Analisis Kewenangan Pemerintah Pada Pembelian Saham Divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara

d. Nilai hasil investasi harus dihitung setelah dikurangi bebanbiaya investasi; e. Bebanbiaya investasi yang tidak melekat pada jenis investasi tertentu dialokasikan secara proposional ke dalam setiap jenis investasi yang berkaitan dengan bebanbiaya dimaksud; f. Tingkat hasil investasi ROI baik untuk per jenis investasi maupun untuk total investasi harus diukur berdasarkan nilai rata-rata investasi; g. Untuk menghitung tingkat hasil investasi ROI, nilai rata-rata investasi untuk periode laporan harus dihitung berdasarkan nilai rata-rata awal dan nilai akhir investasi periode pelaporan; h. Tingkat hasil investasi terhadap aktiva bersih ROA harus diukur berdasarkan nilai rata-rata aktiva bersih; i. Untuk menghitung tingkat hasil investasi terhadap aktiva bersih ROA, nilai rata-rata aktiva bersih adalah rata-rata nilai awal dan nilai akhir aktiva bersih periode pelaporan; j. Periode Laporan Hasil Investasi dimulai dari tanggal Laporan Hasil Investasi sebelumnya sampai dengan tanggal Laporan Hasil Investasi berjalan dan dilengkapi dengan lampiran sesuai Form 2.

G. Analisis Kewenangan Pemerintah Pada Pembelian Saham Divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara

Perihal pembelian saham sebesar 7 tujuh persen dalam proses PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP telah menjadi perdebatan sebagaimana terlihat dalam pemberitaan media masa. Salah satu yang menjadi perdebatan adalah pembelian saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP tersebut terjadi perbedaan pendapat antara pihak BPK dan pihak Kementerian Keuangan. BPK berpendirian bahwa pembelian divestasi saham 7 tujuh persen PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP harus melalui pembahasan dengan DPR. Sementara itu, Kementerian Keuangan berpendirian sebaliknya. 165 165 Bismar Nasution, Perihal Pembelian Saham 7 tujuh persen Saham PT. Newmont Nusa Tenggara Oleh Pusat Investasi Pemerintah , Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Divestasi Universitas Sumatera Utara Sidang perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara SKLN antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan RI BPK RI sampai saat ini masih berlangsung. Terhitung sudah tujuh kali sidang di Mahkamah Konstitusi MK berlangsung dengan agenda sidang pertama adalah pemeriksaan pendahuluan, sidang kedua perbaikan permohonan dan mendengarkan jawaban Termohon I DPR dan Termohon II BPK, dan sidang-sidang berikutnya mendengarkan keterangan ahli dari pemohon, termohon, dan MK. 166 Perbedaan pendapat terus berlangsung antara dua pihak melalui pernyataan para ahli. Perkara tersebut berawal dari hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh BPK, yang menyatakan bahwa pembelian 7 tujuh persen saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara, sebuah perseroan tertutup, tahun 2010 merupakan kegiatan pemisahan keuangan negara dari APBN ke swasta yang harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara dilakukan oleh BPK berdasarkan permintaan DPR melalui surat Nomor: PW.015188DPR RIVI2011 tertanggal 21 Juni 2011. Bagir Manan salah satu ahli dari BPK menyatakan bahwa BPK berwenang memberikan pendapat sepanjang menyangkut pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diatur UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 11 huruf a. Wewenang tersebut merupakan wewenang eksklusif BPK yang tidak dibagi dengan Saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pemerintah Indonesia, Fakultas Hukum USU, tanggal 22 Nopember 2011. 166 http:www.bpk.go.idweb?p=12633, diakses tanggal 12 Mei 2012. Universitas Sumatera Utara pihak lain, termasuk dengan Presiden Pemerintah, maka Presiden Pemerintah tidak mempunyai wewenang memberikan pendapat sebagaimana dimaksud UU tersebut. 