Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena

(1)

KAJIAN PEMBUATAN MAIZENA DARI JAGUNG KUNING

DAN SINTAS MUTAN

Cronobacter spp

. (

Enterobacter sakazakii

)

SELAMA PEMBUATAN MAIZENA

SKRIPSI

SARAH TIARA SULISTYANTI

F24080023

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

STUDIES ON MAIZENA PRODUCTION FROM YELLOW MAIZE

AND SURVIVAL OF

Cronobacter spp

. (

Enterobacter sakazakii

) MUTANT

DURING MAIZENA PRODUCTION

Sarah Tiara Sulistyanti and Siti Nurjanah

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering

and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus,

PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

E-mail: sarahtiara.s@gmail.com

ABSTRACT

Cronobacter spp. (previously known as Enterobacter sakazakii) is an emerging pathogen that can cause diseases with high mortality for several infant groups. This bacteria has been isolated from various sources, such as foods, clinical sources, and environments. Not only isolated from powdered infant formulas and weaning foods, but Cronobacter spp. also has been isolated from other foods such as maizena. The main objective of this research is to analyze survival of Cronobacter spp. mutant (Green Fluorescent Ptotein inserted-Cronobacter spp.) during maizena production. This research consists of three main steps, i.e maizena production from yellow maize, determination of the best detection method of Cronobacter spp. mutant and survival analysis of Cronobacter spp. mutant during maize steeping and maizena drying. Yield of maizena production was 48.90% (whole kernel-based). The producted maizena was like commercial maizena in parameters of moisture content, density, and starch granule structure.While it was different from commercial maizena in whiteness. The best growth media of mutant inoculums was BHI supplemented with 100 µg/ml ampicillin. Selective counting method of mutant was counting in TSA supplemented with 100 µg/ml ampicillin by surface plathing method observed under UV light. Survival analysis during maizena production showed that both in the end of steeping and drying stage, Cronobacter spp.mutant was not detected. Keywords: Cronobacter spp.,Green Fluorescent Protein, maizena, survival


(3)

Sarah Tiara Sulistyanti. F24080023. Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas

Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena. Di bawah

bimbingan Siti Nurjanah. 2013.

RINGKASAN

Cronobacter spp. (sebelumnya dikenal sebagai Enterobacter sakazakii) telah diisolasi dari berbagai sumber seperti bahan pangan, sumber klinis, dan lingkungan. Pengujian sintas Cronobacter spp. selama rekonstitusi dan pengeringan susu formula telah banyak dilakukan. Padahal Cronobacter spp. juga berhasil ditemukan pada bahan pangan selain susu formula dan makanan bayi, salah satunya maizena. Gitapratiwi (2011) telah menemukan Cronobacter spp. pada 2 sampel maizena dari 8 sampel yang diteliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa Cronobacter spp. kemungkinan masih dapat bertahan selama pembuatan maizena. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji sintas

Cronobacter spp. pada pembuatan maizena, khususnya selama perendaman jagung dan pengeringan maizena. Untuk mempermudah pendeteksian pada pengujian sintas Cronobacter spp. tersebut, maka digunakan isolat mutan Cronobacter spp. yang telah mengalami transformasi melalui penyisipan plasmid GFPuv (Green Fluorescent Protein). Isolat mutan ini memiliki kemampuan untuk berfluoresens saat terpapar oleh lampu UV dan bertahan pada media yang mengandung ampisilin. Sehingga isolat mutan ini dapat berperan sebagai penanda terseleksi karena dapat dibedakan dari isolat wild-type dan mikroorganisme lain. Sebelum isolat mutan Cronobacter spp. ini digunakan, perlu dilakukan penentuan metode deteksi yang dapat mempertahankan karakteristik fenotip dari isolat mutan tersebut.

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap utama, yaitu pembuatan maizena dari jagung kuning, penentuan metode deteksi mutan Cronobacter spp., dan pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pembuatan maizena. Maizena yang telah dibuat lalu dihitung rendemennya dan dibandingkan dengan maizena komersial melalui parameter kadar air, densitas kamba, derajat putih, dan struktur granula pati. Penentuan metode deteksi terdiri dari penentuan konsentrasi ampislin yang digunakan pada media, serta penentuan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum. Konsentrasi ampisilin yang digunakan pada penentuan konsentrasi ampisilin adalah 0 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, dan 100 μg/ml media TSA (Tryptone Soy Agar). Isolat Cronobacter spp. yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat normal Cronobacter spp. DES c7 asal maizena (Gitapratiwi 2011), FWH c3 asal pati singkong (Hamdani 2012), YR t2a asal susu formula (Meutia 2008), dan isolat-isolat mutan dari ketiga isolat-isolat tersebut (Nurjanah et al. 2012). Selain itu untuk mensimulasikan kondisi keragaman mikroorganisme pada jagung, maka digunakan juga isolat-isolat kapang (Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Fusarium oxysporum), khamir (Kodamaea ohmeri, Candida krusei, Candida zeylanoides), dan bakteri asam laktat (Pediococcus sp., Lactobacillus plantarum,

Lactobacillus lactis, Lactobacillus brevis) yang diperoleh dari fermentasi spontan selama perendaman jagung (Rahmawati et al. 2012).

Pembuatan maizena dengan bahan baku jagung dent kuning menghasilkan rendemen sebesar 49.90% (basis biji jagung utuh). Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa maizena penelitian (MP) memiliki kadar air basis basah 9.01% dan basis kering 9.90%, sedangkan maizena komersial (MK) memiliki kadar air basis basah 8.27% dan basis kering 9.02%. Berdasarkan hasil pengukuran densitas kamba, rata-rata densitas kamba MP dan MK secara berturut-turut adalah 0.4410 g/ml dan 0.4340 g/ml. Kemudian derajat putih MP adalah 85.54%, sedangkan derajat putih MK adalah 128.19%. Pengamatan struktur granula pati dengan mikroskop terpolarisasi menunjukkan sifat

birefringence pada MP dan MK dengan ukuran diameter granula berkisar antara 2.5 hingga 15 μm. Hasil analisis MP dan MK secara keseluruhan menunjukkan bahwa nilai kadar air, densitas kamba, dan struktur granula pati MP menyerupai MK. Namun untuk parameter derajat putih, MP dan MK terlihat berbeda cukup signifikan.

Hasil penentuan konsentrasi ampisilin menunjukkan bahwa isolat mutan YR t2a dan mutan FWH c3 masih dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 100 μg/ml, sedangkan mutan DES c7 hanya dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 25 μg/ml seperti halnya isolat normal DES c7. Karena Clontech USA juga merekomendasikan penggunaan ampisilin 100 μg/ml, maka isolat DES c7 mutan tidak dapat digunakan pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pembuatan maizena. Hasil penentuan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum menunjukkan bahwa


(4)

kedua isolat mutan memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi ketika ditumbuhkan pada media pertumbuhan inokulum BHI yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (BHI+A) dan dipupuk dengan metode permukaan. Berdasarkan hasil tersebut, pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung dan pengeringan maizena, inokulum mutan ditumbuhkan pada media BHI+A. Kemudian media penghitungan yang digunakan adalah TSA yang mengandung ampisilin 100

μg/ml (TSA+A) dengan metode pemupukan permukaan.

Hasil pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung pada suhu 520C menunjukkan bahwa kedua isolat mutan yang diinokulasikan ke jagung dan air perendam tidak terdeteksi lagi saat pengamatan pada 24 jam dan 48 jam perendaman. Hasil pengujian sintas mutan

Cronobacter spp. pada tahap pengeringan maizena menunjukkan bahwa setelah 6 jam pengeringan pada suhu 500C, FWH c3 mutan mengalami reduksi log lebih besar (2.19) dari pada YR t2a mutan (1.45). Kemudian setelah 24 jam pengeringan, pertumbuhan isolat mutan tidak terdeteksi lagi. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa perendaman jagung pada suhu 520C selama 48 jam dan pengeringan maizena pada suhu 500C selama 24 jam dapat mereduksi mutan Cronobacter spp. hingga tidak terdeteksi lagi.


(5)

KAJIAN PEMBUATAN MAIZENA DARI JAGUNG KUNING

DAN SINTAS MUTAN

Cronobacter spp

. (

Enterobacter sakazakii

)

SELAMA PEMBUATAN MAIZENA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

SARAH TIARA SULISTYANTI

F24080023

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(6)

Judul Skripsi : Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan

Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena Nama : Sarah Tiara Sulistyanti

NIM : F24080023

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

(Siti Nurjanah, S.TP, M.Si.) NIP. 19760131 200501 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526 199303 1 004


(7)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Yang membuat pernyataan,

Sarah Tiara Sulistyanti F24080023


(8)

iv © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(9)

v

BIODATA PENULIS

Sarah Tiara Sulistyanti dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 2 November 1990 sebagai anak pertama dari pasangan Asep Sutisna dan Lilis Nursanti. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Purwakarta dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus divisi Profesi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) pada tahun 2011. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan seperti National Student Paper Competition (2010), BAUR (2010), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XVIII (2010), Seminar dan Pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point VIII (2010 dan 2011), serta Seminar dan Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (2011). Pada tahun 2010, penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia dan Biokomia Pangan serta Praktikum Mikrobiologi Pangan. Kemudian penulis pernah menjadi juara II National Student Paper Competition (2012) dan juara III National Food Technology Competition (2012), serta menerima dana dari DIKTI pada Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian dan Teknologi (2012). Penulis juga pernah mengikuti Pelatihan Good Laboratory Practices (2011) dan Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (2012).


(10)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) selama Pembuatan Maizena ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan serta SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret hingga Desember 2012.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Siti Nurjanah, S.TP, M.Si yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir.

2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc atas masukannya sebagai dosen penguji dan atas bantuan dana penelitiannya melalui Hibah Kompetensi DIKTI tahun 2012.

3. Ir. Subarna, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

4. Mama, Papa, dan De Bila atas doa, dukungan dan perhatiannya selama penulis menyelesaikan tugas akhir.

5. Riyah, Hilda, Yani, Elva, dan Sam atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya selama melakukan penelitian.

6. Tutut, Ati, Angel, Anggi, dan Harum atas kebersamannya selama kuliah.

7. Ka Dian, Ka Tita, Wulan, Nova, Puja, Mike, Mei, Zhia, dan Nia atas dukungan dan kebersamaannya selama di Pondok Cahaya.

8. Dosen-dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas semua ilmu dan pengalaman yang telah dibagi kepada penulis.

9. Teman-teman ITP 45, khususnya golongan praktikum P3 atas kebersamaannya selama kuliah dan praktikum.

10. Teknisi laboratorium SEAFAST Center dan laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya Mba Ari, Mas Yerris, Pak Sukarna, Pak Junaedi, Pak Deni, Teh Asih, Mas Edi, Bu Rubiah, dan Pak Rojak.

