Pendeteksian Tumpahan Minyak di Laut Timor dengan Metode Filter Frost dan Gamma Terhadap Citra ALOS PALSAR di Ladang Minyak Montara
MINYAK MONTARA
NISA NISVIA MARSYA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKAN AN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(2)
Ladang Minyak Montara. Dibimbing oleh JAMES P. PANJAITAN dan
TEGUH PRAYOGO
Aktifitas manusia di daratan dan sekitar pesisir lautan akan menghasilkan
limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Menurut
Group of Expert on Scientific
Aspect of Marine Pollution
(GESAMP) bahwa 6,44 juta ton/ tahun hidrokarbon
masuk ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan transportasi laut,
pengoperasian pertambangan minyak di anjungan serta kegiatan industri oleh
manusia (Hartanto, 2008). Kegiatan operasional pertambangan minyak di lepas
pantai memiliki kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan
munculnya tumpahan minyak berupa kegiatan (1) pengoperasian kapal tanker
da lam proses
deballasting
(sistem kestabilan kapal menggunakan bongkar- muat
air) (2) kecelakaan kapal maupun tanker dan (3) munculnya semburan sumur
minyak yang disebabkan oleh kerusakan strukt ur
platform
ataupun peralatan.
Kejadian tumpahan minyak yang dikaji pada penelitian ini terjadi di Laut
Timor pada tanggal 21 Agustus 2009–3 November 2009 tepatnya di sekitar lepa s
pantai utara dari Australia bagian Barat dan berada di perairan bagian selatan dari
Indo nesia. Kejadian tumpahnya minyak ke perairan ini dapat memberikan dampak
negatif terhadap ekos istem lingkunga n laut beserta biota di dalamnya . Oleh karena
itu dibutuhkan penelitian dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh
untuk mengidentifikasi dan memantau penyebaran tumpahan minyak di wilayah
Republik I ndo nesia.
Penelitian untuk identifikasi tumpahan minyak dapat dilakukan dengan
memanfaatkan gelombang mikro dari sensor aktif
Phase Array type L-band
Sythetic Aperture Radar
(PALSAR) pada satelit
Advanced Land Observing
Satellite
(ALOS ). Citra satelit yang digunakan sebagai sumber data primer berupa
citra Satelit ALOS PALSAR level 1,5 dengan format *.ceos de ngan dua jenis
polarisasi yaitu HH dan HV, pada luasan area dengan posisi koordinat
11°38’45.9’’ LS - 12°48’56.96’’ LS dan 124°33’16.28’’ BT - 125°26’10.01’’ BT
yang dilewati oleh satelit ALOS PALSAR tersebut.
Penelitian ini berfok us pada dua tahapa n pe ngolahan berupa (1) tahapa n
penyaringan (
filter)
de ngan frost dan gamma dan (2) penentuan ambang batas
untuk membedakan ob yek. Segmentasi ob yek pada penelitian ini dibagi menjadi
dua macam yaitu ob yek berupa minyak dan bukan minyak. Obyek minyak
dibedakan menjadi minyak berat, minyak sedang dan minyak ringan. Sedangkan
obyek bukan minyak dibedakan menjadi perairan dan anjungan minyak.
Nilai ambang batas diperoleh melalui ekstraksi data citra hasil penyaringan
terbaik yaitu
gamma
7x7 sebesar -35,0 s/d -21,0 dB untuk ob yek minyak, -20,0
s/d -10,0 dB untuk pe rairan sekitar da n -10,0 s/d 15,0 dB untuk ob yek berupa
anjungan. Berdasarkan perbandingan hasil pe nyaringan citra de ngan metode frost
dan gamma menyebabkan hasil penyaringan frost tidak diamati karena visualisasi
dan hasil penyaringan ini kurang informatif dibandingkan dengan penyaringan
gamma. Pada tahap analisis tekstur diperoleh nilai ambang intensitas hambur balik
(3)
hor izontal di pe rmukaan perairan sebesar 3.122 km
adalah ob yek minyak berat,
3.431 km
2adalah ob yek minyak sedang dan 259 km
2adalah ob yek minyak ringan
dari 12.227 km
2Pola hembusan angin muson peralihan hasil visualisasi pengolahan data
yang didominasi menuju barat tidak memiliki kesesuaian dengan po la pe nyebaran
tumpa han minya k yang cenderung menuj u ke arah yang berlawanan ya itu selatan
dari lokasi sumber tumpahan minyak. Fenomena ini terjadi akibat terbentuknya
arus permukaan yang mengalami pembelokkan sebesar 45
seluruh luas liputan citra. Luasan penyebaran ini merupakan
prakiraan luasan tumpahan minyak di permukaan laut secara horisontal sebatas
liputan citra ALOS PALSAR yang digunakan. Luas tumpahan minyak di
lapangan dapat memiliki luas lebih besar karena kejadian tumpahan minyak
sedang berlangsung saat perekaman citra dilakukan. Hasil identifikasi tumpahan
minyak dari satelit ALOS PALSAR 2 September ini dapat dijadikan sebagai data
perhitungan luas sebagian dari keseluruhan tumpahan minyak Montara yang
terjadi dari tanggal 21 Agustus 2009-3 November 2009.
0
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian ini adalah kejadian
tumpahan minyak di Ladang Montara teridentifikasi melalui pengolahan data citra
satelit ALOS PALSAR. Besar luasan tumpahan minyak yang terjadi dapat
bervariasi karena dipengaruhi oleh pergerakan massa air yang disebabkan oleh
angin.
dari arah pola angin
karena pe ngaruh gaya Cor iolis.
(4)
MONTARA
NISA NISVIA MARSYA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKAN AN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(5)
METODE
FILTER FROST
DAN
GAMMA
TERHADAP CITRA ALOS
PALSAR DI LADANG MIN YAK MONTARA
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2012
C54080005
(6)
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(7)
Nama
: Nisa Nisvia Marsya
NIM
: C54 080005
Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing
Utama
NIP. 19630111 198803 1 005
Dr.Ir. James P. Panjaitan. M.Phil
Anggota
NIP. 19741212 200212 1 005
Teguh Prayogo, S.T, M.Si
Diketahui oleh,
Ketua Departemen
NIP. 19580909 198303 1 003
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
(8)
METODE
FILTER FROST
DAN
GAMMA
TERHADAP CITRA ALOS
PALSAR DI LADANG MIN YAK MONTARA
.
Penyusunan skr ipsi ini tidak lepas dari bantuan berba gai pihak, o leh karena
itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1.
Bapak Dr.Ir. James P. Panjaitan. M.Phil selaku dosen pembimbing pertama
dan Bapak Teguh Prayogo, S.T., M.Si selaku pembimbing kedua dan peneliti
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN, Pasar Rebo Jakarta yang
telah memberikan arahan serta bimbingan selama pengolahan data dan
pe mbuatan skrips i,
2.
Fahmi R, Philmonsyanus N, Hendra G, Reffa P, Ade Ayu M, Hikmah Cut R,
I G. Mahendra W, Irwan RP dan Husnul K hotimah serta reka n ITK’45 atas
do’a, motivasi da n pe ngalaman yang be rharga
3.
Bada n antariksa Jepa ng yaitu
Japan Aerospace Exploration Agency
(JAXA)
yang telah menyediakan data citra satelit radar ALOS
4.
Orang tua da n ke luarga atas doa, dukungan, motivasi dan pengertiannya,
Penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun terhadap isi
skripsi ini agar lebih sempurna dikemudian hari. Demikian juga apabila terdapat
kekurang cermatan dalam pengetikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat, baik untuk penulis maupun pihak lain terutama dalam kajian lebih
mendalam terhadap berbagai citra radar untuk perairan Indonesia
Bogor, September 2012
Penulis
(9)
DAFTAR GAMBAR ... .. v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN... .. viii
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 T ujuan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kondisi Umum Laut Timor... 3
2.2 Pergerakan Angin di Lautan ... 4
2.3 Karakteristik Minyak... 5
2.4 Tumpa han Minyak da n Dampak Pencemaran Laut... .... 6
2.5 Sumber Tumpa han Minyak di Laut ... 7
2.6 Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia... 9
2.7 Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja)... 11
2.7.1 Identifikasi Tumpahan Minyak dengan Inderaja... 12
2.8 Karakteristik
Satelit ALOS dan Sensor PALSAR ... 14
2.8.1
Synthetic Aperture Radar
Pada Satelit ALOS PALSAR...
15
2.8.2 Polarisasi Sinyal Pada Satelit ALOS PALSAR... 16
2.9 Penyaringan Sinyal Gelombang Radar... 18
2.9.1
Filter
Frost...
19
2.9.2
Filter
Gamma...
