Pendeteksian Tumpahan Minyak di Laut Timor dengan Metode Filter Frost dan Gamma Terhadap Citra ALOS PALSAR di Ladang Minyak Montara

(1)

MINYAK MONTARA

NISA NISVIA MARSYA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKAN AN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Ladang Minyak Montara. Dibimbing oleh JAMES P. PANJAITAN dan

TEGUH PRAYOGO

Aktifitas manusia di daratan dan sekitar pesisir lautan akan menghasilkan

limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Menurut

Group of Expert on Scientific

Aspect of Marine Pollution

(GESAMP) bahwa 6,44 juta ton/ tahun hidrokarbon

masuk ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan transportasi laut,

pengoperasian pertambangan minyak di anjungan serta kegiatan industri oleh

manusia (Hartanto, 2008). Kegiatan operasional pertambangan minyak di lepas

pantai memiliki kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan

munculnya tumpahan minyak berupa kegiatan (1) pengoperasian kapal tanker

da lam proses

deballasting

(sistem kestabilan kapal menggunakan bongkar- muat

air) (2) kecelakaan kapal maupun tanker dan (3) munculnya semburan sumur

minyak yang disebabkan oleh kerusakan strukt ur

platform

ataupun peralatan.

Kejadian tumpahan minyak yang dikaji pada penelitian ini terjadi di Laut

Timor pada tanggal 21 Agustus 2009–3 November 2009 tepatnya di sekitar lepa s

pantai utara dari Australia bagian Barat dan berada di perairan bagian selatan dari

Indo nesia. Kejadian tumpahnya minyak ke perairan ini dapat memberikan dampak

negatif terhadap ekos istem lingkunga n laut beserta biota di dalamnya . Oleh karena

itu dibutuhkan penelitian dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh

untuk mengidentifikasi dan memantau penyebaran tumpahan minyak di wilayah

Republik I ndo nesia.

Penelitian untuk identifikasi tumpahan minyak dapat dilakukan dengan

memanfaatkan gelombang mikro dari sensor aktif

Phase Array type L-band

Sythetic Aperture Radar

(PALSAR) pada satelit

Advanced Land Observing

Satellite

(ALOS ). Citra satelit yang digunakan sebagai sumber data primer berupa

citra Satelit ALOS PALSAR level 1,5 dengan format *.ceos de ngan dua jenis

polarisasi yaitu HH dan HV, pada luasan area dengan posisi koordinat

11°38’45.9’’ LS - 12°48’56.96’’ LS dan 124°33’16.28’’ BT - 125°26’10.01’’ BT

yang dilewati oleh satelit ALOS PALSAR tersebut.

Penelitian ini berfok us pada dua tahapa n pe ngolahan berupa (1) tahapa n

penyaringan (

filter)

de ngan frost dan gamma dan (2) penentuan ambang batas

untuk membedakan ob yek. Segmentasi ob yek pada penelitian ini dibagi menjadi

dua macam yaitu ob yek berupa minyak dan bukan minyak. Obyek minyak

dibedakan menjadi minyak berat, minyak sedang dan minyak ringan. Sedangkan

obyek bukan minyak dibedakan menjadi perairan dan anjungan minyak.

Nilai ambang batas diperoleh melalui ekstraksi data citra hasil penyaringan

terbaik yaitu

gamma

7x7 sebesar -35,0 s/d -21,0 dB untuk ob yek minyak, -20,0

s/d -10,0 dB untuk pe rairan sekitar da n -10,0 s/d 15,0 dB untuk ob yek berupa

anjungan. Berdasarkan perbandingan hasil pe nyaringan citra de ngan metode frost

dan gamma menyebabkan hasil penyaringan frost tidak diamati karena visualisasi

dan hasil penyaringan ini kurang informatif dibandingkan dengan penyaringan

gamma. Pada tahap analisis tekstur diperoleh nilai ambang intensitas hambur balik


(3)

hor izontal di pe rmukaan perairan sebesar 3.122 km

adalah ob yek minyak berat,

3.431 km

2

adalah ob yek minyak sedang dan 259 km

2

adalah ob yek minyak ringan

dari 12.227 km

2

Pola hembusan angin muson peralihan hasil visualisasi pengolahan data

yang didominasi menuju barat tidak memiliki kesesuaian dengan po la pe nyebaran

tumpa han minya k yang cenderung menuj u ke arah yang berlawanan ya itu selatan

dari lokasi sumber tumpahan minyak. Fenomena ini terjadi akibat terbentuknya

arus permukaan yang mengalami pembelokkan sebesar 45

seluruh luas liputan citra. Luasan penyebaran ini merupakan

prakiraan luasan tumpahan minyak di permukaan laut secara horisontal sebatas

liputan citra ALOS PALSAR yang digunakan. Luas tumpahan minyak di

lapangan dapat memiliki luas lebih besar karena kejadian tumpahan minyak

sedang berlangsung saat perekaman citra dilakukan. Hasil identifikasi tumpahan

minyak dari satelit ALOS PALSAR 2 September ini dapat dijadikan sebagai data

perhitungan luas sebagian dari keseluruhan tumpahan minyak Montara yang

terjadi dari tanggal 21 Agustus 2009-3 November 2009.

0

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian ini adalah kejadian

tumpahan minyak di Ladang Montara teridentifikasi melalui pengolahan data citra

satelit ALOS PALSAR. Besar luasan tumpahan minyak yang terjadi dapat

bervariasi karena dipengaruhi oleh pergerakan massa air yang disebabkan oleh

angin.

dari arah pola angin

karena pe ngaruh gaya Cor iolis.


(4)

MONTARA

NISA NISVIA MARSYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKAN AN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

METODE

FILTER FROST

DAN

GAMMA

TERHADAP CITRA ALOS

PALSAR DI LADANG MIN YAK MONTARA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, September 2012

C54080005


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Nama

: Nisa Nisvia Marsya

NIM

: C54 080005

Disetujui oleh,

Dosen Pembimbing

Utama

NIP. 19630111 198803 1 005

Dr.Ir. James P. Panjaitan. M.Phil

Anggota

NIP. 19741212 200212 1 005

Teguh Prayogo, S.T, M.Si

Diketahui oleh,

Ketua Departemen

NIP. 19580909 198303 1 003

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc


(8)

METODE

FILTER FROST

DAN

GAMMA

TERHADAP CITRA ALOS

PALSAR DI LADANG MIN YAK MONTARA

.

Penyusunan skr ipsi ini tidak lepas dari bantuan berba gai pihak, o leh karena

itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1.

Bapak Dr.Ir. James P. Panjaitan. M.Phil selaku dosen pembimbing pertama

dan Bapak Teguh Prayogo, S.T., M.Si selaku pembimbing kedua dan peneliti

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN, Pasar Rebo Jakarta yang

telah memberikan arahan serta bimbingan selama pengolahan data dan

pe mbuatan skrips i,

2.

Fahmi R, Philmonsyanus N, Hendra G, Reffa P, Ade Ayu M, Hikmah Cut R,

I G. Mahendra W, Irwan RP dan Husnul K hotimah serta reka n ITK’45 atas

do’a, motivasi da n pe ngalaman yang be rharga

3.

Bada n antariksa Jepa ng yaitu

Japan Aerospace Exploration Agency

(JAXA)

yang telah menyediakan data citra satelit radar ALOS

4.

Orang tua da n ke luarga atas doa, dukungan, motivasi dan pengertiannya,

Penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun terhadap isi

skripsi ini agar lebih sempurna dikemudian hari. Demikian juga apabila terdapat

kekurang cermatan dalam pengetikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat, baik untuk penulis maupun pihak lain terutama dalam kajian lebih

mendalam terhadap berbagai citra radar untuk perairan Indonesia

Bogor, September 2012

Penulis


(9)

DAFTAR GAMBAR ... .. v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... .. viii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 T ujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kondisi Umum Laut Timor... 3

2.2 Pergerakan Angin di Lautan ... 4

2.3 Karakteristik Minyak... 5

2.4 Tumpa han Minyak da n Dampak Pencemaran Laut... .... 6

2.5 Sumber Tumpa han Minyak di Laut ... 7

2.6 Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia... 9

2.7 Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja)... 11

2.7.1 Identifikasi Tumpahan Minyak dengan Inderaja... 12

2.8 Karakteristik

Satelit ALOS dan Sensor PALSAR ... 14

2.8.1

Synthetic Aperture Radar

Pada Satelit ALOS PALSAR...

15

2.8.2 Polarisasi Sinyal Pada Satelit ALOS PALSAR... 16

2.9 Penyaringan Sinyal Gelombang Radar... 18

2.9.1

Filter

Frost...

19

2.9.2

Filter

Gamma...