167 Dengan demikian tidak mungkin ada sengketa wewenang antara BPK dengan Presiden Pemerintah. Berdasarkan pendapat para ahli dari Termohon II Frans Limahelu; Muchsan; Siswo Sujanto; Otto Cornelis Kaligis; Revisond Baswir; Ni’matul Huda; Irmanputra Sidin; dan Bagir Manan disimpulkan bahwa : 1 pembelian 7 tujuh persen saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP tidak dapat digolongkan lain kecuali sebagai investasi langsung atau penyertaan modal, sehingga harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan; 2 pemeriksaan BPK terhadap proses pembelian 7 saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara tahun 2010 oleh PIP atas permintaan DPR merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK sebagai bentuk dari kewajiban konstitusionalnya sehingga tidak ada unsur melampaui wewenang, maupun sebagai tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang. Sementara itu, Anggito Abimanyu, dosen FE UGM, ahli yang dihadirkan oleh MK mengatakan bahwa berdasar hasil kajiannya menunjukkan alokasi dana divestasi 7 tujuh persen saham PT. Newmont Nusa Tenggara belum terinci dalam Rencana Kegiatan Investasi ataupun Rencana Bisnis dan Anggaran PIP 2011. Selain itu, rincian Belanja Satuan Kerja Investasi Pemerintah pada APBN 2011 telah tercantum angka Rp. 1 triliun sehingga belum mencukupi untuk pembelian 7 tujuh persen 167 Ibid. Universitas Sumatera Utara saham PT. Newmont Nusa Tenggara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembelian 7 tujuh persen saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh pemerintah cq PIP masih memerlukan persetujuan komisi terkait DPR sebagai kelengkapan persetujuan APBN. 168 Said Didu, mantan Sekretaris Menteri Kementerian BUMN, ahli lain yang dihadirkan oleh DPR mengatakan bahwa rencana pembelian 7 tujuh persen saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh pemerintah dinilai harus melalui persetujuan DPR. “Kasus divestasi ini terkait disiplin anggaran. Artinya, bila pemerintah tidak menyebutkan rencananya dalam APBN, tentunya anggaran tidak boleh digunakan tanpa persetujuan dari DPR. Said Didu juga menegaskan, hasil audit BPK sebaiknya tidak digugat. Implikasinya sangat luas yakni berupa ketidakpastian hukum terhadap lembaga negara. Jika hasil auditor bisa digugat, berarti setiap koruptor yang dinyatakan merugikan negara berdasarkan hasil audit BPK bisa menggugat. 169 Menurut Said Sidu, apa yang menjadi sengketa antara Presiden dengan DPR dalam perkara ini adalah apakah keputusan untuk membeli dan melaksanakan pembelian 7 tujuh persen saham divestasi PT NTT tersebut adalah semata-mata kewenangan Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan selaku Kuasa Presiden dan Bendahara Umum Negara ataukah Prsiden baru dapat memutuskan dan melaksanakan pembelian itu setelah ada persetujuan dari DPR. 168 Ibid. 169 Ibid. Universitas Sumatera Utara Said Sidu berpendapat sejauh memutuskan untuk membeli saham dan melaksanakannya, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden dalam menjalankan kebijakan Pemerintah. Apa yang menjadi persoalan sesungguhnya adalah, dari manakah dana yang akan digunakan untuk membeli saham divestasi tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan oleh PIP? PIP bukanlah BUMN yang kekayaannya telah dipisahkan dari kekayaan negara karena didirikan dengan penyertaan modal Pemerintah yang pembentukannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. PIP adalah unit organisasi di bidang pengelolaan investasi pemerintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Dengan demikian, seluruh dana PIP adalah dana Pemerintah yang sumbernya berasal dari APBN. Sementara keuntungan PIP juga seluruhnya adalah keuntungan Pemerintah. Jadi, jika Menteri Keuangan selaku Bendahara Negara menyetujui rencana PIP untuk membeli saham perusahaan manapun dengan menggunakan alokasi dana investasi yang telah tertuang di dalam APBN, hal dibenarkan danatau dibolehkan berdasarkan norma Pasal 41 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan tidak lagi memerlukan persetujuan DPR. Namun sebaliknya, apabila alokasi dana investasi belum tersedia, atau telah tersedia namun belum mencukupi, maka penyediaan dana itu harus dibahas lebih dulu dengan DPR untuk disepakati bersama dan dituangkan ke dalam APBN atau APBN