19
2.9.3 Analisis Tekstur ... 20
2.10 Klasifikasi Citra ... 21
3. METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Lokasi da n Wakt u Penelitian... 23
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 24
3.3 Metode Penelitian... 25
3.3.1 Persiapan dan Pengumpulan Data ... 25
3.3.2 Pengolahan Citra Satelit ALOS PALSAR ... 25
3.3.2.1 Penyaringan Adaptif Frost dan Gamma ... ... 29
3.3.2.2 Analisis Tekstur... . 30
3.3.2.3 Klasifikasi Citra Radar ALOS PALSAR... 31
3.3.2.4 Pengolahan Data Angin ... 32
3.3.3 Analisis Data ... .. 35
(10)
4.4.2 Hasil Penyaringa n Gamma (
filter Gamma)
……….. 48
4.5 Analisa Tekstur Data Citra Satelit ALOS PALSAR ... 54
4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan
Non
Minyak... 60
4.7 Pola Pergerakan Angin di Laut Timor... 70
5. KESIMPULAN DAN SARAN... 79
5.1 Kesimpulan... 79
5.2 Saran... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
LAMPIRAN ... 90
RIWAYAT HIDUP………. ... 100
(11)
2. Spektrum REM yang Digunakan dalam Penginderaan Jauh... 11
3. Visualisasi Sensor dan Peralatan Satelit ALOS... 14
4. Ilustrasi Geometri Peminda ian dengan ALOS PALSAR... 15
5. Ilustrasi Mode Polarisasi Sinyal Radar... 16
6. Peta Lokasi Pengamatan Citra Deteksi Tumpahan Minyak... 23
7. Diagram Alir Pengolahan Citra ALOS PALSAR Level 1.5... 26
8. Diagram Alir Pengolahan Data Angin ECMWF dengan WR Plot ... 33
9. Diagram Alir Pengolahan Data Angin ECMWF pada Surfer 9,0…...34
10. Citra ALOS PALSAR pada Tanggal 2 September 2009 di Laut Timor
(a). C itra dengan
Path
6940, (b). Citra dengan
Path
6930 dan (c). C itra Hasil
Penggabungan Dua
Path
yang Berbeda……...………... 37
11. Tampilan Obyek Minyak dan
Non
Minyak (Lautan da n
Platform)
Pada Citra
ALOS PALSAR... 39
12. Visualisasi Area Gelap Pada (a). Citra, (b). Nilai Intensitas Hambur Balik (dB)
vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Hasil Koreksi Nilai
Digital
da n
(c). Nilai
Digital
vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Tanpa
Koreks i Nilai
Digital
………... 41
13. Data Nilai Intensitas Hambur Balik (dB) vs Jumlah Data Pengamatan Piksel
untuk Pengolahan Citra dengan Jendela Pengamatan Ukuran (a). 3x3, (b). 5x5
dan (c). 7x7……….. 45
14. Hasil Penyaringa n Data
Filter Frost
Secara (a). Spasial dan (b). Grafik N ilai
Intensitas Hambur Balik (dB) obyek... 47
15. Hasil Penyaringa n Data
Filter Gamma
Secara (a). Spasial dan (b).Grafik Nilai
Intensitas Hambur Balik (dB) obyek... 49
16. Perbandinga n Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Obyek Metode
Penyaringan
Frost
7x7 da n
Gamma
7x7... 51
17. Perbandinga n Tampilan Citra Metode Penyaringan (a)
Frost
7x7 da n (b)
Gamma 7x7
... 53
(12)
Entropy,Homogeneity, Mean,
dan
Variance
... 59
21. Pola Garis Transek untuk Penentuan Nilai Intensitas Obyek Pengamatan.. 62
22. Hasil Klasifikasi Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor... 66
23. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Sebelum Satelit Merekam Laut
Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra dan (c).
Windrose
. Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 71
24. Visualisasi Pergeraka n Angi n Satu Minggu Saat Satelit Merekam Laut
Timor (a). di Sekitar Wilayah Peminda ian, (b). Pada Citra dan (c).
Windrose
Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 73
25. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Setelah Satelit Merekam Laut
Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra, da n (c).
Windrose
Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 75
26. Visualisasi Pergerakan Angin Bulan September Saat Satelit Merekam Laut
Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra da n (c).
Windrose
Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 76
(13)
2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indo nesia... 10
3. Karakteristik Teknis Sensor ALOS PALSAR... 17
4. Data ALOS PALSAR di Laut Timor 2009 dari LAPAN... 24
5. Dua Metode Penyaringan Spasial Adaptif dalam Kajian Penelitian ... 29
6. Delapan Metode Analisis Tekstur dalam Kajian Penelitian... 30
7. Contoh Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Hasil Penya ringan Dua
Filter ... 52
8. Kisaran Nilai Hambur Balik Klasifikasi Obyek ... 64
9. Perbandinga n Nilai Intensitas Hambur Balik Obyek dengan Metode Analisis
Teks tur
Mean
dan
Correlation
... 65
10. Kisaran Hamburan Balik (db), Luas Tumpahan Minyak Berdasarkan Citra
ALOS PALSAR ... 67
(14)
2. Tutorial Konversi Format Data Citra *.ceos >>*.ers / *.tiff dengan ENVI 4.5 91
3. Tutorial Penggabungan Dua
Scene
Citra yang Berbeda dengan Waktu
Peminda ian dan Daerah yang Sama Menggunakan Program Er Mapper... 92
4. Tutorial Koreks i
Digital Number...
... 94
5. Tahapa n Penyaringan (
Filtering
) dengan ENVI... 95
6. Contoh Data Angin Satu Minggu Saat Satelit Meminda i Kejadian Tumpahan
Minyak di Lokasi Penelitian Laut Timor... ... 99
(15)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktifitas manusia di daratan dan sekitar pesisir lautan akan menghasilkan
limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Menurut Group of Expert on Scientific
Aspect of Marine Pollution (GESAMP) bahwa 6,44 juta ton/ tahun hidrokarbon
masuk ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan transportasi laut,
pengoperasian pertambangan minyak di anjungan serta kegiatan industri oleh
manusia (Hartanto, 2008). Kegiatan operasional pertambangan minyak di lepas
pantai memiliki kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan
munculnya tumpahan minyak berupa kegiatan (1) pengoperasian kapal tanker
dalam proses deballasting (sistem kestabilan kapal menggunakan bongkar-muat
air) (2) kecelakaan kapal maupun tanker dan (3) munculnya semburan sumur
minyak yang disebabkan oleh kerusakan struktur platform ataupun peralatan.
Salah satu contoh kejadian kerusakan platform adalah kejadian tumpahan
minyak Montara di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009-3 November 2009
di sekitar lepas pantai utara dari Australia bagian Barat dan berada di perairan
bagian selatan dari Indonesia. Kejadian tumpahnya minyak ke perairan ini dapat
memberikan dampak negatif terhadap ekosistem lingkungan laut beserta biota di
dalamnya di negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk mengidentifikasi dan
memantau penyebaran tumpahan minyak di wilayah Republik Indonesia.
Penelitian untuk identifikasi tumpahan minyak dapat dilakukan dengan
memanfaatkan gelombang mikro dari sensor aktif Phase Array type L-band
Sythetic Aperture Radar (PALSAR) pada satelit Advanced Land Observing
(16)
tumpahan minyak tersebut memiliki kemampuan dapat menembus awan dan
resolusi spasial yang relatif lebih tinggi, kemampuan ini tidak terdapat dalam
sensor pasif (optik, (seperti citra satelit Aqua/Terra MODIS)). Identifikasi
tumpahan minyak menggunakan citra SAR dilakukan dengan menerapakan
metode analisis visual maupun digital (filtering dan analisis tekstur terhadap
kekasaran piksel obyek yang diamati).
Penelitian ini menerapkan analisis visual, filtering (penyaringan), penentuan
nilai ambang batas dan segmentasi serta analisis tekstur obyek dalam tahapan
pengolahan untuk mengidentifikasi obyek tumpahan minyak. Metode penyaringan
citra radar menurut beberapa peneliti memiliki jumlah yang berbeda. De Leeuw et
al (2009) membagi metode penyaringan citra menjadi delapan macam yaitu (1)
Lee, (2) Enhanced Lee, (3) Frost, (4) Enhanced Frost, (5) Gamma, (6) Kuan, (7)
Local Sigma dan (8) Bit Errors. Namun pada penelitian ini metode penyaringan
yang digunakan sebanyak dua macam yaitu metode frost dan gamma serta
beberapa metode analisis tekstur. Hasil penelitian ini diharapakan dapat
memberikan teknik identifikasi tumpahan minyak di suatu perairan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari proses pengolahan citra satelit
ALOS PALSAR dengan menerapkan dua metode yang berbeda sehingga
diperoleh nilai selang hambur balik antara obyek tumpahan minyak dan non
minyak, (2) menghitung luasan perairan laut yang tercemar oleh tumpahan
(17)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Laut Timor
Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang
berbatasan dengan Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan bagian utara
perairan Australia. Pada perairan Laut Timor terdapat pulau-pulau kecil antara
lain Pulau Laminaria, Buffalo, Jahal, Elang, Bayu-Undan, Sunrise, Troubadour
dan Sunset (La’o Hamutuk, 2002). Perjanjian yang telah dibuat antara pemerintah
Indonesia dan Australia pada tahun 1972 menyepakati wilayah perairan Laut
Timor masuk ke dalam perairan Indonesia dengan jarak 370,4 km dari Nusa
Tenggara Timur dan masuk ke dalam perairan Australia dengan jarak 250 km dari
Barat Laut Australia (La’o Hamutuk, 2002). Perairan Laut Timor dan sekitarnya
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
(18)
2.2 Pergerakan Angin di Lautan
Angin merupakan gerakan udara secara mendatar yang disebabkan oleh
perbedaan tekanan udara antara dua tempat sehingga terjadi pergerakan angin dari
daerah tekanan udara tinggi ke daerah tekanan udara rendah. Angin merupakan
faktor utama dalam pembentukan arus atau gelombang di suatu perairan sehingga
arah dan kecepatan angin akan mempengaruhi penyebaran suatu lapisan kimia di
suatu perairan. Gesekan yang terjadi antar molekul udara dengan molekul air di
lapisan permukaan laut akan menyebabkan terbentuknya arus permukaan.