19

2.9.3 Analisis Tekstur ... 20

2.10 Klasifikasi Citra ... 21

3. METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi da n Wakt u Penelitian... 23

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 24

3.3 Metode Penelitian... 25

3.3.1 Persiapan dan Pengumpulan Data ... 25

3.3.2 Pengolahan Citra Satelit ALOS PALSAR ... 25

3.3.2.1 Penyaringan Adaptif Frost dan Gamma ... ... 29

3.3.2.2 Analisis Tekstur... . 30

3.3.2.3 Klasifikasi Citra Radar ALOS PALSAR... 31

3.3.2.4 Pengolahan Data Angin ... 32

3.3.3 Analisis Data ... .. 35


(10)

4.4.2 Hasil Penyaringa n Gamma (

filter Gamma)

……….. 48

4.5 Analisa Tekstur Data Citra Satelit ALOS PALSAR ... 54

4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan

Non

Minyak... 60

4.7 Pola Pergerakan Angin di Laut Timor... 70

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 79

5.1 Kesimpulan... 79

5.2 Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 90

RIWAYAT HIDUP………. ... 100


(11)

2. Spektrum REM yang Digunakan dalam Penginderaan Jauh... 11

3. Visualisasi Sensor dan Peralatan Satelit ALOS... 14

4. Ilustrasi Geometri Peminda ian dengan ALOS PALSAR... 15

5. Ilustrasi Mode Polarisasi Sinyal Radar... 16

6. Peta Lokasi Pengamatan Citra Deteksi Tumpahan Minyak... 23

7. Diagram Alir Pengolahan Citra ALOS PALSAR Level 1.5... 26

8. Diagram Alir Pengolahan Data Angin ECMWF dengan WR Plot ... 33

9. Diagram Alir Pengolahan Data Angin ECMWF pada Surfer 9,0…...34

10. Citra ALOS PALSAR pada Tanggal 2 September 2009 di Laut Timor

(a). C itra dengan

Path

6940, (b). Citra dengan

Path

6930 dan (c). C itra Hasil

Penggabungan Dua

Path

yang Berbeda……...………... 37

11. Tampilan Obyek Minyak dan

Non

Minyak (Lautan da n

Platform)

Pada Citra

ALOS PALSAR... 39

12. Visualisasi Area Gelap Pada (a). Citra, (b). Nilai Intensitas Hambur Balik (dB)

vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Hasil Koreksi Nilai

Digital

da n

(c). Nilai

Digital

vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Tanpa

Koreks i Nilai

Digital

………... 41

13. Data Nilai Intensitas Hambur Balik (dB) vs Jumlah Data Pengamatan Piksel

untuk Pengolahan Citra dengan Jendela Pengamatan Ukuran (a). 3x3, (b). 5x5

dan (c). 7x7……….. 45

14. Hasil Penyaringa n Data

Filter Frost

Secara (a). Spasial dan (b). Grafik N ilai

Intensitas Hambur Balik (dB) obyek... 47

15. Hasil Penyaringa n Data

Filter Gamma

Secara (a). Spasial dan (b).Grafik Nilai

Intensitas Hambur Balik (dB) obyek... 49

16. Perbandinga n Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Obyek Metode

Penyaringan

Frost

7x7 da n

Gamma

7x7... 51

17. Perbandinga n Tampilan Citra Metode Penyaringan (a)

Frost

7x7 da n (b)

Gamma 7x7

... 53


(12)

Entropy,Homogeneity, Mean,

dan

Variance

... 59

21. Pola Garis Transek untuk Penentuan Nilai Intensitas Obyek Pengamatan.. 62

22. Hasil Klasifikasi Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor... 66

23. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Sebelum Satelit Merekam Laut

Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra dan (c).

Windrose

. Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 71

24. Visualisasi Pergeraka n Angi n Satu Minggu Saat Satelit Merekam Laut

Timor (a). di Sekitar Wilayah Peminda ian, (b). Pada Citra dan (c).

Windrose

Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 73

25. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Setelah Satelit Merekam Laut

Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra, da n (c).

Windrose

Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 75

26. Visualisasi Pergerakan Angin Bulan September Saat Satelit Merekam Laut

Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra da n (c).

Windrose

Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan... 76


(13)

2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indo nesia... 10

3. Karakteristik Teknis Sensor ALOS PALSAR... 17

4. Data ALOS PALSAR di Laut Timor 2009 dari LAPAN... 24

5. Dua Metode Penyaringan Spasial Adaptif dalam Kajian Penelitian ... 29

6. Delapan Metode Analisis Tekstur dalam Kajian Penelitian... 30

7. Contoh Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Hasil Penya ringan Dua

Filter ... 52

8. Kisaran Nilai Hambur Balik Klasifikasi Obyek ... 64

9. Perbandinga n Nilai Intensitas Hambur Balik Obyek dengan Metode Analisis

Teks tur

Mean

dan

Correlation

... 65

10. Kisaran Hamburan Balik (db), Luas Tumpahan Minyak Berdasarkan Citra

ALOS PALSAR ... 67


(14)

2. Tutorial Konversi Format Data Citra *.ceos >>*.ers / *.tiff dengan ENVI 4.5 91

3. Tutorial Penggabungan Dua

Scene

Citra yang Berbeda dengan Waktu

Peminda ian dan Daerah yang Sama Menggunakan Program Er Mapper... 92

4. Tutorial Koreks i

Digital Number...

... 94

5. Tahapa n Penyaringan (

Filtering

) dengan ENVI... 95

6. Contoh Data Angin Satu Minggu Saat Satelit Meminda i Kejadian Tumpahan

Minyak di Lokasi Penelitian Laut Timor... ... 99


(15)

1.   PENDAHULUAN   

1.1  Latar Belakang   

Aktifitas manusia di daratan dan sekitar pesisir lautan akan menghasilkan   

limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Menurut Group of Expert on Scientific   

Aspect of Marine Pollution (GESAMP) bahwa 6,44 juta ton/ tahun hidrokarbon   

masuk ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan transportasi laut,   

pengoperasian pertambangan minyak di anjungan serta kegiatan industri oleh   

manusia (Hartanto, 2008). Kegiatan operasional pertambangan minyak di lepas   

pantai memiliki kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan   

munculnya tumpahan minyak berupa kegiatan (1) pengoperasian kapal tanker   

dalam proses deballasting (sistem kestabilan kapal menggunakan bongkar-muat   

air) (2) kecelakaan kapal maupun tanker dan (3) munculnya semburan sumur   

minyak yang disebabkan oleh kerusakan struktur platform ataupun peralatan.   

Salah satu contoh kejadian kerusakan platform adalah kejadian tumpahan   

minyak Montara di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009-3 November 2009   

di sekitar lepas pantai utara dari Australia bagian Barat dan berada di perairan   

bagian selatan dari Indonesia. Kejadian tumpahnya minyak ke perairan ini dapat   

memberikan dampak negatif terhadap ekosistem lingkungan laut beserta biota di   

dalamnya di negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian dengan   

memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk mengidentifikasi dan   

memantau penyebaran tumpahan minyak di wilayah Republik Indonesia.   

Penelitian untuk identifikasi tumpahan minyak dapat dilakukan dengan   

memanfaatkan gelombang mikro dari sensor aktif Phase Array type L-band   

Sythetic Aperture Radar (PALSAR) pada satelit Advanced Land Observing   


(16)

tumpahan minyak tersebut memiliki kemampuan dapat menembus awan dan   

resolusi spasial yang relatif lebih tinggi, kemampuan ini tidak terdapat dalam   

sensor pasif (optik, (seperti citra satelit Aqua/Terra MODIS)). Identifikasi   

tumpahan minyak menggunakan citra SAR dilakukan dengan menerapakan   

metode analisis visual maupun digital (filtering dan analisis tekstur terhadap   

kekasaran piksel obyek yang diamati).   

Penelitian ini menerapkan analisis visual, filtering (penyaringan), penentuan   

nilai ambang batas dan segmentasi serta analisis tekstur obyek dalam tahapan   

pengolahan untuk mengidentifikasi obyek tumpahan minyak. Metode penyaringan   

citra radar menurut beberapa peneliti memiliki jumlah yang berbeda. De Leeuw et   

al (2009) membagi metode penyaringan citra menjadi delapan macam yaitu (1)   

Lee, (2) Enhanced Lee, (3) Frost,  (4) Enhanced Frost, (5) Gamma, (6) Kuan, (7)   

Local Sigma dan (8) Bit Errors. Namun pada penelitian ini metode penyaringan   

yang digunakan sebanyak dua macam yaitu metode frost dan gamma serta   

beberapa metode analisis tekstur. Hasil penelitian ini diharapakan dapat   

memberikan teknik identifikasi tumpahan minyak di suatu perairan.   

   

1.2  Tujuan   

Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari proses pengolahan citra satelit   

ALOS PALSAR dengan menerapkan dua metode yang berbeda sehingga   

diperoleh nilai selang hambur balik antara obyek tumpahan minyak dan non   

minyak, (2) menghitung luasan perairan laut yang tercemar oleh tumpahan   


(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA   

2.1  Kondisi Umum Laut Timor   

Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang   

berbatasan dengan Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan bagian utara   

perairan Australia. Pada perairan Laut Timor terdapat pulau-pulau kecil antara   

lain Pulau Laminaria, Buffalo, Jahal, Elang, Bayu-Undan, Sunrise, Troubadour   

dan Sunset (La’o Hamutuk, 2002). Perjanjian yang telah dibuat antara pemerintah   

Indonesia dan Australia pada tahun 1972 menyepakati wilayah perairan Laut   

Timor masuk ke dalam perairan Indonesia dengan jarak 370,4 km dari Nusa   

Tenggara Timur dan masuk ke dalam perairan Australia dengan jarak 250 km dari   

Barat Laut Australia (La’o Hamutuk, 2002). Perairan Laut Timor dan sekitarnya   

dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.   

                                                 


(18)

2.2  Pergerakan Angin di Lautan   

Angin merupakan gerakan udara secara mendatar yang disebabkan oleh   

perbedaan tekanan udara antara dua tempat sehingga terjadi pergerakan angin dari   

daerah tekanan udara tinggi ke daerah tekanan udara rendah. Angin merupakan   

faktor utama dalam pembentukan arus atau gelombang di suatu perairan sehingga   

arah dan kecepatan angin akan mempengaruhi penyebaran suatu lapisan kimia di   

suatu perairan. Gesekan yang terjadi antar molekul udara dengan molekul air di   

lapisan permukaan laut akan menyebabkan terbentuknya arus permukaan.   

Menurut Widyastuti et.al., (2010) arus laut permukaan terjadi di lapisan   

permukaan perairan dengan kedalaman kurang dari 200 meter yang disebabkan   

oleh kecepatan angin yang berhembus di atas permukaan. Pergerakan arah arus   

permukaan akan mengalami penyimpangan secara horizontal yang dipengaruhi   

oleh gaya Coriolis. Gaya Coriolis terjadi akibat rotasi bumi dan bentuk bumi yang   

bulat. Gerakan angin akan mempengaruhi pembelokan arah angin dengan sudut   

sebesar 450 dengan kecepatan 2 % dari kecepatan angin yang bergerak di atas   

permukaan. Penyimpangan arah arus di belahan bumi utara akan dibelokkan ke   

arah kanan sedangkan di belahan bumi selatan arus permukaan akan dibelokkan   

ke arah kiri (Nur, 2010).   

