Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini digunakan teori asas kebebasan berkontrak. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas. Keduanya saling mendukung dan berakar dari paham hukum alam. Kedua paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh karena manusia menggunakan akalnya. Oleh karenanya menurut hukum alam individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang seoptimal mungkin. Dalam mencapai kesejahteraan, individu harus mempunyai kebebasan untuk bersaing dan negara tidak boleh campur tangan. Seiring dengan berkembangnya laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula suatu prinsip yang umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas. 46 46 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009, hal 8-9. Universitas Sumatera Utara Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. 47 Maka menurut Hans Kelsen: 48 “Perjanjian adalah tindakan hukum dua pihak di mana norma hukum mewajibkan dan memberikan wewenang kepada para pihak melakukan perjanjian yang dilahirkan oleh kerjasama dari minimal dua orang yang didasarkan prinsip otonomi yang diberikan pada para pihak dimana tidak seorang pun diwajibkan terhadap, atau bahkan tanpa persetujuannya sendiri di mana dari hubungan hukum tersebut dilahirkan norma yang merupakan perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang harus menghendaki hal yang sama dan kehendak-kehendak yang sejajar”. Kehendak para pihak inilah menjadi dasar doktrin otonomi kehendak yang menekankan kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama onbenoemde, innominaat contracten. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak yang mereka inginkan. 49 Jadi saat momentum awal kontrak terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya, asas konsensualisme lahir. 50 Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi kontrak ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi kontrak. Akibatnya kontrak tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus 47 Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, hal 11. 48 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011, hal 203-205. 49 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 30. 50 Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, Op.cit, hal 11. Universitas Sumatera Utara dilaksanakan dengan itikad baik. 51 Dalam kondisi yang demikian, menurut Max Weber, perkembangan pengaturan hubungan kontraktual dan hukum itu sendiri makin mengarah kepada kebebasan berkontrak, khususnya mengarah kepada suatu sistem yang bebas dari kerangka pengaturan bentuk-bentuk transaksi yang ditentukan hukum yang menjadi perintang dan meningkatnya kebebasan berkontrak. 52 Henry Maine dalam bagian terkenalnya dari Ancient Law menurut Lawrence M. Friedman, mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada masyarakat progresif dan menunjukkan pada masyarakat seperti itu hukum bergerak dari status ke kontrak. Maksudnya hubungan hukum dalam masyarakat modern tidak tergantung secara khusus lagi pada kelahiran atau kasta, hubungan itu tergantung pada perjanjian sukarela. 53 Namun berkembangnya doktrin itikad baik, doktrin penyalahgunaan keadaan, makin banyaknya kontrak baku, dan berkembangnya hukum ekonomi mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak. 54 Menurut Sunaryati Hartono, pada abad ke-20 terjadi perubahan besar yang disebabkan beberapa faktor yaitu malaise, muculnya ajaran hukum fungsional, sehingga lahir paham negara kesejahteraan, dan oleh perkembangan ekonomi 51 Ibid. 52 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 77. 53 Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Terjemahan oleh Wishnu Basuki. Jakarta: PT Tatanusa, 2001, hal 195. 54 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 114. Universitas Sumatera Utara yang karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi menuju produksi masal. Produksi masal menimbulkan perkembangan baru di bidang hukum kontrak dengan digunakannya kontrak-kontrak standar standard contracts. 55 Menurut R W M Dias, kembalinya kontrak ke status pada abad modern ditandai dengan individu yang tidak dapat lagi menegosiasikan klausula-klausulanya sendiri dalam hubungan publik dan khususnya di dalam industri sehingga menurut R W M Dias inilah abad standarisasi kontrak dan penawaran secara kolektif. 56 Friedrich A. Hayek berpendapat sebetulnya ini berarti kembali ke kedaulatan status, kemunduran dari “gerakan masyarakat progresif” yang dalam ungkapan terkenal Henry Maine, “hingga kini telah menjadi gerakan dari status ke kontrak”. 