11. Bu Novi, Mba Anie, dan Mba Mei atas bantuannya dalam mengurus masalah administrasi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memiliki manfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Februari 2013


(11)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) ... 3

1. Karakteristik dan Taksonomi Cronobacter spp. ... 3

2. Sumber Kontaminasi Cronobacter spp. ... 4

3. Ketahanan terhadap antibiotik ... 5

4. Ketahanan terhadap panas ... 5

B. JAGUNG ... 6

1. Biji Jagung ... 6

2. Pati Jagung... 8

C. AMPISILIN ... 11

D. GREEN FLUORESCENT PROTEIN ... 12

E. PLASMID GREEN FLUORESCENT PROTEIN (pGFPuv) ... 14

F. MEKANISME MUTASI MELALUI TRANSFORMASI ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

A. BAHAN DAN ALAT ... 17

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 17

C. METODE PENELITIAN ... 17

1. Pembuatan Maizena ... 17

2. Penentuan Metode Deteksi Mutan Cronobacter spp. ... 20

3. Pengujian Sintas Cronobacter spp. Mutan selama Pembuatan maizena ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. PEMBUATAN MAIZENA ... 25

B. PENENTUAN METODE DETEKSI MUTAN Cronobacter spp. ... 28

1. Penentuan Konsentrasi Ampisilin Media ... 28

2. Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum ... 31

C. PENGUJIAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. SELAMA PEMBUATAN MAIZENA .... 33


(12)

viii

2. Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Pengeringan Maizena ... 34

IV. SIMPULAN DAN SARAN ... 37

A. SIMPULAN ... 37

B. SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Persentase bagian-bagian biji dan komposisi kimia jagung dent kuning ………….. 7 Tabel 2. Karakteristik bubuk pati jagung (maizena) ………... 9 Tabel 3. Hasil analisis fisik maizena penelitian dan maizena komersial ……… 27


(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Morfologi Cronobacter spp. di bawah SEM (Scanning Electrone Microscope)

dengan perbesaran 4800x ………. 3

Gambar 2. Anatomi biji jagung ………. 6

Gambar 3. Perbedaan struktur biji jenis-jenis jagung ……… 8

Gambar 4. Struktur molekul ampisilin ……….. 11

Gambar 5. Struktur tiga dimensi GFP ………... 12

Gambar 6. Mekanisme biosintesis kromofor GFP ……… 13

Gambar 7. Struktur tiga dimensi GFPuv ……….. 14

Gambar 8. Peta vektor pGFPuv ………. 15

Gambar 9. Transformasi kimiawi sel kompeten ……… 16

Gambar 10. Diagram alir penelitian………... 18

Gambar 11 Jagung varietas Pioneer tipe biji dent ……….. 25

Gambar 12 Perbandingan warna maizena penelitian dan maizena komersial ……….. 27

Gambar 13. Struktur granula pati (suspensi 2%) di bawah mikroskop terpolarisasi dengan perbesaran 400x ………... 28

Gambar 14 Grafik intensitas pertumbuhan isolat Cronobacter spp. normal dan mutan pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin ……… 29

Gambar 15 Grafik intensitas pertumbuhan kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin ……… 30 Gambar 16 Grafik perbandingan persentase koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan tuang dan permukaan ……… 32 Gambar 17 Grafik perbandingan viabilitas koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan permukaan ……….. 33

Gambar 18 Grafik viabilitas Cronobacter spp. mutan pada jagung dan air perendam selama perendaman dengan suhu 520C ………... 34

Gambar 19 Grafik viabilitas Cronobacter spp. mutan pada maizena selama pengeringan dengan suhu 500C ………. 35


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Diagram alir pembuatan maizena ………... 46

Lampiran 2a. Gambar perendaman jagung di dalam waterbath ………... 47

Lampiran 2b. Gambar grinder ……….. 47

Lampiran 2c. Gambar penggilingan basah jagung menggunakan grinder ………... 47

Lampiran 2d. Gambar penampungan suspensi hasil penggilingan basah jagung …………. 47

Lampiran 2e. Gambar pemisahan ampas ………. 47

Lampiran 2f. Gambar suspensi pati yang mengendap ………. 47

Lampiran 2g. Gambar suspensi pati sebelum pengeringan ………... 48

Lampiran 2h. Gambar pati setelah pengeringan ………... 48

Lampiran 2i. Gambar penggilingan pati kering menggunakan blender ………... 48

Lampiran 2j. Gambar pati hasil penggilingan ……….. 48

Lampiran 2k. Gambar ayakan 100 mesh ……….. 48

Lampiran 2l. Gambar pati hasil pengayakan ……… 48

Lampiran 3a. Data pengukuran kadar air maizena komersial dan maizena penelitian …… 49

Lampiran 3b. Data pengukuran densitas kamba maizena komersial dan maizena penelitian ……… 49

Lampiran 3c. Data pengukuran derajat putih maizena komersial dan maizena penelitian .. 49

Lampiran 4a. Gambar isolat normal Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 di media BHI ………... 50

Lampiran 4b. Gambar isolat mutan Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 di media BHI ………... 50

Lampiran 4d. Gambar kultur kapang A. flavus, F. oxysporum, dan A. niger di media PDA miring ……….. 50

Lampiran 4e. Gambar kultur khamir C. krusei, K. ohmeri, dan C. zeylanoides di media PDA miring ………. 50

Lampiran 4f. Gambar kultur BAL L. lactis, L. plantarum, Pediococcus sp., dan L. brevis di media MRSB ……….. 50

Lampiran 5. Gambar morfologi Cronobacter spp. di bawah mikrokskop dengan perbesaran 1000x ……… 51


(16)

xii

Lampiran 6. Gambar morfologi Cronobacter spp. pada media TSA ………. 51

Lampiran 7. Gambar morfologi Cronobacter spp. mutan pada media TSA+ampisilin di bawah lampu ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm ………... 51

Lampiran 8a. Data pertumbuhan isolat Cronobacter spp. normal dan mutan, kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin ……….. 53

Lampiran 8b. Gambar standar tidak ada koloni (-) ………... 54

Lampiran 8c. Gambar standar tumbuh sangat sedikit (+) ………. 54

Lampiran 8d. Gambar standar tumbuh sedikit (++) ……….. 54

Lampiran 8e. Standar tumbuh agak banyak (+++) ………... 54

Lampiran 8f. Gambar standar tumbuh banyak (++++) ……… 54

Lampiran 8g. Gambar standar tumbuh sangat banyak (+++++) ……….. 54

Lampiran 9a. Data penentuan media pertumbuhan inokulum dan metode pemupukan (tuang) ………. 55

Lampiran 9b. Data penentuan media pertumbuhan inokulum dan metode pemupukan (permukaan) ……… 56

Lampiran 10a. Data pengujian sintas Cronobacter spp. YR t2a mutan selama perendaman jagung pada suhu 520C ……….. 57

Lampiran 10b. Data pengujian sintas Cronobacter spp. FWH c3 mutan selama perendaman jagung pada suhu 520C ……….. 59

Lampiran 10c. Perubahan log Cronobacter spp. mutan selama perendaman jagung pada suhu 520C………. 61

Lampiran 11a. Data pengujian sintas Cronobacter spp YR t2a mutan selama pengeringan maizena pada suhu 500C ……… 62

Lampiran 11b. Data pengujian ketahanan Cronobacter spp. FWH c3 mutan selama pengeringan maizena pada suhu 500C ……….. 63

Lampiran 11c. Perubahan log Cronobacter spp. mutan selama pengeringan pati jagung pada suhu 500C ……….. 64


(17)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Cronobacter spp. (sebelumnya dikenal sebagai Enterobacter sakazakii) merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, bersifat motil, fakultatif anaerob, dan tidak membentuk spora (Iversen dan Forsythe 2003). Cronobacter spp. digolongkan menjadi emerging pathogen karena kemampuannya yang dapat mengakibatkan penyakit meningitis, necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, dan bacteremia terutama pada bayi baru lahir yang prematur, berbobot badan rendah, dan memilki daya tahan tubuh rendah (Noriega et al. 1990). Cronobacter spp. pertama kali diisolasi dari jaringan otak dan cairan cerebrospinal bayi yang terserang meningitis di Osterhills Hospital, Inggris (Urmenyi dan Franklin1961). Setelah penemuan tersebut, Cronobacter spp. telah banyak diisolasi dari berbagai sumber seperti sumber klinis, lingkungan, dan bahan pangan. Farmer et al. (1980) telah mengisolasi Cronobacter spp. dari darah, tenggorokan, hidung, usus, kulit, luka, sumsum tulang, mata, dan telinga. Cronobacter spp. juga berhasil ditemukan oleh Kandhai et al. (2004) di lingkungan pabrik makanan (8 dari 9 pabrik makanan).

Pada bahan pangan, Cronobacter spp. telah banyak diisolasi dari susu formula di berbagai negara. Cronobacter spp. telah berhasil diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survey menunjukkan 20 dari 141 sampel susu formula mengandung Cronobacter spp. dengan tingkat kontaminasi 0.36-66 cfu/100 g (Muytjen et al. 1988). Kemudian Estuningsih (2006) juga menyatakan bahwa dari 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriacea dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Cronobacter spp. Meutia (2008) juga mengisolasi Cronobacter spp. (6 sampel dari 25 sampel) dari susu formula dan makanan bayi yang beredar di Indonesia. Kemudian Gitapratiwi (2011) juga menemukan Cronobacter spp. dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16). Namun selain dari susu formula dan makanan bayi, Cronobacter spp. juga berhasil diisolasi dari bahan pangan lain, salah satunya maizena. Gitapratiwi (2011) berhasil mengisolasi Cronobacter spp. dari maizena (2 sampel dari 8 sampel). Hal tersebut menunjukkan bahwa Cronobacter spp. kemungkinan masih dapat bertahan selama pembuatan maizena.

Pada pembuatan maizena, tahap perendaman jagung dan pengeringan maizena adalah tahap-tahap yang diduga dapat mereduksi jumlah kontaminasi mikroba. Perendaman jagung dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam (Haros dan Suarez 1997) dan pengeringan maizena dilakukan pada suhu 500C selama 24 jam (Johnson dan May 2003) sehingga diperkirakan dapat mempengaruhi ketahanan

Cronobacter spp. yang mungkin mengontaminasi proses pembuatan maizena. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan pengujian sintas Cronobacer spp. selama tahap perendaman jagung dan pengeringan maizena untuk mengetahui keefektifan kedua tahap proses tersebut dalam mereduksi

Cronobacter spp. Untuk mempermudah pendeteksian pada pengujian sintas Cronobacter spp. tersebut, maka digunakan isolat mutan Cronobacter spp. yang telah mengalami transformasi melalui penyisipan plasmid GFPuv (Green Fluorescent Protein). Isolat mutan pGFPuv Cronobacter spp. (selanjutnya disebut dengan mutan Cronobacter spp.) ini memiliki kemampuan untuk berfluoresens saat terpapar oleh lampu UV dan tumbuh pada media yang mengandung ampisilin. Sehingga isolat mutan ini dapat dibedakan dari isolat wild-type dan mikroorganisme lain. Sebelum isolat Cronobacter spp. mutan ini digunakan, perlu dilakukan penentuan metode deteksi yang dapat mempertahankan karakteristik fenotip dari isolat mutan tersebut.


