan juga pada berbagai macam produk kosmetik seperti sampo, kondisioner, parfum, pelembab dan cat kuku (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Penggunaan benzyl benzot tidak boleh terlalu tinggi karena akan menyebabkan reaksi anafilaksis.
Gambar 2.5. Rumus Bangun Benzil Benzoat
(27)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.4.2Isopropil Miristat (IPM)
Gambar 2.6. Rumus Bangun Isopropil Miristat
(Rowe, Paul, & Marian, 2009)
Isopropil Miristat atau 1-Methylethyl tetradecanoate merupakan sebuah solven yang bersifat lipofilik dengan bobot jenis sama dengan 0,846 – 0,854 g/cm3. Isopropil miristat (IPM) berbentuk cairan bening atau jernih berbau lemah. IPM larut dalam aseton, kloroform, etanol, etil asetat, lemak, lemak alkohol, campuran minyak, larutan hidrokarbon, toluen dan lilin. Praktis tidak larut dalam gliserin, propilenglikol dan air (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik
Kegunaan IPM Konsentrasi (%) Deterjen 0,003-0,03
Olic Suspension 0,024
Mikroemulsi < 50 Krim dan Lotio Topikal 1,0 – 10,0
Isopropil miristat (IPM) merupakan pelarut non air pada sediaan parenteral yang memiliki toksisitas rendah (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Selain itu, IPM tidak menimbulkan aktivitas karsinogenik, mutagenik dan toksisitas akut rendah dari studi toksisitas secara oral, dermal, inhalasi atau parenteral. IPM tunggal dapat meningkatkan solubilisasi progesteron 3300 kali dibanding kelarutanya dalam air. Solubilisasi progesteron dalam IPM dan air berturut – turut adalah 17,0 mg/mL dan 0,007 mg/mL (Nandi, Bahri, Joshi, 2003).
(28)
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.4.3Minyak Jarak (Castrol Oil )
Minyak jarak adalah minyak kental yang berwarna kuning pucat dengan bau yang sedikit khas dan mempunyai rasa yang sedikit tajam. Minyak jarak sedikit larut di dalam kloroform, etanol, eter, metanol, sangat mudah larut dalam etanol (95%) dan petroleum eter, tidak larut dalam minyak mineral kecuali kalau dicampur dengan minyak nabati. Minyak jarak harus disimpan pada wadah kedap udara pada suhu tidak lebih dari 15º C (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
Minyak jarak biasanya digunakan dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetik. Dalam formulasi farmasetik, minyak jarak umumnya digunakan untuk krim dan salep sediaan topical dengan konsentrasi 5-12,5%. Namun, minyak jarak juga digunakan pada tablet oral dan formulasi berbentuk kapsul serta digunakan juga sebagai pelarut pada sediaan injeksi intramuskular. Penggunaan minyak jarak dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi umumnya tidak toksik dan tidak mengiritasi jika digunakan sebagai zat tambahan.
2.2.4.4Tween 80
Tween 80 atau polisorbat 80 merupakan surfaktan nonionik yang memiliki toksisitas rendah sehingga dapat digunakan untuk penggunaan oral dan parenteral. Tween 80 berbentuk cairan berwarna kuning dengan bau khas lemah. Tween 80 memiliki bobot jenis 1,08 g/cm3 dan nilai HLB 15 . Nilai HLBnya 14,9. Tween 80 larut dalam etanol dan air. Selain itu, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati. Dalam sediaan farmasetik tween 80 digunakan sebagai agen pengemulsi, solubilisator, pembasah, dan agen pensuspensi atau pendispersi. Dosis tween 80 yang dapat digunakan di dalam tubuh selama sehari (acceptable daily intake) yaitu 25 mg/kgbb (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
2.3 Kestabilan Mikroemulsi
Ada empat fenomena yang terjadi jika sebuah emulsi tidak stabil yaitu flokulasi, creaming, koalesen dan pemisahan sempurna (breaking). Hal tersebut pun bisa terjadi pada sebuah sediaan mikroemulsi (Im-Emsap, 2002).
(29)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Flokulasi terjadi jika partikel-partikel terdispersi saling berikatan membentuk kelompok lebih besar, tapi jika dengan pengocokan yang cukup sediaan akan kembali terdispersi. Terjadinya flokulasi disebabkan oleh kurangnya jumlah surfaktan dan volume fase terdispersi yang terlalu tinggi.
Creaming adalah pemisahan suatu emulsi ke dalam dua daerah yang berbeda dimana salah satunya lebih kaya dengan fase dispersi dibandingkan yang lain. Creaming ini tidak begitu serius karena mudah dihomogen lagi dengan pengocokan. Creaming mengindikasikan ketidakstabilan pada emulsi sehingga harus dicegah pembentukanya.
Koalesen terjadi pada kelompok partikel terdispersi yang membentuk kelompok yang lebih besar lagi dan bersifat irreversibel, hal ini dapat terjadi akibat keringnya air yang terdapat pada lapisan tipis antarmuka atau pecahnya lapisan tipis antarmuka.
Breaking adalah proses pemisahan sempurna dari emulsi menjadi masing-masing komponen cair. Proses pemisahan tersebut terjadi dalam 2 tahap yaitu flokulasi dan koalesen.
Gambar 2.7. Ketidakstabilan Emulsi
(Im-Emsap W, 2002)
2.4 Sediaan Parenteral Intramuskular
Injeksi intramuskular adalah injeksi volume kecil yang diinjeksikan ke dalam otot rangka, biasanya pada otot deltoid di bahu atau otot gluteal di bokong. Suspensi dan larutan berminyak serta injeksi dengan pembawa air dapat diberikan melalui rute ini. Perbedaan tempat injeksi membuat menyebabkan perbedaan volume maksimal pemberian. Jika disuntikan pada otot .bagian deltoid maka
(30)
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
volume pemberian maksimal 2ml sedangkan jika diberikan pada otot bagian gluteeal volume pemberian maksimal adalah 5ml (TPC,92; Lachman 1992) tetapi biasanya 4 ml.