Menurut Widyastuti et.al., (2010) arus laut permukaan terjadi di lapisan
permukaan perairan dengan kedalaman kurang dari 200 meter yang disebabkan
oleh kecepatan angin yang berhembus di atas permukaan. Pergerakan arah arus
permukaan akan mengalami penyimpangan secara horizontal yang dipengaruhi
oleh gaya Coriolis. Gaya Coriolis terjadi akibat rotasi bumi dan bentuk bumi yang
bulat. Gerakan angin akan mempengaruhi pembelokan arah angin dengan sudut
sebesar 450 dengan kecepatan 2 % dari kecepatan angin yang bergerak di atas
permukaan. Penyimpangan arah arus di belahan bumi utara akan dibelokkan ke
arah kanan sedangkan di belahan bumi selatan arus permukaan akan dibelokkan
ke arah kiri (Nur, 2010).
Pergerakan arus permukaan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh
angin musim atau angin muson. Hal ini akan berdampak kepada sirkulasi massa
air yang berada di perairan khususnya Laut Timor. Monsun merupakan suatu pola
sirkulasi angin yang berhembus secara periodik (minimal 3 bulan), terutama di
Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia, dari arah Timur ke Barat dan pada
(19)
Angin muson yang berhembus di Indonesia dibagi menjadi tiga macam
yaitu Angin Muson Barat, Angin Muson Peralihan dan Angin Muson Timur.
Angin Muson Barat terjadi pada bulan Desember hingga Februari yaitu pada saat
Australia dan Laut Koral menerima sinar dan bahang yang lebih besar
dibandingkan Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Hal ini menyebabkan tekanan
udara paras bumi di kawasan Australia menjadi lebih rendah dibandingkan Asia
Tenggara (Ilahude dan Nontji, 1999). Pada bulan Juni hingga Agustus terjadi hal
yang sebaliknya sehingga dikenal sebagai Muson Timur atau Tenggara. Musim
Pancaroba (peralihan) terjadi secara dua periodik yaitu Musim Peralihan 1 (bulan
Maret-Mei) dan Musim Peralihan 2 (September-November).
2.3 Karakteristik Minyak
Minyak mentah atau crude oil adalah cairan coklat kehijauan sampai hitam
yang terutama terdiri dari karbon dan hidrogen. Putra (2011) menjelaskan teori
yang paling umum digunakan untuk menjelaskan asal-usul minyak bumi adalah
“organic source materials”. Teori ini menyatakan bahwa minyak bumi
merupakan produk perubahan secara alami dari zat-zat organik yang berasal dari
sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengendap selama ribuan sampai jutaan
tahun. Minyak bumi mempunyai komposisi yang berbeda di tempat yang berbeda
akibat dari pengaruh tekanan, temperatur, kehadiran senyawa logam dan mineral
serta letak geologis selama proses perubahan tersebut. Minyak bumi merupakan
suatu zat yang mengandung campuran senyawa hidrokarbon sebanyak 50-98%
berat, sisanya terdiri atas zat-zat organik serta senyawa anorganik. Komposisi
(20)
Tabel 1. Komposisi Kimia Minyak Bumi
(Sumber : Putra ZA, 2011)
2.4 Tumpahan Minyak dan Dampak Pencemaran Laut
Peraturan Pemerintah No.19/1999 mengartikan pencemaran laut sebagai
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi
dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto dan Bambang, 1999).
Menurut Badan Internasional Group of Expert on Scientific Aspects of Marine
Pollution (GESAMP) bahwa sekitar 6,44 juta ton per tahun, kandungan
hidrokarbon minyak memasuki perairan laut secara global (Hartanto, 2008).
Sumber pencemar laut tersebut sebesar 4,63 juta ton/tahun berasal dari
transportasi laut, 0,18 juta ton/tahun berasal dari instalasi pengeboran lepas pantai
dan 1,38 juta ton/tahun berasal dari kegiatan industri dan pemukiman (Hartanto,
2008).
Sumadhiharga (1995) membagi dampak kerusakan yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut menjadi dua tipe jangka waktu yaitu dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek dari pencemaran
minyak antara lain kerusakan membran sel biota laut akibat penetrasi molekul-
molekul hidrokarbon minyak sehingga keluarnya cairan sel dari biota laut, Komposisi Persentase
Karbon (C) 84-87% Hidrogen (H) 11-14% Sulfur (S) 0-3% Nitrogen (N) 0-1% Oksigen (O) 0-2%
(21)
munculnya aroma dan bau minyak pada berbagai jenis udang dan ikan sehingga
menyebabkan turunnya mutu dari biota tersebut, kematian pada ikan yang
disebabkan oleh minimnya oksigen pada lingkungan tersebut, keracunan karbon
dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya (Misran, 2002). Dampak
jangka panjang dari pencemaran minyak akan sangat terasa bagi biota laut yang
masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut pada saat
sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersamaan dengan kotoran sedang
sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat
akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme ke organisme lain melalui rantai
makanan. Dampak kerusakan secara langsung dari tumpahan minyak terjadi di
lingkungan laut terutama pada tempat rekreasi, pemukiman nelayan serta wilayah
tambak di pesisir pantai.
2.5 Sumber Tumpahan Minyak di Laut
Tumpahan minyak di laut berasal dari sumber yang beragam, tidak hanya
berasal dari kecelakaan kapal tanker namun juga kerusakan peralatan atau
platform minyak. Input polutan minyak terbesar berasal dari pengoperasian kapal
tanker. Hal ini dikarenakan produksi minyak bumi di dunia diperkirakan sebanyak
tiga miliar ton per tahunnya dan setengahnya dikirimkan melalui transportasi laut
dengan memanfaatkan kapal tanker (Hartanto, 2008). Selama muatan minyak
ditransportasikan oleh kapal tanker dari satu wilayah menuju wilayah lainnya,
terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh industri perminyakan antara lain
(1) bongkar muat minyak mentah dengan proses deballasting dan (2) kegiatan
(22)
kapal untuk menjadi besi tua). Proses deballasting merupakan sebuah sistem
kestabilan kapal menggunakan bongkar-muat air di dalam tangki slop (wadah
minyak mentah). Pengisian air laut ke dalam tangki kapal dilakukan pada saat
kapal berlabuh yang diikuti dengan kegiatan bongkar muat minyak mentah di
dalam tangki dan penyaluran air ballast yang kotor ke tangki penampungan
limbah di terminal atau menuju laut. Air ballast adalah air laut yang dimasukkan
ke dalam tangki sebuah kapal tanker yang kosong, pada saat tangki kosong ini
berfungsi sebagai wadah minyak mentah. Tangki muatan yang telah kosong
kemudian akan dibersihkan dengan water jet, pada proses ini ditujukan agar
menjaga tangki tersebut terisikan dengan air ballast yang baru untuk memenuhi
kebutuhan pelayaran selanjutnya. Pada tahap bongkar muat minyak dibutuhkan
ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi karena kemungkinan munculnya
kebocoran pipa, pipa pecah atau kesalahan yang berasal dari lalainya manusia
dapat terjadi. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan ini akan mengandung air dan
minyak yang menjadi komponen pencemar laut di daerah bongkar muat kapal
tanker. Semakin besar ukuran suatu tanker maka dapat diperkirakan bahwa input
polutan minyak ke laut selama proses ini akan semakin besar.
Sumber lapisan minyak lainnya yang berasal dari tansportasi laut yaitu
kegiatan perbaikan dan perawatan kapal. Semua kapal yang berlayar
membutuhkan waktu pengecekan tangki dan bagian lambung kapal untuk
kemudian dilakukan tahapan perbaikan dan perawatan kapal secara periodik.
Semua sisa bahan bakar yang berada di dalam tangki harus dikosongkan pada saat
perbaikan untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun ledakan yang dapat
(23)
sebagian besar kapal tanker langsung membuangnya di laut sehingga
menyebabkan munculnya lapisan minyak di suatu perairan.
Proses scrapping (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) juga
dapat menjadi salah satu sumber input polutan ke lautan. Proses ini banyak
dilakukan industri perkapalan di India dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia
(Hartanto, 2008). Proses scrapping dapat meningkatkan kandungan metal dan
minyak yang terbuang ke laut. Kejadian kecelakaan kapal tanker baik berupa
kebocoran lambung, kapal kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan merupakan
kasus yang dapat menyebabkan input polutan yang cukup besar.