Perubahan. Dalam keterangan ahlinya, Arief Hidayat, menyampaikan bahwa seharusnya berdasar pada Pasal 23 UUD 1945, DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD Universitas Sumatera Utara teleh menyetujui UU APBN yang merupakan pengelolaan keuangan negara pada tahun berjalan. Sedangkan investasi pembelian saham 7 tujuh persen divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara PT. NTT tidak memerlukan persetujuan DPR karena merupakan kebijakan eksekutif yang bersifat implementatif mikro. Persetujuan DPR diperlukan kembali apabila memenuhi persyaratan bahwa investasi jangka panjang non permanen tersebut dilakukan pada saatmomentum memenuhi kriteria “keadaan tertentu” persetujuan yang sifatnya berlapis terhadap investasi yang dilakukan oleh pemerintah. 170 Arief Hidayat juga menambahkan bahwa dewasa ini banyak kalangan ahli yang berpendapat ada pergeseran pola hubungan antara legislatif dengan eksekutif yang semula “executive heavy” menjadi “legislative heavy”, dari yang dominan kekuasaan eksekutif menjadi dominan legislatif. Seharusnya, ada keseimbangan yang dinamis antara kekuasaan eksekutif dan legislatif menuju sistem pemerintahan yang kuat, berdaya guna dan berhasil guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Erman Rajagukguk, sebagai ahli hukum ekonomi dalam sidang Permohonan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara SKLN antara Presiden RI dengan DPR RI dan BPK RI pada Senin, 16 April 2012 di Mahkamah Konsitusi menyinggung tentang sikap DPR RI saat ini. Diterangkannya bahwa Pemerintah telah mendapat persetujuan DPR untuk melakukan berbagai investasi saat menyusun, 170 http:www.sumbawanews.comberitapembelian-7-saham-divestasi-pt-nnt-sesuai-uu, diakses tanggal 12 Mei 2012. Universitas Sumatera Utara membahas dan mengesahkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBN. “Secara garis besar telah disepakati oleh DPR dan Pemerintah saat pembahasan APBN, jadi Pemerintah bebas melakukan investasi dimanapun. Ini merupakan persoalan teknis dan pemerintah adalah eksekutif, sedangkan DPR adalah legislatif,” Pandangan yang sama juga diutakan pengamat politik ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Robert A. Simanjuntak. “Tidak perlu ada silang pendapat lagi, terkait divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Itu adalah hak Pemerintah,” Robert menegaskan semua pihak harus mengetahui siapa melakukan apa dan memperoleh apa. “Sudah menjadi aturan di seluruh dunia, terkait hal - hal yang menyangkut natural resources, yang punya kewenangan adalah Pemerintah Pusat.” 171 Dekan Universitas Gajah Mada, Marsudi Triatmodjo menambahkan bahwa pemerintah dengan kepemilikan saham Newmont dapat memiliki kendali terhadap kegiatan operasional perusahaan tambang tersebut. 172 171 Marsudi melihat selama ini persoalan yang dialami oleh perusahaan yang bergerak di industri ekstratif adalah adanya permasalahan lingkungan hidup. Pemerintah memiliki kesempatan untuk mengajak atau meminta perusahaan untuk memiliki kepatuhan terhadap peraturan, ketentuan terkait dengan kepedulian lingkungan, Marsudi melihat kesempatan dan http:www.tambangnews.comberitautama1434-hadiyanto-pemerintah-berhak-akuisisi- saham-newmont.html, diakses tanggal 12 Mei 2012. 172 http:www.republika.co.idberitanasionalhukum110607lmfbzb-delapan-dekan-fh- legal-divestasi-newmont-oleh-pemerintah-pusat, diakses tanggal 12 Mei 2012. Universitas Sumatera Utara peluang baik agar perusahaan ini bisa taat memenuhi kewajibannya terhadap persoalan lingkungan. Sementara, Dekan Universitas Padjajaran Ida Nurlinda, menjelaskan langkah pemerintah dengan pengambilalihan saham tersebut dapat memberikan efek domino kepada lembaga-lembaga pemerintah lainnya untuk lebih memberikan perhatian kepada kepentingan bangsa dan kepentingan nasional. Dengan masuknya pemerintah, dalam ini Kemenkeu, membeli saham melalui PIP menunjukkan kedaulatan rakyat itu sendiri terhadap sumber daya alam, dalam hal ini tambang. Ida Nurlinda berharap bisa jadi efek domino untuk lembaga-lembaga lain untuk serius menanggapi permasalahan negara ini. 173 Sedangkan Dirjen Kekayaan Negara, Hadiyanto mengatakan landasan hukum yang digunakan pemerintah sudah sangat jelas yaitu UU Keuangan Negara dan Pasal 7 serta Pasal 21 UU Perbendaharaan Negara. 