Klasifikasi Obyek Minyak dan

Gambar 19 dan 20 di atas menunjukkan grafik nilai hambur balik obyek yang diasumsikan sebagai minyak ringan pada citra dengan analisis tekstur. Berdasarkan perbandingan pola grafik nilai hambur balik pada Gambar 19 dan 20, dapat dilihat bahwa nilai hambur balik yang ditampilkan pada analisis tekstur mean memiliki pola nilai hambur balik serupa dengan pola nilai hambur balik hasil penyaringan data citra gamma 7x7. Pola serupa pada grafik GLCM mean menunjukkan bahwa nilai hambur balik yang dianalisis tidak mengalami perubahan informasi obyek. Sedangkan grafik yang dihasilkan oleh correlation GLCM memiliki tampilan statistik dan pola yang berbeda dengan hasil penyaringan gamma 7x7. Berdasarkan hasil visualisasi dan grafik analisis tekstur, diputuskan data citra yang akan dijadikan acuan dalam ekstraksi nilai hambur balik untuk dijadikan nilai selang klasifikasi adalah citra dengan hasil pengolahan analisis tekstur GLCM mean.

4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan

Non Minyak Pada citra radar ALOS PALSAR dapat dilihat bahwa perairan memiliki gradasi warna yang berbeda yaitu rona gelap hitam, rona abu-abu dan rona abu- abu yang terlihat samar- samar. Selain warna keabuan, tampak pula warna putih terang pada citra ALOS PALSAR, apabila dilakukan pembesaran obyek dengan pewarnaan yang terang merepresentasikan nilai hambur balik yang tinggi dari anjungan minyak Montara. Pewarnaan citra radar berupa grayscale, hal ini membatasi peneliti dalam mengasumsikan luasan penyebaran tumpahan minyak di perairan Laut Timor. Oleh karena itu dilakukan tahap klasifikasi yang dapat mengelompokkan seluruh piksel dalam beberapa kelas yang didasarkan pada nilai HV spektral yang dimiliki tiap obyek. Tahap klasifikasi dapat dilakukan setelah nilai digital pada citra dikonversi menjadi nilai hambur balik kemudian tersaring dengan metode penyaringan dan metode analisis tekstur yang telah ditentukan berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada penelitian ini. Pada penelitian ini nilai hambur balik obyek pada citra ALOS PALSAR yang dijadikan acuan dalam penentuan nilai selang kelas berasal dari citra hasil penyaringan gamma 7x7 yang kemudian di analisis dengan analisis tekstur GLCM mean. Penentuan nilai selang hambur balik dari tiap obyek yang diamati diperoleh melalui tampilan grafik yang dihasilkan dari pembuatan garis training area pada tiap obyek yang diamati. Nilai selang diperoleh melalui pengamatan ekstraksi nilai hambur balik yang dihasilkan oleh mode polarisasi HH, karena nilai hambur balik yang dihasilkan citra pada polarisasi HH lebih besar dibandingkan dengan polarisasi HV sehingga tampilan citra akan semakin jelas. Jenis klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini berupa klasifikasi unsupervised dikarenakan data acuan primer tidak dilengkapi dengan data pengamatan secara in situ atau ground check. Tahapan yang perlu dilakukan analis sebelum menentukan nilai selang yaitu membuat jumlah kelas yang akan dibuat dari data yang diamati berjumlah lima buah yaitu obyek minyak berat, minyak sedang, minyak ringan serta obyek non minyak berupa perairan dan anjungan. Nilai selang kelas yang diperoleh kemudian akan diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi. Penentuan kelas diamati pada penelitian kali ini ditampilkan pada Gambar 21 di bawah ini. Gambar 21. Pola Garis Transek untuk Penentuan Nilai Intensitas Obyek Pengamatan Keterangan Garis: Kuning : Minyak sedang; Pink : Perairan; Cyan : Minyak Ringan; Putih : Minyak berat; dan Merah : Anjungan Pada tahapan penyaringan gamma nilai hambur balik pada citra berkisar antara -35,0 dB sampai dengan 15,0 dB dimana nilai hambur balik obyek berupa minyak memiliki kisaran dari -35,0 sd -21,0 dB, perairan memiliki nilai yang lebih besar yaitu -20,0 sd -10,0 dB sedangkan obyek berupa anjungan memiliki nilai hambur balik