15 bermitra. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rochmatika 2006
yang mengkaji kepuasan petani tebu rakyat terhadap pelaksanaan kemitraan pabrik gula xyz. Berdasarkan matriks realisasi perjanjian kemitraan yang
dilakukan, pelaksanaan kemitraan belum sepenuhnya sesuai dengan isi perjanjian kemitraan. Hal ini terlihat bahwa dalam penyerahan tebu milik petani belum
sepenuhnya digilingkan pada PG yang memberikan pinjaman kredit. Sedangkan pihak PG pun tidak dapat memberikan transparansi rendemen yang diberikan
kepada petani sehingga banyak petani yang melanggar etika kemitraan dengan menggilingkan tebunya pada PG lain yang memberikan tingkat rendemen yang
lebih tinggi. Selain itu, PG juga tidak memiliki kemampuan untuk menjual agunan milik petani. Hal ini disadari oleh PG sebagai suatu kelemahan sehingga bagi
petani yang tidak dapat melunasi pinjamannya, maka agunan tersebut hanya disimpan oleh PG. Perjanjian kemitraan yang dilakukan pun lemah dari sisi
hukum. Hal ini mengakibatkan masing-masing pihak kemitraan masih dapat berkehendak sesuai dengan kepentingan masing-masing.
W idianto 2008 telah melakukan penelitian yang berjudul “Pemberdayaan
Komunitas Petani Melalui Program Kemitraan Agribisnis Paprika Studi Kasus Kampung Pasirlangu, Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung,
Provinsi Jawa Barat”. Kemitraan yang terjalin antara petani pasir langu dengan PT. Joro dan PT. Saung Mirwan memiliki ikatan yang lemah. Penyebab lemahnya
ikatan kemitraan antara petani pasirlangu dengan kedua perusahaan tersebut disebabkan oleh munculnya saingan-saingan dalam penyalur input pertanian
paprika, serta berkembangnya pengetahuan pasar paprika yang dimiliki oleh warga pasirlangu. Selain itu, semakin berkembangnya pertanian paprika,
banyaknya inovasi yang diciptakan, serta meningkatnya ilmu dan keterampilan warga dalam menanam paprika membuat ketergantungan terhadap pihak luar
semakin berkurang, karena komunitas petani paprika kampung pasirlangu sudah mulai bergantung kepada komunitas sendiri.
2.3. Perbedaan dan Persamaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai evaluasi kemitraan antara PT. Samudra Jaya Abadi dengan petani pembuat gula kelapa mitra belum pernah dilakukan oleh siapapun.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian kemitraan terdahulu yaitu pada
16 penelitian ini indikator evaluasi pelaksanaan kemitraan tidak dilihat dari tingkat
pelaksanaan hak dan kewajiban mitra. Peneliti menggunakan panduan berupa Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944KptsOT.210101997 tentang Pedoman
Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian dalam menilai pelaksanaan kemitraan antara PT. SJA dengan petani penderes gula kelapa mitra.
Hal ini dikarenakan tidak adanya perjanjian tertulis yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak secara rinci. Selain perbedaan, penelitian ini juga
memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yaitu menganalisis manfaat- manfaat yang diterima oleh pihak-pihak yang bermitra, sehingga dapat diketahui
apakah kemitraan dapat memberikan banyak manfaat atau justru dapat merugikan salah satu pihak. Pada penelitian ini, analisis manfaat kemitraan akan lebih
ditekankan pada manfaat kemitraan untuk petani pembuat gula kelapa mitra.
17
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Evaluasi
Menurut Umar 2003 dalam Palapa 2006, evaluasi didefinisikan sebagai suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan
telah tercapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta bagaimana manfaat
yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh.
Standar yang dipakai untuk mengevaluasi suatu kegiatan tertentu dapat dilihat dari tiga aspek utama, yaitu:
1 Utility manfaat
Hasil evaluasi hendaknya bermanfaat bagi manajemen untuk pengambilan keputusan atas program yang sedang berjalan.
2 Accuracy akurat
Informasi atas hasil evaluasi hendaklah memiliki tingkat ketepatan yang tinggi.
3 Feasibility layak
Hendaknya proses evaluasi yang dirancang dapat dilaksanakan secara layak.
3.1.2. Teori Kemitraan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944KptsOT. 210101997
Kemitraan usaha pertanian merupakan salah satu instrumen kerjasama yang mengacu kepada terciptanya suasana keseimbangan, keselarasan dan
keterampilan yang didasari saling percaya mempercayai antara perusahaan mitra dengan kelompok melalui perwujudan sinergi kemitraan yaitu terwujudnya
hubungan yang: a
saling membutuhkan, dalam arti pengusaha memerlukan pasokan bahan baku dan petani-nelayan memerlukan penampungan hasil dan bimbingan.
b saling menguntungkan yaitu baik petani-nelayan maupun pengusaha
memperoleh peningkatan
pendapatankeuntungan disamping
adanya kesinambungan usaha.