Pergerakan arus permukaan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh   

angin musim atau angin muson. Hal ini akan berdampak kepada sirkulasi massa   

air yang berada di perairan khususnya Laut Timor. Monsun merupakan suatu pola   

sirkulasi angin yang berhembus secara periodik (minimal 3 bulan), terutama di   

Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia, dari arah Timur ke Barat dan pada   


(19)

Angin muson yang berhembus di Indonesia dibagi menjadi tiga macam   

yaitu Angin Muson Barat, Angin Muson Peralihan dan Angin Muson Timur.   

Angin Muson Barat terjadi pada bulan Desember hingga Februari yaitu pada saat   

Australia dan Laut Koral menerima sinar dan bahang yang lebih besar   

dibandingkan Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Hal ini menyebabkan tekanan   

udara paras bumi di kawasan Australia menjadi lebih rendah dibandingkan Asia   

Tenggara (Ilahude dan Nontji, 1999). Pada bulan Juni hingga Agustus terjadi hal   

yang sebaliknya sehingga dikenal sebagai Muson Timur atau Tenggara. Musim   

Pancaroba (peralihan) terjadi secara dua periodik yaitu Musim Peralihan 1 (bulan   

Maret-Mei) dan Musim Peralihan 2 (September-November).   

   

2.3  Karakteristik Minyak 

 

Minyak mentah atau crude oil adalah cairan coklat kehijauan sampai hitam   

yang terutama terdiri dari karbon dan hidrogen. Putra (2011) menjelaskan teori   

yang paling umum digunakan untuk menjelaskan asal-usul minyak bumi adalah   

“organic source materials”. Teori ini menyatakan bahwa minyak bumi   

merupakan produk perubahan secara alami dari zat-zat organik yang berasal dari   

sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengendap selama ribuan sampai jutaan   

tahun. Minyak bumi mempunyai komposisi yang berbeda di tempat yang berbeda   

akibat dari pengaruh tekanan, temperatur, kehadiran senyawa logam dan mineral   

serta letak geologis selama proses perubahan tersebut. Minyak bumi merupakan   

suatu zat yang mengandung campuran senyawa hidrokarbon sebanyak 50-98%   

berat, sisanya terdiri atas zat-zat organik serta senyawa anorganik. Komposisi   


(20)

Tabel 1. Komposisi Kimia Minyak Bumi   

               

(Sumber : Putra ZA, 2011)   

 

2.4  Tumpahan Minyak dan Dampak Pencemaran Laut 

 

Peraturan Pemerintah No.19/1999 mengartikan pencemaran laut sebagai   

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen   

lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun   

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi   

dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto dan Bambang, 1999).   

Menurut Badan Internasional Group of Expert on Scientific Aspects of Marine   

Pollution (GESAMP) bahwa sekitar 6,44 juta ton per tahun, kandungan   

hidrokarbon minyak memasuki perairan laut secara global (Hartanto, 2008).   

Sumber pencemar laut tersebut sebesar 4,63 juta ton/tahun berasal dari   

transportasi laut, 0,18 juta ton/tahun berasal dari instalasi pengeboran lepas pantai   

dan 1,38 juta ton/tahun berasal dari kegiatan industri dan pemukiman (Hartanto,   

2008).   

Sumadhiharga (1995) membagi dampak kerusakan yang disebabkan oleh   

pencemaran minyak di laut menjadi dua tipe jangka waktu yaitu dampak jangka   

pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek dari pencemaran   

minyak antara lain kerusakan membran sel biota laut akibat penetrasi molekul-   

molekul hidrokarbon minyak sehingga keluarnya cairan sel dari biota laut, Komposisi  Persentase 

Karbon (C)  84-87%  Hidrogen (H)  11-14%  Sulfur (S)  0-3%  Nitrogen (N)  0-1%  Oksigen (O)  0-2% 


(21)

munculnya aroma dan bau minyak pada berbagai jenis udang dan ikan sehingga   

menyebabkan turunnya mutu dari biota tersebut, kematian pada ikan yang   

disebabkan oleh minimnya oksigen pada lingkungan tersebut, keracunan karbon   

dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya (Misran, 2002). Dampak   

jangka panjang dari pencemaran minyak akan sangat terasa bagi biota laut yang   

masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut pada saat   

sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersamaan dengan kotoran sedang   

sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat   

akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme ke organisme lain melalui rantai   

makanan. Dampak kerusakan secara langsung dari tumpahan minyak terjadi di   

lingkungan laut terutama pada tempat rekreasi, pemukiman nelayan serta wilayah   

tambak di pesisir pantai.   

   

2.5  Sumber Tumpahan Minyak di Laut   

Tumpahan minyak di laut berasal dari sumber yang beragam, tidak hanya   

berasal dari kecelakaan kapal tanker namun juga kerusakan peralatan atau   

platform minyak. Input polutan minyak terbesar berasal dari pengoperasian kapal   

tanker. Hal ini dikarenakan produksi minyak bumi di dunia diperkirakan sebanyak   

tiga miliar ton per tahunnya dan setengahnya dikirimkan melalui transportasi laut   

dengan memanfaatkan kapal tanker (Hartanto, 2008). Selama muatan minyak   

ditransportasikan oleh kapal tanker dari satu wilayah menuju wilayah lainnya,   

terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh industri perminyakan antara lain   

(1) bongkar muat minyak mentah dengan proses deballasting dan (2) kegiatan   


(22)

kapal untuk menjadi besi tua). Proses deballasting merupakan sebuah sistem   

kestabilan kapal menggunakan bongkar-muat air di dalam tangki slop (wadah   

minyak mentah). Pengisian air laut ke dalam tangki kapal dilakukan pada saat   

kapal berlabuh yang diikuti dengan kegiatan bongkar muat minyak mentah di   

dalam tangki dan penyaluran air ballast yang kotor ke tangki penampungan   

limbah di terminal atau menuju laut. Air ballast adalah air laut yang dimasukkan   

ke dalam tangki sebuah kapal tanker yang kosong, pada saat tangki kosong ini   

berfungsi sebagai wadah minyak mentah. Tangki muatan yang telah kosong   

kemudian akan dibersihkan dengan water jet, pada proses ini ditujukan agar   

menjaga tangki tersebut terisikan dengan air ballast yang baru untuk memenuhi   

kebutuhan pelayaran selanjutnya. Pada tahap bongkar muat minyak dibutuhkan   

ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi karena kemungkinan munculnya   

kebocoran pipa, pipa pecah atau kesalahan yang berasal dari lalainya manusia   

dapat terjadi. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan ini akan mengandung air dan   

minyak yang menjadi komponen pencemar laut di daerah bongkar muat kapal   

tanker. Semakin besar ukuran suatu tanker maka dapat diperkirakan bahwa input   

polutan minyak ke laut selama proses ini akan semakin besar.   

Sumber lapisan minyak lainnya yang berasal dari tansportasi laut yaitu   

kegiatan perbaikan dan perawatan kapal. Semua kapal yang berlayar   

membutuhkan waktu pengecekan tangki dan bagian lambung kapal untuk   

kemudian dilakukan tahapan perbaikan dan perawatan kapal secara periodik.   

Semua sisa bahan bakar yang berada di dalam tangki harus dikosongkan pada saat   

perbaikan untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun ledakan yang dapat   


(23)

sebagian besar kapal tanker langsung membuangnya di laut sehingga   

menyebabkan munculnya lapisan minyak di suatu perairan.   

Proses scrapping (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) juga   

dapat menjadi salah satu sumber input polutan ke lautan. Proses ini banyak   

dilakukan industri perkapalan di India dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia   

(Hartanto, 2008). Proses scrapping dapat meningkatkan kandungan metal dan   

minyak yang terbuang ke laut. Kejadian kecelakaan kapal tanker baik berupa   

kebocoran lambung, kapal kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan merupakan   

kasus yang dapat menyebabkan input polutan yang cukup besar.   

   

2.6  Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia 

 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit oleh dua benua yaitu   

Asia dan Australia sehingga menjadikan perairan Indonesia berpotensi sebagai   

jalur perdagangan dan transportasi antar negara sehingga negara Indonesia   

termasuk ke dalam kategori negara yang rentan terhadap polutan laut berupa   

hidrokarbon. Selain itu negara Indonesia termasuk ke dalam negara penghasil   

berbagai barang tambang baik yang berupa batu bara, gas maupun minyak bumi   

sehingga beberapa perairan dan pelabuhan di Indonesia dijadikan sebagai terminal   

bongkar muat barang tambang. Faktor semakin banyaknya bangunan pengeboran   

lepas pantai akan menambah resiko tercemarnya perairan di Indonesia. Tabel 2   

menunjukkan beberapa kasus tumpahan minyak yang telah terjadi di perairan   


(24)

Tabel 2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia                                                                                                         

Sumber :Hartanto, 2008 kasus 1-19; Australian Government, 2010 kasus 20 Kasus  Waktu 

Kejadian 

Lokasi  Keterangan 

1  1975  Selat Malaka  Tumpahan minyak tanker Showa Maru, 1 juta barel  2  Januari 1975  Selat Malaka  Tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace  3  Desember 

1979 

Pelabuhan  Buleleng Bali

Kecelakaan kapal tanker Choya Maru  menumpahkan 300 ton bensin  4  Februari 1979  Pelabuhan 

Lhokseumawe

Bocornya kapal tanker Golden Win yang  mengangkut 150 Kiloliter minyak tanah  5  Maret 1848  Selat Malaka  Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT 

Nagasaki Spirit yang menumpahkan 13000 ton  minyak

6  Jan-93  Selat Malaka  Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator  7  1996  Natuna  Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO  8  Oktober 1997  Selat Singapura  Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal 

tanker Evoikos

9  1998  Tanjung Priok  Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang  memuat solar

10  1999-2000  Cilacap  Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan  menumpahkan minyak sekitar 4000 barel 

11  Okt-00  Batam  Kandasnya MTNatuna Sea dengan menumpahkan  4000 ton minyak mentah

12  2001  Tegal-Cirebon  Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut  1200 ton limbah minyak

