Pembuatan Mikroemulsi Analisis Data

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi

Prosedur pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan cara benzil benzoat dimasukan ke dalam gelas piala, kemudian ke dalamnya ditambahkan IPM dan minyak jarak. Campuran tersebut diaduk hingga homogen + 2 menit. Lalu ditambahkan komponen lain Tween 80 sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik hingga homogen. Aqua bidestilata kemudian ditambahkan ke dalam campuran sedikit demi sedikit hingga didapatkan larutan yang jernih dan transparan. Awal penambahan air akan terbentuk gumpalan-gumpalan putih yang lama kelamaan akan menghilang dan terbentuk mikroemulsi yang jernih. Penambahan zat aktif dilakukan sebelum penambahan surfaktan. Mikroemulsi dibuat dengan kekuatan sediaan Testosteron Undekanoat 250 mgml.

3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi

3.4.4.1 Cycling Test

Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin 4°C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40°C selama 24 jam 1 siklus. Percobaan ini dilakukan sebanyak 6 siklus. Kejernihan dan kekeruhan mikroemulsi selama percobaan dibandingkan dengan sediaan sebelumnya Azrifitria, 2012.

3.4.4.2 Uji Sentrifugasi

Sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 9000 rpm selama 20 menit Moreno, MA., 2001.

3.4.4.3 Uji pH

pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir cycling test. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.4.4 Uji Ukuran Partikel

Ukuran partikel diukur dengan alat Delsa TM Nano C Particle Analyzer. Sampel yang akan diukur adalah sediaan mikroemulsi suhu ruang dan sediaan yang telah diuji cycling test. Mikroemulsi didilusi 1:100 dengan aquades sebelum pengukuran

3.4.5 Uji Difusi

Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat uji difusi statis Franz Cell. Sebanyak 0,5 mL sampel ditempatkan pada kompartemen donor. Temperatur pada saat pengujian diatur konstan pada suhu 37 + 0,5 o C dengan menggunakan thermostat. Sebagai barier digunakan potongan melintang otot bagian Biceps Femoris tikus jantan Sprague-Dawley dengan berat + 380 gram dengan ketebalan otot yang digunakan 2mm + 0,3 mm dan luas membran 2,46 cm 2 . Untuk mendapatkan otot tikus terlebih dahulu tikus dilakukan anestesi menggunakan eter. Selanjutnya kulit yang melapisi otot dipisahkan dengan perlahan agar otot tidak terluka karena ditakutkan akan berpengaruh kepada penetrasi zat aktif. Lemak dan pembuluh darah yang ada pada bagian dalam ataupun luar otot dibersihkan agar tidak mengganggu penetrasi obat melalui otot. Otot disimpan di dalam lemari pendingin sebelum digunakan tetapi sebaiknya digunakan otot yang masih segar, otot dapat digunakan dalam rentan waktu kurang dari 24 jam agar otot masih segar dan tidak mempengaruhi penetrasi obat Untuk menciptakan kondisi sink, digunakan medium difusi Phosphate Buffer Saline sebanyak 21 mL dan diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 1500 rpm. Pada interval waktu yang telah ditentukan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 jam diambil cuplikan sebanyak 2 ml dengan menggunakan syringe dan segera digantikan dengan larutan Phosphate Buffer Saline sejumlah volume yang sama. Uji difusi dilakukan terhadap mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran. Penentuan kadar TU pada sampel dilakukan dengan menggunakan metode KCKT. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.5.1 Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel

Menggunakan KCKT Preparasi sampel cuplikan uji difusi dan penetapan kadar sampel dilakukan menggunakan KCKT. Cuplikan dari medium uji difusi diambil sebanyak 100 μL, dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak Metanol dan Acetonitril 90:10 waktu alir 1,2 mLmenit. Temperatur kolom ± 25 o C. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm Irma, 2010.

3.4.5.2 Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan

Kosolvensi yang Beredar di Pasaran Penetapan kadar zat aktif dilakukan menggunakan KCKT. Sampel diambil sebanyak 5 µL dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak Metanol dan Acetonitril 90:10 waktu alir 1,2 mLmenit. Temperatur kolom ± 25 o C. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm Irma, 2010.

3.4.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Larutan induk standar testosteron undekanoat dibuat dengan konsentrasi 50 ppm yang dilarutkan di dalam fase gerak Metanol dan Asetonitril 90:10. Larutan induk dibuat dalam volume 25 mL. Ditimbang 1,25 mg testosteron undekanoat dan dilarutkan dalam larutan fase gerak metanol dan asetonitril 90:10 digenapkan hingga 25 mL. Kurva kalibrasi testosteron undekanoat dibuat dengan mengencerkan larutan induk testosteron undekanoat 50 ppm menjadi 8 seri konsentrasi yaitu 0,3 – 2,4 ppm lalu diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak Metanol : Asetonitril 90:10, laju alir 1,2 mLmenit, temperatur kolom 25 o C, volume injeksi 20 µL. detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm Irma, 2010. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.6 Analisis Data

Data yang dianalisis pada penelitian ini yaitu persentase testosteron undekanoat yang terakumulasi dan Fluks laju difusi J. Persen testosteron undekanoat yang terpenetrasi didapatkan dari jumlah akumulasi testosteron undekanoat yang terpenetrasi dibagi dengan dosis yang diplikasikan 125mg dikali 100. Jumlah testosteron undekanoat yang terpenetrasi dihitung dengan rumus: = { . + −1 =1 . } Raditya, Iswandana., 2012 Q = Jumlah akumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi Cn = Konsentrasi TUμgml pada sampling Jam ke-n V = Volume sel difusi Franz = 21 ml −1 =1 = Jumlah konsentrasi testosteron undekanoat μgml pada sampling pertama jam ke-1 hingga sebelum jam ke-n S = Volume sampling 2 ml Kemudian dilakukan perhitungan fluks kecepatan penetrasi obat tiap satuan waktu dengan rumus : = × Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983 Dimana: J = Fluks μg cm -2 jam -1 M = Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang melalui membran μg S = Luas area difusi cm 2 t = Waktu jam 30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

4.1.1 Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan sediaan yang paling besar. Selain itu, optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi yaitu suhu, kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan. Hasil percobaan pendahuluan kali ini didapatkan perbandingan konsentrasi campuran minyak yang mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu formula 2 dengan perbandingan 20:8:41 IPM : Minyak Jarak : BB. Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak Formula IPM Minyak Jarak BB TU yang dapat terlarut mg 1 20 8 43 310 2 20 8 41 340 3 22 5 44 331 4 25 5 41 330 Berdasarkan optimasi kondisi pembuatan didapatkan kondisi optimal pembuatan mikroemulsi yang jernih dan stabil adalah, kecepatan pengadukan + 750 rpm, dengan lama pengadukan + 30 menit. Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan Kecepatan Rpm Hasil 100-200 Tidak terbentuk mikroemulsi 750 Mikroemulsi yang terbentuk jenih dan transparan 1000-1500 Mikroemulsi berbusa dan tidak stabil