Persyaratan injeksi intramuskular yaitu dapat diberikan sediaan injeksi dengan pembawa air ataupun non-air yang dapat bercampur atau tidak dengan air, suspensi atau larutan koloid, dan emulsi. Tujuan suatu obat diberikan secara intramuskular adalah mendapatkan efek obat yang tidak terlalu cepat ataupun untuk sistem depo dimana obat dilepaskan secara lambat sehingga obat dapat bertahan lama di dalam tubuh seperti contohnya obat-obat KB.
2.5 Uji Difusi
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses difusi (Martin, 1983).
Difusi adalah proses menjadi difus atau tersebar luas, gerakan molekul spontan atau partikel dalam larutan, disebabkan gerakan acak suhunya, sehingga kadarnya sama di seluruh larutan, proses itu tidak memerlukan penambahan energi terhadap sistem. Pada dasarnya difusi ada 2 macam yaitu difusi aktif dan difusi pasif. Perbedaan dari keduanya ada pada penggunaan energi. Difusi aktif memerlukan energy dalam perpindahanya sedangkan difusi pasif tidak memerlukan energi untuk perpindahan zat. Difusi bebas atau traspor pasif suatu zat melalui cairan, zat padat, atau melalui membran adalah suatu proses yang sangat penting dalam ilmu farmasi (Martin, 1983).
2.6 Hukum Fick
Mengacu kepada hukum Fick tentang difusi, jumlah materi M (satuan = gram atau mol) yang melintasi suatu unit area (satuan = cm2) per satuan waktu (satuan = detik) dikenal sebagai aliran J, digambarkan sebagai berikut :
= .
(31)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada gilirannya, aliran bersifat proposional terhadap gradien konsentrasi
= −
Di mana dC/dx adalah perubahan konsentrasi dalam sebuah jarak kecil tak berhingga. Untuk merubah tanda proporsional menjadi tanda sama dengan maka sebuah konstanta ditambahkan
=−
Yang mana D diketahui sebagai koefisien difusi atau difusifitas (satuan = cm2/det). Koefisien difusi adalah ukuran laju permeabilitas dari molekul melintasi suatu area. Tanda negatif menunjukkan bahwa konsentrasi berkurang sebagai fungsi dari jarak. Bagaimanapun, aliran selalu memiliki nilai positif (Amiji, M. M., 2003).
2.7 Sel Difusi Statis (Franz Cell)
Franz Cell/ sel difusi statis dengan satu ruang (One Chambered Cell) pertama kali dibuat oleh Franz. Difusi Franz Cell mungkin adalah sel difusi yang paling banyak digunakan dan telah tersedia secara komersil (Crown Glass company, Somerville, New Jersey) selama bertahun-tahun. Hal-hal yang perlu diperhatikan tentang Sel Difusi Franz adalah sebagai berikut (Bronaugh and Raymond, 1984):
a) Volume Reseptor
Volume reseptornya dapat dibuat bervariasi dengan diameter peletakan membran. Volume reseptor Sel Franz tidak harus dimodifikasi seperti pada Flow Through Cell karena volume reseptor yang relaitf besar (Bronaugh and Raymond, 1984).
b) Pemeliharaan Suhu
Air yang dipanaskan biasanya digunakan untuk mempertahankan suhu fisiologis, meskipun ada perdebatan mengenai suhu yang sesuai untuk studi difusi. Sel harus dipanaskan dengan air pada suhu yang diinginkan. Pada umumnya air dengan
(32)
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
suhu 37oC disirkulasikan melalui sel Franz untuk menjaga suhu sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh (Bronaugh and Raymond, 1984).
c) Tempat Peletakan Membran
Membran diletakkan diantara pertemuan dua bagian gelas utama dan direkatkan dengan penjepit logam. Biasanya pada pertemuan kedua gelas utama ini terdapat karet O ring. Pada saat pengujian karet ini harus dilepas karena dapat mengabsorbsi bahan-bahan yang bersifat lipofil (Bronaugh and Raymond, 1984).
d) Pencampuran Isi Reseptor
Magnetic stirrer biasanya digunakan untuk mengaduk medium reseptor pada sel Franz. Magnetic stirrer ini digunakan agar senyawa yang ada dalam medium difusi tetap tercampur homogen (Bronaugh and Raymond, 1984).
Gambar 2.8. Franz Diffusion Cell
(Pjanovic, Rada, 2009)
2.8 Prosedur dan Alat Pengujian Difusi
Sel dengan konstruksi yang sederhana, seperti yang telah dilaporkan oleh Aguiar dan Weiner, diduga paling baik untuk pekerjaan difusi. Sel tersebut dibuat dari gelas atau plastik terang, yang mudah untuk dirakit dan dibersihkan, dan memberikan kemudahan untuk melihat cairan dan pengaduk yang berputar. Alat-alat seperti itu dilengkapi dengan Alat-alat untuk mengumpulkan sampel dan uji secara otomatis. Kompartemen sebelah atas atau kompartemen donor diisi dengan
(33)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
larutan obat. Larutan reseptor dipompa dari tempat yang lebih rendah. Sampel dikumpulkan dalam suatu tabung di dalam alat pengumpul fraksi otomatis, kemudian berturut-turut ditentukan kadarnya secara spektrofotometri. Percobaan bisa dilakukan selama berjam-jam pada kondisi yang terkontrol ini (Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).
Biber dan Rhodes membuat suatu konstruksi sel difusi tiga kompartemen dari pleksiglas untuk penggunaan baik dengan membran sintetis maupun membran biologis yang diisolasi. Obat tersebut dibiarkan berdifusi dari kedua kompartemen donor sebelah luar ke dalam suatu ruang reseptor pusat. Hasilnya dapat direproduksi dan dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Sel dengan desain tiga-kompartemen menciptakan pemukaan membran yang lebih besar dan memperbaiki sensitivitas analitik (Martin, 1983).
Permeasi uap air dan senyawa organik aromatik dari larutan air melalui lapisan (film) plastik bisa diselidiki dalam sel gelas dengan dua-ruang serupa dengan desain yang digunakan untuk menyelidiki larutan obat pada umumnya. Nasim et al. melaporkan tentang permeasi senyawa 19 aromatik dari larutan dalam air melalui lapisan (film) polietilena. Higuchi dan Auguiar menyelidiki permeabilitas uap air melalui bahan yang bersalut enterik dengan menggunakan sel difusi gelas dan ukuran McLeod untuk mengukur perubahan tekanan melewati lapisan tersebut (Martin, 1983).
