PENEL 1. Penger HASIL DAN PEMBAHASAN

B G d s E dalam satu su sakazakii Cr Berdas memiliki keta kedua. Maka dan isolat b10 isolasi Meutia serta isolat ba pembanding.

B. PENEL 1. Penger

Berdas tahapan pene metode penge yang terdapat semprot dapat terjadi di dal pengeringan. komponen–ko 2005, priod pengeringan s Gambar 13. Red dengan suhu inle spp. sebelum pe Error bar adalah 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 Log N N umber isolasi ronobacter spp sarkan hasil pe ahanan panas y dari itu isolat 0. Selain kedua a 2008 dan d akteri Cronoba ITIAN UTA ingan Semp sarkan hasil an litian utama, d eringan sempr t dalam susu t mereduksi m lam atomizer Kematian sel omponen sel te de pengeringan semprot menye duksi jumlah Ent et pengering 160 engeringan dan N h standard error DES b7 menunjukan b . memiliki ket emilihan cepat yang paling tin yang dipilih u a isolat tersebu dilaporkan me acter mutyjensi AMA prot nalisis jumlah m dapat diketahu rot dapat mere skim rekonstit mikroba karena sehingga men mikroba pada ermasuk dindin n yang singkat ebabkan mikro terobacter sakaz °C , 170 °C dan N adalah jumlah r of mean SEM 7a bahwa secara tahanan panas t ketahanan pa nggi dan isolat untuk diujikan p ut, diujikan jug emiliki ketahan i ATCC 51329 mikroba pada i bahwa penge eduksi jumlah tusi tersebut. terjadi proses d nyebabkan terj a pengeringan ng sel dan DNA dengan pening oba tidak dapat zakii Cronobact 180 °C. N adal h Enterobacter sa dari 3 ulangan DES b10 Jenis Iso genetik masin yang berbeda. anas, dapat dik DES b10 mem pada penelitian a satu isolat as nan panas yang 9 keluarga Ent susu bubuk ha eringan ulang Enterobacter Menurut Fu d dehidrasi dan p adinya kerusa semprot berhu A Teixeira et gkatan temper beradaptasi de ter spp. log N lah jumlah Enter akazakii Crono perlakuan. YRc3 olat 160 ng–masing iso ketahui bahwa miliki ketahanan n utama adalah sal susu formul g tinggi oleh terobacterecea asil pengeringa susu skim rek sakazakii Cr dan Etzel 199 paparan tempe akan dan kema ubungan denga al., 1995. Me ratur yang sang engan kondisi t N pada perlaku robacter sakazak obacter spp. sete 3a 170 lat Enterobact isolat DES b n panas terting h isolat DES b la YR c3a ha Ardelino, 201 ae sebagai iso an semprot pa konstitusi deng ronobacter spp 95, pengering ratur tinggi yan atian sel selam an penghancur enurut Polo et a gat cepat selam tersebut. uan pengeringan kii Cronobacter elah pengeringan ATCC51329 180 34 ter 7a ggi b7a asil 11 lat ada gan p. gan ng ma ran al. ma n r n. 35 Gambar 13. menampilkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. dan C. muytjensii ATCC 51329 pada susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C berkisar antara 2,54 hingga 3,07 siklus log. Pada perlakuan ini isolat DES b10 mengalami jumlah penurunan yang paling besar, yaitu sebesar 3,07 siklus log. Selanjutnya reduksi jumlah semakin mengecil berturut–turut isolat isolat DES b7a sebesar 3,01 siklus log, ATCC 51329 sebesar 3,00 siklus log, dan isolat YR c3a mengalami penurunan jumlah terkecil yaitu sebesar 2,54 siklus log. Akan tetapi reduksi jumlah isolat ATCC 51329 yang diperoleh tersebut lebih tinggi satu siklus log dibandingkan hasil penelitian Arku et al., 2006 pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C yaitu sebesar 1,98 siklus log. Reduksi jumlah yang semakin kecil antar isolat menunjukan bahwa isolat tersebut semakin besar ketahanannya terhadap proses pengeringan semprot. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa isolat Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C adalah isolat YR c3a. Berdasarkan reduksi jumlah dari masing–masing isolat Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. yang diperoleh pada pelakuan suhu inlet pengering 160°C Gambar 13., dapat diamati bahwa error bar antara isolat DES b10, ATCC 51329, dan DES b7a ketiganya satu sama lain saling bersinggungan. Hal tersebut menunjukan bahwa ketiga isolat tersebut mengalami reduksi jumlah yang tidak berbeda nyata. Berbeda dengan ketiga isolat tersebut, error bar reduksi jumlah isolat YR c3a yang tidak beringgungan dengan error bar dari ketiga isolat lainnya mencerminkan reduksi jumlah isolat YR c3a berbeda nyata dengan ketiga isolat lainnya. Maka dari itu dapat diketahui bahwa isolat YR c3a memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C dan berbeda nyata dengan ketiga isolat lainnya, sedangkan ketahanan dua isolat Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. DES b10, DES b7a, serta isolat ATCC 51329 terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet 160°C tidak berbeda nyata. Perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi pada penelitian ini ternyata meningkatkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp.. Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. pada perlakuan suhu inlet pengeringan 170°C berkisar antara 2,77 hingga 3,25 siklus log. Berbeda dengan perlakuan suhu inlet pengering 160°C, isolat yang mengalami penurunan jumlah yang paling besar pada perlakuan suhu inlet pengering 170°C adalah isolat DES b7a. Isolat DES b7a mengalami reduksi jumlah sebesar 3,25 siklus log. Selanjutnya reduksi jumlah menurun yaitu isolat DES b10 sebesar 3,21 siklus log, isolat ATCC 51329 sebesar 3,16 siklus log, dan isolat YR c3a mengalami penurunan jumlah terkecil yaitu sebesar 2,77 siklus log. Peningkatkan reduksi jumlah sel mikroba pada perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi juga terjadi pada bakteri patogen lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh Licari dan Potter 1970 menunjukan bahwa suhu pengeringan semprot yang lebih tinggi inlet = 176.7°C dan outlet = 93,3°C mereduksi jumlah bakteri patogen Salmonella typhimurium sebesar 4,383 siklus log dibandingkan dengan suhu inlet = 132,2°C dan outlet 65,6°C yang hanya mereduksi jumlah Salmonella typhimurium sebesar 2.73 siklus log. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa isolat YR c3a masih merupakan isolat yang memiliki ketahanan paling tinggi pada perlakuan ini dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa reduksi jumlah isolat DES b10, ATCC 51329, dan DES b7a pada pelakuan suhu 170°C satu sama lain tidak berbeda nyata karena error bar jumlah reduksi dari ketiga isolat tersebut saling bersinggungan, sedangkan isolat YR c3a mengalami reduksi jumlah berbeda nyata. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa isolat YR c3a juga memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet 36 pengering 170°C dan berbeda nyata dibandingkan dengan tiga isolat Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. lainnya. Perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi 180°C kembali meningkatkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp.. Pada perlakuan ini isolat ATCC 51329 mengalami jumlah penurunan yang paling besar, yaitu sebesar 3,55 siklus log. Selanjutnya penurunan jumlah semakin mengecil secara berturut yaitu isolat DES b7a sebesar 3,51 siklus log, isolat DES b10 sebesar 3,31 siklus log, dan isolat YR c3a sebesar 3,24 siklus log. Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa isolat yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 180°C adalah isolat YR c3a. Ketahanan terhadap perlakuan suhu inlet 180°C kemudian menurun berturut–turut mulai dari isolat DES b7a, DES b10, dan ATCC 51329. Berdasarkan error bar antar masing–masing jumlah reduksi Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. pada pelakuan suhu 180°C, dapat diketahui bahwa isolat YR c3a mengalami reduksi jumlah berbeda nyata dibandingkan dengan reduksi jumlah isolat ATCC 51329 dan DES b7a namun tidak berbeda nyata dengan reduksi jumlah isolat DES b10, sedangkan isolat ATCC 51329 dan DES b7a satu sama lain tidak mengalami reduksi jumlah yang berbeda nyata. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkan bahwa isolat YR c3a dan DES b10 memiliki ketahanan yang relatif sama terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 180°C. Kedua isolat tersebut memiliki ketahanan terhadap pengeringan semprot yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan isolat ATCC 51329 dan DES b7a. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa isolat YR c3a memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap perlakuan pengeringan semprot pada suhu inlet 160°C, 170°C, dan 180°C dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya yang diujikan pada penelitian ini. Terkait dengan ketahanan panasnya isolat ini dilaporkan memiliki nilai inaktivasi termal yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. asal susu formula lainnya pada pemanasan pada suhu 54 selama 32 menit Ardelino, 2011. Selain itu isolat YR c3a juga memiliki nilai D 54 dan nilai Z yang lebih tinggi yaitu berturut–turut sebesar 9,13 menit dan 5.75°C dibandingkan nilai D 54 dan Z bakteri Cronobacter muytjensii ATCC 51329 yang diujikan juga pada penelitian ini, yaitu berturut–turut sebesar 8,66 dan 5,56°C Ardelino, 2011. Menurut Meutia 2008 pada suhu rekonstitusi 70°C YR c3a mengalami reduksi jumlah sebesar 4,3 log CFUml dengan jumlah kontaminasi awal sebesar 7,05 log CFUml. Bahkan hasil penelitian Fitriyah 2010 menunjukan bahwa isolat YR c3a hanya mengalami reduksi jumlah sebesar 2,48 log dengan jumlah kontaminasi awal sekitar 3 log CFUml serta mengalami recovery setelah 6 jam ketika dibiarkan dalam suhu ruang. Isolat YR c3a sebenarnya tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan isolat DES b7a dan DES b10 ketika diberi perlakuan pemanasan pada menstruum pemanas yang berupa cairan. Hasil penelitian Ardelino 2011 menunjukan isolar YR c3a mengalami reduksi jumlah sebesar 1,66 log yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan reduksi jumlah isolat DES b7a dan DES b10 yang berturut-turut hanya sebesar 1,42 log dan 1,53 log pada perlakuan pemanasan dan menstruum pemanas yang sama 54°C selama 32 menit dalam kaldu TSB. Menurut Breeuwer et al., 2003 bakteri Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. sebenarnya tidak toleran terhadap panas, namun kemampuannya untuk bertahan pada kondisi pengeringan dan tekanan osmotik yang tinggi menjadikannya mampu bertahan pada proses dehidrasi. Kemampuan untuk bertahan dalam kondisi tersebut dipengaruhi oleh kemampuan Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. membentuk subtansi pelindung berupa polisakarida Iversen, 2004. Oleh karena itu kemampuan yang berbeda antar isolat Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. dalam menghasilkan subtansi pelindung akan 37 menghasilkan ketahanan panas yang berbeda. Berdasarkan hasil pengeringan yang diperoleh tersebut, dapat diketahui bahwa ketahanan panas Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. pada media cair berbeda dengan ketahanan panas Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. pada pengeringan semprot. Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. juga diketahui dapat menghasilkan trehalose. Trehalose adalah senyawa disakarida yang dapat menstabilkan membran sel dan protein sehingga akan melindungi sel dari kerusakan ketika berada dalam kondisi kering Breuwer, 2003. Menurut Jay 2000, pembentukan substansi pelindung tersebut akan semakin besar pada jumlah inokulum yang semakin besar sehingga akan meningkatkan ketahanan panasnya. Berdasarkan Gambar 13. dapat diamati terjadinya tren peningkatan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. yang bervariasi antar isolat pada perlakuan suhu inlet pengering yang semakin tinggi. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. galur DES b7a antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,24 log dan 0,26 log. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. galur DES b10 antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,14 log dan 0,10 log. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. galur YR c3a antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,23 log dan 0,47 log. Selisih reduksi jumlah isolat ATCC 51329 antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,16 log dan 0,39 log. Maka dari itu selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. berada pada rentang perlakuan suhu inlet pengering 160°C hingga 180°C dapat menyebabkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. hingga 0,71 siklus log. Pada penelitian ini selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah bahan baku yang masuk kedalam chamber pengering. Pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan perlakuan suhu inlet 160°C, kecepatan pompa peristaltik yang digunakan untuk mengalirkan bahan masukan berkisar antara 3,5 hingga 4 RPM rotation per minute. Akan tetapi pada pengeringan susu skim rekonstitusi pada perlakuan suhu inlet 170°C, kecepatan pompa peristaltik meningkat menjadi 5,0 hingga 5,5 RPM. Pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan perlakuan suhu inlet 180°C pun kembali meningkatkan kecepatan pompa peristaltik menjadi 6,0 hingga 6,5 RPM. Peningkatan jumlah bahan baku yang masuk pada suhu inlet pengering yang lebih tinggi berfungsi untuk menyerap kelebihan energi kalor akibat peningkatan suhu inlet pengering. Secara teknis hal tersebut dapat diamati dari peningkatan suhu outlet ketika suhu inlet pengering dinaikkan sedangkan debit bahan baku yang masuk ke dalam pengering dipertahankan konstan. Maka dari itu dapat diketahui bahwa peningkatan suhu inlet pengering sebesar 10°C tidak meningkatkan inaktivasi mikroba lebih dari 1 siklus log dikarenakan energi kalor pada suhu inlet pengering yang lebih tinggi tersebut digunakan untuk mengeringkan bahan baku yang masuk lebih banyak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu inlet pengering tidak akan meningkatkan inaktivasi mikroba secara signifikan ketika debit bahan masukan diperbesar atau suhu outlet dipertahankan konstan. Pengaruh lainnya dari peningkatan debit bahan baku yang masuk kedalam pengering adalah residence time yang lebih singkat. Konsentrasi bahan yang lebih tinggi dalam chamber pengerng 38 menyebabkan panas lebih cepat diserap persatuan volum chamber sehingga waktu kontak antara bahan dan panas menjadi lebih singkat. Ketahanan panas Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut To dan Etzel 1997 dan Teixeira et al. 1995, ketahanan mikroba terhadap proses pengeringan semprot yang disebabkan oleh kemampuan mikroba itu sendiri untuk bertahan pada suhu yang tinggi dan pengeringan yang ekstrim merupakan faktor intrinsik mikroba tersebut. Selain faktor intrinsik, terdapat faktor ekstrinsik yang mempengaruhi ketahanan panas suatu mikroba. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi ketahanan mikroba pada pengeringan semprot antara lain adalah desain alat pengering yang digunakan, temperatur pengeringan, dan kondisi fisiologis mikroba itu sendiri. Desain pengering semprot diketahui mempengaruhi tingkat inaktivasi mikroba. Menurut Simpson et al. 2005, peluang mikroba untuk bertahan hidup meningkat dengan menggunakan pengering skala industri dibandingkan pengering skala laboratorium. Menurut Chandan 2006, pengering semprot komersial dapat meminimalkan kerusakan bahan akibat panas karena memiliki chamber pendingin yang akan mendinginkan produk dengan cepat setelah pengeringan. Selain desain alat, humiditas atau kelembaban dari udara ambien akan mempengaruhi kapasitas pengeringan karena menggambarkan keberadaan uap air dalam udara. Menurut Anonim 2010, kelembaban udara ideal yang biasa diaplikasikan pada pengeringan semprot adalah sebesar 66. Kelembaban udara ambien yang tinggi di dalam lab percobaan 96 – 98 menurunkan kapasitas pengeringan sehingga air yang bersuhu tinggi dalam bahan tidak segera terevaporasi. Keberadaan air bersuhu tinggi dalam susu skim bubuk dapat meningkatkan tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. dan mikroba karena berhubungan dengan kecepatan pindah panas lebih besar pada bahan yang basah atau lebih banyak mengandung air dibandingkan pindah panas dalam udara atau bahan pangan