18 c
saling memperkuat, dalam arti baik petani-nelayan maupun pengusaha sama- sama melaksanakan etika bisnis, sama-sama mempunyai persamaan hak dan
saling membina sehingga memperkuat kesinambungan bermitra. Kemitraan usaha merupakan upaya untuk memberdayakan kelompok mitra
dalam pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis. Kemitraan usaha bertujuan meningkatkan nilai tambah atau keuntungan bagi kelompok mitra dan
perusahaan mitra yang melakukan kemitraan, dari segi pendapatan, kesinambungan usaha, peningkatan sumberdaya manusia kelompok mitra,
peningkatan volume usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri.
Dalam suatu kemitraan diperlukan penilaian terhadap tingkat hubungan kemitraan
usaha, sehingga
dapat diketahui
masalah dan
peluang pengembangannya. Berdasarkan proses manajemen kemitraan dan manfaatnya,
tingkat hubungan kemitraan usaha antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra dapat dibagi dalam empat kategori tingkat hubungan kemitraan yaitu
tingkat: 1
Kemitraan Pra Prima 2
Kemitraan Prima 3
Kemitraan Prima Madya 4
Kemitraan Prima Utama Tingkat kemitraan terendah adalah kemitraan Pra Prima, selanjutnya
meningkat menjadi Prima, kemudian meningkat menjadi Prima Madya, dan tingkat tertinggi adalah Kemitraan Prima Utama.
3.1.3. Pola Kemitraan Usaha yang Dapat Dikembangkan di Indonesia
Pola kemitraan usaha yang dapat dikembangkan di Indonesia yaitu Hafsah 2000:
a Pola kemitraan sederhana Pemula
Pola kemitraan sederhana merupakan pengembangan hubungan bisnis biasa ditingkatkan menjadi hubungan bisnis dengan adanya ikatan tanggung jawab
masing-masing pihak yang bermitra dalam mewujudkan kemitraan usaha yang saling membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat.
Perusahaan mempunyai tanggung jawab terhadap pengusaha kecil mitranya
19 dalam memberikan bantuan atau kemudahan memperoleh permodalan untuk
mengembangkan usaha, penyediaan sarana produksi yang dibutuhkan, bantuan teknologi terutama teknologi alat mesin untuk meningkatkan
produksi dan mutu produksi. Sedangkan pengusaha kecil yang menjadi mitra mempunyai kewajiban untuk memasokkan hasil produksinya kepada
pengusaha besar mitranya dengan jumlah dan standar mutu sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama. Pada prinsipnya yang membedakan
hubungan dagang biasa dengan kemitraan antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar terutama adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha
besar terhadap pengusaha kecilkoperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain
dapat berupa pembinaan mutu produksi, peningkatan kemampuan SDM, pembinaan manajemen produksi, dan sebagainya. Untuk mendukung
berkembangnya kemitraan usaha ini dibutuhkan peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha. Wujud dari
peran pemerintah tersebut dapat berupa pemberian fasilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, penyediaanpembangunan sarana prasarana transportasi,
telekomunikasi, listrik serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha. Disamping itu, pemerintah diharapkan dapat berperan pula
dalam pembinaan terhadap pelaksanaan kemitraan tersebut untuk menghindari terjadinya eksploitasi salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
b Pola kemitraan tahap madya
Pola kemitraan ini merupakan pengembangan pola kemitraan sederhana dimana peran usaha besar terhadap usaha kecil mitranya semakin berkurang.
Bantuan pembinaan usaha besar yang masih sangat diperlukan terutama dalam bantuan teknologi, alat mesin yang dibutuhkan untuk peningkatan
produksi dan mutu produksi, industri pengolahan agroindustri serta jaminan pemasaran. Dalam aspek penyediaan permodalan pada pola ini pihak usaha
besar tidak lagi memberikan modal usaha. Permodalan, manajemen usaha, dan penyediaan sarana produksi disediakan oleh usaha kecil. Dalam tingkatan
madya ini pihak usaha kecil telah mampu mengembangkan usaha mulai dari merencanakan usaha serta sampai pengadaan sarana produksi dan
20 permodalan dalam upaya menjamin kelangsungan kemitraan yang dijalin
dengan usaha besar. Sedangkan peran pemerintah dan lembaga terkait tetap sama sebagaimana peran dalam pola sederhana yaitu sebagai fasilitator.