174 173 Ibid. Argumen serta Pasal yang digunakan oleh DPR untuk mempertanyakan legalitas proses divestasi tersebut, keliru. Menurut Hadiyanto, Pasal 45 dan Pasal 46 UU Perbendaharaan Negara yang menjelaskan pemindahtanganan barang milik negara harus melalui persetujuan DPR kurang tepat, karena pemerintah melakukan investasi bukan pemindahan aset. Untuk fixed asset atau harta tetap, untuk tanah dan bangunan bahkan satu meter pun musti menggunakan persetujuan DPR. Akan tetapi, ini investasi dan referensi Pasal 45-46 tidak tepat untuk ini karena menyangkut barang milik negara. 174 Ibid. Universitas Sumatera Utara Hadiyanto juga menjelaskan referensi DPR Pasal 24 Ayat 7 UU Keuangan Negara yang berkaitan dengan penyertaan modal negara pada perusahaan swasta juga kurang tepat karena ini bukan penyertaan modal negara. Ini investasi untuk penggunaan dana yang ada pada PIP yang sudah disetujui DPR. Dengan demikian, sengketa kewenangan pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara terdapat dua Undang-undang yang dijadikan sumber pegangan yang berbeda dalam menentukan lembaga mana yang berwenang antara Menteri Keuangan dengan DPR BPK. Pihak BPK menyatakan secara prinsip pembelian saham divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP merupakan penyertaan modal negara sehingga harus mendapat persetujuan dari DPR. Pendapat pihak BPK tersebut didasarkan antara lain kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, terutama Pasal 24 Ayat 7. Sebaliknya, pihak Kementerian Keuangan berpendapat bahwa pembelian saham tersebut merupakan bentuk investasi jangka panjang non permanen sebagai pelaksana fungsi-fungsi bendahara umum Kementerian Keuangan dalam mengelola kas dan investasi. Dengan demikian hal itu tidak memerlukan persetujuan dari DPR. Pendapat pihak Kementerian Keuangan itu didasarkan antara lain kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara sekaligus pelaksanaan kontrak karya antara PT. Newmont Nusa Tenggara dan pemerintah Indonesia. 175 175 Bismar Nasution, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara Secara umum pengertian penyertaan modal bisa mencakup pembelian saham pada suatu perusahaan tertentu. Namun untuk memahami secara benar mengenai cakupan dari pembelian sebesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP, semestinya didasarkan kepada Undang-Undang yang keberlakuannya paling tepat. Hal ini diperlukan agar interpretasi sebuah tindakan hukum bisa dipahami sesuai dengan konteks dan pengertian dari tindakan hukum tersebut. 176 Penginterpretasian sebuah tindakan hukum menggunakan definisi dan kualifikasi yang tidak mendasarkan pada sebuah hukum yang berlaku dapat memberikan sebuah pernyataan yang menyesatkan. Oleh karena itu penting kiranya untuk memahami tindakan pemerintah dalam membeli 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara sesuai dengan konteks dan hukum yang berlaku. 177 Secara umum, pengelolaan keuangan negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara, pembelian saham divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP merupakan penyertaan modal negara sehingga harus mendapat persetujuan dari DPR. Pendapat tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, 176 Ibid. 177 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman danatau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR”. 