57 Man Suparman Sastrawidjaja berpendapat tujuan semula diadakannya kontrak baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. 58 Penjelasannya menurut Richard A. Posner adalah penyedia jasa hanya berusaha mengurangi biaya-biaya dari negosiasi dan perancangan kontrak dengan setiap konsumen. 59 55 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hal 120. Max Weber memperlihatkan kapitalisme modern tidak hanya membutuhkan teknik-teknik produksi, tapi juga membutuhkan sistem hukum yang dapat diprediksi. 56 R W M Dias, Jurisprudence. 5th Edition. London: Butterworths, 1985, hal 389. 57 Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme. Terjemahan oleh Iones Rakhmat. Jakarta: Freedom Institute Friedrich Naumann Stiftung, 2011, hal 97. 58 Djoni S. Gazali Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010, hal 322. 59 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law. 4th Edition. Boston: Little Brown Company, 1992, hal 114. Universitas Sumatera Utara Perusahaan-perusahaan modern kapitalisme modern sangat tergantung kepada prediksi. 60 Di mana pihak yang telah mempersiapkan kontrak tersebut telah menghitung resiko kontrak bisnisnya dengan pencantuman klausula yang menguntungkan dirinya terutama bila debitur lalai, terlambat membayar, dan wanprestasi. Kontrak baku yang dibuat dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya. 61 Maka pihak kreditur tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut dan debitur tinggal menyetujui “Ya” atau “Tidak”. 62 Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat dalam kontrak semacam itu akhirnya akan melanggar keadilan dan kelayakan. Dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki bargaining position yang seimbang. 63 60 Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 17 April 2004, hal 11. Mark R Patterson mengemukakan ada hal- hal yang menjadi perhatian dalam konteks konsumen di mana kontrak-kontrak demikian sering merupakan kontrak sepihak di mana konsumen tidak membaca atau tidak berdaya untuk melakukan negosiasi. Siapapun para pihak baik 61 Djoni S. Gazali et al, Op.cit, hal 325. 62 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata: Buku Satu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal 174. 63 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9. Universitas Sumatera Utara konsumen maupun pelaku usaha, kontrak baku tidak selamanya baik untuk setiap transaksi, maka untuk beberapa pihak tidak dilayani dengan baik oleh kontrak baku. 64 Keadaan tersebut dapat berlaku dalam hubungan bank kreditur dan nasabah debitur. Pada umumnya karena kreditur menjadi pihak yang mempunyai uang dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka kreditur diasumsikan memiliki bargaining position yang lebih kuat terhadap debiturnya. Namun dalam keadaan tertentu kreditur dapat merupakan pihak yang lemah. Ketidakseimbangan bargaining position ini sering melahirkan perjanjian kredit yang berat sebelah atau timpang, tidak adil, dan melanggar aturan-aturan kepatutan. 65 Karena itu, asas-asas dalam kontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas itikad baik relevan dalam penelitian tesis ini. Karena penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan pada kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan isi kontrak di mana para pihak bebas menentukan apakah mereka menuruti Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata atau mengesampingkannya. Selain itu asas itikad baik dalam kebebasan dan kesepakatan para pihak lebih ditekankan pada kesepakatan yang tidak berat sebelah fair antara para pihak. Namun asas itikad baik yang 64 Mark R Patterson, “Standardization of Standard-Form Contracts: Competition and Contract Implication”, William Mary Law Review, Vol 52 No. 2 2010, hal 332. 65 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9. Universitas Sumatera Utara ditujukan pada pengadilan membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. 66 Di mana aturan itikad baik yang ditujukan pada pengadilan merupakan pembatasan oleh negara melalui kekuasaan kehakiman sesuai pembagian trias politikanya Montesquieu. 67 Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan umum dan pihak yang lemah. 68 Namun kekuasaan kehakiman ini yang mau dikesampingkan karena alasan dikesampingkannya pasal-pasal tersebut adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri Pasal 1266. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga Pasal 1267. 