2.6 Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit oleh dua benua yaitu
Asia dan Australia sehingga menjadikan perairan Indonesia berpotensi sebagai
jalur perdagangan dan transportasi antar negara sehingga negara Indonesia
termasuk ke dalam kategori negara yang rentan terhadap polutan laut berupa
hidrokarbon. Selain itu negara Indonesia termasuk ke dalam negara penghasil
berbagai barang tambang baik yang berupa batu bara, gas maupun minyak bumi
sehingga beberapa perairan dan pelabuhan di Indonesia dijadikan sebagai terminal
bongkar muat barang tambang. Faktor semakin banyaknya bangunan pengeboran
lepas pantai akan menambah resiko tercemarnya perairan di Indonesia. Tabel 2
menunjukkan beberapa kasus tumpahan minyak yang telah terjadi di perairan
(24)
Tabel 2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
Sumber :Hartanto, 2008 kasus 1-19; Australian Government, 2010 kasus 20 Kasus Waktu
Kejadian
Lokasi Keterangan
1 1975 Selat Malaka Tumpahan minyak tanker Showa Maru, 1 juta barel 2 Januari 1975 Selat Malaka Tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace 3 Desember
1979
Pelabuhan Buleleng Bali
Kecelakaan kapal tanker Choya Maru menumpahkan 300 ton bensin 4 Februari 1979 Pelabuhan
Lhokseumawe
Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 150 Kiloliter minyak tanah 5 Maret 1848 Selat Malaka Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT
Nagasaki Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak
6 Jan-93 Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator 7 1996 Natuna Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO 8 Oktober 1997 Selat Singapura Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal
tanker Evoikos
9 1998 Tanjung Priok Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat solar
10 1999-2000 Cilacap Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan menumpahkan minyak sekitar 4000 barel
11 Okt-00 Batam Kandasnya MTNatuna Sea dengan menumpahkan 4000 ton minyak mentah
12 2001 Tegal-Cirebon Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton limbah minyak
13 2003-2005 Kepulauan Seribu
Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu
14 Jul-03 Palembang Tabrakan antara tongkang PLTU-1/PLN yang mengangkut 363 Kiloliter IDF dengan kapal kargo AN Giang, mencemari sungai Musi
15 Jul-04 Kepulauan Riau
Kapal Tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca buruk dan menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop sebanyak 200 ton
16 2004 Cilacap Tumpahan minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria Crude Oil sebanyak 625044 barrel. 17 Okt-04 Pantai
Indramayu
Tumpahan minyak mentah dari Pertamina UP VI Balongan. Tumpahan ini merusak terumbu karang tempat pengasuhan ikan-ikan milik masyarakat sekitar
18 2004 Balikpapan Tumpahan minyak dari perusahaan Total E dan P Indonesia
19 Agust-05 Teluk Ambon Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang menyebabkan tumpahan minyak ke perairan 20 21 Agustus-3
November 2009
Celah Timor Ledakan dari sumber kilang minyak Montara
3
selama 74 hari sebesar ± 2000 barel (320m ) setiap harinya
21 2011 Kepulauan Seribu
Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu khususnya sekitar Pulau Panggang
(25)
2.7 Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja)
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mendapatkan informasi
mengenai suatu obyek, wilayah, atau fenomena dengan menganalisa data yang
diperoleh dengan peralatan tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek,
wilayah ataupun fenomena yang sedang diamati (Ristiana,2011). Sistem
penginderaan jauh (inderaja) memiliki tiga komponen utama dalam
pengoperasiannya antara lain sumber energi, sensor sebagai alat pendeteksi target
dan obyek pengamatan.
Sumber utama energi dalam penginderaan jauh pasif adalah Radiasi
gelombang Elektromagnetik (REM), terutama yang berasal dari matahari. Pada
sistem penginderaan jauh aktif sumber energi berasal dari komponen satelit itu
sendiri. Berikut Gambar 2 menampilkan spektrum gelombang elektromagnetik .
Gambar 2. Spektrum REM yang digunakan dalam Penginderaan Jauh (Sumber : CCRS, 2005)
Gambar 2 di atas menggambarkan selang energi gelombang elektromagnetik
(26)
Pada penginderaan jauh hanya tiga jenis REM yang dimanfaatkan yaitu sinar
tampak (visible ray), sinar inframerah dan gelombang mikro.
Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk monitoring tumpahan
minyak di perairan laut karena dapat mendeteksi keberadaan tumpahan minyak
secara dini. Kemampuan ini didukung oleh kelebihan sistem penginderaan jauh
untuk mengamati obyek dengan cakupan area yang luas dan waktu yang lebih
cepat. Pemetaan obyek muka bumi dengan memanfaatkan satelit sistem RADAR
dan bersensor Synthetic Aperture Radar (SAR) telah banyak digunakan untuk
memetakan keberadaan tumpahan minyak di laut. Beberapa satelit radar yang
sering digunakan untuk pengamatan tumpahan minyak diantaranya JERS-1,
ENVISAT, Terra SAR-X, ERS, dan ALOS.
Kelebihan Radar imaging dibandingkan penginderaan jauh optik antara
lain (1) RADAR merupakan contoh dari sistem penginderaan jauh aktif sehingga
dapat bekerja pada pagi atau malam hari, (2) Gelombang elektromagnetik pada
kisaran radar dapat menembus karakteristik atmosfer berupa awan, hujan yang
ringan, embun dan asap yang dapat memberikan sedikit pengaruh terhadap
kemampuan pemindaian sistem RADAR sehingga sistem ini dapat digunakan
pada berbagai macam cuaca. Kelebihan lainnya yaitu kemampuan sinyal RADAR
untuk menembus penutupan tanah dan tumbuhan sehingga dapat memberikan
informasi mengenai keadaan lapisan permukaan (Mansourpour et al, 2009).
2.7.1 Identifikasi Tumpahan Minyak dengan Inderaja
Tampilan citra pada sistem Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan
representasi dari perekaman data berupa amplitudo dan fase dari nilai hambur
(27)
nilai hambur balik dari suatu materi yang terekam oleh sensor tergantung dari tipe
polarisasi suatu sinyal radar. Penggunaan polarisasi ganda pada SAR berfungsi
untuk membedakan lapisan dari sifat kimia yang berbeda, dan perbedaan tersebut
hanya dapat dilakukan pada kecepatan angin yang rendah atau ideal serta sudut
pengamatan sensor satelit yang kecil (Brekke dan Solberg, 2005).
Menurut Hu et al., (2003) nilai optimal kecepatan angin yang efektif untuk
pendeteksian lapisan minyak pada citra berkisar antara 1,5-6 m/s. Namun menurut
Sitanggang pada tahun 2004, nilai kecepatan angin yang perlu diperhatikan pada
saat kejadian dikategorikan menjadi tiga macam yaitu dari 0-3 m/s, 3-6 m/s dan
10-12 m/s. Pada kecepatan angin yang rendah (0-3 m/s), permukaan laut akan
tampak gelap pada citra karena tidak adanya atau minimnya pergerakan arus di
permukaan sehingga pendeteksian obyek tumpahan minyak pada saat seperti ini
tidak mungkin untuk dilakukan. Pada kecepatan angin 3-6 m/s kekasaran
permukaan atau gelombang terbentuk oleh angin yang bertiup di atas permukaan
sehingga tampak perbedaan nilai hambur balik antara obyek perairan dengan
lapisan minyak pada saat lapisan minyak akan tampak seperti potongan gelap
dengan latar belakang yang terang. Kecepatan angin ini dianggap sangat ideal
dalam pendeteksian tumpahan minyak. Akan tetapi apabila kecepatan angin
mencapai 10-12 m/s pada saat fenomena tumpahan minyak terjadi maka
kemampuan satelit radar dalam mendeteksi tumpahan minyak menjadi tidak
mungkin karena terganggu oleh gelombang permukaan laut dan pencampuran
induksi angin yang menyebabkan ditribusi lapisan minyak yang lebih luas pada
(28)
2.8 Karakteristik Satelit ALOS dan Sensor PALSAR
Satelit Advance Land Observing Satellite (ALOS ) merupakan salah satu
contoh satelit yang memanfaatkan gelombang mikro dalam pendeteksian obyek di
muka bumi. Satelit ini merupakan satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace
Exploration Agency (JAXA) pada Januari 2006. Satelit ini merupakan satelit
generasi lanjutan dari satelit JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan
teknologi yang lebih maju. Nama lain dari satelit ini adalah DAICHI yang berasal
dari bahasa Jepang. ALOS mengorbit bumi pada ketinggian 691,65 km, sudut
inklinasi 98,16° dan resolusi temporal selama 46 hari
ALOS dilengkapi dengan tiga jenis sensor penginderaan jauh yaitu (1)
Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), (2)
Advanced Visible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan (3)
Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)
(Rosenqvist,et.al. 2004) (Gambar 3).
Gambar 3. Visualisasi Sensor dan Peralatan Satelit ALOS (Sumber: Rosenqvist et.al., 2004)
Gambar 3 di atas merupakan visualisasi sensor dan peralatan satelit ALOS
(29)
berbagai macam bidang yang sesuai dengan sensor yang digunakan. Data sensor
PRISM akan efektif untuk berbagai aplikasi seperti kreasi peta dan pemetaan
ketinggian. Data dari sensor AVNIR-2 untuk pemetaan wilayah pesisir,
perencanaan kota, pertanian, kehutanan, pengelolaan garis pantai, pengontrolan
disposal ilegal, perencanaan posisi antena, pemantauan banjir skala kecil, serta
pemantauan jalur lalu lintas laut. Sensor PALSAR merupakan sebuah sensor
gelombang mikro yang efektif dalam mengamati suatu wilayah pada siang dan
malam hari tanpa dipengaruhi awan (Rosenqvist et.al., 2004; Sitanggang G,
2002).
2.8.1 Synthetic Aperture Radar Pada Satelit ALOS PALSAR
Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sebuah sistem radar dalam
mengindera obyek dengan pola menyamping. SAR merupakan teknik yang handal
dan praktis untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi dan dapat diletakkan
pada wahana satelit. SAR mensintesiskan antena yang panjang dengan
memanfaatkan pergerakan wahana. Ilustrasi pola pemindaian pada ALOS
PALSAR dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Ilustrasi Geometri Pemindaian dengan ALOS PALSAR (Sumber: JAXA, 1997)
(30)
Gambar 4 di atas menampilkan metode observasi yang dilakukan oleh
satelit dalam proses pemindaian disertai dengan titik di bawah satelit yang
menjadi titik pusat jalur pergerakan satelit atau yang dikenal sebagai titik nadir.
2.8.2 Polarisasi Sinyal Pada Satelit ALOS PALSAR
Polarisasi merupakan perambatan dari gelombang mikro aktif yang
dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Gambar 5 merupakan ilustrasi pola
polarisasi yang terdapat dalam pengiriman dan penerimaan sinyal pada sensor
radar dengan bidang horizontal dan vertikal.