Dalam menyelidiki absorpsi melalui kulit, yang biasanya diperoleh dengan cara autopsi, digunakan kulit manusia atau hewan. Scheuplein menerangkan suatu sel untuk percobaan penetrasi kulit, dibuat dari Pireks dan terdiri dari dua belahan. Ruang donor dan ruang reseptor dipisahkan oleh sampel kulit yang ditunjang pada piring berlubang-lubang dan disekrup kencang di tempatnya. Cairan dalam reseptor diaduk dengan batang magnet yang dilapis teflon. Alat ini direndam dalam bejana yang mempunyai temperatur konstan. Sampel diambil secara periodik dan diuji dengan cara yang sesuai. Untuk senyawa seperti steroida, penetrasinya lambat. Telah ditemukan metode radioaktif yang diperlukan untuk menentukan konsentrasi yang rendah tersebut (Martin, 1983).
Wurster et al. mengembangkan suatu sel permeabilitas untuk menyelidiki difusi melalui lapisan kornea (lapisan kornea diambil dari manusia), dari berbagai
(34)
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
zat yang berpermeasi, termasuk gas, cairan dan gel. Selama percobaan difusi alat tersebut dijaga pada temperatur konstan dan perlahan-lahan diaduk pada daerah sekitar membran. Sampel diambil dari ruang reseptor pada waktu-waktu tertentu dan dianalisis zat yang berpermeasi melalui mebran tersebut (Martin, 1983).
2.9 Solubilisasi
Istilah 'solubilisasi' diperkenalkan oleh McBain untuk menunjukkan peningkatan kelarutan dari senyawa tertentu, terkait dengan kehadiran surfaktan misel atau kebalikannya misel dalam larutan. Proses solubilisasi yang paling populer adalah transfer molekul minyak ke dalam inti surfaktan misel. Dengan demikian, minyak yang tidak memiliki kelarutan (atau kelarutan terbatas) dalam fasa air menjadi larut dalam air dalam bentuk tersolubilisasi di dalam misel. Proses ini memiliki kepentingan khusus untuk menghilangkan kumpulan minyak dari permukaan padat dan media berpori, dan untuk menghilangkan campuran minyak yang tersebar di air. Praktik paling penting dari solubilisasi berkaitan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari: detergen dalam merawat diri dan rumah tangga, juga sama pentingnya dalam berbagai proses industri (Christian DD., Scamehorn, 1995 dalam Kralchevsk, Peter A., 2005).
Pelaku utama dalam proses solubilisasi yaitu misel dari surfaktan ataupun kopolimer. Kemampuan mereka untuk menyelimuti minyak adalah hal yang sangat penting. Penambahan kopolimer yang membentuk campuran misel dengan surfaktan, adalah cara untuk mengontrol dan meningkatkan kinerja solubilisasi oleh misel. Mekanisme utama kinetik dari solubilisasi telah dibangun, dengan keefektifan yang tergantung pada sistem tertentu (Kralchevsk, Peter A., 2005).
Solubilisasi sebagai reaksi massal: disolusi molekul dan difusi minyak ke dalam fasa air terjadi, dengan penyerapan molekul minyak oleh surfaktan dan selanjutnya menjadi misel. Mekanisme ini Operatif untuk minyak (seperti benzena, heksana, dll), yang menunjukkan kelarutan cukup tinggi dalam air murni. Pertama, molekul minyak larut dari permukaan tetesan minyak ke dalam air. Kinetika, proses ini dapat ditandai dengan koefisien perpindahan massa. Berikutnya, oleh difusi, molekul minyak menembus dalam fasa air, yang mana
(35)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mereka bereaksi dengan misel. Dengan demikian, konsentrasi molekul minyak bebas berkurang dengan jarak dari antarmuka minyak-air. Dengan kata lain, solubilisasi terjadi dalam zona terbatas di sekitar tetesan (Kralchevsk, Peter A., 2005).
Solubilisasi sebagai reaksi permukaan. Ini adalah mekanisme utama solubilisasi untuk minyak yang tidak larut dalam air. Pengambilan minyak tersebut tidak dapat terjadi dalam sebagian besar fasa air. Solubilisasi dapat terjadi hanya pada antarmuka minyak-air. Mekanisme yang mungkin terjadi termasuk (i) misel adsorpsi, (ii) minyak yang terselimuti, dan (iii) desorption dari misel yang mengembang. Sejalan dengan itu, secara teoritis proses ini dapat digambarkan dengan 3 langkah berturut-turut. Jika misel kosong agregat seperti batang panjang, di atas solubilisasi mereka biasanya berhenti sejenak untuk agreagat lebih kecil bulat. Untuk beberapa sistem (terutama solubilizates padat), tahap menengah di solubilisasi proses mungkin melibatkan penetrasi surfaktan solusi ke fase berminyak dan pembentukan kristal fase cair pada antarmuka. Untuk beberapa sistem (kebanyakan solubilisasi padat), tahap menengah dari proses solubilisasi mungkin melibatkan penetrasi larutan surfaktan ke fase berminyak dan pembentukan fase kristal cair pada antarmuka (Kralchevsk, Peter A., 2005).
Dalam kasus solubilisasi sebagai reaksi permukaan, mekanisme kinetik rinci bisa menjadi beraneka ragam. Beberapa penulis mengharapkan bahwa surfaktan berada di antarmuka sebagai bentuk monomernya. Kemudian, pada fase pengikatan campuran (atau menggembang) agregat misel terbentuk, akhirnya terjadi desorbsi. Model ini tampaknya cocok untuk solubilisasi padat, karena hemimisel dapat terbentuk pada permukanya, bahkan pada konsentrasi surfaktan di bawah konsentrasi misel kritis (cmc). Konsep lainnya disajikan oleh Plucinski dan Nitsch, termasuk langkah parsial fusi misel dengan antarmuka dari minyak-air, diikuti oleh langkah pemisahan. Mekanisme tersebut bisa berlangsung pada kasus droplet microemulsion, bukan misel, yang bertanggung jawab untuk terjadinya solubilisasi (Kralchevsk, Peter A., 2005).