sebesar -10,0 sd 15,0 dB. Pembuatan asumsi yang didasarkan pada nilai selang hambur balik menunjukkan bahwa obyek perairan yang tertutupi lapisan minyak akan memiliki nilai hambur balik yang lebih rendah dibandingkan lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brekke dan Solberg 2005 bahwa l apisan minyak yang menutupi permukaan laut akan meredam pergerakan riak air berupa gelombang maupun arus akibat tekanan yang dimiliki oleh lapisan tersebut lebih besar dibandingkan tekanan air dan juga menyebabkan sinyal gelombang mikro yang dihambur balikkan menjadi lebih rendah akibat teredamnya sinyal tersebut. Namun untuk obyek yang tidak mengalami peredaman akibat lapisan minyak yang menutupi suatu permukaan perairan akan memiliki nilai hambur balik yang lebih besar. Nilai hambur balik yang diperoleh dari tahap penyaringan gamma 7x7 tidak dapat dijadikan acuan penentuan selang kelas dalam pewarnaan klasifikasi dari tiap obyek pada citra radar ini, karena nilai hambur balik pada tahap penyaringan ini memiliki selang nilai cukup besar sehingga mempersulit pengamat dalam menentukan nilai selang kelas yang dapat menghasilkan peta tematik tumpahan minyak yang sesuai. Hal ini dikarenakan satu piksel pada citra memiliki 16 bit data penyimpanan atau sama dengan 65.536 tingkat keabuan, maka diasumsikan semakin besar nilai selang kelas suatu obyek akan mempersulit piranti untuk mengelompokkan seluruh piksel menjadi beberapa kelas. Oleh karena itu citra hasil penyaringan gamma 7x7 diolah kembali dengan analisis tekstur GLCM mean 7x7. Analisis tekstural GLCM Mean dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 7x7 dilakukan untuk mempermudah penentuan nilai selang kelas obyek berupa minyak dan non minyak. Nilai hambur balik pada tahapan ini bernilai positif dengan informasi tambahan mengenai tipe kekasararan dari obyek yang diamati. Jumlah kelas klasifikasi pada tahapan GLCM mean kali ini sebanyak tujuh kelas dimana kelas satu menyatakan selang kelas untuk tampilan citra terkoreksi, kelas dua dan tiga merupakan selang kelas untuk minyak berat, kelas empat merupakan selang kelas minyak sedang, kelas lima merupakan selang kelas minyak ringan, kelas enam merupakan selang kelas perairan dan kelas ketujuh merupakan selang kelas anjungan minyak. Pembuatan dua kelas untuk obyek minyak berat karena selang nilai hambur balik minyak berat cukup besar, yaitu 1,5 – 9,0 dB, sehingga mempersulit tahapan klasifikasi yang dilakukan. Oleh karena itu pemecahan kelas untuk obyek minyak berat dilakukan sehingga menghasilkan tampilan yang lebih teratur dan sesuai. Pada citra hasil penyaringan tekstur GLCM ditemukan nilai hambur balik obyek sebesar 21,0 – 35,0 dB belum terklasifikasi dengan baik, oleh karena itu dilakukan pengamatan posisi nilai hambur balik pada piksel citra. Nilai selang hambur balik ini ditemukan disekililing lokasi anjungan, sehingga diasumsikan bahwa nilai hambur balik tersebut berupa minyak berat. Perbedaan nilai hambur balik obyek minyak berat di sekitar anjugan dapat terjadi akibat pengaruh nilai hambur balik anjungan sumur Montara. Oleh karena itu dalam pengaplikasian nilai selang hambur balik obyek pada formula klasifikasi, nilai ini diklasifikasikan sebagai obyek minyak berat. Nilai selang hambur balik tiap kelas obyek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Kisaran Nilai Hambur Balik Klasifikasi Obyek Kelas Obyek Nilai Selang Hambur Balik dB Kelas 1 Scene citra 0 s.d. 1,5 Kelas 2 dan 3 Minyak berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 dan 21,0 s.d. 35,0 Kelas 4 Minyak sedang 9,0 s.d. 10,5 Kelas 5 Minyak ringan 10,5 s.d. 13,0 Kelas 6 Perairan 13,0 s.d. 21,0 Kelas 7 Anjungan 35,0 s.d. 50,5 Nilai selang hambur balik yang diperoleh pada penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan nilai hambur balik penelitian sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Samad dan Mansor 