(18)

2

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui perbandingan bebrapa karakteristik maizena yang dibuat dari jagung Pioneer dent

dalam penelitian ini dengan maizena komersial

2. Menguji sintas mutan Cronobacter spp. mutan selama perendaman jagung dan pengeringan maizena.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Cronobacter spp

. (

Enterobacter sakazakii

)

1.

Karakteristik dan Taksonomi

Cronobacter spp.

Cronobacter spp. (sebelumnya dikenal dengan Enterobacter sakazakii) merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, bersifat motil, fakultatif anaerob, dan tidak dapat membentuk spora (Iversen dan Forsythe 2003). Morfologi Cronobacter spp. dapat dilihat pada Gambar 1. Sejak tahun 1958, Cronobacter spp. berhasil diidentifikasi sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning oleh Urmenyi dan Franklin dari kasus meningitis yang terjadi di Osterhills Hospital, Inggris. Kemudian pada tahun 1980, Farmer et al. mengidentifikasinya sebagai spesies lain yang berbeda dari Enterobacter cloacae, yaitu Enterobacter sakazakii

berdasarkan hibridisasi DNA, reaksi biokimia, produksi pigmen, dan ketahanan terhadap antibiotik. Spesies baru ini. memiliki reaksi biokomia yg mirip dengan Enterobacter cloacae, kecuali D-sorbitol negatif dan deoksiribonuklease ekstraseluler positif. Selain itu, spesies ini juga mampu membentuk koloni berpigmen kuning, sedangkan Enterobacter cloacae tidak. Berdasarkan ketahanannya terhadap antibiotik, Enterobacter sakazakii memiliki zona penghambatan yang lebih besar dari pada Enterobacter cloacae di sekitar sumur antibiotik ampisilin dan cephalothin (Farmer et al. 1980).

Gambar 1. Morfologi Cronobacter spp. di bawah SEM (Scanning Electrone Microscope) dengan perbesaran 4800x (Dennis Kunkel Microscopy 2009)

Oleh karena spesies-spesies Enterobacter sakazakii yang telah berhasil diisolasi memiliki keragaman yang tinggi, maka dilakukan klasifikasi ulang. Klasifikasi ulang taksonomi

Enterobacter sakazakii ini dilakukan berdasakan karakterisasi molekuler terhadap gen 16S rRNA, gen dnaG dan gluA, serta uji biokimia. Sehingga spesies Enterobacter sakazakii berganti nama menjadi genus Cronobacter spp. yang diusulkan terdiri dari lima spesies, yaitu C. sakazakii, C. malonaticus, C. turicensis, C. muytjensii, dan C. dublinensis (Iversen et al. 2008). Menurut Harris dan Oriel (1989), Cronobacter spp. dapat membentuk heteropolisakarida yang mengandung 29-32% glucoronic acid, 23-30% D-glukosa, 19-24% D-galaktosa, 13-22% D-fukosa, dan 0-8% manosa. Produksi optimumnya adalah pada kondisi pertumbuhan yang terbatas nitrogennya (rasio C/N 20:1). Kapsul bakteri ini digunakan untuk pertahanan sehingga memungkinkan bertahan dalam susu formula sampai 24 bulan. Pembentukan kapsul juga menjadikan bakteri ini dapat


(20)

4 menempel pada permukaan dan membentuk biofilm yang bersifat sangat resisten terhadap bahan pembersih dan desinfektan.

2.

Sumber Kontaminasi

Cronobacter spp.

Cronobacter spp. pertama kali diisolasi dari jaringan otak dan cairan cerebrospinal bayi yang terserang meningitis di Osterhills Hospital, Inggris (Urmenyi dan Franklin1961). Setelah penemuan tersebut, Cronobacter spp. telah diisolasi dari berbagai sumber seperti bahan pangan, sumber klinis, dan juga lingkungan. Joker et al. (1965) telah mengisolasi Cronobacter spp. dari cairan spinal bayi yang terserang meningitis di Hospital of Odense, Denmark. Farmer et al. (1980) juga menemukan Cronobacter spp. pada darah, tenggorokan, hidung, usus, kulit, luka, sumsum tulang, mata, dan telinga. Selain dari sumber klinis Cronobacter spp. telah ditemukan di lingkungan pabrik makanan (8 dari 9 pabrik makanan) (Kandhai et al. 2004). Skladal et al. (1993) juga menemukan Cronobacter spp. di lingkungan pabrik produksi susu UHT. Kemudian Farmer

et al. (1980) juga telah mengisolasi Cronobacter spp. dari peralatan makan rumah sakit dan stetoskop dokter.

Pada bahan pangan, Cronobacter spp. telah banyak diisolasi dari susu formula di berbagai negara. Cronobacter spp. telah diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survey menunjukkan bahwa 20 dari 141 sampel susu formula mengandung Cronobacter spp. dengan tingkat kontaminasi 0.36-66 cfu/100 g (Muytjens et al. 1988). Kemudian Simmons et al. (1989) juga telah mengisolasi Cronobacter spp. dari susu formula di USA. Biering et al. (1989) juga menemukan Cronobacter spp. pada susu formula yang dikonsumsi bayi di National University Hospital, Islandia. Kemudian menurut Nazarowec-White dan Farber (1997b), survei susu formula di wilayah Kanada menunjukkan bahwa 8 dari 120 (6.7 %) positif mengandung

Cronobacter spp. Estuningsih (2006) juga mengidentifikasi dari 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung

Enterobacteriacea dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Cronobacter spp. Meutia (2008) juga mengisolasi Cronobacter spp. (6 sampel dari 25 sampel) dari susu formula dan makanan bayi yang beredar di Indonesia. Kemudian Gitapratiwi (2011) juga menemukan Cronobacter spp. dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16).

Selain dari susu formula dan makanan bayi, Cronobacter spp. juga telah diisolasi dari bahan pangan lain seperti keju, roti, tofu, teh, dan sosis. Cronobacter spp. ditemukan pada roti karena bakteri ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorgum (Gassem 1999). Selain itu,

Cronobacter spp. juga telah diisolasi dari beras (Cottyn et al. 2001). Kemudian FAO-WHO (2004) pernah melakukan survey terhadap ingridien yang digunakan dalam pembuatan susu formula dan hasilnya menunjukkan bahwa Cronobacter spp. berhasil ditemukan pada pati-patian (40 dari 1389 sampel), laktosa (2 dari 2219 sampel), pisang serbuk/flake (1 dari 105 sampel), jeruk serbuk/flake (1 dari 61 sampel), dan lesitin (1 dari 136 sampel). Gitapratiwi (2011) juga menemukan Cronobacter spp. dengan persentase 11.8% pada pati-patian (n=15) dan 6.3% pada produk pangan kering lainnya (n=17). Kontaminasi Cronobacter spp. pada pati-patian juga berhasil ditemukan oleh Hamdani (2012), yaitu 1 sampel pati singkong (tapioka) dari 3 sampel pati-patian. Senzani (2011) juga berhasil mengisolasi Cronobacter spp. dari sayuran, yaitu kubis.

Meskipun Cronobacter spp. ditemukan di banyak sumber, hanya kontaminasi pada susu formula yang dilaporkan berasosiasi secara epidemiologi dengan sejumlah wabah penyakit meningitis di sejumlah negara (Farmer et al. 1980). Menurut CAC (2008), Cronobacter spp. dapat masuk ke dalam susu formula melalui kontaminasi dari lingkungan proses pada tahapan tetentu selama pengeringan, kontaminasi susu formula setelah kemasan dibuka, dan kontaminasi


(21)

5 selama atau setelah proses rekonstitusi. FAO-WHO (2004) juga menambahkan bahwa

Cronobacter spp. yang mencemari produk susu bubuk termasuk susu formula dapat berasal dari ingridien yang ditambahkan selama proses pembuatan susu formula.

3.

Ketahanan terhadap antibiotik

Farmer et al. (1980) mengidentifikasi bahwa seluruh isolat Cronobacter spp. yang diuji dengen metode difusi sumur tidak tahan terhadap gentamisin, kanamisin, kloramfenikol, dan ampisilin. Kemudian hasil pengujian dengan metode Minimum Inhibitory Concentration (MIC) menunjukkan bahwa MIC kloramfenikol terhadap Cronobacter spp. yaitu 4 – 8 μg/ml, sedangkan untuk ampisilin yaitu 2 – 4 μg/ml. Kedua antibiotik ini sering digunakan untuk mengobati pasien yang menderita meningitis akibat infeksi bakteri Cronobacter spp. Sementara Willis dan Robinson (1988) merekomendasikan penggunaan ampisilin dan gentamisin untuk pengobatan terhadap penyakit meningitis yang diakibatkan oleh Cronobacter spp. karena gentamisin dapat menghambat Cronobacter spp. dalam mencapai jumlah yang cukup untuk menginfeksi cairan cerebrospinal.

Farmer et al. (1980) juga menemukan hanya satu isolat Cronobacter spp. yang tahan terhadap beberapa antibiotik sekaligus yaitu streptomisin, kanamisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Akan tetapi, Kuzina et al. (2001) menemukan Cronobacter spp. yang diisolasi dari usus lalat buah Meksiko tahan terhadap ampisilin, cephalothin, eritromisin, novobiosin, dan penisilin. Dennison dan Morris (2002) juga melaporkan bahwa ada infeksi Cronobacter spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik, yaitu ampisilin, gentamisin, dan cefotaxamine.

4.

Ketahanan terhadap panas

Cronobacter spp

.

dap

at tumbuh pada kisaran suhu yang lebar (6-47oC). Pada suhu ruang (21oC), Cronobacter spp. mempunyai waktu generasi sekitar 75 menit pada susu formula yang direkonstitusi. Sementara pada suhu 10 oC, Cronobacter spp. memiliki waktu generasi sekitar 10 jam yang kemudian pertumbuhannya semakin lambat pada kondisi di bawah suhu refrigerasi (Iversen dan Forsythe 2003). Menurut Nazarowec-White dan Farber (1997a), Cronobacter spp.

memiliki nilai D52 54.8 menit, D54 23.7 menit, D56 10.3 menit, D58 4.2 menit, dan D60 2.5 menit

untuk rata-rata dari isolat sumber klinis dan bahan pangan. Apabila kedua sumber tersebut dibandingkan, isolat sumber klinis cenderung memiliki nilai D yang lebih tinggi, meskipun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kemudian untuk nilai z, Cronobacter spp. dari sumber klinis memiliki nilai z 6.020C, sedangkan dari sumber bahan pangan adalah 5.600C dengan rata-rata dari kedua sumber tersebut adalah 5.820C. Nilai tersebut berada pada kisaran nilai z untuk mayoritas bakteri yang tidak membentuk spora, yaitu 4-60C (Tomlins dan Ordal 1976). Apabila didasarkan pada hasil penelitian Nazarowec-White dan Farber (1997a) yaitu nilai D60 2.5 menit,

diperlukan perlakuan panas (pasteurisasi) terhadap susu pada suhu 600C selama 15 dan 17.5 menit untuk memperoleh reduksi Cronobacter spp. sebesar 6 dan 7 log secara berturut-turut.