178 Konteks Pasal ini intinya berkaitan dengan pemberian pinjaman dan penyertaan modal yang dilakukan dalam konteks keadaan tertentu, yakni untuk penyelamatan perekonomian nasional yang mungkin sedang menghadapi krisis. Frasa ‘setelah mendapat persetujuan DPR’ dalam Pasal 24 Ayat 7 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 hanya berlaku jika frasa “dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional”, sudah dipenuhi. Jika frasa “dalam keadaan tertentu” itu belum dipenuhi, maka kewenangan DPR akan jadi berlapis. Pada Pasal tersebut dijelaskan aturan mengenai pemberian pinjamanhibahpenyertaan modal pada perusahaan negara dan daerah dapat diberikan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, sedangkan pada swasta pemberian pinjamanpenyertaan modal hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional setelah memperoleh persetujuan dari DPR. Pada prinsipnya pemerintah tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap perusahaan swasta, sehingga pemerintah tidak memiliki keharusan memberikan penyertaan modal kepada perusahaan-perusahaan swasta. Namun demikian, apabila terdapat kondisi yang mengancam perekonomian nasional, pemerintah diperkenankan untuk melakukan penyelamatan dengan cara memberikan 178 Ibid. Universitas Sumatera Utara pinjaman atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta tersebut dengan melalui persetujuan dari DPR sebagai wakil rakyat. Sekilas pendapat pembelian saham divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP merupakan penyertaan modal negara sehingga harus mendapat persetujuan dari DPR memang sesuai dengan hukum yang berlaku apabila didasarkan pada Undang-Undang Keuangan Negara semata-mata. Namun, hal ini perlu ditinjau lebih lanjut karena pembelian saham oleh pemerintah tidak hanya diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara. Sebab dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara juga diatur lebih spesifik mengenai kewenangan dari pemerintah. Perlu digarisbawahi bahwa Undang-Undang Perbendaharaan Negara membuat perbedaan antara investasi oleh pemerintah dengan pengelolaan barang milik negaradaerah. 179 Investasi diatur dalam BAB VI mengenai pengelolaan investasi, yaitu Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dimana pada Ayat 1 dinyatakan, bahwa pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial danatau manfaat lainnya. Ayat 2 menentukan, bahwa investasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung. Ayat 3 menyatakan, bahwa investasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat 4 menentukan, bahwa Penyertaan modal Pemerintah Pusat pada perusahaan negaradaerahswasta ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 179 Ibid. Universitas Sumatera Utara Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan manfaat ekonomi, sosial danatau manfaat lainnya dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 6 Ayat 1 dan Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah yaitu antara lain keuntungan berupa deviden, bunga, capital gain dan pertumbuhan nilai perusahaan yang mendapatkan investasi pemerintah sejumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah ditentukan, bahwa Investasi pemerintah dilakukan dalam bentuk investasi surat berharga danatau investasi langsung. Ayat 4 menyatakan, bahwa investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan oleh Badan Investasi Pemerintah. Sementara itu, pengelolaan barang milik negaradaerah diatur dalam BAB VII, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Dengan demikian, berkenaan dengan perihal pembelian sebesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP tersebut tepat untuk didasarkan pada ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara tersebut yang menentukan bahwa pemerintah diberi wewenang untuk melakukan investasi termasuk dalam bentuk saham. 180 180 Ibid. Artinya, pembelian sebesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP tidak ada kewajiban untuk mendapat persetujuan Universitas Sumatera Utara terlebih dahulu dari DPR. Hal ini berbeda dengan ketentuan mengenai penyertaaan modal melalui pemindahtanganan barang milik negara dimana persetujuan dari DPR harus diberikan untuk memindahtangankan barang milik negara yang berupa tanah danatau bangunan tertentu atau barang lain senilai lebih dari 100 milyar rupiah. 