I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerusakan lahan dan hutan di Indonesia telah mencapai 59,2 juta ha dengan luasan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan mencapai 42,1 juta ha
Kementrian Negara Lingkungan Hidup 2007. Laju deforestasi saat ini masih tinggi walaupun memiliki kecenderungan menurun dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Berdasarkan data Departemen Kehutanan 2007 laju deforestasi antara tahun 2000-2006 mencapai 1,9 juta ha. Angka tersebut lebih kecil apabila
dibandingkan dengan laju deforestasi antara tahun 1997-2000 yang mencapai angka 2,83 juta hatahun. Produksi kayu dari hutan alam pun menurun dan tidak
mampu memenuhi kebutuhan nasional. Kebutuhan kayu nasional saat ini 57,1 juta m
3
per tahun sedangkan kemampuan produksi dari hutan alam dan hutan tanaman sebesar 45,8 juta m
3
per tahun, sehingga terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m
3
per tahun Kementrian Lingkungan Hidup 2007. Pengembangan hutan rakyat semakin mendapat perhatian sebagai alternatif
guna mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku yang berasal dari hutan alam. Upaya ini juga menjadi solusi yang cukup baik dalam meningkatkan
produktifitas lahan masyarakat serta mendayagunakan potensi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Pengertian hutan rakyat menurut Ahmad 1961 dalam Wahyuningsih 1993 adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh rakyat yang ditanami dengan jenis-
jenis pohon dengan maksud untuk mendapatka kayu sebagai hasilnya. Selanjutnya Hardjanto 1990 menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki
oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik.
Hutan Rakyat adalah hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat,
kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat, meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara. Hutan-hutan rakyat ini
pada umumnya berbentuk wanatani yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon, baik berupa wanatani sederhana,
ataupun wanatani kompleks agroforestry yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam. Menurut SK Menteri Kehutanan No.49Kpts-II1997 tentang
Penandaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan atau jenis lainnya lebih dari 50 dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.
Karakteristik pengelolaan hutan rakyat bersifat individual, oleh keluarga dan tidak
memiliki manajemen
formal. Karakteristik
seperti itu
dalam perkembangannya kedepan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki
posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, dan kelestarian hutannya tidak dapat dijamin Awang 2005.
Peningkatan produksi kayu dengan penggunaan jenis-jenis kayu non komersial dari hutan rakyat perlu didukung dengan pengembangan teknologi yang
tepat untuk menghasilkan kualitas produk yang baik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Salah satu syarat utama kualitas kayu bahan furniture dan
bangunan adalah kadar air yang sesuai dengan kondisi lingkungan agar dimensinya stabil selama pemakaian. Kadar air kayu segar yang baru ditebang
bisa lebih dari 100 dan sangat bevariasi dengan kisaran 40 - 200, sedangkan untuk bahan baku furniture maupun bahan bangunan, nilai kadar air kayu harus
pada kisaran antara 8 - 14 Desch 1968 dalam Basri dan Rahmat 2001. Kayu rakyat umumnya merupakan jenis cepat tumbuh dan tidak dirawat
seperti dalam hutan tanaman sehingga memiliki kualitas batang yang rendah. Selain itu, masa tebangnya pun bervariasi bergantung pada kebutuhan masyarakat
pemilik hutan rakyat, misalnya ketika memerlukan biaya anak sekolah, pernikahan ataupun keperluan lainnya. Dari sisi ekonomi hal tersebut baik karena
masyarakat mempunyai tabungan yang dapat digunakan dalam kondisi kritis, namun banyak juga pohon yang ditebang berumur muda sehingga kualitas
kayunya rendah. Oleh karena itu diperlukan penelitian-penelitian yang dapat meningkatkan kualitas dan nilai jual kayu tersebut, diantaranya adalah penelitian
sifat pengeringan. Penelitian yang dilakukan meliputi sifat pengeringan dasar dan penetapan jadwal pengeringan dari kayu rasamala, jamuju, dan pasang. Jadwal
pengeringan kayu tersebut sangat diperlukan agar dapat menghasilkan kayu kering dalam waktu yang singkat dengan cacat pengeringan yang minimal.
2.1 Tujuan