Sementara Singh dan Ranganathan (1980) menyatakan bahwa Cronobacter spp. memiliki nilai D sebesar 23.7 menit dan 10.3 menit pada suhu 540C dan 560C. Morgan et al. (1988) juga melaporkan nilai D72 Cronobacter spp. pada susu formula bayi adalah 1.30088 menit. Nilai

tersebut merupakan nilai D yang paling tinggi dibandingkan dengan bakteri gram negatif lain pada produk olahan susu. Permadi (2011) juga melakukan pengujian ketahanan beberapa isolat


(22)

6 menunjukkan bahwa reduksi jumlah Cronobacter spp. pada perlakuan suhu inlet pengering 1600C berkisar antara 2.54 hingga 3.07 siklus log, pada suhu 1700C berkisar antara 2.77 hingga 3.25 siklus log, dan pada suhu 1800C berkisar antara 3.24 hingga 3.55 siklus log.

Menurut Ardelino (2011), isolat Cronobacter spp. YR t2a asal susu formula (Meutia 2008) memiliki nilai D pada suhu 54, 56, 58, dan 60 secara berturut-turut adalah 7.75, 3.61, 1.34, dan 0.90 menit. Pengujian ketahanan panas isolat YR t2a juga pernah dilakukan oleh Meutia (2008) terhadap susu formula yang direkonstitusi. Hasilnya menunjukkan bahwa pada suhu rekonstitusi 400C terjadi penurunan jumlah sel sebesar 1.44 log. Kemudian pada suhu rekonstitusi 700C, YR t2a mengalami penurunan jumlah sel sebesar 5.3 log dan pada suhu rekonstitusi 1000C jumlah sel YR t2a tidak terdeteksi lagi. Isolat YR t2a juga mengalami penurunan log yang paling besar (3.59 log) dibandingkan isolat Cronobacter spp. lainnya pada susu formula yang direkonstitusi dengan suhu air 40C. Pengujian ketahanan panas isolat Cronobacter spp. asal maizena (Gitapratiwi 2011) juga pernah dilakukan oleh Permadi (2011). Pada pengujian ketahanan panas dengan suhu 540C selama 23 menit, DES c7 mengalami reduksi jumlah sel sebesar 3.47 log.

B.

JAGUNG

1.

Biji Jagung

Gambar 2. Anatomi biji jagung (WSI 1997)

Biji jagung terdiri dari 4 bagian utama, yaitu perikarp, endosperma, lembaga, dan tip cap

seperti yang terlihat pada Gambar 2. Perikarp merupakan lapisan terluar yang berfungsi menutupi biji dan melindungi bagian-bagian di dalam biji. Ketebalan perikarp berkisar dari 25 hingga 140

μm. Bobot kering dari perikarp kurang dari 2% bobot total biji (Darrah et al. 2003). Perikarp terdiri dari lapisan epidermis, mesokarp, sel silang (cross cells), sel silinder (tube cells), dan kulit biji (seed coat). Epidermis adalah lapisan paling luar dari perikarp yang terdiri dari barisan sel yang dilapisi oleh kutikula lilin dengan ketebalan 0.7-1.0 μm yang berperan dalam penyerapan air. Mesokarp adalah lapisan tertebal dari perikarp yang memiliki 90% bobot dari perikarp total. Meskipun sel mesokarp memiliki diameter 7-10 μm, sel-selnya sangat panjang. Sel di bagian


(23)

7 tengah memiliki dinding yang lebih tebal dan lumen yang lebih besar, tetapi lebih panjang dari pada sel yang lebih luar. Sel silang bercabang dan berserat karena sempit dan dihubungkan di bagian akhir percabangan, serta berdinding tipis. Sel silinder terdiri dari barisan silinder longitudinal. Selnya sempit, berdinding tipis, dan tidak bercabang. Seed coat tipis, hyaline, dan hampir transparan. Lapisan ini melekat pada permukaan luar aleuron (Watson (2003).

Endosperma memiliki bobot 82.9% dari bobot kering biji yang mengandung pati sebanyak 87.6%. Endosperma disusun oleh sel memanjang dengan granula pati yang berbentuk bulat atau poligonal dengan diameter 3-25 μm. Pada biji yang sudah matang, tiap granula terperangkap dalam matriks protein. Sel endosperma mengecil dan matriks protein menebal dari bagian tengah ke endosperma luar. Endosperma terdiri dari endosperma keras dan endosperma lunak. Sementara lembaga memiliki bobot 11.1% dari bobot kering biji. Lembaga menyimpan nutrisi dan hormon yang diedarkan oleh enzim selama tahap awal germinasi biji. Lembaga menyimpan cadangan lemak sebesar 81-85% dari lemak total yang dikandung biji. Lemak tersebut didominasi oleh trigliserida. Lembaga tersusun dari embrio dan skutelum. Sel-sel yang ada di embrio dan skutelum mengaktivasi enzim hidrolitik dan sintetik, serta pertumbuhan hormon untuk mengedarkan nutrsi dan mensintesis senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhan. Tip cap

merupakan bagian yang berbentuk kerucut, berserat, dan melekat pada kernel (Watson 2003). Persentase bagian-bagian biji dan komposisi kimia jagung dent kuning dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase bagian-bagian biji dan komposisi kimia jagung dent kuning (Watson 2003)

Bagian

Persentase bobot kering dari biji

utuh (%)

Komposisi bagian biji (%)

Pati Lemak Protein Abu Gula Yang tidak terhitung Endosperma 82.9 87.6 0.80 8.0 0.30 0.62 2.7

Lembaga 11.1 8.3 33.2 18.4 10.5 10.8 18.8

Perikarp 5.3 7.3 1.0 3.7 0.8 0.34 86.9

Tip cap 0.8 5.3 3.8 9.1 1.6 1.6 78.6

Biji utuh 100 73.4 4.4 9.1 1.4 1.9 9.8 Jagung diklasifikasikan ke dalam lima kelas umum berdasarkan karakteristik bijinya, yaitu

dent corn, flint corn, popcorn, flour corn, dan sweet corn. Dent corn merupakan jenis jagung yang paling umum ditemukan di pasaran dengan crown (bagian atas) yang berbentuk cekung (Watson 2003). Dent corn memiliki endosperma keras di bagian samping dan belakang biji, serta endosperma lunak di bagian tengah hingga crown (Darrah et al. 2003). Flint corn memiliki

crown berbentuk bulat tanpa lekukan dan tekstur yang paling keras karena endosperma kerasnya lebih banyak. Popcorn adalah flint corn yang berukuran kecil (Watson 2003). Parameter yang membedakan popcorn dengan jenis jagung lainnya adalah ukuran dan bentuk bijinya, serta kemampuan bijinya untuk meletup dan mengembang ketika dipanaskan (Ziegler 2003). Flour corn juga mempunyai crown yang bulat atau datar, tetapi seluruh endospermanya merupakan endosperma lunak. Sweet corn juga terlihat mengembung saat masih segar, tetapi mengerut setelah dikeringkan karena kandungan patinya sedikit. Sweet corn dapat dikonsumsi langsung dalam bentuk segar, dikalengkan, atau dibekukan (Watson 2003). Perbedaan karakteristik biji dari kelima jenis jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara berdasarkan warna bijinya, jagung dapat dibedakan secara signifikan menjadi jagung putih, kuning, jingga, merah, ungu, dan


(24)

8 coklat. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan genetik pada perikarp, aleuron, lembaga, dan endosperma. Hanya jagung kuning dan putih yang secara umum dikenal, tetapi ada sejumlah kecil jagung merah dan ungu yang diproduksi untuk pasar tertentu (Watson 2003).

Gambar 3. Perbedaan struktur biji jenis-jenis jagung (Dickerson 2003)

Mikroflora yang secara alami terdapat pada jagung sangat beragam. Rahmawati et al. (2012) telah mengisolasi 8 spesies kapang, 3 spesies khamir, dan 5 spesies BAL dari fermentasi spontan saat perendaman jagung. Pertumbuhan kapang pada jagung menjadi hal yang perlu diperhatikan karena kemampuannya dalam memproduksi toksin atau yang dikenal dengan mikotoksin. Mikotoksin ini merupakan metabolit sekunder dari kapang yang bersifat toksik. Kontaminasi mikotoksin pada beberapa biji-bijian berasal dari infeksi kapang atau investasi tanaman selama perkembangannya, saat panen atau setelah panen. Kapang toksigenik yang utama pada jagung adalah spesies dari Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium (Munkvold 2003). Selain kapang, bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum, Pediococcus pentosaceus, Leuconoctoc paramesenteroides, dan Lactobacillus brevis juga berhasil diisolasi dari jagung (Dellaglio et al. 1984).

2.

Pati Jagung

a.

Karakteristik

Granula pati terdiri dari dua komponen, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa berkontribusi sebanyak 25-30% dari komponen pati, yang merupakan molekul linier dari kumpulan glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) glikosidik. Amilosa jagung memiliki derajat polimerisasi 100-1000 unit glukosa. Sementara amilopektin merupakan molekul bercabang dengan ikatan α-(1,6) pada percabangan dan struktur linier dengan ikatan

α-(1,4) glikosidik (Boyer dan Shannon 2003). Hubungan antar rantai polimer menghasilkan jaringan intermolekuler yang memiliki kemampuan untuk mengikat air (Mauro et al. 2003). Menurut Boyer dan Shannon (2003), amilosa dan amilopektin pada endosperma disusun di granula yang bersifat tidak larut. Granula pati dibentuk di dalam organel sel yang disebut amiloplas. Secara umum, granula pati jagung berbentuk bulat dan poligonal. Pati jagung mempunyai struktur kristalin yang ditunjukkan dengan struktur birefringence saat diamati di bawah cahaya terpolarisasi. Menurut Taggart (2004), birefringence merupakan pola maltose-cross (pola silang) sebagai hasil refleksi cahaya terpolarisasi oleh granula pati. Pola ini juga


(25)

9 menghasilkan warna biru-kuning yang menunjukkan indeks refraksi dari granula pati. Ukuran granula pati jagung beragam dengan diameter 5-25 μm (Mauro et al. 2003). Akan tetapi, Fu et al. (2012) menyatakan bahwa granula pati jagung juga ada yang berdiameter kurang dari 2 μm hingga 60 μm. Fennema (1996) juga menyatakan bahwa granula pati jagung berdiameter 2-30 μm.