(36)
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.9. Solubilisasi Sebagai Reaksi Permukaan: Proses dapat dimodelkan Sebagai Urutan Tiga Langkah: (A) Adsorpsi Misel Kosong Pada Antarmuka Minyak-Air; (B) Pengambilan Minyak dicapai Sebagai Reaksi Permukaan: Misel Kosong Mengambil Minyak dan Terbagi Menjadi Beberapa Gembung Misel; (C) Desorption Misel Gembung. Molekul Dengan Tiga Ekor (Solubilizate) Menurut
(37)
22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1Alur Penelitian
Formulasi Mikroemulsi Testosteron Undekanoat.
Uji Ukuran Partikel Uji Sentrifugasi
Uji Cyling Test
Mikroemulsi TU Kosolvensi (Produk Pasaran) Pengujian Laju Difusi dengan Franz Diffusion
Cell dengan Medium Posphate Buffer Saline
Dianalisis dengan KCKT Evaluasi Sediaan Mikroemulsi
Uji pH
1.Variasi Konsentrasi Pelarut 2.Diagram fase
(38)
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioavailability Bioequivalence
(PBB), dan Laboratorium Medical Research, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Balai Inkubator Teknologi (BIT) kawasan PUSPIPTEK Serpong. Penelitian berlangsung selama 8 bulan, terhitung dari bulan Mei 2012 sampai dengan Desember 2012.
3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Ultimate 3000 Dionex®) yang terdiri dari pompa, kolom (Dionex®), injektor dan ultraviolet detektor, penyaring membran 0,45 µ m (Filtrex®), alat-alat gelas (Iwaki Pyrex®), timbangan analitik (AND GH-202®), pipet mikro (Eppendorf®), lemari pendingin (Sanyo Medicool®), Oven (France Etuves C 3000®), pengaduk magnetik (Nuova Stirrer®), hot plate (Advantec SRS710HA), Centrifuge (Eppendrof SH7R), perangkat alat uji difusi Franz, potongan melintang otot tikus.
3.3.2 Bahan
Testosteron Undekanoat (Jinan Yunxiang Co. Ltd), Benzil Benzoat (Aldrich Chemistry), Isopropil Miristat (Merck), Castor Oil (Aldrich Chemistry), Tween 80 (Merck), Aquabidestilata (PT. Ikapharmindo Putramas), Aquadest for HPLC (Merck), Asetonitril (Merck), Methanol (Merck), Posphate Buffer Saline
(PBS).
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan yang paling besar. Selain itu, dilakukan optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi yaitu kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan.
(39)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pencarian konsentrasi campuran minyak dilakukan dengan mencampurkan semua komponen minyak hingga tercampur homogen. Setelah itu ke dalam campuran minyak ditambahkan zat aktif sedikit demi sedikit hingga jenuh. Setiap penambahan zat aktif dilakukan pencatatan jumlah yang ditambahkan. Jumlah zat aktif yang dapat tersolubilisasi oleh perbandingan campuran minyak adalah jumlah zat aktif hingga sebelum jenuh. Perbandingan campuran minyak yang dipilih adalah yang dapat mensolubilisasi zat aktif paling besar. Perbandingan campuran minyak dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Perbandingan Campuran Minyak
No IPM Minyak Jarak BB
1 20 8 43
2 20 8 41
3 22 5 44
4 25 5 41
Perbandingan campuran minyak ini didapatkan dari hasil optimasi formula yang akan jadi mikroemulsi. Formula pada tabel 3.1 merupakan formula yang dapat membentuk mikroemulsi sehingga selanjutnya ditentukan formula mana yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat paling besar.
Optimasi kondisi yang dilakukan yaitu kecepatan penggadukan dilakukan pada kecepatan yaitu 100-200rpm, 750 rpm dan 1000-1500rpm. Waktu percobaan dihitung setelah penambahan air lalu terbentuk mikroemulsi dan dilanjutkan hingga terlihat adanya kabut-kabut putih yang menandakan pada waktu tersebut mikroemulsi sudah tidak stabil. Waktu yang terpilih adalah waktu yang dapat menghasilkan mikroemulsi yang jernih, transparan dan stabil.
3.4.2 Optimasi FormulaMikroemulsi dengan Variasi Kosentrasi
Setelah mendapatkan persentase fase minyak maka dilakukan optimasi dan digambarkan dengan diagram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner
membantu mendapatkan konsentrasi optimum fase minyak, surfaktan, kosurfaktan dan air daerah yang menghasilkan mikroemulsi yang jernih, transparan dan tetap
(40)
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
stabil. Diagram Fase dibuat dengan variasi konsentrasi minyak dan surfaktan. Persamaan yang digunakan untuk komposisi diagram fase adalah :
% A (Tween 80)+% B (minyak jarak + IPM + benzil benzoat)+% C (Air) = 100% % A = Surfaktan %B = Fase minyak %C = Air
Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi
Nama
Formula Tween 80
Benzil Benzoat
Isopropil Miristat
Minyak
Jarak Air
A 3 55,46 27,26 11,48 3
B 10 51,33 25,23 10,44 3
C 15 48,38 23,78 9,48 3
D 20 45,43 22,33 9,24 3
E 22 44,25 21,75 9 3
F 23 43,66 24,46 8,88 3
G 24 43,07 21,17 8,76 3
H 25 42,48 20,88 8,64 3
I 27 41,3 20,3 8,4 3
J 28 41 20 8 3
K 29 40,12 19,72 7,806 3
L 30 39,53 19,43 7,68 3
M 33 37,46 18,56 7,68 3
N 37 35,76 17,4 7,2 3
O 45 21,32 10,4 4,16 3
P 30 36,58 17,96 7,44 5
Q 30 36,84 17,97 7,19 8
R 25 35,4 17,4 4,8 15
S 20 17,7 8,7 3,6 50
T 30 11,8 5,8 2,4 50
(41)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi
Prosedur pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan cara benzil benzoat dimasukan ke dalam gelas piala, kemudian ke dalamnya ditambahkan IPM dan minyak jarak. Campuran tersebut diaduk hingga homogen (+ 2 menit). Lalu ditambahkan komponen lain (Tween 80) sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik hingga homogen. Aqua bidestilata kemudian ditambahkan ke dalam campuran sedikit demi sedikit hingga didapatkan larutan yang jernih dan transparan. Awal penambahan air akan terbentuk gumpalan-gumpalan putih yang lama kelamaan akan menghilang dan terbentuk mikroemulsi yang jernih. Penambahan zat aktif dilakukan sebelum penambahan surfaktan. Mikroemulsi dibuat dengan kekuatan sediaan Testosteron Undekanoat 250 mg/ml.