Gambar 5. Ilustrasi Mode Polarisasi Sinyal Radar (Sumber: CCRS, 2005) Keterangan : Garis hitam : Horizontal ; Garis merah : Vertikal
Gambar 5 menunjukkan pola pemusatan perambatan sinyal dibedakan
menjadi dua macam bidang perambatan yaitu melalui bidang datar (horizontal )
dan melalui bidang tegak lurus (vertical ). Satu sinyal radar dapat ditransmisikan
pada bidang datar (H= Horizontal ) ataupun tegak lurus (V = Vertikal ) dan dapat
disaring dengan satu bidang datar yang sama atau berbeda dalam penerimaan
sinyal gelombang elektromagnetik oleh sensor. Sensor PALSAR memiliki empat
jenis polarisasi yaitu (1) HH pada saat pemancaran dan penerimaan gelombang
dilakukan secara horisontal, (2) HV pada saat pemancaran gelombang secara
horisontal dan penerimaan gelombang dilakukan secara vertikal, (3) VH pada saat
(31)
horisontal dan (4) VV pada saat pemancaran dan penerimaan gelombang
dilakukan secara vertikal (CCRS, 2005).
Sitanggang (2002) membagi mode operasi utama dari PALSAR menjadi
tiga macam yaitu mode fine, ScanSAR dan mode Polarimetrik. (1) Mode Fine
merupakan mode resolusi tinggi dengan resolusi spasial 10 m dan mode operasi
yang umum untuk observasi interferometrik dengan lebar liputan satuan citra 70
km dalam polarisasi tunggal (HH ; mode Fine Beam Single-FBS polarisation).
Mode fine dilengkapi pula dengan polarisasi rangkap dua HH+HV (mode Fine
Beam Dual-FBD polarisation). (2) Mode Scan SAR adalah mode yang
memungkinkan untuk memperoleh citra dengan lebar liputan satuan citra sampai
82-350 km dengan polarisasi tunggal HH dan resolusi spasial 100 m di dalam arah
azimuth dan range. Scan SAR mempunyai pancaran sinyal yang dapat diatur pada
elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang
lebih lebar dibandingkan dengan SAR konvensional. (3) Mode Polarimetrik (Fine
Beam Polarimetri) adalah mode yang dioperasikan pada basis eksperimental
dengan polarisasi HH+VV+HV+VH. Tabel 3 menunjukkan karakteristik teknis
sensor dan data citra PALSAR.
Tabel 3. Karakteristik Teknis Sensor ALOS PALSAR
Sumber : (Sitanggang, 2002, JAXA, 2006b) Mode Operasi
Fine Beam Single pol
(FBS)
Fine Beam Dualpol
(FBD) Scan SAR Polarimetrik
Polarisasi HH or VV HH+HV or VV+VH
HH or VV
HH+HV+VH+VV Sudut dating 8 ~ 60 8 ~ 60 18 ~ 43 8 ~ 30 Resolusi Spasial 7 ~ 44m 14 ~ 88m 100m 24 ~ 89m
Lebar Liputan Satuan Citra
40 ~ 70km 40 ~ 70km 250 ~ 350km
20 ~ 65km Kecepatan Data 240Mbps 240Mbps 120Mbps,
240Mbps
240Mbps Frekuensi Pusat 1270MHz (L-band)
(32)
2.9 Penyaringan Sinyal Gelombang Radar
Sinyal gelombang radar dapat dipengaruhi oleh pembentukan dan
perusakan citra berupa tampilan piksel berwarna terang dan gelap yang dikenal
sebagai speckle noise. Speckle noise dalam data radar diasumsikan memiliki
model yang tidak benar secara ganda dan harus dikurangi sebelum data
dimanfaatkan karena gangguan ini dapat menggabungkan dan mengurangi
kualitas tampilan. Speckle noise ini dapat dihilangkan dengan menggunakan tahap
penyaringan secara spasial. Penyaringan spasial di kelompokkan menjadi dua
macam yaitu tipe penyaringan non adaptif dan adaptif. Parameter yang
dipertimbangkan dalam non adaptif spatial filter berupa nilai sinyal seluruh
tampilan dan meninggalkan sifat awal dari nilai hambur balik daerah tersebut atau
sensor alami. Contoh tipe penyaringan ini yaitu penggunaan Fast Fourier
Transform (FFT). Tipe penyaringan adaptif mengakomodasi perubahan dari sifat-
sifat lokal dari nilai hambur balik dan sensor alami. Pada tipe penyaringan ini,
speckle noise dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak mengalami perubahan
namun perubahannya terdapat pada nilai rata–rata nilai hambur balik yang
dipengaruhi oleh tipe target yang diamati. Penyaringan adaptif dapat mengurangi
speckle noise dengan mempertajam perbedaan tepi obyek.
Pada aplikasi deteksi tumpahan minyak, tipe penyaringan yang digunakan
harus dapat menekan speckle noise namun tetap dapat mempertahankan tampilan
berupa tumpahan minyak yang tipis dan kecil (Brekke dan Solberg, 2005).
Metode penyaringan citra radar secara adaptif menurut beberapa peneliti memiliki
jumlah yang berbeda. Namun De Leeuw et al (2009) membagi metode
(33)
Frost, (4) Enhanced Frost, (5) Gamma, (6) Kuan, (7) Local Sigma dan (8) Bit
Errors. Pada penelitian ini metode penyaringan adaptif yang digunakan yaitu
metode filter frost dan filter gamma. Selain itu pada penelitian ini juga dilakukan
tahap penyaringan kedua yang dikenal sebagai analisis tekstur.
2.9.1 Filter Frost
Filter frost merupakan sebuah filter simetrik eksponensial secara sirkular,
pada saat perhitungannya didasarkan pada jarak piksel yang diamati terhadap titik
pusat, faktor jarak dan variasi lokal mempengaruhi nilai dari piksel yang baru.
Filter piksel ini diaplikasikan pada citra yang berpolarisasi secara HH ataupun
HV. Ukuran jendela pengamatan filter yang diujikan pada citra ini dibagi menjadi
tiga macam yaitu 3x3, 5x5 dan 7x7. Penggunaan ukuran jendela pengamatan yang
berbeda bertujuan mempelajari efek dari ukuran jendela pengamatan terhadap
proses penghalusan dari karakteristik dan sisi-sisi obyek yang teramati (De leeuw
et al., 2009).
2.9.2 Filter Gamma
Filter gamma memiliki fungsi sebagai penyaring dengan sistem operasi
mengganti nilai piksel yang berhubungan dengan nilai jumlah bobot pada ukuran
pengamatan 3x3, 5x5 dan 7x7. Nilai bobot ini akan semakin bertambah seiring
bertambahnya jarak antara piksel yang berhubungan. Faktor nilai bobot ini juga
bertambah nilainya dibandingkan dengan nilai piksel pada titik pusat secara
bervariasi (Mansourpour et al., 2009). Filter ini mengasumsikan adanya gangguan
secara berganda dan gangguan secara tidak tetap. Logika gamma berfungsi untuk
memaksimalisasi nilai fungsi probabilitas yang masih mengacu tampilan gambar
(34)
lokal area serta di kontrol oleh koefisien varian dan rasio geometri yang
beroperasi pada deteksi garis (Mansourpour et al., 2009).
2.9.3 Analisis Tekstur
Tekstur adalah konsep intuitif yang mendeskripsikan tentang sifat
kehalusan, kekasaran, dan keteraturan obyek dalam suatu wilayah. Tekstur
didefinisikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan
piksel yang berdekatan, dalam ilmu pengolahan citra digital (Ganis et al., 2008).
Analisis tekstur pada citra dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu
secara (1) struktural, (2) statistika dan (3) gabungan antara struktural dengan
statistika (Tan, 2001). Metode struktural menggunakan fitur geometrik dari tekstur
sebagai identitas obyek, penggunaan metode hanya dapat digunakan untuk obyek
yang memiliki tekstur yang teratur (Anindityo A, 2010). Metode statistik
merupakan metode yang umum digunakan oleh peneliti untuk permukaan atau
tekstur yang tidak teratur dengan menggunakan Grey Level Co-occurence Matrix
(GLCM).
GLCM adalah tabulasi dari seberapa sering kombinasi yang berbeda dari
nilai kecerahan piksel (tingkat warna abu-abu) yang terjadi pada sebuah citra
(Purnomo et al., 2009). Matrix ini memiliki elemen-elemen yang berasal dari
penjumlahan beberapa pasang piksel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu
yang terpisah dengan jarak d dan dengan sudut inklinasi θ. GLCM didasarkan
pada probabilitas munculnya tingkat keabuan (grey level) i dan j dari dua piksel
yang terpisah pada jarak d dan sudut θ. Jika jarak d mendekati ukuran tekstur
maka grey level pasangan piksel tersebut akan berbeda, maka nilai dalam matriks
(35)
Puspitodjati S. pada tahun 2009 memaparkan lima ciri tekstur pada analisis tekstur
antara lain:
(1) Contrast yaitu ukuran penyebaran (momen inersia) elemen-elemen matriks
citra
(2) Energy ( Angular Second Moment = ASM) yaitu fitur untuk mengukur
konsentrasi pasangan intensitas pada matriks co-occurrence
(3) Entropy menunjukkan ukuran keteracakan dari distribusi intensitas
(4) Homogeneity bertujuan untuk mengukur kehomogenan variasi dalam citra
(5) Correlation digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan linier
derajat keabuan dari piksel yang saling berdekatan
Menurut Nezry et al., (1994) terdapat satu macam metode GLCM lainnya
yang dikenal sebagai Mean GLCM untuk menampilkan nilai tengah (mean)
transisi pada visualisasi tekstur yang menjelaskan nilai level keabuan pada citra.