2011 bahwa nilai hambur balik radar dari obyek berupa tumpahan minyak ataupun bukan minyak yang telah diidentifikasi oleh pengamat sebelumnya tidak dapat dijadikan acuan oleh peneliti selanjutnya, karena nilai hambur balik dari obyek minyak tidak selalu sama. Faktor – faktor yang mempengaruhi koefisien nilai hambur balik minyak tidak konstan diantaranya tipe tumpahan minyak, ketebalan dari tumpahan minyak, metode pengolahan yang digunakan, jenis data penginderaan jauh yang digunakan berasal dari jenis satelit dan sensor dengan mode polarisasi dan cakupan satelit tertentu yang digunakan. Penentuan nilai selang hambur balik juga dilakukan pada citra hasil analisis tekstur agar memperkuat alasan pengambilan nilai selang hambur balik obyek dari satu metode analisis yang akan diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan perbedaan nilai selang hambur balik obyek yang diperoleh dari pengamatan nilai hambur balik puncak grafik hasil ekstrak citra pada garis training area yang telah dibuat. Tabel 9. Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Obyek dengan Metode Analisis Tekstur Mean dan Correlation Nilai selang hambur balik yang ditunjukkan pada analisis correlation menunjukkan nilai yang berbanding terbalik dengan teori Brekke dan Solberg 2005. Nilai hambur balik pada analisis tekstur correlation menunjukkan bahwa Obyek Pengamatan Nilai selang hambur balik dB pada analisis Mean Nilai selang hambur balik dB pada analisis Correlation Minyak Berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 dan 21,0 s.d. 35,0 12,5 s.d. 23,5; 23,5 s.d. 40,0; dan 40,0 s.d. 74,6 Minyak Sedang 9,0 s.d. 10,5 4,5 s.d. 8,5 dan 8,5 s.d. 12,5 Minyak Ringan 10,5 s.d. 13,0 2,5 s.d. 4,5 Perairan 13,0 s.d. 21,0 -4,5 s.d. 2,5 Anjungan 35,0 s.d. 50,5 -33,0 s.d. -18,0 dan -18,0 s.d. - 4,0 obyek dengan tingkat kekasaran permukaan yang tinggi menghambur balikkan gelombang mikro yang rendah dan sedikit sedangkan obyek dengan tingkat kekasaran yang rendah, akibat adanya lapisan minyak, menghambur balikkan gelombang mikro yang tinggi. Nilai hambur balik yang dihasilkan analisis correlation akan mempengaruhi visualisasi pewarnaan pada citra sehingga akan mempersulit peneliti dalam menentukan obyek yang teramati. Hasil perbandingan nilai ekstraksi hambur balik obyek ini akan memperkuat alasan bahwa nilai selang hambur balik analisis tekstur mean merupakan nilai hambur balik yang sesuai dengan teori untuk diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi unsupervised. Gambar 22 di bawah menampilkan visualisasi pewarnaan klasifikasi obyek berdasarkan analisis tekstur mean pada citra. Gambar 22. Hasil Klasifikasi Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor Gambar 22 di atas menunjukkan bahwa obyek berupa minyak ringan dengan warna pink tergolong cukup sedikit penyebarannya, sedangkan obyek berupa minyak berat dengan warna hijau dan minyak sedang dengan warna kuning lebih mendominasi penyebaran tumpahan minyak yang terekam pada tanggal 2 September 2009. Menurut Xiaojing L et.al., 2012 citra Radar ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial yang tinggi sehingga untuk pemantauan tumpahan minyak di Laut Timor dibutuhkan tujuh buah path citra untuk melingkup daerah tersebut . Kesulitan dari penggunaan citra ini untuk kegiatan pemantauan yaitu waktu pemindaian dari masing-masing citra yang tidak dilakukan secara bersamaan. Fakta ini menyebabkan citra hanya dapat menampilkan keberadaan tumpahan minyak pada hari tertentu daripada memberikan informasi mengenai visualisasi tumpahan minyak tersebut untuk seluruh area yang tercemar. Oleh karena itu luasan tumpahan minyak dari tiap obyek yang terekam oleh satelit hanya memberikan informasi luasan penyebaran tumpahan minyak secara horizontal pada permukaan perairan dengan cakupan wilayah sesuai dengan titik koordinat citra pengamatan. Nilai kisaran luas peyebaran tumpahan