3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi 3.4.4.1 Cycling Test
Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin 4°C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40°C selama 24 jam (1 siklus). Percobaan ini dilakukan sebanyak 6 siklus. Kejernihan dan kekeruhan mikroemulsi selama percobaan dibandingkan dengan sediaan sebelumnya (Azrifitria, 2012).
3.4.4.2 Uji Sentrifugasi
Sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 9000 rpm selama 20 menit (Moreno, MA., 2001).
3.4.4.3 Uji pH
pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir cycling test.
(42)
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4.4 Uji Ukuran Partikel
Ukuran partikel diukur dengan alat DelsaTMNano C (Particle Analyzer). Sampel yang akan diukur adalah sediaan mikroemulsi suhu ruang dan sediaan yang telah diuji cycling test. Mikroemulsi didilusi 1:100 dengan aquades sebelum pengukuran
3.4.5 Uji Difusi
Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat uji difusi statis Franz Cell. Sebanyak 0,5 mL sampel ditempatkan pada kompartemen donor. Temperatur pada saat pengujian diatur konstan pada suhu 37 + 0,5oC dengan menggunakan thermostat.
Sebagai barier digunakan potongan melintang otot bagian Biceps Femoris
tikus jantan Sprague-Dawley dengan berat + 380 gram dengan ketebalan otot yang digunakan 2mm + 0,3 mm dan luas membran 2,46 cm2. Untuk mendapatkan otot tikus terlebih dahulu tikus dilakukan anestesi menggunakan eter. Selanjutnya kulit yang melapisi otot dipisahkan dengan perlahan agar otot tidak terluka karena ditakutkan akan berpengaruh kepada penetrasi zat aktif. Lemak dan pembuluh darah yang ada pada bagian dalam ataupun luar otot dibersihkan agar tidak mengganggu penetrasi obat melalui otot. Otot disimpan di dalam lemari pendingin sebelum digunakan tetapi sebaiknya digunakan otot yang masih segar, otot dapat digunakan dalam rentan waktu kurang dari 24 jam agar otot masih segar dan tidak mempengaruhi penetrasi obat
Untuk menciptakan kondisi sink, digunakan medium difusi Phosphate Buffer Saline sebanyak 21 mL dan diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 1500 rpm. Pada interval waktu yang telah ditentukan (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 jam) diambil cuplikan sebanyak 2 ml dengan menggunakan syringe dan segera digantikan dengan larutan Phosphate Buffer Saline sejumlah volume yang sama. Uji difusi dilakukan terhadap mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran. Penentuan kadar TU pada sampel dilakukan dengan menggunakan metode KCKT.
(43)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.5.1Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan KCKT
Preparasi sampel cuplikan uji difusi dan penetapan kadar sampel dilakukan menggunakan KCKT. Cuplikan dari medium uji difusi diambil sebanyak 100 μL, dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10) waktu alir 1,2 mL/menit. Temperatur kolom ± 25oC. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).
3.4.5.2 Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
Penetapan kadar zat aktif dilakukan menggunakan KCKT. Sampel diambil sebanyak 5 µL dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10) waktu alir 1,2 mL/menit. Temperatur kolom ± 25oC. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).
3.4.5.3Pembuatan Kurva Kalibrasi
Larutan induk standar testosteron undekanoat dibuat dengan konsentrasi 50 ppm yang dilarutkan di dalam fase gerak Metanol dan Asetonitril (90:10). Larutan induk dibuat dalam volume 25 mL. Ditimbang 1,25 mg testosteron undekanoat dan dilarutkan dalam larutan fase gerak metanol dan asetonitril (90:10) digenapkan hingga 25 mL.
Kurva kalibrasi testosteron undekanoat dibuat dengan mengencerkan larutan induk testosteron undekanoat 50 ppm menjadi 8 seri konsentrasi yaitu 0,3
– 2,4 ppm lalu diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak Metanol : Asetonitril (90:10), laju alir 1,2 mL/menit, temperatur kolom 25oC, volume injeksi 20 µL. detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).
(44)
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.6 Analisis Data
Data yang dianalisis pada penelitian ini yaitu persentase testosteron undekanoat yang terakumulasi dan Fluks laju difusi (J).
Persen testosteron undekanoat yang terpenetrasi didapatkan dari jumlah akumulasi testosteron undekanoat yang terpenetrasi dibagi dengan dosis yang diplikasikan (125mg) dikali 100%. Jumlah testosteron undekanoat yang terpenetrasi dihitung dengan rumus:
= { . + =1−1 . }
(Raditya, Iswandana., 2012)
Q = Jumlah akumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi Cn = Konsentrasi TU(μg/ml) pada sampling Jam ke-n
V = Volume sel difusi Franz = 21 ml
−1
=1 = Jumlah konsentrasi testosteron undekanoat (μg/ml) pada sampling
pertama (jam ke-1) hingga sebelum jam ke-n
S = Volume sampling 2 ml
Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi obat tiap satuan waktu) dengan rumus :
= ×
(Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983)
Dimana:
J = Fluks (μg cm-2 jam-1)
M = Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang melalui membran (μg) S = Luas area difusi (cm2)
(45)
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
4.1.1 Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan sediaan yang paling besar. Selain itu, optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi yaitu suhu, kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan.
Hasil percobaan pendahuluan kali ini didapatkan perbandingan konsentrasi campuran minyak yang mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu formula 2 dengan perbandingan 20:8:41 (IPM : Minyak Jarak : BB).
Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak
Formula IPM Minyak Jarak BB TU yang dapat terlarut (mg)
1 20 8 43 310
2 20 8 41 340
3 22 5 44 331
4 25 5 41 330
Berdasarkan optimasi kondisi pembuatan didapatkan kondisi optimal pembuatan mikroemulsi yang jernih dan stabil adalah, kecepatan pengadukan + 750 rpm, dengan lama pengadukan + 30 menit.
Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan
Kecepatan (Rpm) Hasil
100-200 Tidak terbentuk mikroemulsi
750 Mikroemulsi yang terbentuk jenih dan transparan
(46)
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi
Optimasi formula mikroemulsi dilakukan dengan variasi konsentrasi tetapi persen fase minyak dihitung berdasarkan perbandingan campuran minyak yang paling besar kemampuan mensolubilisasi testosteron undekanoat yaitu formula 2 (20 : 8 : 41). Besarnya perbandingan lalu dijadikan dalam bentuk 100% sehingga didapatkan pesentase masing-masing yaitu 12% untuk minyak jarak, 29% untuk isopropil miristat dan 59% untuk benzil benzoat. Persentase ini digunakan untuk menghitung jumlah masing-masing minyak dari jumlah minyak yang dibutuhkan dalam pembuatan mikroemulsi.
Hasil optimasi formula digambarkan dengan digram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner dibaut dengan komposisi: A. Surfaktan; Tween 80, B. Fase minyak; minyak jarak, IPM, benzil benzoat, dan C. air. Diagram fase
pseudoterner dapat dilihat pada Gambar 4.1.
60 70 80 90 100
100 0
AIR MINYAK
0 10 20 30 40 50
80 20
90 10
60 40
30 70
60
50 50
20 80
30 70
SURFAKTAN 0 100
10 90
40
Gambar 4.1. Diagram fase pseudoterner
Keterangan: Surfaktan (Tween 80) + Minyak (benzil benzoat + IPM + minyak jarak) + Air dengan perbandingan konsentrasi benzil benzoate : IPM : minyak jarak =
41:20:8
(47)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembuatan diagram fase membantu mendapatkan konsentrasi optimum fase minyak, surfaktan dan air. Berdasarkan diagram fase pseudoterner didapatkan rentan pembuatan mikroemulsi yaitu konsentrasi dari surfaktan; 28-30%, fase minyak 67-69%, dan fase air 3%. Pada diagram terlihat mikroemulsi terdapat di daerah sebelah kanan diantara fase surfaktan dan minyak. Hal ini menunjukan mikroemulsi yang terbentuk tipe a/m (air dalam minyak).
4.1.3 Pembuatan Mikroemulsi
Formula J, K, dan L ,meghasilkan mikroemulsi yang jernih, stabil dan transparan. Akan tetapi, hanya formula J yang akan digunakan untuk evaluasi selanjutnya dan uji difusi. Formula J mengandung surfaktan paling kecil yaitu 28% dan viskositasnya tidak terlalu kental serta dalam penyimpanan selama 1 bulan mikroemulsi tetap stabil. Selanjutnya formula ini dibuat untuk dosis manusia (250 mg/mL) dan dilakukan evaluasi serta uji difusi. Kondisi pembutan dilakukan dengan kecepatan pengadukan 750rpm dengan lama pengadukan + 30menit dan pada temperatur ruang yaitu 27oC.
4.1.4 Evaluasi Mikroemulsi 4.1.4.1Cycling Test
Hasil cycling test mikroemulsi tetap stabil, warna yang sama dengan warna mikroemulsi sebelum cycling test, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kristal, kejernihan yang sama dengan sebelum perlakuan dan tidak terjadi pemisahan fase yang menunjukan sediaan tetap stabil. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.1.
(48)
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.4.2Uji Sentrifugasi
Setelah disentrifugasi mikroemulsi tetap stabil, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase (creaming). Hasil terlihat pada gambar 4.2.
Gambar 4.3. Mikroemulsi Setelah Sentrifugasi
4.1.4.3Uji pH
Hasil pengukuran pH setelah pembuatan 6,240; sebelum cycling test
6,357; setelah cycling test 6,368 dan sesudah penyimpanan selama 2 bulan 6,403.
4.1.4.4Uji Ukuran Partikel
Hasil pengukuran dapat dilihat pada table 4.2.
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Partikel Mikroemulsi
Formula Terpilih Ukuran (nm)
Sebelum cycling test 91,4 + 26,2 Sesudah cycling test 86,8 + 24,2
4.1.5 Uji Difusi
4.1.5.1Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat untuk Cuplikan Uji Difusi
Pembuatan kurva kalibrasi diperoleh dari seri konsentrasi dan data luas area. Luas area tiap konsentrasi testosteron undekanoat setelah diukur menggunakan KCKT dapat dilihat pada lampiran 2 serta kurva kalibrasi testosteron undekanoat pada gambar 4.4.
Dari tabel kurva kalibrasi testosteron undekanoat (Lampiran 2) dimasukan ke dalam perhitungan statistik (intersep, slope dan pearson) pada Microsoft exel
(49)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga diperoleh variable a, b dan r yaitu, a = 0,010763, b = 0,721795 dan r2= 0,999766 sehingga diperoleh persamaan = 0,010763 + 0,721795.
Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat (TU)
4.1.5.2Hasil Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
Perhitungan konsentrasi sebenarnya didapat dari konsentrasi sediaan dikalikan dengan faktor pengenceran yaitu 1000x (5µL sediaan diencerkan menjadi 5 mL).
Tabel 4.4 Kadar Zat Aktif dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
AUC Konsentrasi sediaan (ppm) Konsentraasi sebenarnya mg/mL Sediaan yang beredar
143,751 + 0,803 248,654 + 1.3321 248,654 + 1,3321
mikroemulsi 141,708 + 0,476 245,267 + 0,7889 245,267 + 0,7889
4.1.5.3Hasil Uji Difusi Sediaan Mikroemulsi dibandingkan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
Profil difusi testosteron undekanoat per satuan waktu dalam sediaan mikroemulsi dan kosolvensi yang beredar di pasaran.
y = 0,721795x - 0,010763 R² = 0,999766 0.0000
0.5000 1.0000 1.5000 2.0000
0.3 0.9 1.5 2.1 2.4
A U C ( m A U *m in ) Konsetrasi (ppm) AUC Linear (AUC)
(50)
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.5 Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
Jam
Mikroemulsi Sediaan yang beredar Jumlah
terakumulasi(µg)
(%) Zat yang Terakumulasi dari dosis yang diaplikasikan Jumlah terakumulasi(µg)
(%) Zat yang Terakumulasi
dari dosis yang diaplikasikan
1 64,911 0,053 392,067 0,315 2 175,783 0,143 512,286 0,412 3 274,815 0,224 739,273 0,595 4 425,361 0,347 1386,334 1,115 5 528,340 0,431 1837,518 1,478 6 801,994 0,654 2273,700 1,829 7 962,441 0,785 2823,872 2,271 8 1258,528 1,026 3354,958 2,698
Gambar 4.5. Grafik Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di
Pasaran 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
1 2 3 4 5 6 7 8
(% ) P e rs e n t e st o st e ro n u n d e k a n o a t ya n g te rp e n e tra si Jam
(51)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fluks mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar.
