Analisa Area Hitam HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Analisa Area Hitam

Detection of Dark Slick Citra ALOS PALSAR Tahapan analisis area hitam dilakukan setelah nilai digital pada citra ALOS PALSAR dikoreksi menjadi nilai intensitas hambur balik dB dengan formula NRCS. Analisis area hitam dikonsentrasikan menjadi dua kriteria pengamatan yaitu obyek berupa non minyak dan minyak. Kriteria obyek non minyak dibagi menjadi dua macam yaitu perairan dan platform. Obyek minyak dikelaskan menjadi tiga jenis berdasarkan massa jenis minyak yaitu 1 minyak ringan, 2 minyak sedang dan 3 minyak berat. Secara visual ketiga kriteria ini dapat diasumsikan sebagai obyek minyak dengan melihat rona gelap dan pola penyebaran tumpahan minyak tersebut di atas permukaan laut, semakin dekat jarak antara minyak yang satu dengan yang lain maka obyek tersebut tergolong sebagai minyak dengan ikatan karbon yang berat begitu juga sebaliknya. Pada citra tampak beberapa tampilan pewarnaan target dengan tingkat keabuan yang berbeda yaitu abu-abu, hitam dan putih. Wilayah perairan yang tertupi oleh lapisan minyak akan memiliki pergerakan arus atau riak yang kecil akibat redaman dari lapisan minyak yang menutupi perairan sehingga nilai hambur balik akan semakin kecil dibandingkan lingkungan sekitar dan menyebabkan tampilan pada citra berona gelap. Hal ini merupakan landasan dalam analisis area hitam di suatu perairan, dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini yang menunjukkan perbedaan tampilan visual obyek non minyak dan minyak. Gambar 11. Tampilan Obyek Minyak dan Non Minyak Lautan dan Platform Pada Citra Gambar 11 menunjukkan tahap pertama yang dilakukan pada analisis area hitam yaitu mengasumsikan daerah pengamatan menjadi obyek pengamatan berupa minyak dan non minyak yang didasarkan pada visualisasi kerapatan partikel zat dan warna grayscale yang dihasilkan dari nilai hambur balik obyek. Nilai hambur balik obyek minyak dan non minyak di suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena angin dapat mempengaruhi penyebaran tumpahan minyak sehingga muncul riak-riak berupa gelombang yang tidak beraturan pada permukaan perairan. Nilai toleransi kecepatan angin dalam pengamatan wilayah perairan berada pada selang 1,5-6 ms Hu et al., 2003. Gambar 11 di atas citra yang ditandai dengan lingkaran diasumsikan sebagai obyek berupa anjungan karena obyek ini memiliki pewarnaan yang paling terang dan berdasarkan Brekke dan Solberg 2005 obyek dengan permukaan yang kasar akan menghambur balikkan sinyal dengan kuat. Asumsi adanya platform pada citra pengamatan didasari oleh informasi posisi koordinat anjugan Well Head Montara yang terletak pada 12°40’20,5” LS dan 124°32’22,3” BT Asia Pacific Applied Science Associates , 2010. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan memanfaatkan software Er Mapper koordinat yang diperoleh untuk anjungan yang berada di Laut Timor berada pada titik koordinat 11°55” LS dan 125°0” BT serta 12°7” LS dan 125°0” BT. Dua koordinat ini menunjukkan bahwa anjungan yang berada pada titik koordinat 11°55” LS dan 125°0” BT merupakan anjungan yang dijadikan perusahaan PTTEP Australia sebagai penampung sementara minyak yang tidak tumpah. Hal ini diduga dilakukan untuk meminimalisir jumlah minyak yang dapat tumpah ke perairan. Perbedaan titik koordinat anjungan ini diasumsikan karena adanya kesalahan koreksi geometrik atau pada saat dilakukan tahapan registrasi citra. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan hasil pengolahan citra tanpa adanya koreksi nilai digital dengan citra yang dikoreksi nilai digital menjadi nilai intensitas hambur balik dB. Garis training area berwarna kuning dibuat pada visualisasi citra pada Gambar 12 di bawah ini untuk dijadikan acuan pengamatan nilai ekstraksi target pengamatan. Garis ini di buat pada daerah dengan visualisasi pewarnaan citra dengan rona gelap yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah dan diasumsikan obyek yang diamati berupa minyak ringan. Gambar 12 di bawah menampilkan grafik hasil ekstraksi citra berupa nilai hambur balik dan digital obyek pengamatan dari garis training area yang telah dibuat pada citra dengan obyek minyak yang diasumsikan sebagai minyak ringan transek 1. a b c Gambar 12. Visualisasi Area Gelap Pada a. Citra, b. Nilai Intensitas Hambur Balik dB vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Hasil Koreksi Nilai Digital dan c. Nilai Digital vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Tanpa Koreksi Nilai Digital Pendugaan obyek berupa minyak pada citra didasari oleh tingkatan rona gelap dan nilai hambur balik obyek di sekitar sumber tumpahan minyak. Perairan dengan tumpahan minyak berat akan tertutupi lapisan minyak yang pekat sehingga energi gelombang mikro radar tidak dapat dihamburkan oleh permukaaan laut yang rata massa jenis minyak lebih ringan dari air, sehingga minyak