itu sendiri Wiratakusumah et al., 1992. Kelembaban udara ambien sangat dipengaruhi oleh iklim setempat. Menurut Robinson 1999b, negara tropis memiliki kelembaban udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara subtropis sehingga kapasitas pengeringannya pun akan lebih rendah. Perlakuan preheating bahan pada suhu tertentu dapat memicu peningkatan ketahanan panas mikroba. Perlakuan heat shock memberikan efek penguatan toleransi termal Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. yang meningkat pada rentang suhu heat shock 42°C–47°C Chang, 2009, sedangkan hasil penelitian Arroyo et al., 2009 menunjukkan perlakuan heat shock yang memberikan peningkatan resistansi terhadap panas Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. adalah pada suhu 47°C selama 15 menit. Terkait dengan reduksi jumlah isolat ATCC 51329 yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian Arku et al. 2006, tahapan preheating susu skim rekonstitusi yang telah diinokulasi Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. pada suhu 40°C sebelum dikeringkan dengan pengering semprot dimungkinkan turut meningkatkan ketahanan panas isolat ATCC 51329 yang diuji oleh Arku et al., 2006. Penggunaan metode analisis jumlah mikroba yang berbeda akan mempengaruhi jumlah Enterobacter sakazakii Cronobacter spp. yang masih bertahan setelah pengeringan semprot. Pengeringan semprot menyebabkan sel mikroba yang secara simultan mengalami tekanan termal dan dehidrasi secara bersamaan menyebabkan bagian sel mikroba menjadi rusak seperti membran sitoplasma yang akan mati jika tidak mengalami penyembuhan To dan Etzel, 1997. Menurut Arku et al. 2006 metode APM angka paling mungkin dan ISO enrichment akan meningkatkan jumlah mikroba yang tumbuh karena metode tersebut mendukung terjadinya penyembuhan sel mikroba, sedangkan metode ALT angka lempeng total tidak mendukung terjadinya penyembuhan sel mikroba.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa proses pengeringan semprot tidak dapat menghasilkan produk yang steril terlebih jika terjadi kontaminasi dalam jumlah besar ekstrim. Reduksi jumlah C. sakazakii kurang dari 4 siklus log meskipun suhu proses yang digunakan sangat tinggi. Pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C reduksi jumlah Cronobacter sakazakii berkisar antara 2,54 hingga 3,07 siklus log bergantung pada jenis galur yang diujikan. Ketahanan Cronobacter sakazakii menurun pada perlakuan suhu inlet pengering semakin tinggi meskipun selisih reduksi jumlah C. sakazakii tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Reduksi jumlah Cronobacter sakazakii pada suhu inlet pengering 170°C berkisar antara 2,77 hingga 3,25 siklus log dan reduksi jumlah pada suhu inlet pengering 180°C berkisar antara 3,24 hingga 3.55 siklus log. Isolat YRc3a merupakan galur C. sakazakii yang paling tahan terhadap pengeringan semprot dibandingkan tiga isolat lainnya. Isolat YRc3a juga memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan spesies Enterobacteriaceae lain Cronobacter mutyjensi ATCC51329.

2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh serta kendala yang dihadapi selama penelitian dilakukan, terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan dalam melanjutkan penelitian ini, yaitu disarankan menggunakan bahan masukan berupa susu formula, bukan susu skim mengingat komponen–komponen tertentu pada susu formula dapat meningkatkan perlindungan terhadap mikroba. Selain itu disarankan juga menggunakan suhu outlet sebagai parameter perlakuan karena pada penelitian ini selisih reduksi jumlah C. sakazakii tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Selanjutnya media pencawanan yang digunakan seharusnya ditambahkan substansi yang dapat membantu recovery sel mengingat tidak semua sel mati ketika mengalami perlakuan dan akan tumbuh kembali pada kondisi yang menguntungkan sehingga akan mempengaruhi perhitungan jumlah C. sakazakii yang mampu bertahan setelah proses pengeringan semprot.