c Pola kemitraan tahap utama
Pola ini merupakan pola kemitraan yang paling ideal untuk dikembangkan, tetapi membutuhkan persyaratan yang cukup berat bagi pihak yang bermitra
khususnya pihak usaha kecil karena pola ini membutuhkan kemampuan penguasaan manajerial usaha yang memadai serta pengetahuan bisnis yang
luas. Dalam pola ini pihak pengusaha kecil secara bersama-sama mempunyai patungan atau menanamkan modal usaha pada usaha besar mitranya dalam
bentuk saham. Dengan pemilikan saham dari pengusaha kecil ini dimungkinkan adanya rasa memiliki terhadap perkembangan usaha dari
perusahaan besar mitranya. Demikian pula pihak perusahaan besar mempunyai tanggung jawab yang besar untuk turut mengembangkan usaha
kecil mitranya agar usaha besar yang dijalankan dapat berkembang lebih pesat. Di samping itu adanya beban risiko bersama dalam pola ini
menjadikan kemitraan dapat terwujud dengan sinergi saling membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat sebagaimana yang
diharapkan. Keterlibatan pengusaha kecil dalam pengembangan usaha pada perusahaan besar pada pola ini mulai dari tahap perencanaan pengembangan
usaha sampai pengembangan pemasaran hasil. Pada pola ini telah memanfaatkan jasa konsultan dalam mengembangkan usahanya baik pada
usaha kecil maupun usaha besar mitranya. Peran pemerintah sebagai fasilitator dan pembina kemitraan usaha tetap dibutuhkan sebagaimana pada
pola-pola kemitraan yang lain agar dapat terwujudnya kemitraan yang diharapkan.
3.1.4. Maksud dan Tujuan Kemitraan
Hafsah 2000 mengemukakan bahwa pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Win-Win Solution Partnership”. Prinsip kesadaran dan
saling menguntungkan tersebut tidak berarti para partisipan dalam kemitraan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih
21 dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-
masing. 3.1.5. Peranan Pelaku Kemitraan
Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran
masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Dengan demikian dapat diukur seberapa jauh pihak-pihak yang terkait telah menjalankan tugas dan
peranannya secara baik. Berbagai peran dari pelaku kemitraan usaha tersebut adalah sebagai berikut Hafsah 1996 1997 dalam Hafsah 2000:
a Peranan Pengusaha Besar
Pengusaha besar melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecilkoperasi dalam hal:
1 Memberikan bimbingan dalam meningkatkan kualitas SDM pengusaha
kecil atau koperasi, baik melalui pendidikan, pelatihan, dan pemagangan dalam bidang kewirausahaan, manajemen, dan keterampilan teknis
produksi. 2
Menyusun rencana usaha dengan pengusaha kecil atau koperasi mitranya untuk disepakati bersama.
3 Bertindak sebagai penyandang dana atau penjamin kredit untuk
permodalan pengusaha kecil atau koperasi mitranya. 4
Memberikan bimbingan teknologi kepada pengusaha kecil atau koperasi. 5
Memberikan pelayanan dan penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha bersama yang disepakati.
6 Menjamin pembelian hasil produksi pengusaha kecil atau koperasi sesuai
dengan kesepakatan yang telah disepakati bersama. 7
Promosi hasil produksi untuk mendapatkan pasar yang baik. 8
Pengembangan teknologi yang mendukung pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan.
b Peranan Pengusaha Kecil atau Koperasi
Dalam melaksanakan kemitraan usaha pengusaha kecil atau koperasi didorong untuk melakukan:
22 1
Bersama-sama dengan pengusaha besar mitranya melakukan penyusunan rencana usaha untuk disepakati.
2 Menerapkan teknologi dan melaksanakan ketentuan sesuai kesepakatan
dengan pengusaha besar mitranya. 3
Melaksanakan kerjasama antar sesama pengusaha kecil yang memiliki usaha sejenis dalam rangka mencapai skala usaha ekonomi untuk
mendukung kebutuhan pasokan produksi kepada pengusaha besar mitranya.
4 Mengembangkan profesionalisme untuk meningkatkan kemampuan atau
keterampilan teknis produksi dan usaha. c
Peran Pembina Peranan lembaga pembinaan ini pada intinya adalah menciptakan iklim yang
kondusif bagi pengembangan kemitraan usaha serta terwujudnya kemitraan usaha yang dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang bermitra.
Secara lebih rinci peran lembaga pembina tersebut adalah: 1
Meningkatkan pembinaan kemampuan kewirausahaan dan manajemen pengusaha kecil atau koperasi.
2 Membantu penyediaan fasilitas permodalan dengan skim-skim kredit
lunak dengan prosedur yang sederhana sehingga mampu diserap dan dimanfaatkan oleh pengusaha kecil.
3 Mengadakan penelitian, pengembangan dan penyuluhan teknologi baru
yang dibutuhkan oleh dunia usaha khususnya usaha yang dikembangkan dengan kemitraan usaha.
4 Melakukan koordinasi dalam pembinaan pengembangan usaha,
pelayanan, penyediaan informasi bisnis, promosi peluang pasar dan peluang usaha yang akurat dan aktual pada setiap wilayah.