minyak yang diperoleh pada citra pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Kisaran Hamburan Balik db, Luas Tumpahan Minyak Berdasarkan Citra ALOS PALSAR Wilayah km 2 Kisaran Hambur Balik dB Minyak Berat 3.122 1,5 s.d. 9,0 dB dan 21,0 s.d. 35,0 db Minyak Sedang 3.431 9,0 s.d. 10,5 dB Minyak Ringan 259 10,5 s.d. 13,0 dB Perairan 1.257 13,0 s.d. 21,0 dB Platform 10 35,0 s.d. 50,5 dB Luasan dari obyek yang diamati dapat dilihat pada Tabel 10 di atas, satuan pengukuran luasan dari obyek yaitu km 2 . Tabel di atas memberikan informasi bahwa obyek berupa minyak sedang mendominasi wilayah penyebaran tumpahan minyak pada saat satelit merekam Laut Timor tanggal 2 September 2009 dibandingkan dengan obyek minyak berat yaitu seluas 3.431 km 2 . Hal ini dapat disebabkan oleh faktor angin yang menyebabkan adanya pergerakan permukaan laut sehingga menyebabkan minyak yang tumpah terdistribusikan secara luas. Informasi luas obyek non minyak berupa platform merupakan gabungan nilai kisaran luas obyek untuk dua buah platform, namun nilai kisaran luas obyek yang dihasilkan terlalu besar. Hal ini dapat terjadi karena selang nilai intensitas hambur balik terlalu besar akibat tercampurnya nilai hambur balik obyek minyak yang berada di sekitar platform dengan nilai hambur balik dari anjungan itu sendiri. Sedangkan luas obyek pengamatan non minyak berupa perairan tergolong rendah dikarenakan luas obyek perairan yang tidak tercemar minyak yang terekam oleh satelit tergolong sempit atau sedikit. Informasi kisaran luasan penyebaran minyak yang diperoleh dari pengolahan citra tidak dapat dijadikan acuan peneliti untuk menangani tumpahan minyak Montara di Laut Timor karena cakupan luasan wilayah pengamatan satelit ALOS PALSAR lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang terkontaminasi. Namun informasi luasan tumpahan minyak secara horisontal ini dapat dijadikan acuan arah penyebaran tumpahan minyak untuk wilayah pengamatan yang sesuai dengan titik koordinat citra. Asumsi besaran tumpahan minyak Montara yang mencemari wilayah pengamatan citra di Laut Timor dapat bertambah atau berkurang karena informasi luasan lapisan minyak berat, minyak sedang dan minyak ringan yang teramati merupakan informasi secara horizontal permukaan perairan, sehingga kemungkinan adanya luasan lapisan minyak dengan massa jenis berat, sedang ataupun ringan secara vertikal tidak dapat terdeteksi. Sehingga asumsi luasan secara horizontal tumpahan minyak berupa minyak sedang yang terhitung pada program sebesar 3.431 km 2 memiliki kemungkinan pada data lapangan memiliki luas sebesar 6.553 km 2 . Asumsi nilai luasan ini diperoleh melalui perhitungan luasan tumpahan minyak sedang yang terekam ditambah dengan luasan tumpahan minyak berat karena massa jenis minyak sedang lebih rendah dibandingkan minyak berat sehingga adanya kemungkinan minyak sedang tertutupi oleh lapisan minyak berat. Asumsi luasan untuk obyek minyak ringan juga memiliki kemungkinan lebih besar dibandingkan nilai luasan penyebaran tumpahan minyak yang terekam oleh citra yaitu sebesar 6.812 km 2 . . Nilai akurasi suatu citra pengamatan diperoleh melalui data pengamatan secara in situ dan klasifikasi terbimbing Prayudha, 2010. Menurut Prayudha 2010 nilai akurasi umum Overall Accuracy untuk hasil penafsiran visual pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m tahun 2009 adalah sebesar 62,75. Nilai akurasi dipengaruhi oleh resolusi spasial suatu sensor, semakin tinggi resolusi spasial yang diamati maka nilai akurasi semakin tinggi begitu juga sebaliknya Ristiana, 2011. Oleh karena itu dapat dikatakan nilai akurasi ALOS PALSAR dengan resolusi spasial 12,5 meter memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan nilai akurasi untuk resolusi 50 m namun persentase nilai ini tidak diketahui karena tidak adanya pengamatan obyek secara lapang.

4.7 Pola Pergerakan Angin di Laut Timor