13  2003-2005  Kepulauan  Seribu

Tergenangnya tumpahan minyak di perairan  Kepulauan Seribu

14  Jul-03  Palembang  Tabrakan antara tongkang PLTU-1/PLN yang  mengangkut 363 Kiloliter IDF dengan kapal kargo  AN Giang, mencemari sungai Musi 

15  Jul-04  Kepulauan  Riau 

Kapal Tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca  buruk dan menumpahkan limbah minyak dalam  tangki slop sebanyak 200 ton 

16  2004  Cilacap  Tumpahan minyak oleh MT Lucky Lady yang  memuat Syria Crude Oil sebanyak 625044 barrel. 17  Okt-04  Pantai 

Indramayu 

Tumpahan minyak mentah dari Pertamina UP VI  Balongan. Tumpahan ini merusak terumbu karang  tempat pengasuhan ikan-ikan milik masyarakat  sekitar

18  2004  Balikpapan  Tumpahan minyak dari perusahaan Total E dan P  Indonesia

19  Agust-05  Teluk Ambon  Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang  menyebabkan tumpahan minyak ke perairan 20  21 Agustus-3 

November  2009 

Celah Timor  Ledakan dari sumber kilang minyak Montara 

selama 74 hari sebesar ± 2000 barel (320m ) setiap  harinya

21  2011  Kepulauan  Seribu 

Tergenangnya tumpahan minyak di perairan  Kepulauan Seribu khususnya sekitar Pulau  Panggang


(25)

2.7  Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja)   

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mendapatkan informasi   

mengenai suatu obyek, wilayah, atau fenomena dengan menganalisa data yang   

diperoleh dengan peralatan tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek,   

wilayah ataupun fenomena yang sedang diamati (Ristiana,2011). Sistem   

penginderaan jauh (inderaja) memiliki tiga komponen utama dalam   

pengoperasiannya antara lain sumber energi, sensor sebagai alat pendeteksi target   

dan obyek pengamatan.   

Sumber utama energi dalam penginderaan jauh pasif adalah Radiasi   

gelombang Elektromagnetik (REM), terutama yang berasal dari matahari. Pada   

sistem penginderaan jauh aktif sumber energi berasal dari komponen satelit itu   

sendiri. Berikut Gambar 2 menampilkan spektrum gelombang elektromagnetik .   

                                   

Gambar 2. Spektrum REM yang digunakan dalam Penginderaan Jauh  (Sumber : CCRS, 2005) 

   

Gambar 2 di atas menggambarkan selang energi gelombang elektromagnetik   


(26)

Pada penginderaan jauh hanya tiga jenis REM yang dimanfaatkan yaitu sinar   

tampak (visible ray), sinar inframerah dan gelombang mikro.   

Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk monitoring tumpahan   

minyak di perairan laut karena dapat mendeteksi keberadaan tumpahan minyak   

secara dini. Kemampuan ini didukung oleh kelebihan sistem penginderaan jauh   

untuk mengamati obyek dengan cakupan area yang luas dan waktu yang lebih   

cepat. Pemetaan obyek muka bumi dengan memanfaatkan satelit sistem RADAR   

dan bersensor Synthetic Aperture Radar (SAR) telah banyak digunakan untuk   

memetakan keberadaan tumpahan minyak di laut. Beberapa satelit radar yang   

sering digunakan untuk pengamatan tumpahan minyak diantaranya JERS-1,   

ENVISAT, Terra SAR-X, ERS, dan ALOS.   

Kelebihan Radar imaging dibandingkan penginderaan jauh optik antara   

lain (1) RADAR merupakan contoh dari sistem penginderaan jauh aktif sehingga   

dapat bekerja pada pagi atau malam hari, (2) Gelombang elektromagnetik pada   

kisaran radar dapat menembus karakteristik atmosfer berupa awan, hujan yang   

ringan, embun dan asap yang dapat memberikan sedikit pengaruh terhadap   

kemampuan pemindaian sistem RADAR sehingga sistem ini dapat digunakan   

pada berbagai macam cuaca. Kelebihan lainnya yaitu kemampuan sinyal RADAR   

untuk menembus penutupan tanah dan tumbuhan sehingga dapat memberikan   

informasi mengenai keadaan lapisan permukaan (Mansourpour et al, 2009).   

2.7.1  Identifikasi Tumpahan Minyak dengan Inderaja   

Tampilan citra pada sistem Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan   

representasi dari perekaman data berupa amplitudo dan fase dari nilai hambur   


(27)

nilai hambur balik dari suatu materi yang terekam oleh sensor tergantung dari tipe   

polarisasi suatu sinyal radar. Penggunaan polarisasi ganda pada SAR berfungsi   

untuk membedakan lapisan dari sifat kimia yang berbeda, dan perbedaan tersebut   

hanya dapat dilakukan pada kecepatan angin yang rendah atau ideal serta sudut   

pengamatan sensor satelit yang kecil (Brekke dan Solberg, 2005).   

Menurut Hu et al., (2003) nilai optimal kecepatan angin yang efektif untuk   

pendeteksian lapisan minyak pada citra berkisar antara 1,5-6 m/s. Namun menurut   

Sitanggang pada tahun 2004, nilai kecepatan angin yang perlu diperhatikan pada   

saat kejadian dikategorikan menjadi tiga macam yaitu dari 0-3 m/s, 3-6 m/s dan   

10-12 m/s. Pada kecepatan angin yang rendah (0-3 m/s), permukaan laut akan   

tampak gelap pada citra karena tidak adanya atau minimnya pergerakan arus di   

permukaan sehingga pendeteksian obyek tumpahan minyak pada saat seperti ini   

tidak mungkin untuk dilakukan. Pada kecepatan angin 3-6 m/s kekasaran   

permukaan atau gelombang terbentuk oleh angin yang bertiup di atas permukaan   

sehingga tampak perbedaan nilai hambur balik antara obyek perairan dengan   

lapisan minyak pada saat lapisan minyak akan tampak seperti potongan gelap   

dengan latar belakang yang terang. Kecepatan angin ini dianggap sangat ideal   

dalam pendeteksian tumpahan minyak. Akan tetapi apabila kecepatan angin   

mencapai 10-12 m/s pada saat fenomena tumpahan minyak terjadi maka   

kemampuan satelit radar dalam mendeteksi tumpahan minyak menjadi tidak   

mungkin karena terganggu oleh gelombang permukaan laut dan pencampuran   

induksi angin yang menyebabkan ditribusi lapisan minyak yang lebih luas pada   


(28)

2.8  Karakteristik Satelit ALOS dan Sensor PALSAR   

Satelit Advance Land Observing Satellite (ALOS ) merupakan salah satu   

contoh satelit yang memanfaatkan gelombang mikro dalam pendeteksian obyek di   

muka bumi. Satelit ini merupakan satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace   

Exploration Agency (JAXA) pada Januari 2006. Satelit ini merupakan satelit   

generasi lanjutan dari satelit JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan   

teknologi yang lebih maju. Nama lain dari satelit ini adalah DAICHI yang berasal   

dari bahasa Jepang. ALOS mengorbit bumi pada ketinggian 691,65 km, sudut   

inklinasi 98,16° dan resolusi temporal selama 46 hari   

ALOS dilengkapi dengan tiga jenis sensor penginderaan jauh yaitu (1)   

Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), (2)   

Advanced Visible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan (3)   

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)   

(Rosenqvist,et.al. 2004) (Gambar 3).   

                             

Gambar 3. Visualisasi Sensor dan Peralatan Satelit ALOS  (Sumber: Rosenqvist et.al., 2004) 

   

Gambar 3 di atas merupakan visualisasi sensor dan peralatan satelit ALOS   


(29)

berbagai macam bidang yang sesuai dengan sensor yang digunakan. Data sensor   

PRISM akan efektif untuk berbagai aplikasi seperti kreasi peta dan pemetaan   

ketinggian. Data dari sensor AVNIR-2 untuk pemetaan wilayah pesisir,   

perencanaan kota, pertanian, kehutanan, pengelolaan garis pantai, pengontrolan   

disposal ilegal, perencanaan posisi antena, pemantauan banjir skala kecil, serta   

pemantauan jalur lalu lintas laut. Sensor PALSAR merupakan sebuah sensor   

gelombang mikro yang efektif dalam mengamati suatu wilayah pada siang dan   

malam hari tanpa dipengaruhi awan (Rosenqvist et.al., 2004; Sitanggang G,   

2002).   

2.8.1  Synthetic Aperture Radar Pada Satelit ALOS PALSAR 

 

Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sebuah sistem radar dalam   

mengindera obyek dengan pola menyamping. SAR merupakan teknik yang handal   

dan praktis untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi dan dapat diletakkan   

pada wahana satelit. SAR mensintesiskan antena yang panjang dengan   

memanfaatkan pergerakan wahana. Ilustrasi pola pemindaian pada ALOS   

PALSAR dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.   

                               

Gambar 4. Ilustrasi Geometri Pemindaian dengan ALOS PALSAR  (Sumber: JAXA, 1997)


(30)

Gambar 4 di atas menampilkan metode observasi yang dilakukan oleh   

satelit dalam proses pemindaian disertai dengan titik di bawah satelit yang   

menjadi titik pusat jalur pergerakan satelit atau yang dikenal sebagai titik nadir.   

2.8.2  Polarisasi Sinyal Pada Satelit ALOS PALSAR   

Polarisasi merupakan perambatan dari gelombang mikro aktif yang   

dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Gambar 5 merupakan ilustrasi pola   

polarisasi yang terdapat dalam pengiriman dan penerimaan sinyal pada sensor   

radar dengan bidang horizontal dan vertikal.   