Karakteristik fisik suatu granula dipengaruhi oleh struktur polisakarida dan persentase distribusi dari amilosa dan amilopektinnya. Karakteristik fisik granula pati perlu diketahui untuk menentukan nilai biologis dan ekonomis dari granula pati tersebut (Boyer dan Shannon (2003). Granula pati jagung memiliki struktur kristalin dan tidak larut dalam air dingin. Namun ketika granula pati disuspensikan dengan air sambil dipanaskan, air akan diserap dan granula pati terhidrasi. Dengan pemanasan yang berlanjut, ikatan hidrogen yang menjaga integritas granula akan melemah, lalu granula pati akan mulai membengkak. Selama pembengkakan, terjadi perubahan granula pati yang bersifat irreversible. Peningkatan viskositas secara cepat, peningkatan kejernihan pasta, dan kehilangan struktur birefringence

menjadi tanda bahwa pati telah mengalami gelatinisasi (Mauro et al. 2003). Menurut Ahmad (2009), pati jagung normal memiliki suhu gelatinisasi sebesar 79.050C. Swinkles (1985) juga menyatakan bahwa suhu gelatinisasi jagung berkisar antara 75-800C.

Menurut Johnson dan May (2003), maizena diperoleh dari hasil penggilingan basah biji jagung. Jagung jenis dent merupakan bahan baku yang biasa digunakan dalam pembuatan maizena selain jenis flour. Rendemen pati yang diperoleh dari jagung dent kuning berkisar 60-72%. Sementara maizena yang dibuat dari jagung jenis flint memiliki rendemen yang lebih kecil dari jagung dent, meskipun karakteristiknya tidak jauh berbeda. Untuk memperoleh karakteristik pati tertentu, maizena sering dibuat dari jagung mutan seperti waxy corn, jagung kaya amilosa, dan jagung putih. Beberapa jenis jagung putih normal dapat memiliki rendemen pati sebesar 61-70%. Meskipun harga jagung putih biasanya lebih tinggi dari jagung normal, jagung putih dapat menghasilkan maizena yang lebih putih tanpa memerlukan bahan kimia pemucat. Karakteristik maizena dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik bubuk pati jagung (maizena) (Watson 1984) Parameter Nilai

Kadar pati (%) 88

Kadar air (% basis basah) 11

Kadar protein (%) 0.35

Kadar abu (%) 0.1

Kadar lemak (%) 0.04

Serat kasar (%) 0.1

pH (%) 5

Kadar amilosa (%) 28

Kadar amilopektin (%) 72 Ukuran granula (mikron) 5-30 Rata-rata ukuran granula (mikron) 9.2


(26)

10

b.

Pembuatan Pati Jagung (Maizena)

Pembuatan pati jagung (maizena) terdiri dari tahap pembersihan, perendaman, penggilingan, pemisahan serat dan gluten, dan pengeringan. Pembersihan dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari partikel asing berukuran besar seperti tongkol, batu, dan sekam, serta partikel asing berukuran kecil seperti kernel yang hancur, debu, pasir, dan bagian tubuh serangga. Penggunaan magnet juga sering dilakukan untuk menghilangkan partikel asing berupa besi yang dapat merusak peralatan proses (Johnson dan May 2003).

Biji jagung yang telah dibersihkan lalu direndam di dalam air dengan kondisi suhu, waktu, konsentrasi sulfur dioksida, dan sirkulasi air rendaman yang terkontrol. Kondisi ini diperlukan untuk mempermudah difusi air ke dalam lembaga, endosperma, dan komponen seluler lainnya. Penggunaan 0.12-0.2% SO2 berfungsi sebagai agen pereduksi yang

memecah ikatan disulfida pada matriks protein yang memerangkap granula pati dan mendukung pertumbuhan bakteri Lactobacillus alami untuk memproduksi asam laktat melalui fermentasi gula bebas yang kemudian dilepas ke air perendam. Asam laktat dapat memperlunak biji jagung, melarutkan protein endosperma, dan memperlemah dinding sel endosperma. Hal ini dapat mempermudah endosperma untuk digiling pada tahap selanjutnya.

Kombinasi suhu dan waktu perendaman yang biasa diterapkan adalah 500C selama 40 jam (Johnson dan May 2003). Menurut Haros dan Suarez (1997), penggunaan gas SO2

dapat digantikan dengan natrium bisulfit untuk skala laboratorium. Perendaman ini dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam. Penggunaan suhu lebih dari 550C dapat menginaktivasi Lactobacillus alami sehingga mengurangi produksi asam laktat (Johnson dan May 2003). Sementara apabila perendaman dilakukan pada suhu lebih rendah dari 450C, akan terbentuk alkohol yang diproduksi oleh khamir alami yang terdapat pada biji melalui fermentasi karbohidrat. Kemudian perendaman yang dilakukan lebih dari 96 jam juga dapat mengakibatkan penurunan viskositas pati yang dihasilkan (Berkhout 1976).

Tahap selanjutnya setelah perendaman adalah penggilingan. Penggilingan dapat dilakukan dengan disc mill atau grinder yang disertai dengan penambahan air. Tahap ini bertujuan untuk menghancurkan biji sehingga pati yang terperangkap dalam matriks bahan terekstrak, serta komponen lain dapat dipisahkan dengan mudah. Suspensi hasil penggilingan lalu dipompa ke hydrocyclone untuk memisahkan lembaga berdasarkan densitasnya. Lembaga memiliki densitas yang rendah karena memiliki kandungan minyak yang tinggi, sehingga akan berada di bagian atas. Setelah dipisahkan dari lembaga, suspensi dialirkan ke suatu alat yang dapat memisahkan serat dari suspensi pati-gluten. Hasil pemisahan serat sebagian besar mengandung pati dan gluten, serta sebagian kecil komponen-komponen yang terlarut. Pemisahan pati dan gluten juga dilakukan berdasarkan perbedaan densitas. Gluten memiliki densitas yang lebih rendah dari pada pati, sehingga pati akan mengendap. Pati hasil pengendapan lalu dicuci dengan hydrocyclone untuk memisahkan gluten dan komponen terlarut lain yang masih tersisa (Johnson dan May 2003).

Setelah itu pati dapat langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan bahan kimia seperti bahan pemucat dan asam untuk memodifikasi karakteristik pati sesuai permintaan konsumen. Residu bahan kimia dicuci melalui sentrifugasi atau penyaringan vakum. Kombinasi suhu dan waktu pengeringan yang biasa digunakan adalah 500C selama 24 jam (Johnson dan May 2003). Bubuk maizena hasil pengeringan memiliki kadar air basis basah sebesar 11% (Watson 1984).


(27)

11

C.

AMPISILIN

Ampisilin merupakan jenis antibiotik kelompok penisilin yang berwarna putih, berbentuk serbuk kristalin, dan tidak berbau. Antibiotik ini biasanya ada dalam bentuk trihidrat yang dapat terurai pada kisaran titik leleh 214.5-2150C dan 202-2040C (Ivashkiv 1973). Serbuk ampisilin stabil saat disimpan di tempat tertutup dengan kelembaban relatif 43% dan 81% pada suhu ruang selama 6 minggu. Ampisilin juga stabil disimpan pada suhu 350C di tempat tertutup selama 9 minggu. Kestabilannya akan menurun secara signifikan seiring dengan keberadaan gula (Reynolds 1989). Ampisilin dihasilkan dari alkilasi 6-aminopenicillanic acid dengan D-(-)-α-phenylglycine melalui sintesis mikrobiologis atau kimiawi (Ivashkiv 1973). Struktur molekul ampisilin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur molekul ampisilin

Menurut Zahner dan Maas (1972), ampisilin dapat bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Organisme yang sensitif terhadap ampisilin yaitu bakteri gram positif (Diplococcus pneumonlae, Clostridia spp., Bacillus anthracis, Listeria monocytogenes, hemolytic streptococci, nonhemolytic streptococci, non-penicillinase-producing staphylococci, dan beberapa galur enterococci) dan bakteri gram negatif (Haemophilus influenza, Neisseria gonorrhoeae,

Neisseria meningitidis, Proteus mirabilis, serta beberapa galur Salmonella spp., Shigella spp., dan

Escherichia coli). Menurut Haddix et al. (2000), ampisilin menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena tekanan osmotik internal yang tinggi. Paul (2008) menyatakan bahwa ampisilin sebanyak 2 mg dapat menghasilkan zona penghambatan terhadap bakteri E.coli sebesar 21-24 mm dan terhadap S. aureus sebesar 20-25 mm dengan metode difusi sumur.

Menurut Assael et al. (1979), ampisilin biasa digunakan di bidang klinis untuk mengobati beberapa infeksi, seperti gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, gonorrhea, meningitis, dan

septicaemia. Pada berbagai formulasi, dosis oral umum adalah 0.25-1 g setiap 6 jam. Sementara menurut Reynolds (1989), dosis umum ampisilin adalah 0.5 g setiap 4 atau 6 jam. Menurut Carlson et al. (1983), ampisilin seharusnya tidak digunakan lagi dalam penanganan diare akut karena ampisilin memiliki aktivitas penghambatan yang rendah terhadap beberapa bakteri enteropatogen seperti

Salmonella spp., Shigella spp., ET E. coli, Aeromonas hydrophila, dan Yersinia enterocolitica

(MIC90% ≥64 μg/ml). Sementara Plesiomonas shigelloides, Vibrio parahaemolyticus, dan Campylobacter jejuni memiliki MIC90%≤8 μg/ml yang berarti lebih sensitif terhadap ampisilin.

Milhaud et al. (1976) menyatakan bahwa kematian terjadi pada 63.45% dan 100% kelinci yang menerima dosis oral ampisilin berturut-turut 5.15 mg/kg berat badan dan 50 mg/kg berat badan selama 3 hari. Ampisilin memiliki nilai LD50 intraperitoneal sebesar 3300 mg/kg berat badan tikus

dewasa/hari dan 4500 mg/kg berat badan tikus dewasa/83 hari (Goldenthal 1971). Sementara nilai LD50 oral ampisilin adalah 10 g/kg berat badan tikus dan 15.2 g/kg berat badan mencit (Khosid et al.


(28)

12 1975). Ampisilin dapat dirusak oleh penicillinase dan diinaktivasi oleh S. aureus dan galur-galur tertentu Proteus spp. dan Klebsiella spp. yang memproduksi penicillinase. Ampisilin tahan terhadap asam dan dapat diserap dengan baik pada saluran pencernaan (Kennedy et al. 1963).

D.