181 Untuk melakukan investasi jangka panjang non permanen tidak diperlukan persetujuan DPR karena bukan merupakan pemisahan kekayaan negara sebagaimana PMN, sedangkan untuk melakukan penyertaan modal negara diperlukan persetujuan DPR, berdasarkan prinsip Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, penyertaan modal negara hanya boleh dilakukan kepada perusahaan negara. Penyertaan modal negara tidak diperbolehkan dilakukan kepada perusahaan swasta. Namun demikian, berdasarkan Pasal 24 ayat 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, penyertaan modal negara kepada 19 perusahaan swasta hanya dapat dilakukan apabila memenuhi unsur-unsur adanya keadaan tertentu dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional setelah mendapat persetujuan DPR. Dengan perkataan lain, pembelian sebesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP bukanlah penyertaan modal melalui pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 45 sampai Pasal 47 Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Oleh karena itu, pembelian seesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP tidak dapat dikatakan sebagai penyertaan modal dalam konteks pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat 2 181 Ibid. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang perbendaharaan Negara karena saham PT. Newmont Nusa Tenggara pada saat pembelian bukanlah barang milik negara. Pembelian sebesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP lebih tepat dimasukan dalam kategori penyertaan modal dalam konteks investasi sesuai dengan Pasal 41 Undang-Undang Perbendaharan Negara. Perlu diingat bahwa Pasal 41 tersebut berada dalam bab yang berbeda dengan Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Di sini terlihat jelas bahwa pengertian penyertaan modal dalam konteks investasi berbeda dengan penyertaan modal dalam konteks pemindahtanganan yang memerlukan izin dari DPR. 182 Jika memang investasi juga memerlukan izin dari DPR maka sudah sepatutnya kalau hal tersebut juga diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perbendaharaan Negara atau ketentuan mengenai investasi dalam Pasal 41 tersebut dimasukkan dalam bab yang sama dengan pemidahtanganan barang milik negara. Oleh karena Pasal 41 memberikan wewenang pada pemerintah tanpa keharusan untuk memperoleh izin dari DPR, maka investasi berupa pembelian sebesar 7 tujuh persen saham dalam proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh PIP juga tidak perlu mendapat izin dari DPR. 183 Keputusan untuk melakukan investasi non permanen didahului dengan kajian mengenai kelayakan bisnis, hukum, dan manajemen resiko sesuai dengan prinsip- 182 Ibid. 183 Ibid. Universitas Sumatera Utara prinsip korporasi, sebagaimana kelaziman bisnis, keputusan investasi non permanen yang memerlukan keputusan segera sesuai timing investasi seyogianya bukan merupakan keputusan politis yang harus terlebih dahulu memerlukan persetujuan DPR. Ketentuan Pasal 15 Ayat 5 Undang-Undang Keuangan Negara yang menyebutkan bahwa APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja adalah mengatur secara eksplisit belanja kementerian negara lembaga. Bukan rincian pengeluaran pembiayaan yang dialokasikan bagi BLU. Menyamakan pengelolaan keuangan BLU dengan pengelolaan satuan kerja lain di lingkungan kementerian lembaga sama dengan mengingkari keberadaan BLU dan tidak sejalan dengan tujuan pembentukan BLU. Untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, BLU memiliki kewajiban yang lebih berat dalam penyelenggaraan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan. Penyusunan APBN dalam rangka mencapai tujuan bernegara, Undang- Undang APBN setiap tahun adalah yang berbeda dengan undang-undang lain yang merupakan Pada Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara adalah wujud dari pengolahan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penetapan Undang-Undang APBN setiap tahun yang berlaku khusus untuk tahun anggaran bersangkutan menjadikan Undang-Undang APBN berbeda dengan Universitas Sumatera Utara undang-undang lainnya yang pada umumnya tidak dibatasi, hanya satu tahun masa berlakunya. Penetapan Undang-Undang APBN setiap tahun membawa konsekuensi bahwa dasar hukum bagi Pemerintah untuk melaksanakan pendapatan dan belanja negara. Demikian pula penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam satu tahun tertentu adalah UndangUndang APBN tahun yang bersangkutan. Sebaliknya, Undang-Undang APBN suatu tahun tertentu tidak berlaku untuk APBN tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, pengeluaran yang dilakukan oleh negara dalam satu tahun anggaran adalah sah, apabila diperintahkan oleh Undang- Undang APBN tahun yang bersangkutan atau tidak dilarang oleh ketentuan dalam undang-undang tersebut, serta memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu memenuhi persyaratan materiil dari segi kebenaran surat bukti hak penagih dan persyaratan formal kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan kelengkapan sehubungan dengan ikatan perjanjian pengadaan barang dan jasa, tersedia dana yang bersangkutan, dan dibebankan sesuai dengan mata anggaran yang bersangkutan. Dalam rangka pembelian 7 tujuh persen saham divestasi PT NNT, sumber pendanaan yang digunakan oleh PIP berasal dari dana investasi Pemerintah regular APBN tahun 2011 sebesar Rp. 1 triliun yang telah disetujui oleh DPR, tidak terdapat catatan atau tanda bintang, sedangkan kekurangan sebesar ± Rp. 1 triliun akan didanai dari keuntungan investasi PIP tahun-tahun sebelumnya yang dapat digunakan Universitas Sumatera Utara langsung tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu, sesuai Pasal 69 Ayat 6 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 . Penggunaan dana investasi Pemerintah yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang APBN Tahun 2011 dapat langsung digunakan oleh Pemerintah tanpa harus meminta persetujuan kembali kepada DPR. Hal ini karena alokasi dana investasi Pemerintah telah tercantum dengan jelas dan tidak terdapat catatan berupa perlunya pembahasan lebih lanjut di DPR. Sesuai Pasal 24 Kontrak Karya Newmont, penawaran divestasi saham dilakukan sesudah berakhirnya tahun takwin penuh keempat periode operasi tambang dengan jadwal pelaksanaan sebagai berikut: 1 divestasi pertama 31 Maret 2006, sebesar 3 tiga persen; 2 divestasi kedua 31 Maret 2007, sebesar 7 tujuh persen; 3 divestasi ketiga, 31 Maret 2008 sebesar 7 tujuh persen; 4 divestasi keempat 31 Maret 2009 sebesar 7 tujuh persen; dan divestasi kelima 31 Maret 2010 sebesar 7 tujuh persen. Sebelumnya, pada awal kontrak yang ditandatangni di tahun 1986, perusahaan swasta Indonesia, PT. Pukuafu Indah milik Yusuf Merukh, telah memiliki 20 dua puluh persen saham Newmont. Dengan jadwal divestasi yang telah terencana dan disepakati dalam KK, maka pemilikan saham peserta Indonesia pada 2010 akan mencapai 51 lima puluh satu persen. Saham Newmont merupakan target bisnis yang sangat menarik bagi investor asing dan swasta nasional guna dikuasai. Untuk itu berbagai upaya akan dilakukan, baik secara normal dan legal, maupun secara inskonstitusional, radikal, amoral dan ilegal, serta melanggar rasa keadilan masyarakat. Dengan membayar US 909 juta Universitas Sumatera Utara atas 24 dua puluh empat persen saham Newmont pada tahun 2009, Multicapital memperoleh deviden tahun 2010 sebesar US 172,8 juta. Artinya tingkat keuntungan usaha adalah 19 sembilan belas persen per tahun, dan masa pengembalian modal hanya dalam waktu sekitar 6 tahun, belum lagi jika pendapatankeuntungan dari kegiatan pengadaan barang-barang kapital dan operasional diperhitungkan, maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Padahal tambang Batu Hijau masih akan beroperasi puluhan tahun ke depan, melewati tahun 2030. Terlepas dari besarnya potensi keuntungan di atas, seharusnya yang menjadi rujukan bagi pemerintah, DPR, pebisnis asing dan swasta nasional adalah konstitusi, bahwa SDA Batu Hijau harus dikuasai negara melalui BUMN dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui APBN. Itulah sebabnya mengapa KK Newmont sejak awal telah mencantumkan ketentuan bahwa divestasi saham merupakan hak utama, first right of refusal, pemerintah pusat. Untuk itu pemerintah harus berupaya optimal mengamankan hak konstitusional tersebut, dan begitu pula dengan DPR dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KETENTUAN DALAM HAL PEMERINTAH MELAKUKAN DIVESTASI