                       

Gambar 5. Ilustrasi Mode Polarisasi Sinyal Radar (Sumber: CCRS, 2005)  Keterangan : Garis hitam : Horizontal ; Garis merah : Vertikal   

Gambar 5 menunjukkan pola pemusatan perambatan sinyal dibedakan   

menjadi dua macam bidang perambatan yaitu melalui bidang datar (horizontal )   

dan melalui bidang tegak lurus (vertical ). Satu sinyal radar dapat ditransmisikan   

pada bidang datar (H= Horizontal ) ataupun tegak lurus (V = Vertikal ) dan dapat   

disaring dengan satu bidang datar yang sama atau berbeda dalam penerimaan   

sinyal gelombang elektromagnetik oleh sensor. Sensor PALSAR memiliki empat   

jenis polarisasi yaitu (1) HH pada saat pemancaran dan penerimaan gelombang   

dilakukan secara horisontal, (2) HV pada saat pemancaran gelombang secara   

horisontal dan penerimaan gelombang dilakukan secara vertikal, (3) VH pada saat   


(31)

horisontal dan (4) VV pada saat pemancaran dan penerimaan gelombang   

dilakukan secara vertikal (CCRS, 2005).   

Sitanggang (2002) membagi mode operasi utama dari PALSAR menjadi   

tiga macam yaitu mode fine, ScanSAR dan mode Polarimetrik. (1) Mode Fine   

merupakan mode resolusi tinggi dengan resolusi spasial 10 m dan mode operasi   

yang umum untuk observasi interferometrik dengan lebar liputan satuan citra 70   

km dalam polarisasi tunggal (HH ; mode Fine Beam Single-FBS polarisation).   

Mode fine dilengkapi pula dengan polarisasi rangkap dua HH+HV (mode Fine   

Beam Dual-FBD polarisation). (2) Mode Scan SAR adalah mode yang   

memungkinkan untuk memperoleh citra dengan lebar liputan satuan citra sampai   

82-350 km dengan polarisasi tunggal HH dan resolusi spasial 100 m di dalam arah   

azimuth dan range. Scan SAR mempunyai pancaran sinyal yang dapat diatur pada   

elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang   

lebih lebar dibandingkan dengan SAR konvensional. (3) Mode Polarimetrik (Fine   

Beam Polarimetri) adalah mode yang dioperasikan pada basis eksperimental   

dengan polarisasi HH+VV+HV+VH. Tabel 3 menunjukkan karakteristik teknis   

sensor dan data citra PALSAR.   

Tabel 3. Karakteristik Teknis Sensor ALOS PALSAR                             

Sumber : (Sitanggang, 2002, JAXA, 2006b) Mode Operasi 

Fine Beam  Single pol 

(FBS)

Fine Beam  Dualpol 

(FBD) Scan SAR  Polarimetrik 

Polarisasi  HH or VV  HH+HV or  VV+VH

HH or  VV

HH+HV+VH+VV Sudut dating  8 ~ 60 8 ~ 60 18 ~ 43 8 ~ 30  Resolusi Spasial  7 ~ 44m 14 ~ 88m 100m 24 ~ 89m

Lebar Liputan  Satuan Citra 

40 ~ 70km  40 ~ 70km  250 ~  350km

20 ~ 65km  Kecepatan Data  240Mbps  240Mbps  120Mbps,

240Mbps

240Mbps  Frekuensi Pusat  1270MHz (L-band)


(32)

2.9  Penyaringan Sinyal Gelombang Radar   

Sinyal gelombang radar dapat dipengaruhi oleh pembentukan dan   

perusakan citra berupa tampilan piksel berwarna terang dan gelap yang dikenal   

sebagai speckle noise. Speckle noise dalam data radar diasumsikan memiliki   

model yang tidak benar secara ganda dan harus dikurangi sebelum data   

dimanfaatkan karena gangguan ini dapat menggabungkan dan mengurangi   

kualitas tampilan. Speckle noise ini dapat dihilangkan dengan menggunakan tahap   

penyaringan secara spasial. Penyaringan spasial di kelompokkan menjadi dua   

macam yaitu tipe penyaringan non adaptif dan adaptif. Parameter yang   

dipertimbangkan dalam non adaptif spatial filter berupa nilai sinyal seluruh   

tampilan dan meninggalkan sifat awal dari nilai hambur balik daerah tersebut atau   

sensor alami. Contoh tipe penyaringan ini yaitu penggunaan Fast Fourier   

Transform (FFT). Tipe penyaringan adaptif mengakomodasi perubahan dari sifat-   

sifat lokal dari nilai hambur balik dan sensor alami. Pada tipe penyaringan ini,   

speckle noise dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak mengalami perubahan   

namun perubahannya terdapat pada nilai rata–rata nilai hambur balik yang   

dipengaruhi oleh tipe target yang diamati. Penyaringan adaptif dapat mengurangi   

speckle noise dengan mempertajam perbedaan tepi obyek.   

Pada aplikasi deteksi tumpahan minyak, tipe penyaringan yang digunakan   

harus dapat menekan speckle noise namun tetap dapat mempertahankan tampilan   

berupa tumpahan minyak yang tipis dan kecil (Brekke dan Solberg, 2005).   

Metode penyaringan citra radar secara adaptif menurut beberapa peneliti memiliki   

jumlah yang berbeda. Namun De Leeuw et al (2009) membagi metode   


(33)

Frost, (4) Enhanced Frost, (5) Gamma, (6) Kuan, (7) Local Sigma dan (8) Bit   

Errors. Pada penelitian ini metode penyaringan adaptif yang digunakan yaitu   

metode filter frost dan filter gamma. Selain itu pada penelitian ini juga dilakukan   

tahap penyaringan kedua yang dikenal sebagai analisis tekstur.   

2.9.1  Filter Frost   

Filter frost merupakan sebuah filter simetrik eksponensial secara sirkular,   

pada saat perhitungannya didasarkan pada jarak piksel yang diamati terhadap titik   

pusat, faktor jarak dan variasi lokal mempengaruhi nilai dari piksel yang baru.   

Filter piksel ini diaplikasikan pada citra yang berpolarisasi secara HH ataupun   

HV. Ukuran jendela pengamatan filter yang diujikan pada citra ini dibagi menjadi   

tiga macam yaitu 3x3, 5x5 dan 7x7. Penggunaan ukuran jendela pengamatan yang   

berbeda bertujuan mempelajari efek dari ukuran jendela pengamatan terhadap   

proses penghalusan dari karakteristik dan sisi-sisi obyek yang teramati (De leeuw   

et al., 2009).   

2.9.2  Filter Gamma   

Filter gamma memiliki fungsi sebagai penyaring dengan sistem operasi   

mengganti nilai piksel yang berhubungan dengan nilai jumlah bobot pada ukuran   

pengamatan 3x3, 5x5 dan 7x7. Nilai bobot ini akan semakin bertambah seiring   

bertambahnya jarak antara piksel yang berhubungan. Faktor nilai bobot ini juga   

bertambah nilainya dibandingkan dengan nilai piksel pada titik pusat secara   

bervariasi (Mansourpour et al., 2009). Filter ini mengasumsikan adanya gangguan   

secara berganda dan gangguan secara tidak tetap. Logika gamma berfungsi untuk   

memaksimalisasi nilai fungsi probabilitas yang masih mengacu tampilan gambar   


(34)

lokal area serta di kontrol oleh koefisien varian dan rasio geometri yang   

beroperasi pada deteksi garis (Mansourpour et al., 2009).   

2.9.3  Analisis Tekstur   

Tekstur adalah konsep intuitif yang mendeskripsikan tentang sifat   

kehalusan, kekasaran, dan keteraturan obyek dalam suatu wilayah. Tekstur   

didefinisikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan   

piksel yang berdekatan, dalam ilmu pengolahan citra digital (Ganis et al., 2008).   

Analisis tekstur pada citra dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu   

secara (1) struktural, (2) statistika dan (3) gabungan antara struktural dengan   

statistika (Tan, 2001). Metode struktural menggunakan fitur geometrik dari tekstur   

sebagai identitas obyek, penggunaan metode hanya dapat digunakan untuk obyek   

yang memiliki tekstur yang teratur (Anindityo A, 2010). Metode statistik   

merupakan metode yang umum digunakan oleh peneliti untuk permukaan atau   

tekstur yang tidak teratur dengan menggunakan Grey Level Co-occurence Matrix   

(GLCM).   

GLCM adalah tabulasi dari seberapa sering kombinasi yang berbeda dari   

nilai kecerahan piksel (tingkat warna abu-abu) yang terjadi pada sebuah citra   

(Purnomo et al., 2009). Matrix ini memiliki elemen-elemen yang berasal dari   

penjumlahan beberapa pasang piksel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu   

yang terpisah dengan jarak d dan dengan sudut inklinasi θ. GLCM didasarkan   

pada probabilitas munculnya tingkat keabuan (grey level) i dan j dari dua piksel   

yang terpisah pada jarak d dan sudut θ. Jika jarak d mendekati ukuran tekstur   

maka grey level pasangan piksel tersebut akan berbeda, maka nilai dalam matriks   


(35)

Puspitodjati S. pada tahun 2009 memaparkan lima ciri tekstur pada analisis tekstur   

antara lain:   

(1) Contrast yaitu ukuran penyebaran (momen inersia) elemen-elemen matriks   

citra   

(2) Energy ( Angular Second Moment = ASM) yaitu fitur untuk mengukur   

konsentrasi pasangan intensitas pada matriks co-occurrence   

(3) Entropy menunjukkan ukuran keteracakan dari distribusi intensitas   

(4) Homogeneity bertujuan untuk mengukur kehomogenan variasi dalam citra   

(5) Correlation digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan linier   

derajat keabuan dari piksel yang saling berdekatan   

Menurut Nezry et al., (1994) terdapat satu macam metode GLCM lainnya   

yang  dikenal  sebagai  Mean  GLCM  untuk  menampilkan  nilai  tengah  (mean)   

transisi pada visualisasi tekstur yang menjelaskan nilai level keabuan pada citra.   

Tujuan analisis tekstur dalam tahap pengolahan data citra untuk mengurangi jarak   

selang  antara  satu  obyek  dengan  obyek  lainnya  sehingga  dapat  meminimalisir   

kesalahan dalam menampilkan hasil klasifikasi obyek.   