cenderung mengapung di atas air. Pendeteksian tumpahan minyak dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh tidak dapat mengetahui besaran massa jenis obyek yang diamati dan luasan penyebaran tumpahan minyak secara vertikal di perairan karena penelitian ini tidak disertai dengan sampel lapangan dan pengamatan hanya dilakukan secara jarak jauh. Oleh karena itu hal yang diamati pada penelitian ini yaitu prinsip dari massa jenis itu sendiri dimana massa jenis suatu obyek dipengaruhi oleh tingkat kerapatan antara molekul suatu zat. Pembuatan garis transek pada citra untuk mengekstrak nilai hambur balik dilakukan pada citra dengan dua hasil pengolahan yang berbeda yaitu dengan koreksi nilai digital dan tanpa adanya koreksi nilai digital. Sumbu y pada Gambar 12 b menunjukkan nilai intensitas dengan satuan dB karena nilai digital pada citra terkoreksi dengan formula NRCS, sedangkan sumbu y pada Gambar 12 c menunjukan nilai digital citra tidak terkoreksi. Sumbu x pada kedua grafik mewakili informasi mengenai jumlah data pengamatan dengan posisi piksel bersebelahan secara berurut. Pada kedua grafik hasil ekstraksi nilai digital citra direpresentasikan oleh nilai digital hasil polarisasi HH garis biru dan HV garis merah. Pada Gambar 12 b di atas diperoleh informasi bahwa garis transek di daerah minyak ringan menampilkan nilai hambur balik sebesar -32,5 dB s.d. –20 dB pada polarisasi HH dan -36 dB s.d. – 29,5 dB pada polarisasi HV. Gambar 12 c di atas menampilkan nilai digital tanpa ada satuan pengukuran, informasi nilai digital obyek pengamatan yang ditandai dengan pembuatan garis transek memiliki kisaran nilai digital sebesar 400 – 1450 pada polarisasi HH dan nilai digital untuk polarisasi HV sebesar 250 – 450. Menurut Brekke dan Solberg 2005 tipe polarisasi sinyal radar sangat mempengaruhi sifat nilai hambur balik dari suatu materi atau obyek pada citra SAR. Hal ini terbukti pada tampilan kedua grafik tersebut bahwa nilai sinyal hambur balik ataupun nilai digital dari polarisasi HH ditransmisikan dan diterima datar cenderung lebih besar dibandingkan dengan polarisasi HV ditransmisikan datar dan diterima tegak. Perbedaan nilai hambur balik dari polarisasi HH dan HV diasumsikan terjadi karena bidang pemancar dan penerima sinyal yang tidak sama sehingga mengakibatkan adanya keterbatasan sinyal yang diterima oleh sensor. Grafik 12 di atas menunjukkan bahwa semakin besar nilai selang hambur balik yang terekam maka visualisasi citra semakin jelas. Oleh karena itu nilai hambur balik yang dijadikan acuan pembentukan selang kelas berasal dari nilai yang ditampilkan oleh polarisasi HH. Nilai digital dan sinyal hambur balik hasil pengamatan garis transek di daerah minyak ringan tidak dapat dijadikan acuan secara langsung dalam membuat nilai selang kelas obyek minyak, karena penentuan nilai kelas membutuhkan tahapan perbandingan antara tampilan grafik nilai hambur balik dengan visualisasi wilayah pengamatan citra. Semakin gelap tampilan citra maka nilai rekaman hambur balik akan semakin kecil dan semakin terang tampilan citra maka nilai rekaman hambur balik akan semakin besar. Nilai hambur balik berupa intensitas dan nilai digital yang ditampilkan menunjukkan bahwa tahapan koreksi nilai digital merupakan tahapan yang perlu dilakukan agar menghasilkan nilai hambur balik yang sesuai dengan kenyataan dan memiliki satuan yang terukur sehingga data yang digunakan dapat dijadikan acuan dalam pengolahan citra. Keputusan yang diambil pada penelitian ini yaitu sumber data citra yang digunakan untuk tahap penyaringan dan pengolahan data citra adalah citra yang telah dikoreksi nilai digital menjadi nilai intensitas hambur balik dB. Citra hasil koreksi ini akan disalin sebanyak tiga kali untuk mempermudah tahap penyaringan dengan tiga macam ukuran jendela pengamatan yang berbeda yaitu 3x3, 5x5 dan 7x7 pada tiap tahapan penyaringan dan analisis tekstur Gambar 13. Nilai intensitas hambur balik yang akan diolah merupakan data polarisasi HH oleh satelit ALOS PALSAR. Hasil salinan data kemudian diberikan nama yang berbeda untuk meminimalisir adanya kesalahan peneliti dalam tahap ekstraksi nilai intensitas hambur balik dari citra hasil penyaringan yang berbeda. Hal ini dikarenakan setiap data hasil salinan hanya akan diolah sebanyak satu kali dengan ukuran jendela penyaringan yang berbeda dari metode penyaringan yang serupa misal frost atau gamma. Hasil pengolahan dengan ketiga jendela pengamatan yang berbeda kemudian dijadikan bahan perbandingan tipe penyaringan terbaik dalam memberikan tampilan visual dan nilai hambur balik obyek dalam bentuk grafik dengan speckle terendah dan tampilan yang halus. a. 3x3 b. 5x5 c. 7x7 Gambar 13. Data Nilai Intensitas Hambur Balik dB vs Jumlah Data Pengamatan Piksel untuk Pengolahan Citra dengan Jendela Pengamatan Ukuran a.3x3, b.5x5 dan c. 7x7

4.4 Hasil Penyaringan Data Citra Satelit ALOS PALSAR