Tujuan analisis tekstur dalam tahap pengolahan data citra untuk mengurangi jarak
selang antara satu obyek dengan obyek lainnya sehingga dapat meminimalisir
kesalahan dalam menampilkan hasil klasifikasi obyek.
2.10 Klasifkasi Citra
Secara umum, algoritma klasifikasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
supervised (terbimbing) dan unsupervised (tak terbimbing). Penggunaan jenis
klasifikasi citra tergantung pada ketersediaan data awal citra. Proses
pengklasifikasian terbimbing (supervised) dilakukan dengan prosedur pengenalan
pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang
diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang
(36)
peneliti dengan keadaan geografis dan pengetahuan mengenai tampilan obyek
sebenarnya yang tampak pada citra, pada saat ini peneliti melakukan bimbingan
dalam mengkategorikan kelas-kelas informasi (CCRS, 2005).
Klasifikasi unsupervised digunakan ketika informasi data set yang dimiliki
sedikit. Pada klasifikasi tidak terbimbing, pengklasifikasian dimulai dengan
pengelompokkan seluruh piksel dalam beberapa kelas yang didasarkan pada nilai
spektral yang dimiliki tiap obyek. Pada umumnya analis melakukan spesifikasi
jumlah kelas yang akan dibuat dari data yang diamati, pengamatan parameter
yang berhubungan dengan jarak antara kelas dan variasi atau selang nilai dari tiap
kelas (CCRS, 2005). Klasifikasi unsupersived akan mengkategorikan semua
piksel menjadi kelas-kelas dengan menampakan spektral atau karakteristik
spektral yang sama namun belum diketahui identitasnya, karena klasifikasi ini
didasari oleh metode pengelompokan secara natural atau clustering berdasarkan
sifat spektral dari setiap piksel. Parameter yang menentukan pemisahan dan
pengelompokkan piksel-piksel menjadi kelas spektral yaitu standar deviasi
maksimum, jumlah piksel minimum dalam sebuah kelas spektral dinyatakan
dalam persen (%), nilai pemisahan pusat kelas yang dipecah dan jarak minimum
antara rata-rata kelas spektral (Riani, 2009). Apabila kelas spektral telah terbentuk
kemudian dilakukan proses asosiasi antara obyek dan kelas spektral terbentuk
untuk mengidentifikasi kelas spektral menjadi kategori obyek tertentu dengan
(37)
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Daerah penelitian berlokasi di Laut Timor di sekitar Platform Montara dan
Welhead Platform dengan koordinat 11°38’45,9’’ LS - 12°48’56,96’’ LS dan
124°33’16,28’’ BT - 125°26’10,01’’ BT. Tumpahan minyak Montara terjadi di
pesisir Kimberley dari bagian barat Darwin, Australia Utara (Australia
Government, 2010) dan tumpahan minyak ini memasuki daerah perairan
Indonesia tepatnya daerah selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6. Peta Lokasi Pengamatan Citra Deteksi Tumpahan Minyak
Penelitian ini bukanlah penelitian lapang langsung ke Laut Timor,
melainkan penelitian dengan melakukan pengolahan citra satelit ALOS PALSAR.
Survei lapang tidak dilakukan karena keterbatasan waktu dan time lag antara
(38)
data citra satelit dilakukan sejak bulan Maret-Juni 2012 di Bagian Inderaja dan
Sistem Informasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
dan di Bidang Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut, Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),
Pekayon, Jakarta Timur.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS
PALSAR mode Fine Beam Dual Polarizations (FBD) dengan pola pemindaian
ganda yaitu HH dan HV (Jaxa, 2006b). Data citra ALOS PALSAR diperoleh dari
JAXA melalui Pusat Pengembangan Teknologi Data dan Pemanfaatan
Penginderaan Jauh-LAPAN. Scene citra ALOS PALSAR yang digunakan pada
penelitian ini memiliki identitas citra sebagai berikut (Tabel 4).
Tabel 4. Data ALOS PALSAR di Laut Timor 2009 dari LAPAN
Bahan lain yang digunakan berupa data angin di Laut Timor, jurnal dan
makalah terkait metode pengolahan data serta makalah terkait deteksi tumpahan
minyak menggunakan citra SAR. Data Angin Musim Peralihan 2 merupakan jenis
angin muson yang terjadi pada saat tumpahan minyak Montara terjadi, karena
bencana penyebaran tumpahan minyak terjadi pada tanggal 21 Agustus 2009-3
November 2009. Pembuktian mengenai jenis angin muson yang terjadi saat satelit
merekam citra di atas Laut Timor dapat diketahui dengan menggunakan data
angin yang diunduh dari www.ecmwf.int.
No Scene ID Path Frame Tanggal Mode Operasi 1 ALPSRP192186940 406 6940 02/09/09 FBD 2 ALPSRP192186930 406 6930 02/09/09 FBD
(39)
Perangkat yang digunakan dalam pengolahan data citra satelit ALOS
PALSAR antara lain komputer atau laptop yang dilengkapi dengan perangkat
lunak ENVI 4,5 (The Environtment for Visualizing Images), ER Mapper 6,4,
ArcMap 9,3 , Ms. Excel 2007, Surfer 9,0 , Global Mapper 8, ArcView GIS 3,3
dan Ocean Data View 4.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian secara garis besar melalui tiga tahapan yaitu :
(1.) Persiapan dan pengumpulan data
(2.) Pengolahan citra satelit ALOS PALSAR dan data pendukung lainnya (angin
mingguan dan bulanan)
(3.) Analisis data
3.3.1 Persiapan dan Pengumpulan Data
Tahap persiapan dan pengumpulan data mencakup studi kepustakaan terkait
dengan studi tumpahan minyak Montara, pengumpulan data citra satelit ALOS-
PALSAR serta data angin berupa arah dan kecepatan angin rata-rata di sekitar
lokasi tumpahan minyak yang diunduh secara berkala yaitu selama tiga minggu
dengan jeda waktu pengunduhan setiap satu minggu yang dimulai dari tanggal 24
Agustus 2009-6 September 2009 dan satu bulan pengamatan yaitu September
melalui website www.ecmwf.int.
3.3.2 Pengolahan Citra Satelit ALOS PALSAR
Pengolahan Citra satelit ALOS PALSAR terdiri dari (1) analisis visual, (2)
filtering, (3) thresholding and segmentation dan (4) analisis tekstur. Gambar 7 di
(40)
Citra ALOS PALSAR level 1,5 format *.ceos
Konversi data *.ceos menjadi *.tiff / *.ers dengan ENVI 4,5
Penggabungan layer HH dan HV, koreksi nilai histogram
Gabungkan citra path 6930 dan 6940
Koreksi nilai digital dengan formula NRCS: 10*log10 (DNˆ2) + CF( pada ER Mapper)
Analisis visual
Filter frost 3x3; 5x5 ; 7x7 Filter gamma 3x3 ; 5x5 ; 7x7
Bandingkan secara visual dan profil garis transek tiap jendela pengamatan
Visual citra dan grafik Tampilan kasar dan
tidak jelas
hasil penyaringan
Tampilan halus dan jelas
Thresholding dan segmentasi : 1. Oil (crude, medium, light) 2. Non-oil ( lautan, platform)
Analisis tekstur GLCM
Thresholding dan segmentasi : 1. Oil (crude, medium, light) 2. Non-oil ( lautan, platform)
Tidak Dapat SELANG KELAS diaplikasikan
Dapat diaplikasikan untuk klasifikasi
Klasifikasi dan tentukan warna
STOP
(41)
. (Lusch, 1999).... (1)
: panjang gelombang sinyal (cm)
9 /
, 7 9 /
Gambar 7 di atas merupakan diagram alir pengolahan citra ALOS PALSAR
yang diawali dengan konversi format data ALOS PALSAR level 1,5 *.ceos
menjadi format *.ers melalui software ENVI. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah tahap pengolahan data selanjutnya dengan menggunakan
perangkat lunak ErMapper. Pada tahapan ini dibutuhkan pengetahuan mengenai
cara konversi nilai frekuensi panjang gelombang mikro yang dipancarkan oleh
sensor PALSAR menjadi nilai intensitas hambur balik dalam satuan dB.
Satelit ALOS PALSAR merupakan satelit yang memanfaatkan kanal L pada
sistem radar dengan frekuensi pemancaran sebesar 1,27 GHz. Nilai frekuensi ini
kemudian diubah menjadi nilai panjang gelombang mikro dengan memanfaatkan
teori Maxwell’s wave di bawah ini
dimana
c : Kecepatan perambatan 3x108 m/s v : frekuensi (GHZ : 109 Hz)
c : 3x108 m/det = 30x109 cm/det
Frekuensi pemancaran sebesar 1,27 GHz kemudian dikonversi menjadi
nilai frekuensi dengan satuan Hz untuk mempermudah perhitungan nilai panjang
gelombang mikro pada satelit ini. Contoh perhitungan dapat dilihat di bawah ini
= 23,62 cm
Gelombang mikro yang ditransmisikan oleh sensor akan dihambur
balikkan oleh target di permukaan bumi sehingga tersimpan pada piksel citra
dengan informasi berupa nilai digital. Nilai ini diperoleh melalui kalkulasi dengan
(42)
(Lusch, 1999).... (2)
= kekuatan hambur balik gelombang mikro
= koefisien hambur balik radar terhadap target : 10 (î
= panjang gelombang mikro pada sistem radar
dimana
=
kekuatan yang ditransmisikan oleh sistem radar
Î = Nilai rata-rata intensitas target
A = luas dari resolusi sel pada citra radar
G = pemanjangan antena
R = jarak antara antena dan target
Tahap selanjutnya yaitu tahap pengoreksian nilai hambur balik berupa nilai
digital menjadi nilai intensitas dengan satuan dB pada citra yang dikenal sebagai
preprosessing Calibration Factor dengan menggunakan formula :
NRCS (dB) = 10*log10 (DN2) + CF ...(3)
dimana :
NRCS adalah Normalized Radar Cross Setting dengan satuan dB
DN adalah Digital Number/ nilai digital
CF adalah Calibration Factor/ Faktor kalibrasi bernilai -83 (AUIG,2009)
Analisis visual pada citra merupakan pendeteksian daerah rona yang lebih
gelap dari sekitarnya pada citra. Daerah yang memiliki visualisasi yang gelap
disebabkan oleh tingkat kekasaran permukaan yang dimiliki obyek rendah jika
dibandingkan dengan sudut datang, sehingga hambur balik dari gelombang mikro
(43)
tampilan pada citra akan terlihat lebih terang karena sinyal yang
terhamburkan akan lebih banyak. Hal yang menjadi alasan bahwa citra yang
memiliki penampakan titik hitam dapat dijadikan acuan sebagai salah satu obyek
tumpahan minyak dikarenakan minyak akan meredam gelombang laut sehingga
menyebabkan permukaan laut tampak tenang. Oleh sebab itu daerah ini akan
memiliki pewarnaan yang lebih gelap dibandingkan daerah di sekelilingnya yang
tidak tertutupi oleh lapisan minyak.