GREEN FLUORESCENT PROTEIN

Green Fluorescent Protein (GFP) pertama kali ditemukan oleh Shimomura et al. (1962) sebagai protein pendamping aequorin yang merupakan protein chemiluminescent dari ubur-ubur laut

Aequorea victoria. GFP merupakan polipeptida yang terdiri dari 238 asam amino yang membentuk

barrel padat dengan bobot molekul 27 kDa. Barrel tersebut terdiri dari 11 antiparalel β-strands yang diuntai oleh α-heliks yang memanjang pada sumbu silinder. Kromofor tertempel pada α-heliks dan tersimpan dalam pada pusat geometrik molekul, yang disebut dengan β-can (Tsien 1998). Struktur tiga dimensi GFP dapat dilihat pada Gambar 5. Struktur α-heliks ditunjukkan oleh warna merah, β

-strand ditunjukkan oleh warna hijau, dan kromofor ditunjukkan oleh model ball-and-stick (Brejc et al. 1997). Bagian yang bertanggung jawab terhadap karakteristik fluoresens GFP terletak di dalam barrel

yang menyediakan lingkungan yang baik bagi kromofor untuk berpendar. Kromofor terdiri dari residu tiga asam amino, yaitu Serin-65, Tirosin-66, Glisin-67 yang membentuk struktur imidazole (Heim et al. 1994).

Gambar 5. Struktur tiga dimensi GFP (Brejc et al. 1997)

Pembentukan kromofor fluoresens secara utuh terjadi secara bertahap. Tahap pertama yaitu GFP melakukan pelipatan. Pada tahap kedua, cincin imidazole dibentuk melalui siklikasi residu Serin-65 dan Glisin-67 yang diikuti dengan dehidrasi. Tahap terakhir yaitu molekul oksigen mengoksidasi senyawa antara siklisasi pada residu Tirosin-66 untuk memebentuk struktur kromofor fluoresens p-hydroxybenzylideneimidazolinone. Mekanisme biosintesis kromofor GFP dapat dilihat pada Gambar 6. Setiap tahap dari pembentukan kromofor bersifat autokatalitik atau menggunakan faktor yang bersifat ada dimana-mana sehingga ekspresi fluoresens GFP memiliki spektrum yang luas untuk berbagai organisme (Chalfie dan Kain 2006; Kay dan Sullivan 1999; Tsien 1998). GFP ini dapat mengemisikan cahaya hijau (508 nm) ketika tereksitasi oleh cahaya ultraviolet (395 nm) (Bongaerts et al. 2002).


(29)

13 Gambar 6. Mekanisme biosintesis kromofor GFP (Tsien 1998).

Selain pada Aequorea, GFP juga telah ditemukan pada Coelenterata hydrozoa seperti Obelia

dan Phialidium, serta anthozoa seperti Renilla (Morin dan Hastings 1971; Ward 1979). Akan tetapi, hanya gen GFP dari Aequorea yang telah diklon untuk berbagai keperluan. Penanda GFP telah banyak dimanfaatkan karena sel tunggal bakteri yang telah tersisipi GFP dapat dideteksi dengan menggunakan mikroskop epifluoresens sehingga posisi riil bakteri tersebut di alam dapat diketahui (Ramos et al. 2000). Selain itu, gen GFP diketahui tahan terhadap beberapa senyawa denaturan dan protease, serta tahan terhadap suhu yang tinggi (650C) dan perlakuan formaldehid. Gen GFP juga masih dapat dideteksi pada preparat yang telah difiksasi (Errampalli et al. 1999).

GFPuv merupakan mutan yang dikembangkan melalui mutasi titik di tiga kodon asam amino pada sekuens DNA GFP asli (Crameri et al. 1996). Seperti halnya GFP, GFPuv memiliki eksitasi maksimum pada panjang gelombang 395 nm dan emisi maksimum pada 509 nm. Apabila dibandingkan dengan GFP, GFPuv mengalami substitusi 3 asam amino, yaitu Phenilalanin-99 menjadi Serin, Metionin-153 menjadi Threonin, dan Valin-163 menjadi Alanin, namun tidak merubah sekuens kromofor. Kelebihan GFPuv dibandingkan dengan GFP adalah intensitas pendaran yang lebih tinggi ketika tereksitasi oleh sinar ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 395 nm. GFPuv dapat berpendar 18 kali lipat dari GFP dan dapat dideteksi lebih mudah dengan mata tanpa memerlukan peralatan khusus (Chin et al. 2003).

GFPuv bersifat resisten terhadap perubahan pH. Denaturasi secara lengkap hanya terjadi pada pH ekstrem (1.0 dan 4.0). GFPuv kehilangan sekitar 37% pendarannya pada pH 4.0 dan 15% pada pH 7.0. Ketahanannya terhadap perubahan pH paling utama disebabkan oleh struktur kromofor GFPuv yang terlindungi (Chin et al. 2003). GFPuv mempunyai struktur yang hampir sama dengan GFP. Perbedaannya yaitu adanya jarak yang cukup renggang antara β-strand ketujuh dan kedelapan yang terbentuk selama pelipatan β-barrel pada GFPuv seperti yang terlihat pada Gambar 7 (Tansila et al. 2007). Hal ini disebabkan proses mutasi yang terjadi berperan dalam mengurangi sifat hidrofobik GFP sehingga mengurangi agregasi dan memengaruhi kinetika pelipatan (Hsu et al. 2009). Perubahan intensitas fluoresens dapat terjadi karena protonasi dan deprotonasi residu yang berada di sekitar kromofor (Kneen 1998). Oleh sebab itu, GFPuv cocok untuk digunakan dalam berbagai aplikasi intraseluler, seperti penanda kuantitatif dari ekspresi gen (Chin et al. 2003). Dengan stabilitas termalnya, GFPuv berpotensi sebagai indikator biologis fluoresens untuk menguji keefektifan perlakuan panas pada suhu kurang dari 1000C (Penna et al. 2004). Karakteristik fluoresens dari


(30)

14 GFPuv dapat dihitung secara in vivo dan in vitro melalui berbagai teknik dengan mikroskop fluoresens, flow cytometry, dan spektroflorometri (Chalfie et al. 1994).

Gambar 7. Struktur tiga dimensi GFPuv (Tansila et al. 2007)

E.

PLASMID

GREEN FLUORESCENT PROTEIN

(pGFPuv)

Plasmid merupakan elemen ekstrakromosomal yang secara fisik terpisah dari kromosom sel inang dan mampu bertahan dengan stabil pada kondisi tersebut (Clowes 1972). Plasmid dapat bereplikasi secara independen dari kromosom sel inang dan diwariskan secara stabil. Seperti halnya kromosom, plasmid memiliki struktur sirkular dan superkoil, meskipun ada beberapa plasmid yang strukturnya linier. Perbedaan plasmid dengan kromosom inang adalah plasmid memiliki ukuran yang kecil dan dapat menyandikan gen yang sebenarnya tidak esensial bagi ketahanan bakteri. Hal ini berarti kondisi tidak adanya plasmid tidak akan membunuh bakteri, tetapi keberadaan plasmid dapat memberikan keuntungan tambahan bagi sel bakteri tersebut. Plasmid dapat berpindah ke sel lain, tapi tidak semua plasmid dapat berpindah. Hanya plasmid yang memiliki gen untuk perpindahan diri yang dapat berpindah. Plasmid memiliki 2 karakteristik penting, yaitu kemampuannya untuk melakukan replikasi dan membagi dirinya ketika sel inang membelah. Terkadang plasmid dikatakan hilang ketika sel keturunannya tidak menerima plasmid. Kehilangan plasmid dalam populasi tersebut menunjukkan terjadinya pemisahan plasmid (Rao 2012).

Nurjanah et al. (2012) telah melakukan transformasi melalui penyisipan pGFPuv pada isolat

Cronobacter spp. YR t2a (Meutia 2008), FWH c3 (Hamdani 2012), dan DES c7 (Gitapratiwi 2011) yang kemudian digunakan pada penelitian ini. Plasmid GFPuv tersebut diperoleh dari Clontech Laboratories, Inc (USA). Plasmid ini mengandung gen yang menyandikan GFP Aequorea victoria

yang telah dioptimalkan untuk intensitas fluoresens yang lebih tinggi ketika tereksitasi oleh sinar ultraviolet (UV) standar (360-400 nm). Sekuens penyandi GFPuv diapit oleh 5’MCS dan 3’MCS, sehingga gen GFPuv dapat dipisahkan dari pGFpuv. Gen GFPuv disisipkan pada frame dengan kodon inisiasi lacZ dari pUC19 sehingga protein gabungan β-galactosidase-GFPuv diekpresikan dari lac-promoter pada E.coli. Gen Ampr menyandikan protein β-lactamase yang dapat mendegradasi antibiotik ampisilin sehingga memiliki sifat resisten terhadap ampisilin. Sekuens pUC menyediakan jumlah sandian yang tinggi dari replikasi dan gen resisten ampisilin dalam perbanyakan pada E.coli. Perbanyakan plasmid pada E. coli direkomendasikan untuk dilakukan pada isolat JM109 atau DH5α. Untuk memperoleh penanda terseleksi, plasmid menunjukkan sifat resisten terhadap ampisilin dengan


(31)

15 konsentrasi 100 µg/ml pada sel inang E. coli (Clontech, USA). Gambar plasmid GFPuv dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta vektor pGFPuv (Clontech, USA)

F.

MEKANISME MUTASI MELALUI TRANSFORMASI

Mutasi didefinisikan sebagai perubahan sekuen DNA. Mutasi dapat terjadi karena penggantian sepasang basa, penghilangan atau penyisipan satu atau lebih pasangan basa, atau perubahan secara umum pada struktur kromosom (Klug et al. 2006). Sel atau organisme mutan merupakan sel atau organisme yang yang telah mengalami perubahan fenotip akibat dari proses mutasi sehingga dikenal dengan non wild-type. Mekanisme pembuatan mutan yang digunakan pada penelitian ini adalah penyisipan plasmid ke dalam sel bakteri inang melalui transformasi. Menurut Klug et al. (2006), transformasi merupakan salah satu mekanisme transfer DNA atau plasmid pada bakteri selain konjugasi dan transduksi. Plasmid atau DNA eksogenus diambil oleh sel bakteri inang yang mengakibatkan terjadinya perubahan genetik pada sel inang. Pada populasi bakteri, hanya sel yang kompeten saja yang yang dapat mengambil DNA dari lingkungan. Cohen et al. (1972) menyatakan bahwa salah satu cara untuk membentuk sel kompeten adalah dengan menggunakan larutan CaCl2.

Membran sel akan bersifat permeabel terhadap ion klorida, tetapi nonpermeabel terhadap ion kalsium. Ketika ion klorida memasuki sel inang, molekul air ikut masuk sehingga sel akan membengkak dan memerlukan DNA dari lingkungan.