5 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik SDM aparat maupun
pengusaha kecil melalui pendidikan, pelatihan, inkubator, magang, studi banding dan sebagainya.
6 Bertindak sebagai arbitrase dalam pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan kemitraan usaha di lapangan agar berjalan sebagaimana diharapkan.
23
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Pelaku utama dari industri kerajinan gula kelapa yaitu petani pembuat gula kelapa. Petani pembuat gula kelapa melakukan aktitivitas menderes pengambilan
nira dan mengolah nira menjadi gula kelapa setiap hari. Industri gula kelapa masih banyak diusahakan secara tradisional. Hal ini terjadi karena usaha menderes
dan mengolah nira menjadi gula kelapa dipelajari secara turun menurun. Permasalahan lainnya pada industri gula kelapa yaitu ketidakseragaman mutu gula
kelapa, petani pembuat gula kelapa kurang teratur dalam memelihara pohon kelapa, keterbatasan mengakses pasar, dan masalah permodalan.
PT. SJA merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penjualan gula kelapa. PT. SJA membutuhkan gula kelapa karung sebanyak 400 ton per minggu
dan gula kelapa super sebanyak tujuh ton per minggu. Dalam pelaksanaan usahanya, PT. SJA memiliki kemudahan dalam mendapatkan modal dan
mengakses pasar. PT. SJA menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan untuk mendapatkan pinjaman modal dan pabrik kecap serta pasar-pasar tradisional
sebagai konsumen gula kelapa. PT. SJA merekrut koordinator dari berbagai daerah penghasil gula kelapa. Koordinator berfungsi sebagai pengumpul gula
kelapa yang ada didaerahnya. Selain itu koordinator juga melakukan grading terhadap gula kelapa yang dibeli dari petani pembuat gula kelapa mitra,
menimbang, dan mengemas gula kelapa tersebut sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan perusahaan.
Hubungan yang terjalin antara PT. SJA, koordinator, dan petani pembuat gula kelapa mitra tidak hanya merupakan hubungan jual beli gula kelapa biasa.
PT. SJA memberikan pinjaman modal kepada koordinator. Begitu juga dengan koordinator yang menggunakan pinjaman modal dari PT. SJA sebagai pengikat
bagi petani pembuat gula kelapa agar mau menjual gula kelapa kepadanya. Kemitraan yang telah terjalin antara PT. SJA, koordinator, dan petani
pembuat gula kelapa mitra perlu dievaluasi. Dengan melakukan evaluasi, segala kekurangan dalam proses manajemen kemitraan dapat diperbaiki agar
pelaksanaan kemitraan dapat memberikan manfaat yang adil bagi kedua belah pihak yang bermitra. Evaluasi kemitraan dilakukan dengan cara menilai
pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara PT. SJA dengan petani pembuat gula
24 kelapa
mitra menggunakan
Keputusan Menteri
Pertanian Nomor
944KptsOT.210101997 tentang Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan, sehingga dapat mencapai kondisi kemitraan yang efisien dan efektif dan terciptanya
kemitraan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak secara adil. Adapun bagan kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
25
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
- Petani pembuat gula kelapa sebagai pelaku utama dalam
industri gula kelapa - Diusahakan secara tradisional
- Mutu gula kelapa tidak seragam - Kurang teratur dalam pemeliharaan
pohon kelapa - Keterbatasan mengakses pasar
- Masalah permodalan - Namun memiliki kemampuan dan
kemauan untuk memproduksi gula kelapa
- PT. SJA merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan gula
kelapa
- Membutuhkan gula kelapa
karung sebanyak 400 ton dan gula kelapa super sebanyak 7
ton per minggu.
- Merekrut koordinator sebagai
pengumpul gula kelapa -
Memiliki kemudahan dalam mendapatkan modal dan
mengakses pasar.
Evaluasi kemitraan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944KptsOT.210101997
Tingkat Hubungan Kemitraan 1.Kemitraan Pra Prima
2.Kemitraan Prima 3.Kemitraan Prima Madya
4.Kemitraan Prima Utama
Rekomendasi kebijakan kemitraan agar terciptanya kemitraan yang efisien dan efektif serta dapat
memberikan manfaat kepada petani pembuat gula kelapa mitra
Aspek Manajemen Kemitraan -
Perencanaan kemitraan -
Kelengkapan perencanaan -
Bidang khusus -
Kontrak kerjasama -
Pelaksanaan kerjasama -
Efektivitas kerjasama Aspek Manfaat Kemitraan
- Pendapatan
- Harga
- Produktivitas
- Risiko usaha
- Mutu
- Penguasaan teknologi
- Keinginan kontinuitas
kerjasama -
Pelestarian lingkungan
26
IV. Metode Penelitian
4.1. Lokasi dan Waktu