3.3.2.1 Penyaringan Adaptif Frost dan Gamma
Tahapan identifikasi minyak yang kedua adalah proses penyaringan
(filtering). Penelitian ini menerapkan beberapa filter yaitu frost dan gamma untuk
menghilangkan noise (bercak pada citra akibat gangguan atmosfer saat perekaman
citra) serta mendapatkan kenampakan obyek pengamatan lebih jelas. Kedua
tahapan adaptif ini dilakukan pada saat yang sama dengan sumber data yang sama
yaitu data yang telah mengalami konversi nilai digital terlebih dahulu. Formula
yang digunakan pada metode penyaringan frost dan gamma dapat dilihat pada
Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Dua Metode Penyaringan Spasial Adaptif dalam Kajian Penelitian
Metode Formula Keterangan Simbol
Frost **
| |
α
=
)(
σσ = nilai lokal varien
k= nilai normalisasi konstan dari nilai tengah refleksifitas radar
n= ukuran jendela pengamatan = nilai rata-rata piksel lokal
|t|I ==nilaiterhadap|X-X standar
0| +
(44)
I = Probabilitas kemunculan piksel i, j
̂ ̂ ̂ I = Kemunculan pikseli, j
Gamma*
σ = standar deviasi citra awal
berpasangan pada simetri GLCM DN = Digital Number (nilai tingkat
keabuan citra)
*Frost et al., 1982 ** Mansourpour et al., 2009
3.3.2.2 Analisis Tekstur
Analisis tekstur merupakan tahapan terakhir dan tahapan dasar dari
pengenalan klasifikasi obyek dalam identifikasi pada citra. Pada penelitian ini
metode analisis tekstur yang dikaji disesuaikan dengan menu tahap penyaringan
tekstural yang tersedia pada perangkat lunak ENVI 4,5 dijelaskan pada Tabel 6 di
bawah ini.
Tabel 6. Delapan Metode Analisis Tekstur dalam Kajian Penelitian
* Nezry et.al., 1994 *** Ganis Y et.al, 2008
** Akkartal dan Sunar, 2008 ****Septiadi dan Nasution, 2010
Metode Formula Keterangan Simbol
Angular Second
Moment/ Energy****
,
dimana :
x : nilai kolom matriks (i,j) y : nilai elemen baris (i,j)
: nilai rata-rata elemen , :pikselnilai standar devi asi
, :elemenfungsi daripikse ltingkat Cd Gpengamatan Nn : : : : : , j Contrast**** Dissimilarity**** Entropy**** Correlation*** Homogeneity**
Mean* R(i)Ps (i,j)
(45)
Diagram alir dalam tahapan penyaringan data baik secara adaptif maupun
tekstur bertujuan untuk menghilangkan noise dari lingkungan. Pembuatan satu
garis training area pada obyek berfungsi menentukan nilai hambur balik obyek
pengamatan berupa minyak atau non minyak dengan format data penyimpanan
*.txt. Nilai yang telah diperoleh dapat dijadikan acuan dalam segmentasi obyek
yaitu dengan menggunakan nilai ambang batas yang telah ditemukan pada sistem
klasifikasi citra secara tidak terbimbing.
3.3.2.3 Klasifikasi Citra Radar ALOS PALSAR
Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan piksel pada suatu citra
ke dalam sejumlah kelas, sehingga setiap kelas dapat menggambarkan suatu
entitas dengan ciri-ciri tertentu. Tahapan selanjutnya yaitu penyederhaan untuk
menggabungkan kelas-kelas yang tergolong sama. Penggabungan kelas menjadi
golongan yang sama diperoleh dengan menggunakan formula:
if (i1 >...) and (i1 <...) then 1 else if (i1 >...) and (i1 <...) then 2 else if (i1 >...) and (i1 <...) then 3 else if (i1 >...) and (i1 <...) then 4 else if (i1 >...) and (i1 <...) then 5 else null
Hasil klasifikasi dapat ditunjukkan dari gradasi warna yang terbentuk yang
menunjukkan jenis kelas yang dikelompokkan oleh komputer. Tahapan klasifikasi
citra merupakan tahapan yang membutuhkan ketelitian dalam penentuan nilai
selang karena tingkat keakuratan klasifikasi tergantung pada (1) Class pemisahan
kelas (Separability), (2) ukuran sampel latihan (training sample), (3) jumlah
spektral band dan (4) jenis klasifikasi atau fungsi pemisah. Tingkat keakuratan
klasifikasi akan semakin tinggi jika penggunaan nilai parameter kelas semakin
(46)
ukuran training sample dengan jumlah spektral band semakin besar dan pemilihan
jenis klasifikasi yang tepat (Riani, 2009).
3.3.2.4 Pengolahan Data Angin
Angin merupakan faktor lingkungan yang harus diperhatikan sebelum
menganalisis data citra yang mengandung informasi mengenai tumpahan minyak.
Tahapan pengolahan angin dibagi menjadi dua tahap yaitu mengolah data angin
dengan menggunakan WR Plot serta menggunakan Surfer 9,0.
Data angin yang diperoleh dari hasil download dari www.ecmwf.int dapat
dibaca dengan Ocean Data View (ODV). Variabel yang digunakan dalam
membaca data di ODV adalah latitude, longitude, dan waktu, serta menggunakan
Use Decimal Date/Time. Untuk melihat data secara keseluruhan pada stasiun
tersebut klik menu Export pilih ODV Spreadsheet, simpan dalam bentuk *.txt.
Data komponen angin (U dan V) dalam satuan m/s, koordinat longitude dan
latitude, waktu dan nama stasiun dapat dibuka dengan Ms. Excel sehingga
menampilkan data untuk tahapan pengolahan di WR Plot. Pengolahan data pada
WR Plot menghasilkan pola arah hembusan angin berupa windrose, grafik
maupun tabel sehingga dapat diasumsikan tipe angin musim yang bertiup di suatu
daerah. Pengasumsian tipe angin muson dilakukan dengan melihat pola
pergerakan angin yang memiliki kecenderungan ke suatu arah mata angin dan
dilihat pula dengan waktu hembusan angin tersebut. Gambar 8 merupakan
(47)
MULAI
Data arah dan kecepatan angin
Pilih waktu dan lokasi kemudian simpan dengan format *.nc
Buka data dengan ODV 4, Pilih stasiun yang diamati
Ekspor data (*.txt)
Buka data *.txt pada excell, konversi data U dan V menjadi arah dan kecepatan
Simpan data: tahun, bulan, tanggal, jam, arah dan kecepatan (*.xls)
Analisis dengan WR Plot
Masukkan data dan sesuaikan cocokan Tahun, Bulan, Tanggal, Jam, wind direction dan wind speed
Masukkan data kemudian simpan dalam format *.sam
Masukkan data file *.sam pada WR Plot
Sesuaikan wind direction menjadi 8 arah, kecepatan menjadi m/s atau knott
Simpan gambar wind rose *.jpg
STOP
Gambar 8. Diagram Alir Pengolahan Data Angin ECMWF dengan WR Plot
Program Surfer 9.0 digunakan untuk visualisasi pola arus permukaan yang
berhembus di suatu wilayah. Komponen yang diperlukan antara lain bujur,lintang,
(48)
lembaran yang baru. Proses gridding data dilakukan untuk menghasilkan
file berekstensi *.grd. Tampilkan visualisasi dengan menggunakan Map-new 2-
grid vector map. Gambar 9 di bawah merupakan diagram alir pengolahan data
angin.
MULAI
Data arah dan kecepatan angin
Pilih waktu dan lokasi kemudian simpan dengan format *.nc
Buka data dengan ODV 4, Pilih stasiun yang diamati
Ekspor data (*.txt)
Buka data *.txt pada excell salin data bujur, lintang, U dan V save *.bln
Grid data *.bln dan sesuaikan kolom c dengan data U atau V
Plot data hasil grid
Map >> 2 grid vector layer >> pilih data u.grd >> kemudian pilih data v.grd
Overlay dengan peta, tambahkan informasi untuk melengkapi peta
Simpan gambar *.jpg
STOP
(1)
4. pada tampilan filter akan muncul tulisan filter yang akan digunakan. Untuk mengatur ukuran jendela pengamatan dapat dilakukan dengan mengatur filter type
menjadi Number Matrix >> number of rows dan colums sesuaikan misal 3,5 atau
7 >> ceklist proses dataset >> apabila data sedang di proses ditunjukan dengan
adanya tulisan Busy processing pada tampilan citra
5. Jika sudah selesai maka tanda edit filter akan mengalami perubahan
Lakukan tahapan ini untuk layer HV dengan jenis filter yang sama.