Tabel 4.6 Fluks TU dari sediaan mikroemulsi dan sediaan komersial
Gambar 4.6. Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Selama 8 Jam
4.2 PEMBAHASAN
Mikroemulsi adalah suatu sistem dispersi antara 2 carian yang tidak tercampurkan yang stabil secara termodinamika, jernih, transparan dan terbentuk secara sepontan (El-Laithy, 2003). Mikroemulsi dipilih sebagai pembawa karena keuntungan pembuatan mikroemulsi yaitu stabil secara termodinamika, pembentukan yang mudah (tegangan antarmuka yang kecil dan terbentuk secara spontan), serta dapat distrerilisasi dengan filtrasi,(Talegaonkar, Sushama et al., 2008).
Percobaan pendahuluan kali ini dilakukan optimasi campuran minyak dengan tujuan mencari perbandingan komposisi minyak yang dapat meningkatkan
solubilisasi testosteron undekanoat di dalam mikroemulsi. Hal ini diperlukan karena testosteron undekanoat mempunyai kelarutan yang sangat kecil di dalam
63.95 170.476 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Sediaan F lu k s (μ g cm -2 ja m -1) Mikroemulsi Sediaan kosolvensi Sediaan Fluks
(μg cm-2
jam-1)
Mikroemulsi 63,950
(52)
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
air (0,00052 mg/ml) (Saraswati A., 2012) tetapi kelarutanya besar di dalam pelarut minyak. Selain itu, pemberian testosteron undekanoat ditujukan untuk efek depo maka pemberian testosteron undekanoat dilakukan melalu injeksi intramuskular.
Injeksi intramuskular adalah injeksi yang disuntikan ke dalam lapisan otot di bawah jaringan subkutan dan tidak langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Pemberian injeksi intramuskular dapat diberikan pada otot bagian deltoid ataupun bagian gluteus. Perbedaan tempat injeksi menyebabkan perbedaan volume maksimal pemberian. Injeksi testosteron undekanoat diberikan melalui otot bagian gluteus. Pemberian pada otot gluteus mempunyai volume maksimal pemberian yaitu 4ml. Pemberian dengan volume melebihi volume maksimal akan menyebabkan nyeri dan terkadang bisa menyebabkan nekrosis. Perlu dicari perbandingan campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undeknoat yang paling besar sehingga dapat memenuhi syarat volume pemberian melalui otot gluteus.
Perbandingan campuran minyak yang digunakan mempertimbangkan keamanan zat tersebut dalam penggunaan injeksi intramuskular dan kelarutan testosteron undekanoat pada masing-masing komponen. Dari penelitian yang sudah dilakukan Saraswati, 2012 menunjukan kelarutan testosteron undekanoat pada komponen mikroemulsi paling besar pada benzil benzoat selanjutnya isopropil miristat lalu pada minyak jarak. Sehingga benzil benzoat mempunyai bagian yang lebih besar dalam campuran.
Berdasarkan hasil penelitian ini perbandingan campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu 41:20:8 ( benzil benzoat : ipm : minyak jarak) dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat mencapai 340 mg/ml. Meskipun demikian ke 4 formula tersebut sudah mampu meningkatkan solubilisasi testostern undekanoat dan dapat dibuat sesuai dosis (250 mg/mL).
Pada penggunaan injeksi intramuskular minyak yang digunakan harus memenuhi syarat yang berada pada Farmakope Indonesia. Syaratnya adalah Bilangan asam tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari 0,9. Bilangan iodium. tidak kurang dari 79 dan tidak lebih dari 128. Bilangan penyabunan tidak kurang
(53)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari 185 dan tidak lebih dari 200. Pada penelitian kali ini belum diketahui nilai bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan dari masing-masing komponen minyak yang digunakan. Akan tetapi, berdasarkan studi literatur komponen tersebut merupakan komponen yang biasa digunakan untuk penggunaan intramuskular.
Selain optimasi perbandingan campuran fase minyak dilakukan optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi agar dihasilkan mikroemulsi yang jernih dan stabil. Kondisi yang penting untuk diperhatikan adalah kecepatan pengadukan dan waktu. Pengadukan konstan dalam pembuatan mikroemulsi kali ini dilakukan menggunakan pengaduk magnet. Awalnya pengadukan dilakukan dengan kecepatan 100-200 rpm tetapi bahan yang ada tidak dapat bercampur sehingga mikroemulsi tidak dapat terbentuk (2 lapisan). Selanjutnya, kecepatan pengadukan ditingkatkan antara 1000-1500 rpm menghasilkan mikroemulsi yang berbusa dan setelah didiamkan 3 jam membentuk 2 lapisan. Mikroemulsi yang jernih dan stabil dapat terbentuk ketika kecepatan pengadukan diturunkan menjadi + 750 rpm. Dengan demikian, kecepatan + 750 rpm merupakan kecepatan yang optimum untuk pembentukan mikroemulsi dan selanjutnya mikroemulsi dibuat dengan kecepatan + 750 rpm.
Pembuatan mikroemulsi kali ini dilakukan dengan teknik titrasi dimana salah satu fase ditambahkan secara perlahan ke dalam fase yang lain dengan adanya pengadukan yang konstan. Pengadukan bertujuan untuk mendispersikan fase terdispersi ke dalam medium pendispersi. Proses pengadukan tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat. Jika terlalu cepat, akan terjadi turbulensi dimana tetesan-tetesan mikroemulsi semakin mudah berbenturan dan mengakibatkan ukuran partikel mikroemulsi yang dihasilkan menjadi lebih besar (Lachman et al., 1994). Selain itu, karena adanya surfaktan pengadukan yang terlalu cepat dapat menghasilkan busa yang lebih banyak. Sedangkan pengadukan yang terlalu lambat akan menyebabkan bahan yang ada sulit untuk menjadi homogen sehingga mikroemulsi sulit terbentuk (Jufri, M, 2009).