Sel kompeten yang telah dibuat harus disimpan pada suhu yang sangat rendah (-700C). Ketika transformasi akan dilakukan, thawing sel harus dilakukan di dalam es selama 5-10 menit. Kemudian plasmid ditambahkan ke dalam sel kompeten yang diikuti dengan perlakuan heat-shock pada suhu 420C selama 45 detik (Sambrook dan Russel 2001). Ketika sel bakteri dipanaskan, serangakaian gen diekspresikan yang mengakibatkan bakteri dapat bertahan pada suhu tersebut. Serangkaian gen ini disebut dengan heat-shock genes. Tahap ini dibutuhkan dalam pengambilan plasmid atau DNA eksogenus oleh sel inang. Pada suhu di atas 420C, kemampuan bakteri untuk mengambil plasmid atau DNA eksogenus lebih rendah, sedangkan pada suhu ekstrem bakteri akan mati (Li et al. 2010). Menurut Sambrook dan Russel (2001) setelah tahap heat-shock, medium SOC ditambahkan dan diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam. Kemudian disebar pada agar cawan yang mengandung


(32)

16 antibiotik dan diinkubasi pada suhu 370C selama 1 malam. Mekanisme singkat transformasi kimiawi dengan larutan CaCl2 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Transformasi kimiawi sel kompeten (NextGen Sciences 2005)

Plasmid ditambahkan ke dalam larutan CaCl2 yang sudah mengandung sel

Sel dan plasmid didiamkan di dalam es selama 30 menit

Perlakuan heat-sock pada suhu 420C selama 45 detik

Larutkan sel ke dalam SOC dan inkubasi selama 1 jam


(33)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung varietas Pioneer dengan tipe biji

dent yang diperoleh dari Sukabumi, Jawa Barat. Kemudian bahan lain yang digunakan adalah produk maizena komersial, ampisilin, air destilata, alkohol 70%, spirtus, natrium hipoklorit (NaOCl) 2%, natrium bisulfit, kapas, kertas tisu, plastik, aluminium foil, media pertumbuhan TSA (Tryptone Soy Agar), DFIA (Druggan Forsythe Iversen Agar), BHI (Brain Heart Infusion), BPW (Buffered Peptone Water), PDA (Potato Dextrose Agar), MRSB (De Man Rogosa Sharp Broth), dan NB (Nutrient Broth). Kultur bakteri yang digunakan terdiri dari isolat Cronobacter spp. normal YR t2a asal susu formula (Meutia 2008), isolat normal DES c7 asal maizena (Gitapratiwi 2011), isolat normal FWH c3 (Hamdani 2012), isolat mutan YR t2a, isolat mutan DES c7, isolat mutan FWH c3 (Nurjanah et al.

2012) dan isolat-isolat dari fermentasi spontan selama perendaman jagung (Pediococcus sp.,

Lactobacillus plantarum, Lactobacillus lactis, Lactobacillus brevis, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri, Candida krusei, dan Candida zeylanoides) (Rahmawati et al. 2012).

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan untuk produksi maizena dan peralatan analisis (analisis maizena dan analisis mikrobiologi). Peralatan untuk produksi maizena yaitu disc mill, grinder, oven, blender, loyang, baskom, kain saring, dan ayakan 100 mesh. Peralatan untuk analisis terdiri dari neraca, whitenessmeter, mikroskop polarisasi, mikroskop cahaya,

stomacher, waterbath, inkubator suhu 370C, inkubator suhu 550C, autoklaf, oven, lampu ultraviolet (366 nm), pipet mikro, tip pipet, tabung reaksi berulir, cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, sudip, sendok, rak tabung reaksi, hocky stick, pipet Mohr, pipet tetes, bulb, bunsen, kaca preparat, dan gelas objek.

B.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan Maret-Desember 2012 di Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan pilot plant

SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor.

C.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari pembuatan maizena dari jagung kuning, penentuan metode deteksi

Cronobacter spp. mutan, serta pengujian Cronobacter spp. mutan selama perendaman jagung dan pengeringan maizena. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

1.

Pembuatan Maizena

Biji jagung kering digiling secara kasar dengan disc mill menjadi grits jagung. Lalu grits jagung dibersihkan dari kotoran fisik seperti sekam, pasir, batu, sisa tongkol, dan bagian tubuh serangga. Grits jagung yang telah bersih lalu dicuci untuk membersihkan kotoran yang tersisa dan memisahkan endosperma dari lembaga dan perikarp (Johnson dan May 2003). Kemudian grits endosperma direndam dalam larutan natrium bisulfit 0.25 % dengan perbandingan 1 : 5 (1 bagian


(34)

18 jagung : 5 bagian air perendam) selama 48 jam pada suhu 520C. Setelah direndam, biji jagung digiling secara halus mengunakan grinder dengan tambahan air (Haros dan Suarez 1997). Hasil penggilingan basah kemudian disaring menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas. Suspensi hasil pemisahan lalu diendapkan minimal 12 jam untuk memisahkan protein. Suspensi pati yang mengendap lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 500 selama 24 jam (Johnson dan May 2003). Pati yang telah kering digiling menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh sehingga diperoleh maizena bubuk. Diagram alir pembuatan maizena dapat dilihat pada Lampiran 1. Maizena yang dihasilkan kemudian dihitung rendemennya dan dibandingkan dengan maizena komersial melalui analisis kadar air, derajat putih, densitas kamba, dan pengamatan struktur granula pati.

Gambar 10. Diagram alir penelitian Pengujian ketahanan mutan Cronobacter spp.

Perendaman jagung Pengeringan maizena

Nilai reduksi log Nilai reduksi log Pembuatan maizena

Analisis maizena Penghitungan

rendemen

Penentuan konsentrasi ampisilin (0, 25, 50, 75, 100 µg/ml)

Penentuan metode pemupukan (metode tuang atau permukaan) dan media pertumbuhan inokulum (BHI

atau BHI+Ampisilin) Konsentrasi ampisilin

terpilih

Metode pemupukan dan media pertumbuhan


(35)

19

a.

Rendemen

Rendemen maizena dinyatakan dalam persen berdasarkan bobot maizena terhadap biji jagung utuh, dengan perhitungan sebagai berikut:

Rendemen= bobot maizena

bobot biji jagung utuh×100% 

b.

Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Sampel sejumlah 1-2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan dikeringkan di dalam oven pengering bersuhu 1050C selama 6 jam. Setelah itu, sampel dan cawan didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang. Cawan dan sampel selanjutnya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar air basis basah (%)=W- W1-W2

W ×100%

Kadar air basis kering (%)=W- W1-W2

W1-W2 ×100%  Keterangan:

W = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W1= bobot sampel+cawan kering (g) W2= bobot cawan kering (g)

c.

Derajat Putih (Kett Electric Laboratory 1981)

Pengukuran derajat putih dilakukan dengan menggunakan whitenessmeter. Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam wadah khusus seperti plate, lalu diletakkan di atas tempat pengukuran. LED akan menampilkan nilai derajat putih yang terukur. Nilai derajat putih sampel dinyatakan dengan membandingkan nilai derajat putih yang terbaca pada alat dengan nilai derajat putih plate MgO (81.6).

Nilai derajat putih sampel= Nilai yang terukur

Nilai derajat putih MgO×100% 

d.

Densitas Kamba (Khalil 1999)

Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati satu unit volume tertentu tanpa dipadatkan dengan satuan g/ml. Densitas padat diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian bobotnya ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi bobot sampel dengan volume ruang yang ditempati dalam satuan g/ml.


(36)

20

e.

Struktur Granula Pati (Sunarti

et al

. 2007)

Pengamatan granula pati dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel pati disuspensikan dalam akuades sehingga diperoleh suspensi pati 2% dan diaduk secara merata. Kemudian satu tetes sampel diletakkan pada gelas objek, ditutup dengan gelas penutup, dan diamati di bawah mikroskop terpolarisasi dengan perbesaran 400 kali.

2.

Penentuan Metode Deteksi Mutan

Cronobacter spp

.

a.

Penentuan Konsentrasi Ampisilin Media

i.

Persiapan Inokulum

Tiga isolat (YR t2a, DES c7, FWH c3) normal dan mutan Cronobacter spp. masing-masing diinokulasikan ke media BHI, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 370C. Kultur kapang (A. flavus, A. niger, F. oxysporum), khamir (K. ohmeri, C. krusei, dan C. zeylanoides) dibuat dengan menginokulasikan 1 ose untuk masing-masing isolat ke PDB, lalu diinkubasi pada suhu 300C selama 1 hari. Kultur BAL (Pediococcus sp., L. plantarum, L. lactis, L. brevis) dibuat dengan menginokulasikan 1 ose untuk masing-masing isolat ke MRSB, lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 1 hari. Kultur campuran dibuat dengan menginokulasikan 1 ose untuk masing-masing isolat kapang, khamir, dan BAL ke NB, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 370C.

ii.

Pembuatan Stok Ampisilin

Satu tablet ampisilin yang mengandung 500 mg ampisilin dihaluskan menggunakan mortar, lalu dimasukkan ke dalam 166.67 ml air steril sehingga diperoleh konsentrasi 3000 μg/ml. Kemudian larutan stok ampisilin tersebut disterilisasi menggunakan microfilter dengan bantuan syringe steril.

iii.

Pembuatan Media Pemupukan

Media tumbuh yang digunakan adalah TSA yang ditambah ampisilin dengan konsentrasi 0 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, dan 100 μg/ml. Jumlah media TSA yang dibuat disesuaikan dengan konsentrasi ampisilin berdasarkan rumus pengenceran, lalu disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebelum media TSA digunakan, ampisilin dari stok ditambahkan sesuai konsentrasi masing-masing.

iv.

Pemupukan (BAM 2001)

Inokulum diencerkan hingga empat tingkat pengenceran menggunakan BPW, lalu sebanyak 1 ml dipupukkan ke cawan petri steril dan sekitar 15 ml media TSA dengan konsentrasi ampisilin tertentu dituang. Kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari dengan posisi terbalik.


(37)

21

v.

Pengamatan Koloni

Setelah masa inkubasi, cawan diamati secara kualitatif berdasarkan intensitas kepadatan koloni pada cawan dengan ketentuan sebagai berikut:

- = tidak ada pertumbuhan koloni + = koloni yang tumbuh sangat sedikit ++ = koloni yang tumbuh sedikit +++ = koloni yang tumbuh agak banyak ++++ = koloni yang tumbuh banyak +++++ = koloni yang tumbuh sangat banyak

b.

Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum

i.

Pembuatan Stok Ampisilin

Satu tablet ampisilin yang mengandung 500 mg ampisilin dihaluskan menggunakan mortar, lalu dimasukkan ke dalam 166.67 ml air steril sehingga diperoleh konsentrasi 3000 μg/ml. Kemudian larutan stok ampisilin tersebut disterilisasi menggunakan microfilter dengan bantuan syringe steril.

ii.

Persiapan Inokulum

Sebanyak 3 butir dari kultur manik-manik setiap isolat mutan Cronobacter spp. ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu BHI dan BHI yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi terpilih (BHI+A), lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 1 hari.

iii.

Pemupukan (BAM 2001)

Inokulum yang telah diinkubasi lalu diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlampir pada Lampiran 9. Kemudian dipupukkan pada cawan petri dengan media TSA (Tryptone Soy Agar) yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi terpilih (TSA+A) dengan metode pemupukan tuang dan permukaan. Cawan petri lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 2 hari dengan posisi terbalik.

iv.