6. Simpan data hasil penyaringan >> klik kanan pada tampilan >> file>> save as
data raster dengan format .ers misal ALSPLSR_200090902_1436_HHHV_F3 >> defaults >> delete output ceklist >> ok
(2)
99
Lampiran 6
Contoh Data Angin Satu Minggu Saat Satelit Memindai Kejadian Tumpahan
Minyak di Lokasi Penelitian Laut Timor
Bujur Lintang u (m/s) v (m/s) u (knot) v (knot) 122,25 -8,25 -2,34 5,096 -4,54899 9,906687
123 -8,25 -2,705 3,471 -5,25855 6,747667 123,75 -8,25 -3,023 2,395 -5,87675 4,65591 124,5 -8,25 -2,576 1,448 -5,00778 2,81493 125,25 -8,25 -3,248 1,25 -6,31415 2,430016 126 -8,25 -4,365 2,589 -8,48561 5,033048 126,75 -8,25 -5,149 4,599 -10,0097 8,940513 127,5 -8,25 -5,25 5,366 -10,2061 10,43157 122,25 -9 -2,548 4,244 -4,95334 8,250389 123 -9 -2,904 2,877 -5,64541 5,592924 123,75 -9 -2,731 1,724 -5,3091 3,351477 124,5 -9 -1,91 1,37 -3,71306 2,663297 125,25 -9 -3,153 2,206 -6,12947 4,288491 126 -9 -4,47 2,429 -8,68974 4,722006 126,75 -9 -4,665 3,065 -9,06882 5,958398 127,5 -9 -5,17 3,803 -10,0505 7,393079 122,25 -9,75 -3,285 3,094 -6,38608 6,014774 123 -9,75 -3,136 2,471 -6,09642 4,803655 123,75 -9,75 -3,973 1,367 -7,72356 2,657465 124,5 -9,75 -4,12 1,619 -8,00933 3,147356 125,25 -9,75 -5,818 0,723 -11,3103 1,405521 126 -9,75 -5,21 1,593 -10,1283 3,096812 126,75 -9,75 -5,024 2,027 -9,76672 3,940513 127,5 -9,75 -5,457 2,682 -10,6085 5,213841
(3)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta 22 Maret 1989 dan
merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara dari
keluarga Bapak Subagja Hadiwidjaja dan Ibu Noni Siti
Aisyah. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA
dengan kurun waktu 4 tahun yaitu dari tahun 2004 –
2008 dikarenakan mengikuti kegiatan pertukaran pelajar
ke Amerika selama satu tahun yaitu pada tahun 2006-2007 di SMA Mount
Anthony Union High School,VT USA. Ijazah Sekolah Menengah Atas diperoleh
penulis dari SMA Darunnajah Islamic Boarding School, Jakarta pada tahun 2008.
Pada tahun 2008 penulis di terima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB(USMI ).
Selama kuliah di IPB penulis aktif sebagai anggota pengurus Himpunan
mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) divisi Hubungan Luar dan
Komunikasi (HUBLUKOM) tahun 2009-2010 serta divisi Dewan Formatur tahun
2010-2011. Penulis juga aktif dalam organisasi di dalam dan di luar kampus yaitu
sebagai anggota external International Association of Student in Agricultural and
Related Science (IAAS) pada tahun 2008 – 2010, sebagai returnee dan volunteer
Bina antar Budaya pada tahun 2008-2009; 2012 dan sebagai anggota, president
dan past president Rotaract Club Buitenzorg pada tahun 2009-2012. Selain
itu, penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan yang digelar BEM TPB
(4)
101
Penulis melakukan penelitian untuk menyelesaikan studi di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dengan judul “Pendeteksian Tumpahan Minyak
di Laut Timor dengan Metode Filter Frost dan Gamma Terhadap Citra ALOS
PALSAR di Ladang Minyak Montara”, yang dipresentasikan di depan tim penguji
program sarjana Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan
(5)
Ladang Minyak Montara. Dibimbing oleh JAMES P. PANJAITAN dan TEGUH PRAYOGO
Aktifitas manusia di daratan dan sekitar pesisir lautan akan menghasilkan
limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Menurut Group of Expert on Scientific
Aspect of Marine Pollution (GESAMP) bahwa 6,44 juta ton/ tahun hidrokarbon masuk ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan transportasi laut,
pengoperasian pertambangan minyak di anjungan serta kegiatan industri oleh manusia (Hartanto, 2008). Kegiatan operasional pertambangan minyak di lepas pantai memiliki kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan munculnya tumpahan minyak berupa kegiatan (1) pengoperasian kapal tanker
da lam proses deballasting (sistem kestabilan kapal menggunakan bongkar- muat
air) (2) kecelakaan kapal maupun tanker dan (3) munculnya semburan sumur
minyak yang disebabkan oleh kerusakan strukt ur platform ataupun peralatan.
Kejadian tumpahan minyak yang dikaji pada penelitian ini terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009–3 November 2009 tepatnya di sekitar lepa s pantai utara dari Australia bagian Barat dan berada di perairan bagian selatan dari Indo nesia. Kejadian tumpahnya minyak ke perairan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap ekos istem lingkunga n laut beserta biota di dalamnya . Oleh karena itu dibutuhkan penelitian dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk mengidentifikasi dan memantau penyebaran tumpahan minyak di wilayah Republik I ndo nesia.
Penelitian untuk identifikasi tumpahan minyak dapat dilakukan dengan
memanfaatkan gelombang mikro dari sensor aktif Phase Array type L-band
Sythetic Aperture Radar (PALSAR) pada satelit Advanced Land Observing
Satellite (ALOS ). Citra satelit yang digunakan sebagai sumber data primer berupa citra Satelit ALOS PALSAR level 1,5 dengan format *.ceos de ngan dua jenis polarisasi yaitu HH dan HV, pada luasan area dengan posisi koordinat
11°38’45.9’’ LS - 12°48’56.96’’ LS dan 124°33’16.28’’ BT - 125°26’10.01’’ BT yang dilewati oleh satelit ALOS PALSAR tersebut.
Penelitian ini berfok us pada dua tahapa n pe ngolahan berupa (1) tahapa n
penyaringan (filter) de ngan frost dan gamma dan (2) penentuan ambang batas
untuk membedakan ob yek. Segmentasi ob yek pada penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu ob yek berupa minyak dan bukan minyak. Obyek minyak dibedakan menjadi minyak berat, minyak sedang dan minyak ringan. Sedangkan obyek bukan minyak dibedakan menjadi perairan dan anjungan minyak.
Nilai ambang batas diperoleh melalui ekstraksi data citra hasil penyaringan
terbaik yaitu gamma 7x7 sebesar -35,0 s/d -21,0 dB untuk ob yek minyak, -20,0
s/d -10,0 dB untuk pe rairan sekitar da n -10,0 s/d 15,0 dB untuk ob yek berupa anjungan. Berdasarkan perbandingan hasil pe nyaringan citra de ngan metode frost dan gamma menyebabkan hasil penyaringan frost tidak diamati karena visualisasi dan hasil penyaringan ini kurang informatif dibandingkan dengan penyaringan gamma. Pada tahap analisis tekstur diperoleh nilai ambang intensitas hambur balik
(6)
sebesar 1,5 s/d 9,0 dB untuk minyak berat, 9,0 s/d 10,5 dB untuk minyak sedang, 10,5 s/d 13,0 dB untuk minyak ringan, 13,0 s/d 21,0 dB untuk perairan dan 35,0 s/d 50,5 dB untuk anjungan minyak.
Tahap klasifikasi unsupervised dilakukan dengan menggunakan kisaran
nilai hambur balik obyek dengan hasil kisaran luas tumpahan minyak secara
hor izontal di pe rmukaan perairan sebesar 3.122 km2 adalah ob yek minyak berat,
3.431 km2 adalah ob yek minyak sedang dan 259 km2 adalah ob yek minyak ringan
dari 12.227 km2
Pola hembusan angin muson peralihan hasil visualisasi pengolahan data yang didominasi menuju barat tidak memiliki kesesuaian dengan po la pe nyebaran tumpa han minya k yang cenderung menuj u ke arah yang berlawanan ya itu selatan dari lokasi sumber tumpahan minyak. Fenomena ini terjadi akibat terbentuknya arus permukaan yang mengalami pembelokkan sebesar 45
seluruh luas liputan citra. Luasan penyebaran ini merupakan prakiraan luasan tumpahan minyak di permukaan laut secara horisontal sebatas liputan citra ALOS PALSAR yang digunakan. Luas tumpahan minyak di lapangan dapat memiliki luas lebih besar karena kejadian tumpahan minyak sedang berlangsung saat perekaman citra dilakukan. Hasil identifikasi tumpahan minyak dari satelit ALOS PALSAR 2 September ini dapat dijadikan sebagai data perhitungan luas sebagian dari keseluruhan tumpahan minyak Montara yang terjadi dari tanggal 21 Agustus 2009-3 November 2009.
0
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian ini adalah kejadian tumpahan minyak di Ladang Montara teridentifikasi melalui pengolahan data citra satelit ALOS PALSAR. Besar luasan tumpahan minyak yang terjadi dapat
bervariasi karena dipengaruhi oleh pergerakan massa air yang disebabkan oleh angin.
dari arah pola angin karena pe ngaruh gaya Cor iolis.