2.10  Klasifkasi Citra   

Secara umum, algoritma klasifikasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu   

supervised (terbimbing) dan unsupervised (tak terbimbing). Penggunaan jenis   

klasifikasi citra tergantung pada ketersediaan data awal citra. Proses   

pengklasifikasian terbimbing (supervised) dilakukan dengan prosedur pengenalan   

pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang   

diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang   


(36)

peneliti dengan keadaan geografis dan pengetahuan mengenai tampilan obyek   

sebenarnya yang tampak pada citra, pada saat ini peneliti melakukan bimbingan   

dalam mengkategorikan kelas-kelas informasi (CCRS, 2005).   

Klasifikasi unsupervised digunakan ketika informasi data set yang dimiliki   

sedikit. Pada klasifikasi tidak terbimbing, pengklasifikasian dimulai dengan   

pengelompokkan seluruh piksel dalam beberapa kelas yang didasarkan pada nilai   

spektral yang dimiliki tiap obyek. Pada umumnya analis melakukan spesifikasi   

jumlah kelas yang akan dibuat dari data yang diamati, pengamatan parameter   

yang berhubungan dengan jarak antara kelas dan variasi atau selang nilai dari tiap   

kelas (CCRS, 2005). Klasifikasi unsupersived akan mengkategorikan semua   

piksel menjadi kelas-kelas dengan menampakan spektral atau karakteristik   

spektral yang sama namun belum diketahui identitasnya, karena klasifikasi ini   

didasari oleh metode pengelompokan secara natural atau clustering berdasarkan   

sifat spektral dari setiap piksel. Parameter yang menentukan pemisahan dan   

pengelompokkan piksel-piksel menjadi kelas spektral yaitu standar deviasi   

maksimum, jumlah piksel minimum dalam sebuah kelas spektral dinyatakan   

dalam persen (%), nilai pemisahan pusat kelas yang dipecah dan jarak minimum   

antara rata-rata kelas spektral (Riani, 2009). Apabila kelas spektral telah terbentuk   

kemudian dilakukan proses asosiasi antara obyek dan kelas spektral terbentuk   

untuk mengidentifikasi kelas spektral menjadi kategori obyek tertentu dengan   


(37)

3.  METODE PENELITIAN   

3.1  Lokasi dan Waktu Penelitian   

Daerah penelitian berlokasi di Laut Timor di sekitar Platform Montara dan   

Welhead Platform dengan koordinat 11°38’45,9’’ LS - 12°48’56,96’’ LS dan   

124°33’16,28’’ BT - 125°26’10,01’’ BT. Tumpahan minyak Montara terjadi di   

pesisir Kimberley dari bagian barat Darwin, Australia Utara (Australia   

Government, 2010) dan tumpahan minyak ini memasuki daerah perairan   

Indonesia tepatnya daerah selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi   

penelitian dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.   

                                               

Gambar 6. Peta Lokasi Pengamatan Citra Deteksi Tumpahan Minyak   

 

Penelitian ini bukanlah penelitian lapang langsung ke Laut Timor,   

melainkan penelitian dengan melakukan pengolahan citra satelit ALOS PALSAR.   

Survei lapang tidak dilakukan karena keterbatasan waktu dan time lag antara   


(38)

data citra satelit dilakukan sejak bulan Maret-Juni 2012 di Bagian Inderaja dan   

Sistem Informasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB   

dan di Bidang Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut, Pusat Pemanfaatan   

Penginderaan Jauh-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),   

Pekayon, Jakarta Timur.   

   

3.2  Bahan dan Alat Penelitian 

 

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS   

PALSAR mode Fine Beam Dual Polarizations (FBD) dengan pola pemindaian   

ganda yaitu HH dan HV (Jaxa, 2006b). Data citra ALOS PALSAR diperoleh dari   

JAXA melalui Pusat Pengembangan Teknologi Data dan Pemanfaatan   

Penginderaan Jauh-LAPAN. Scene citra ALOS PALSAR yang digunakan pada   

penelitian ini memiliki identitas citra sebagai berikut (Tabel 4).   

Tabel 4. Data ALOS PALSAR di Laut Timor 2009 dari LAPAN   

           

Bahan lain yang digunakan berupa data angin di Laut Timor, jurnal dan   

makalah terkait metode pengolahan data serta makalah terkait deteksi tumpahan   

minyak menggunakan citra SAR. Data Angin Musim Peralihan 2 merupakan jenis   

angin muson yang terjadi pada saat tumpahan minyak Montara terjadi, karena   

bencana penyebaran tumpahan minyak terjadi pada tanggal 21 Agustus 2009-3   

November 2009. Pembuktian mengenai jenis angin muson yang terjadi saat satelit   

merekam citra di atas Laut Timor dapat diketahui dengan menggunakan data   

angin yang diunduh dari www.ecmwf.int.

No  Scene ID  Path Frame Tanggal  Mode  Operasi  1  ALPSRP192186940 406 6940 02/09/09 FBD  2  ALPSRP192186930 406 6930 02/09/09 FBD 


(39)

Perangkat yang digunakan dalam pengolahan data citra satelit ALOS   

PALSAR antara lain komputer atau laptop yang dilengkapi dengan perangkat   

lunak ENVI 4,5 (The Environtment for Visualizing Images), ER Mapper 6,4,   

ArcMap 9,3 , Ms. Excel 2007, Surfer 9,0 , Global Mapper 8, ArcView GIS 3,3   

dan Ocean Data View 4.   

   

3.3  Metode Penelitian   

Metode penelitian secara garis besar melalui tiga tahapan yaitu :   

(1.) Persiapan dan pengumpulan data   

(2.) Pengolahan citra satelit ALOS PALSAR dan data pendukung lainnya (angin   

mingguan dan bulanan)   

(3.) Analisis data   

3.3.1  Persiapan dan Pengumpulan Data 

 

Tahap persiapan dan pengumpulan data mencakup studi kepustakaan terkait   

dengan studi tumpahan minyak Montara, pengumpulan data citra satelit ALOS-   

PALSAR serta data angin berupa arah dan kecepatan angin rata-rata di sekitar   

lokasi tumpahan minyak yang diunduh secara berkala yaitu selama tiga minggu   

dengan jeda waktu pengunduhan setiap satu minggu yang dimulai dari tanggal 24   

Agustus 2009-6 September 2009 dan satu bulan pengamatan yaitu September   

melalui website www.ecmwf.int.   

3.3.2  Pengolahan Citra Satelit ALOS PALSAR 

 

Pengolahan Citra satelit ALOS PALSAR terdiri dari (1) analisis visual, (2)   

filtering, (3) thresholding and segmentation dan (4) analisis tekstur. Gambar 7 di   


(40)

 

Citra ALOS PALSAR level 1,5 format *.ceos   

 

Konversi data *.ceos menjadi *.tiff / *.ers dengan ENVI 4,5   

Penggabungan layer HH dan HV, koreksi nilai histogram   

 

Gabungkan citra path 6930 dan 6940   

Koreksi nilai digital dengan formula NRCS:  10*log10 (DNˆ2) + CF( pada ER Mapper)   

 

Analisis visual   

 

Filter frost 3x3; 5x5 ; 7x7  Filter gamma 3x3 ; 5x5 ; 7x7   

 

Bandingkan secara visual dan profil garis  transek tiap jendela pengamatan   

 

Visual citra dan grafik  Tampilan kasar dan 

tidak jelas 

hasil penyaringan   

Tampilan halus dan  jelas 

Thresholding dan segmentasi :  1. Oil (crude, medium, light)  2. Non-oil ( lautan, platform)   

Analisis tekstur GLCM   

Thresholding dan segmentasi :  1. Oil (crude, medium, light)  2. Non-oil ( lautan, platform)   

 

Tidak Dapat  SELANG KELAS  diaplikasikan   

Dapat diaplikasikan untuk klasifikasi   

 

Klasifikasi dan tentukan warna   

 

STOP 


(41)

    .   (Lusch, 1999).... (1) 

 : panjang gelombang sinyal (cm) 

    9  /  

      , 7     9  /  

Gambar 7 di atas merupakan diagram alir pengolahan citra ALOS PALSAR   

yang diawali dengan konversi format data ALOS PALSAR level 1,5 *.ceos   

menjadi format *.ers melalui software ENVI. Hal ini bertujuan untuk   

mempermudah tahap pengolahan data selanjutnya dengan menggunakan   

perangkat lunak ErMapper. Pada tahapan ini dibutuhkan pengetahuan mengenai   

cara konversi nilai frekuensi panjang gelombang mikro yang dipancarkan oleh   

sensor PALSAR menjadi nilai intensitas hambur balik dalam satuan dB.   

Satelit ALOS PALSAR merupakan satelit yang memanfaatkan kanal L pada   

sistem radar dengan frekuensi pemancaran sebesar 1,27 GHz. Nilai frekuensi ini   

kemudian diubah menjadi nilai panjang gelombang mikro dengan memanfaatkan   

teori Maxwell’s wave di bawah ini   

   

dimana   

c : Kecepatan perambatan 3x108 m/s  v : frekuensi (GHZ : 10Hz)   

c : 3x108 m/det = 30x10cm/det   

Frekuensi pemancaran sebesar 1,27 GHz kemudian dikonversi menjadi   

nilai frekuensi dengan satuan Hz untuk mempermudah perhitungan nilai panjang   

gelombang mikro pada satelit ini. Contoh perhitungan dapat dilihat di bawah ini   

= 23,62 cm   

Gelombang mikro yang ditransmisikan oleh sensor akan dihambur   

balikkan oleh target di permukaan bumi sehingga tersimpan pada piksel citra   

dengan informasi berupa nilai digital. Nilai ini diperoleh melalui kalkulasi dengan   


(42)

      (Lusch, 1999).... (2) 

= kekuatan hambur balik gelombang mikro 

= koefisien hambur balik radar terhadap target : 10 (î  

= panjang gelombang mikro pada sistem radar   

  dimana 

 

=

 kekuatan yang ditransmisikan oleh sistem radar   

Π= Nilai rata-rata intensitas target   

A = luas dari resolusi sel pada citra radar   

G = pemanjangan antena   

   

R = jarak antara antena dan target   

Tahap selanjutnya yaitu tahap pengoreksian nilai hambur balik berupa nilai   

digital menjadi nilai intensitas dengan satuan dB pada citra yang dikenal sebagai   

preprosessing Calibration Factor dengan menggunakan formula :   

NRCS (dB) = 10*log10 (DN2) + CF ...(3)   

dimana :   

NRCS  adalah Normalized Radar Cross Setting dengan satuan dB   

DN adalah Digital Number/ nilai digital   

CF adalah Calibration Factor/ Faktor kalibrasi bernilai -83 (AUIG,2009)   

Analisis visual pada citra merupakan pendeteksian daerah rona yang lebih   

gelap dari sekitarnya pada citra. Daerah yang memiliki visualisasi yang gelap   

disebabkan oleh tingkat kekasaran permukaan yang dimiliki obyek rendah jika   

dibandingkan dengan sudut datang, sehingga hambur balik dari gelombang mikro   


(43)

       

  tampilan pada citra akan terlihat lebih terang karena sinyal yang 

 

terhamburkan akan lebih banyak. Hal yang menjadi alasan bahwa citra yang   

memiliki penampakan titik hitam dapat dijadikan acuan sebagai salah satu obyek   

tumpahan minyak dikarenakan minyak akan meredam gelombang laut sehingga   

menyebabkan permukaan laut tampak tenang. Oleh sebab itu daerah ini akan   

memiliki pewarnaan yang lebih gelap dibandingkan daerah di sekelilingnya yang   

tidak tertutupi oleh lapisan minyak.   