Pengamatan Koloni

Setelah masa inkubasi, cawan diamati di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm. Koloni fluoresens yang teramati dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut :

N= C


(38)

22 Keterangan :

N : Total koloni per ml atau gram sampel

C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk dalam batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kemudian persentase koloni fluoresens dihitung dengan rumus:

Persentase koloni fluoresens=Jumlah koloni fluoresens Total koloni ×100% 

3.

Pengujian Sintas

Cronobacter spp

. Mutan selama Pembuatan maizena

a.

Pengujian Sintas Mutan

Cronobacter spp

. selama Perendaman

Jagung

i.

Persiapan Inokulum

Isolat mutan Cronobacterr spp. diinokulasikan ke media pertumbuhan inokulum terpilih, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 37oC. Kultur yang telah mencapai fase stasioner tersebut diperkirakan memiliki jumlah 108 – 109 CFU/ml.

ii.

Klorinasi Jagung (Munif 2011 yang dimodifikasi)

Grits jagung dicuci dengan air mengalir untuk memisahkan endosperma dengan perikarp dan lembaga serta kotoran fisik. Grits endosperma jagung yang telah bersih direndam dalam larutan NaOCl 2% selama 2 menit. Lalu dibilas dengan air steril sebanyak 2 kali, dan air steril bersuhu 60-70oC sebanyak 1 kali masing-masing selama 2 menit.

iii.

Perendaman Jagung (Haros dan Suarez 1997)

Sebanyak 1 ml inokulum diinokulasikan ke dalam botol steril berisi 20 gram jagung, lalu didiamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit, 100 ml larutan perendam (100 ml air steril dan 0.2 gram natrium bisulfit) ditambahkan ke dalam botol tersebut lalu diaduk agar homogen. Perendaman jagung dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam.

iv.

Pemupukan (BAM 2001)

Pemupukan dilakukan terhadap inokulum, sampel 0 jam perendaman, 24 jam perendaman, dan 48 jam perendaman. Pemupukan inokulum dilakukan dengan memipet 1 ml inokulum ke 9 ml BPW, lalu diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlampir pada Lampiran 10. Pemupukan sampel dilakukan dengan memasukkan 10 gram sampel ke dalam plastik steril, lalu ditambahkan 90 ml larutan pengencer dan dihancurkan menggunakan stomacher selama 1 menit. Kemudian


(39)

23 diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlampir pada Lampiran 10. Pemupukan ke cawan petri dilakukan dengan metode pemupukan terpilih menggunakan media TSA+A. Kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari dengan posisi terbalik.

v.

Pengamatan Koloni

Setelah masa inkubasi, cawan diamati di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm. Koloni berpendar yang teramati dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut :

N= C

[ 1*n1 + 0.1* n2 *d  Keterangan :

N = Total koloni per ml atau gram sampel

C = Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk dalam batas perhitungan n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d = Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kemudian reduksi jumlah log dihitung dengan rumus berikut:

S=Log N0-log Nt Keterangan:

S = reduksi jumlah log

N0= Jumlah populasi mikroba sebelum perlakuan

Nt= Jumlah populasi mikroba setelah perlakuan

b.

Pengujian Sintas Mutan

Cronobacter spp

. selama Pengeringan

Maizena

i.

Persiapan Inokulum

Isolat mutan Cronobacterr spp. diinokulasikan ke media pertumbuhan inokulum terpilih, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 37oC. Kultur yang telah mencapai fase stasioner tersebut diperkirakan memiliki jumlah 108 – 109 CFU/ml.

ii.

Persiapan Suspensi Pati

Sebanyak 35 gram maizena dimasukkan ke dalam botol, lalu disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Maizena steril lalu dicampur dengan 65 ml air steril.


(40)

24 Sebanyak 1 ml inokulum diinokulasikan ke dalam botol berisi suspensi pati yang telah disiapkan, lalu diaduk. Suspensi tersebut lalu dipindahkan ke loyang berukuran 18x18 cm. Lalu ditutup dengan kertas saring yang dilubangi pada keempat sudutnya dengan ukuran 2x2 cm. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 500C selama 24 jam.

iv.

Pemupukan (BAM 2001)

Pemupukan dilakukan terhadap inokulum, sampel 0 jam pengeringan, 6 jam pengeringan, dan 24 jam pengeringan. Pemupukan inokulum dilakukan dengan memipet 1 ml inokulum ke 9 ml BPW, lalu diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlihat pada lampiran 11. Pemupukan sampel dilakukan dengan memasukkan 10 gram sampel ke dalam plastik steril, lalu ditambahkan 90 ml larutan pengencer dan dihancurkan menggunakan stomacher selama 1 menit. Kemudian diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlihat pada Lampiran 11. Pemupukan ke cawan petri dilakukan dengan metode pemupukan terpilih menggunakan media TSA+A. Kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari dengan posisi terbalik.

v.

Pengamatan Koloni

Setelah masa inkubasi, cawan diamati di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm. Koloni fluoresens yang teramati dihitung dengan rumus Standard Plate Count sebagai berikut :

N= C

[ 1*n1 + 0.1* n2 *d  Keterangan :

N : Total koloni per ml atau gram sampel

C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk dalam batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kemudian reduksi jumlah log dihitung dengan rumus berikut:

S=Log N0-log Nt Keterangan:

S = reduksi jumlah log

N0= Jumlah populasi mikroba sebelum perlakuan


(1)

59

Lampiran 10b. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. FWH c3 selama perendaman jagung pada suhu 520C

Sampel Waktu

perendaman Pengenceran

Ulangan 1 Ulangan 2

Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau lof

CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Inokulum -

10(-6) TBUD

8.6x108 8.93

TBUD

4.6x108 8.66 8.98

TBUD TBUD

10(-7) 108 35

41 57

10(-8) 32 3

3 4

Jagung

0 jam

10(-3) TBUD

1.4x107 7.15

TBUD

9.0x106 6.95 7.05

TBUD TBUD

10(-4) TBUD TBUD

TBUD TBUD

10(-5) 183 127

102 54

24 jam

10(-1) 0

<1.0x101 <1.00

0

<1.0x101 <1.00 <1.00

0 0

10(-2) 0 0

0 0

10(-3) 0 0

0 0

48 jam

10(-1) 0

<1.0x101 <1.00

0

<1.0x101 <1.00 <1.00

0 0

10(-2) 0 0

0 0

10(-3) 0 0


(2)

60

Sampel Waktu

perendaman Pengenceran

Ulangan 1 Ulangan 2

Rata-rata log CFU/ml atau

CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Air perendam

0 jam

10(-4) TBUD

1.4x107 7.15

TBUD

1.5x107 7.18 7.16

TBUD TBUD

10(-5) 155 124

134 136

10(-6) 14 19

19 60

24 jam

10(-1) 0

<1.0x101 <1.00

0

<1.0x101 <1.00 <1.00

0 0

10(-2) 0 0

0 0

10(-3) 0 0

0 0

48 jam

10(-1) 0

<1.0x101 <1.00

0

<1.0x101 <1.00 <1.00

0 0

10(-2) 0 0

0 0

10(-3) 0 0


(3)

61

Lampiran 10c. Perubahan log mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung pada suhu 520C

Isolat Sampel

Ulangan 1 Ulangan 2

Rata-rata ∆ Log CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau CFU/g ∆ Log CFU/ml atau

CFU/g Log CFU/ml atau CFU/g

∆ Log CFU/ml atau

CFU/g

0 jam 24 jam 48 jam (0-24) jam (0-48) jam 0 jam 24 jam 48 jam (0-24) jam (0-48 jam) (0-24) jam (0-48 jam)

Mutan YR t2a

Jagung 5.82 0 0 5.82 5.82 5.20 0 0 5.20 5.20 5.51 5.51

Air

rendaman 5.15 0 0 5.15 5.15 5.04 0 0 5.04 5.04 5.10 5.10

Mutan FWH c3

Jagung 7.15 0 0 7.15 7.15 6.95 0 0 6.95 6.95 7.05 7.05

Air


(4)

62

Lampiran 11a. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. YR t2a selama pengeringan maizena pada suhu 500C

Sampel Waktu

pengeringan Pengenceran

Ulangan 1 Ulangan 2

Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Jumlah koloni

CFU/ml atau CFU/ml

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Inokulum -

10(-6) TBUD

1.1x109 9.05

TBUD

5.2x108 8.72 8.88

TBUD TBUD

10(-7) 86 28

140 77

10(-8) 11 3

16 3

Pati

0 jam

10(-4) TBUD

7.7x106 6.89

TBUD

9.8x106 6.99 6.94

TBUD TBUD

10(-5) Spreader 98

77 Spreader

10(-6) 17 16

9 12

6 jam

10(-2) 33

3.3x103 3.52

TBUD

2.1x105 5.32 4.42

Spreader TBUD

10(-3) 3 208

0 206

10(-4) 1 -

1 -

24 jam

10(-1) 0

<1.0x101 <1.00

0

<1.0x101 <1.00 <1.00

0 0

10(-2) 0 0

0 0

10(-3) 0 0


(5)

63

Lampiran 11b. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. FWH c3 selama pengeringan maizena pada suhu 500C

Sampel Waktu

pengeringan Pengenceran

Ulangan 1 Ulangan 2

Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Jumlah koloni CFU/ml

atau CFU/g

Log CFU/ml atau log

CFU/g

Inokulum -

10(-6) TBUD

4.3x108 8.63

TBUD

3.9x108 8.59 8.61

TBUD TBUD

10(-7) 43 40

Spreader 38

10(-8) 0 0

0 0

Pati

0 jam

10(-4) TBUD

3.4x107 7.53

TBUD

6.4x106 6.81 7.17

TBUD TBUD

10(-5) TBUD 64

TBUD Spreader

10(-6) 32 10

35 19

6 jam

10(-2) TBUD

2.6x105 5.41

TBUD

2.0x106 6.30 5.86

TBUD TBUD

10(-3) TBUD TBUD

TBUD TBUD

10(-4) 26 172

spreader spreader

10(-5) - 44

- 16

24 jam

10(-1) 0

<1.0x101 <1.00

0

<1.0x101 <1.00 <1.00

0 0

10(-2) 0 0

0 0

10(-3) 0 0


(6)

64

Lampiran 11c. Perubahan log mutan Cronobacter spp. selama pengeringan maizena pada suhu 500C

Isolat

Ulangan 1 Ulangan 2

Rata-rata ∆ Log CFU/g

Log CFU/g ∆ Log CFU/g Log CFU/g ∆ Log CFU/g

0 jam 6 jam 24 jam (0-6) jam (0-24) jam 0 jam 6 jam 24 jam (0-6) jam (0-24 jam) (0-6) jam (0-24 jam)

Mutan

YR t2a 6.99 5.32 0 1.67 6.99 5.53 4.3 0 1.23 5.53 1.45 6.26

Mutan