Pengadukan dilakukan selama 30 menit dengan kecepatan + 750 rpm. Dengan waktu kurang dari 25 menit masih terdapat butiran-butiran fase terdispersi. Jika pengadukan dilakukan lebih dari 30 menit mikroemulsi yang
(54)
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tadinya jernih menjadi keruh. Lamanya waktu pengadukan juga mempengaruhi pembentukan mikroemulsi. Jika terlalu lama pengadukan yang dilakukan maka mikroemulsi yang tadinya jernih akan menjadi keruh akibat adanya kabut-kabut halus karena penggumpalan partikel-partikel terdispersi (Lachman et al., 1994). Jika pengadukan terlalu lama maka globul-globul yang ada mudah bergabung dan terjadi koalesensi karena perubahan diameter yang semakin kecil akan menghasilkan energi bebas permukaan yang tinggi sehingga sistem menjadi tidak stabil.
Komposisi komponen pembentuk mikroemulsi juga merupakan hal penting dalam pembuatan mikroemulsi. Umumnya mikroemulsi terdiri dari fase minyak, air, surfaktan, dan kosurfaktan/kosolven (Bakan, J.A., 1995). Pada penelitian ini hanya menggunakan air, surfaktan dan minyak. Surfaktan yang digunakan adalah tween 80, sedangkan minyak yang digunakan adalah campuran dari benzil benzoat, isopropil miristat dan minyak jarak. Benzil benzoat mempunyai fungsi tambah yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan Saraswati, 2012 yaitu tegangan antarmuka benzil benzoat terhadap air lebih rendah dibandingkan dengan komponen minyak yang lain. Sehingga jumlah benzil benzoat membantu menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air.
Pada optimasi formula mikroemulsi dibuat dengan variasi konsentrasi minyak dan surfaktan. Perbandingan minyak yang digunakan adalah hasil dari optimasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar. Formula A, B,C, D dan T sejak awal pembuatan terbentuk 2 fase yang tidak tercampur. Hal ini diduga karena fase minyak yang ada masih terlalu besar mengakibatkan surfaktan yang ada belum mampu menurunkan tegangan antarmuka antara fase terdispersi dan pendispersi. Formula E sampai O saat pembuatan mikroemulsi terbentuk mikroemulsi yang jernih. Sedangkan formula P dan S sejak awal terbentuk emulsi serta formula Q, R dan U terbentuk krim. Pembentukan krim disebabkan terlalu banyaknya fase air yang digunakan.
Formula E-O dilakukan pengamatan stabilitas penyimpanan pada suhu normal selama satu bulan. Hasilnya formula E, F, G, H, N, dan O terjadi breaking
(1)
LAMPIRAN 9
(2)
LAMPIRAN 10 Kromatogram TU dalam Sediaan Mikremulsi
LAMPIRAN 11 Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
-200 0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400
1,600 STANDAR TU BESAR #15 m e 5m ikro 1 UV_VIS_1
m AU
m in
1 - 0.2332 - 0.2733 - 0.3074 - 0.5735 - 0.8536 - 0.9137 - 1.020
8 - 1.913
9 - 2.553 10 - 3.30711 - 3.61312 - 3.86713 - 4.17314 - 4.493 15 - 4.920
16 - 5.287
17 - Testosteron unde
WVL:240 nm
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
-200 0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400
1,600 STANDAR TU BESAR #23 nebido 5 m ikro UV_VIS_1
m AU
m in
1 - 0.2332 - 0.3203 - 0.3734 - 0.4335 - 0.4806 - 0.5277 - 0.5478 - 1.0809 - 1.433 10 - 1.920
11 - 2.573 12 - 3.32713 - 3.64714 - 3.88715 - 4.20716 - 4.527 17 - 4.940
18 - 5.340
19 - Testosteron und
(3)
LAMPIRAN 12 Kromatogram TU dalam PBS
LAMPIRAN 13 Kromatogram Blangko Medium PBS
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
-1.00 1.25 2.50 3.75 5.00 6.25
8.00 FIX STANDAR TU #74 Kelarutan tu pbs UV_VIS_1
mAU
min 1 - 0.0332 - 0.593
3 - 1.280
4 - 1.433 5 - 1.927
6 - 2.333
7 - 2.9738 - 3.2809 - 3.527 10 - 4.973 11 - 5.353
12 - TU - 5.713
13 - 6.6 WVL:245 nm
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
-1.0 2.0 4.0 6.0
9.0 PENDAHULUAN DIFUSI #21 PBS BLANK 3 UV_VIS_1
mAU
min 1 - 0.3932 - 0.4933 - 0.5404 - 0.6075 - 0.9736 - 1.1477 - 1.2078 - 1.3609 - 1.473
10 - 1.620 11 - 1.767
12 - 3.113
13 - 5.04014 - 5.20015 - 5.30716 - 5.92017 - 6.00018 - 6.120 WVL:245 nm
(4)
LAMPIRAN 14
Certificate of Analysis Testosteron Undecanoat
JINAN YUNXIANG CHEMICAL CO., LTD.
RM 2401, BUILDING A,NO.1825 HUALONG ROAD LICHENG AREA,JINAN,SHANGDONG PROVICE,CHINA TEL: 0086-531-82375937 FAX:0086-531-88775825
CERTIFICATE OF ANALYSIS
Director :余毅 (tester):肖华 (Retester):李传宏
Product Name Tesosteron Undecanate L ot no 011222
MFG. Date 2010.12.22 2010.12.23
Test Items Specification Test Results
Appearance White or almost white crystalline powder 符合
L oss on drying ≦0.5% 0.24%
Optical rotation +68° ~+72° 70.3°
Melting Point 60~65°C 61-63°C
HPLC Assay 97-103.0% 98.81%
Free acid 0.5%max 0.35%
(5)
LAMPIRAN 15
(6)
LAMPIRAN 16
Certificate of Analysis Minyak Jarak