3.3.2.1 Penyaringan Adaptif Frost dan Gamma   

Tahapan identifikasi minyak yang kedua adalah proses penyaringan   

(filtering). Penelitian ini menerapkan beberapa filter yaitu frost dan gamma untuk   

menghilangkan noise (bercak pada citra akibat gangguan atmosfer saat perekaman   

citra) serta mendapatkan kenampakan obyek pengamatan lebih jelas. Kedua   

tahapan adaptif ini dilakukan pada saat yang sama dengan sumber data yang sama   

yaitu data yang telah mengalami konversi nilai digital terlebih dahulu. Formula   

yang digunakan pada metode penyaringan frost dan gamma dapat dilihat pada   

Tabel 5 di bawah ini.   

Tabel 5. Dua Metode Penyaringan Spasial Adaptif dalam Kajian Penelitian 

Metode  Formula Keterangan Simbol 

Frost ** 

| | 

 

α

 

=

         

)(

σ 

σ = nilai lokal varien 

k= nilai normalisasi konstan dari nilai  tengah refleksifitas radar 

n= ukuran jendela pengamatan  = nilai rata-rata piksel lokal 

฀|t|I ==nilaiterhadap|X-X standar

0| + 


(44)

I = Probabilitas kemunculan piksel i, j 

̂    ̂     ฀ ̂      I = Kemunculan pikseli, j 

   Gamma* 

σ = standar deviasi citra awal   

berpasangan pada simetri GLCM  DN = Digital Number (nilai tingkat 

keabuan citra) 

*Frost et al., 1982  ** Mansourpour et al., 2009 

3.3.2.2 Analisis Tekstur   

Analisis tekstur merupakan tahapan terakhir dan tahapan dasar dari   

pengenalan klasifikasi obyek dalam identifikasi pada citra. Pada penelitian ini   

metode analisis tekstur yang dikaji disesuaikan dengan menu tahap penyaringan   

tekstural yang tersedia pada perangkat lunak ENVI 4,5 dijelaskan pada Tabel 6 di   

bawah ini.   

Tabel 6. Delapan Metode Analisis Tekstur dalam Kajian Penelitian                                                     

* Nezry et.al., 1994  *** Ganis Y et.al, 2008 

** Akkartal dan Sunar, 2008  ****Septiadi dan Nasution, 2010

Metode  Formula Keterangan Simbol 

Angular Second 

Moment/  Energy**** 

       

฀ ฀ ,

dimana : 

x : nilai kolom matriks (i,j) y : nilai elemen baris (i,j) 

: nilai rata-rata elemen  , :pikselnilai standar devi asi 

,  :elemenfungsi daripikse ltingkat  Cd Gpengamatan Nn : : : : : , j Contrast****    Dissimilarity****    Entropy****    Correlation***                 Homogeneity**   

Mean*  R(i)Ps (i,j) 


(45)

  Diagram alir dalam tahapan penyaringan data baik secara adaptif maupun   

tekstur bertujuan untuk menghilangkan noise dari lingkungan. Pembuatan satu   

garis training area pada obyek berfungsi menentukan nilai hambur balik obyek   

pengamatan berupa minyak atau non minyak dengan format data penyimpanan   

*.txt. Nilai yang telah diperoleh dapat dijadikan acuan dalam segmentasi obyek   

yaitu dengan menggunakan nilai ambang batas yang telah ditemukan pada sistem   

klasifikasi citra secara tidak terbimbing.   

3.3.2.3 Klasifikasi Citra Radar ALOS PALSAR 

Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan piksel pada suatu citra   

ke dalam sejumlah kelas, sehingga setiap kelas dapat menggambarkan suatu   

entitas dengan ciri-ciri tertentu. Tahapan selanjutnya yaitu penyederhaan untuk   

menggabungkan kelas-kelas yang tergolong sama. Penggabungan kelas menjadi   

golongan yang sama diperoleh dengan menggunakan formula:   

if (i1 >...) and (i1 <...) then 1 else  if (i1 >...) and (i1 <...) then 2 else  if (i1 >...) and (i1 <...) then 3 else  if (i1 >...) and (i1 <...) then 4 else  if (i1 >...) and (i1 <...) then 5 else null   

 

Hasil klasifikasi dapat ditunjukkan dari gradasi warna yang terbentuk yang   

menunjukkan jenis kelas yang dikelompokkan oleh komputer. Tahapan klasifikasi   

citra merupakan tahapan yang membutuhkan ketelitian dalam penentuan nilai   

selang karena tingkat keakuratan klasifikasi tergantung pada (1) Class pemisahan   

kelas (Separability), (2) ukuran sampel latihan (training sample), (3) jumlah   

spektral band dan (4) jenis klasifikasi atau fungsi pemisah. Tingkat keakuratan   

klasifikasi akan semakin tinggi jika penggunaan nilai parameter kelas semakin   


(46)

  ukuran training sample dengan jumlah spektral band semakin besar dan pemilihan   

jenis klasifikasi yang tepat (Riani, 2009).   

3.3.2.4 Pengolahan Data Angin   

Angin merupakan faktor lingkungan yang harus diperhatikan sebelum   

menganalisis data citra yang mengandung informasi mengenai tumpahan minyak.   

Tahapan pengolahan angin dibagi menjadi dua tahap yaitu mengolah data angin   

dengan menggunakan WR Plot serta menggunakan Surfer 9,0.   

Data angin yang diperoleh dari hasil download dari www.ecmwf.int dapat   

dibaca dengan Ocean Data View (ODV). Variabel yang digunakan dalam   

membaca data di ODV adalah latitude, longitude, dan waktu, serta menggunakan   

Use Decimal Date/Time. Untuk melihat data secara keseluruhan pada stasiun   

tersebut klik menu Export pilih ODV Spreadsheet, simpan dalam bentuk *.txt.   

Data komponen angin (U dan V) dalam satuan m/s, koordinat longitude dan   

latitude, waktu dan nama stasiun dapat dibuka dengan Ms. Excel sehingga   

menampilkan data  untuk tahapan pengolahan di WR Plot. Pengolahan data pada   

WR Plot menghasilkan pola arah hembusan angin berupa windrose, grafik   

maupun tabel sehingga dapat diasumsikan tipe angin musim yang bertiup di suatu   

daerah. Pengasumsian tipe angin muson dilakukan dengan melihat pola   

pergerakan angin yang memiliki kecenderungan ke suatu arah mata angin dan   

dilihat pula dengan waktu hembusan angin tersebut. Gambar 8 merupakan   


(47)

  MULAI 

   

Data arah dan kecepatan angin   

 

Pilih waktu dan  lokasi kemudian simpan dengan format *.nc   

 

Buka data dengan ODV 4, Pilih stasiun yang diamati   

Ekspor data (*.txt)   

 

Buka data *.txt pada excell, konversi data  U dan V menjadi arah dan kecepatan   

 

Simpan data: tahun, bulan, tanggal,  jam, arah dan kecepatan (*.xls)   

 

Analisis dengan WR Plot   

Masukkan data dan sesuaikan cocokan Tahun, Bulan,  Tanggal, Jam, wind direction dan wind speed   

 

Masukkan data kemudian simpan dalam format *.sam   

 

Masukkan data file *.sam pada WR Plot   

Sesuaikan wind direction menjadi 8 arah, kecepatan menjadi m/s atau knott   

 

Simpan gambar wind rose *.jpg   

 

STOP   

Gambar 8. Diagram Alir Pengolahan Data Angin ECMWF dengan WR Plot   

Program Surfer 9.0 digunakan untuk visualisasi pola arus permukaan yang   

berhembus di suatu wilayah. Komponen yang diperlukan antara lain bujur,lintang,   


(48)

  lembaran yang baru. Proses gridding data dilakukan untuk menghasilkan   

file berekstensi *.grd. Tampilkan visualisasi dengan menggunakan Map-new 2-   

grid vector map. Gambar 9 di bawah merupakan diagram alir pengolahan data   

angin.   

MULAI     

Data arah dan kecepatan angin   

 

Pilih waktu dan  lokasi kemudian simpan dengan format *.nc   

 

Buka data dengan ODV 4, Pilih stasiun yang diamati   

Ekspor data (*.txt)   

 

Buka data *.txt pada excell salin data  bujur, lintang, U dan V  save *.bln   

 

Grid data *.bln dan sesuaikan kolom c  dengan data U atau V 

   

Plot data hasil grid   

 

Map >> 2 grid vector layer >> pilih data u.grd >>  kemudian pilih data v.grd 

   

Overlay dengan peta, tambahkan informasi untuk melengkapi peta   

 

Simpan gambar *.jpg   

 

STOP       


(1)

         

4. pada tampilan filter akan muncul tulisan filter yang akan digunakan. Untuk  mengatur ukuran jendela pengamatan dapat dilakukan dengan mengatur filter type 

menjadi Number Matrix >> number of rows dan colums sesuaikan misal 3,5 atau 

7 >> ceklist proses dataset >> apabila data sedang di proses ditunjukan dengan 

adanya tulisan Busy processing pada tampilan citra   

                         

5. Jika sudah selesai maka tanda edit filter akan mengalami perubahan   

Lakukan tahapan ini untuk layer HV dengan jenis filter yang sama.   

6. Simpan data hasil penyaringan >> klik kanan pada tampilan >> file>> save as 

data raster dengan format .ers misal ALSPLSR_200090902_1436_HHHV_F3 >>  defaults >> delete output ceklist >> ok


(2)

   

99       

Lampiran 6 

Contoh Data Angin Satu Minggu Saat Satelit Memindai Kejadian Tumpahan 

Minyak di Lokasi Penelitian Laut Timor

Bujur  Lintang  u (m/s)  v (m/s)  u (knot)  v (knot)  122,25  -8,25 -2,34 5,096 -4,54899 9,906687 

123  -8,25  -2,705  3,471  -5,25855  6,747667  123,75  -8,25 -3,023 2,395 -5,87675 4,65591  124,5  -8,25  -2,576  1,448  -5,00778  2,81493  125,25  -8,25  -3,248  1,25  -6,31415  2,430016  126  -8,25  -4,365  2,589  -8,48561  5,033048  126,75  -8,25  -5,149  4,599  -10,0097  8,940513  127,5  -8,25  -5,25  5,366  -10,2061  10,43157  122,25  -9 -2,548  4,244  -4,95334  8,250389  123  -9 -2,904  2,877  -5,64541  5,592924  123,75  -9 -2,731  1,724  -5,3091  3,351477  124,5  -9 -1,91  1,37  -3,71306  2,663297  125,25  -9 -3,153  2,206  -6,12947  4,288491  126  -9 -4,47  2,429  -8,68974  4,722006  126,75  -9 -4,665  3,065  -9,06882  5,958398  127,5  -9 -5,17  3,803  -10,0505  7,393079  122,25  -9,75  -3,285  3,094  -6,38608  6,014774  123  -9,75  -3,136  2,471  -6,09642  4,803655  123,75  -9,75  -3,973  1,367  -7,72356  2,657465  124,5  -9,75  -4,12  1,619  -8,00933  3,147356  125,25  -9,75 -5,818 0,723 -11,3103 1,405521  126  -9,75  -5,21  1,593  -10,1283  3,096812  126,75  -9,75  -5,024  2,027  -9,76672  3,940513  127,5  -9,75  -5,457  2,682  -10,6085  5,213841 


(3)

 

RIWAYAT HIDUP 

 

Penulis dilahirkan di Jakarta 22 Maret 1989 dan   

merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara dari 

 

keluarga Bapak Subagja Hadiwidjaja dan Ibu Noni Siti 

 

Aisyah. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA 

 

dengan kurun waktu 4 tahun yaitu dari tahun 2004 – 

 

2008 dikarenakan mengikuti kegiatan pertukaran pelajar 

 

ke Amerika selama satu tahun yaitu pada tahun 2006-2007 di SMA Mount   

Anthony Union High School,VT USA. Ijazah Sekolah Menengah Atas diperoleh   

penulis dari SMA Darunnajah Islamic Boarding School, Jakarta pada tahun 2008.   

Pada tahun 2008 penulis di terima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor,   

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan   

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB(USMI ).   

Selama kuliah di IPB penulis aktif sebagai anggota pengurus Himpunan   

mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) divisi Hubungan Luar dan   

Komunikasi (HUBLUKOM) tahun 2009-2010 serta divisi Dewan Formatur tahun   

2010-2011. Penulis juga aktif dalam organisasi di dalam dan di luar kampus yaitu   

sebagai anggota external International Association of Student in Agricultural and 

 

Related Science (IAAS) pada tahun 2008 – 2010, sebagai returnee dan volunteer 

 

Bina antar Budaya pada tahun 2008-2009; 2012 dan sebagai anggota, president 

 

dan past president Rotaract Club Buitenzorg pada tahun 2009-2012. Selain 

 

itu, penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan yang digelar BEM TPB 

 


(4)

   

101       

Penulis melakukan penelitian untuk menyelesaikan studi di Fakultas 

 

Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dengan judul “Pendeteksian Tumpahan Minyak   

di Laut Timor dengan Metode Filter Frost dan Gamma Terhadap Citra ALOS 

 

PALSAR di Ladang Minyak Montara”, yang dipresentasikan di depan tim penguji 

 

program sarjana Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan 

 


(5)

Ladang Minyak Montara. Dibimbing oleh JAMES P. PANJAITAN dan TEGUH PRAYOGO

Aktifitas manusia di daratan dan sekitar pesisir lautan akan menghasilkan

limbah yang akan dibuang ke lingkungan. Menurut Group of Expert on Scientific

Aspect of Marine Pollution (GESAMP) bahwa 6,44 juta ton/ tahun hidrokarbon masuk ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan transportasi laut,

pengoperasian pertambangan minyak di anjungan serta kegiatan industri oleh manusia (Hartanto, 2008). Kegiatan operasional pertambangan minyak di lepas pantai memiliki kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan munculnya tumpahan minyak berupa kegiatan (1) pengoperasian kapal tanker

da lam proses deballasting (sistem kestabilan kapal menggunakan bongkar- muat

air) (2) kecelakaan kapal maupun tanker dan (3) munculnya semburan sumur

minyak yang disebabkan oleh kerusakan strukt ur platform ataupun peralatan.

Kejadian tumpahan minyak yang dikaji pada penelitian ini terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009–3 November 2009 tepatnya di sekitar lepa s pantai utara dari Australia bagian Barat dan berada di perairan bagian selatan dari Indo nesia. Kejadian tumpahnya minyak ke perairan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap ekos istem lingkunga n laut beserta biota di dalamnya . Oleh karena itu dibutuhkan penelitian dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk mengidentifikasi dan memantau penyebaran tumpahan minyak di wilayah Republik I ndo nesia.

Penelitian untuk identifikasi tumpahan minyak dapat dilakukan dengan

memanfaatkan gelombang mikro dari sensor aktif Phase Array type L-band

Sythetic Aperture Radar (PALSAR) pada satelit Advanced Land Observing

Satellite (ALOS ). Citra satelit yang digunakan sebagai sumber data primer berupa citra Satelit ALOS PALSAR level 1,5 dengan format *.ceos de ngan dua jenis polarisasi yaitu HH dan HV, pada luasan area dengan posisi koordinat

11°38’45.9’’ LS - 12°48’56.96’’ LS dan 124°33’16.28’’ BT - 125°26’10.01’’ BT yang dilewati oleh satelit ALOS PALSAR tersebut.

Penelitian ini berfok us pada dua tahapa n pe ngolahan berupa (1) tahapa n

penyaringan (filter) de ngan frost dan gamma dan (2) penentuan ambang batas

untuk membedakan ob yek. Segmentasi ob yek pada penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu ob yek berupa minyak dan bukan minyak. Obyek minyak dibedakan menjadi minyak berat, minyak sedang dan minyak ringan. Sedangkan obyek bukan minyak dibedakan menjadi perairan dan anjungan minyak.

Nilai ambang batas diperoleh melalui ekstraksi data citra hasil penyaringan

terbaik yaitu gamma 7x7 sebesar -35,0 s/d -21,0 dB untuk ob yek minyak, -20,0

s/d -10,0 dB untuk pe rairan sekitar da n -10,0 s/d 15,0 dB untuk ob yek berupa anjungan. Berdasarkan perbandingan hasil pe nyaringan citra de ngan metode frost dan gamma menyebabkan hasil penyaringan frost tidak diamati karena visualisasi dan hasil penyaringan ini kurang informatif dibandingkan dengan penyaringan gamma. Pada tahap analisis tekstur diperoleh nilai ambang intensitas hambur balik


(6)

sebesar 1,5 s/d 9,0 dB untuk minyak berat, 9,0 s/d 10,5 dB untuk minyak sedang, 10,5 s/d 13,0 dB untuk minyak ringan, 13,0 s/d 21,0 dB untuk perairan dan 35,0 s/d 50,5 dB untuk anjungan minyak.

Tahap klasifikasi unsupervised dilakukan dengan menggunakan kisaran

nilai hambur balik obyek dengan hasil kisaran luas tumpahan minyak secara

hor izontal di pe rmukaan perairan sebesar 3.122 km2 adalah ob yek minyak berat,

3.431 km2 adalah ob yek minyak sedang dan 259 km2 adalah ob yek minyak ringan

dari 12.227 km2

Pola hembusan angin muson peralihan hasil visualisasi pengolahan data yang didominasi menuju barat tidak memiliki kesesuaian dengan po la pe nyebaran tumpa han minya k yang cenderung menuj u ke arah yang berlawanan ya itu selatan dari lokasi sumber tumpahan minyak. Fenomena ini terjadi akibat terbentuknya arus permukaan yang mengalami pembelokkan sebesar 45

seluruh luas liputan citra. Luasan penyebaran ini merupakan prakiraan luasan tumpahan minyak di permukaan laut secara horisontal sebatas liputan citra ALOS PALSAR yang digunakan. Luas tumpahan minyak di lapangan dapat memiliki luas lebih besar karena kejadian tumpahan minyak sedang berlangsung saat perekaman citra dilakukan. Hasil identifikasi tumpahan minyak dari satelit ALOS PALSAR 2 September ini dapat dijadikan sebagai data perhitungan luas sebagian dari keseluruhan tumpahan minyak Montara yang terjadi dari tanggal 21 Agustus 2009-3 November 2009.

0

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian ini adalah kejadian tumpahan minyak di Ladang Montara teridentifikasi melalui pengolahan data citra satelit ALOS PALSAR. Besar luasan tumpahan minyak yang terjadi dapat

bervariasi karena dipengaruhi oleh pergerakan massa air yang disebabkan oleh angin.

dari arah pola angin karena pe ngaruh gaya Cor iolis.