69 66 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 7. Kaitannya dengan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis khususnya dengan jaminan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, tujuan dari jaminan memberikan hak verhaal hak meminta pemenuhan piutangnya kepada kreditur terhadap benda keseluruhan maupun penjualan benda dari debitur untuk pemenuhan piutangnya 67 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal 177. 68 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 3. 69 Hukumonline, “Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata”, http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4d534a209bbf4pengesampingan-pasal-1266-dan-pasal- 1267-kuhper-dalam-perjanjian , diakses tanggal 11 Desember 2012. Universitas Sumatera Utara dengan hak yang selalu mengikuti bendanya droit de suite tidak hanya hak tapi kewenangan menjual dan hak eksekusi dengan pelaksanan janji dengan mudah parate executie serta grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga menjamian kuatnya lembaga jaminan. 70 Maka apabila debitur cedera janji, eksekusi terhadap jaminan misalnya hak tanggungan dapat dilakukan tanpa melalui proses litigasi apabila melakukan eksekusi atas jaminan utang debitur karena kekuatan eksekutorial yang ada pada sertifikat jaminan sudah sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. 71 Maka keadilan yang dicari disini adalah keadilan komutatif di mana menurut Robert Nozick, keadilan hanya dibatasi dalam ruang komutatif pertukaran individu di mana keadilan bagi Nozick terdapat dalam pertukaran yang adil. 72 Sehubungan dengan hal tersebut, Aristoteles mengatakan apa yang adil just adalah yang proporsional. 73 70 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta: BPHN, 1980, hal 38-39. Keadilan harus dipahami sebagai fairness di mana prinsip perbedaan objektif yang menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak sehingga secara wajar objektif diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Prinsip perbedaan ini tidak menuntut manfaat yang sama equal 71 Utari Maharani Barus, “BASYARNAS sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia”, Spirit Hukum: Didedikasikan untuk Purna Bakti 70 Tahun Prof.Hj. Rehngena Purba, SH, MS Guru Besar Fakultas Hukum USU Hakim Agung Republik Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hal 157-158. 72 Karen Lebacqz, Six Theories Of Justice. Terjemahan oleh Yudi Santoso. Indianapolis: Augsbung Publishing House, 1986, hal 101. 73 Aristotle, Nicomachean Ethics, Tranlsated by W.D. Ross. Kitchener: Batoche Books, 1999, hal 76. Universitas Sumatera Utara benefits bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik reciprocical benefits. 74 Oleh karena itu kreditur juga sering mencantumkan klausula pernyataan bahwa debitur memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan. 75 Menurut Hegel sebagaimana adanya manusia itu, hanya bisa terjadi karena negara. 76 Maka dalam hal ini negara perlu campur tangan untuk melindungi yang lemah. 77 Pengaturan oleh Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha atau kreditur dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, mencantumkan klausula baku tentang memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak jaminan terhadap debitur. 78 Teori asas dalam berkontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas itikad baik ini tepat dalam penulisan tesis ini karena dasar penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang yang dibeli debitur secara angsuran dapat dipidana menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kecuali untuk kontrak leasingsewa guna usaha. 74 Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal 43. 75 H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Bandung: PT Alumni, 2012, hal 4. 76 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Bandung: CV Mandar Maju, 2011, hal 73. 77 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9. 78 Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Universitas Sumatera Utara oleh kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan klausul pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah perikatan bersyarat di mana syarat batal tersebut, pembatalannya harus dimintakan ke pengadilan. Namun, karena sifat terbuka dari Buku III KUH Perdata, para pihak memiliki kebebasan untuk mengesampingkan aturan ini termasuk Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Para pihak dalam menentukan klasula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus telah memahami bahwa dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, mereka telah melepaskan hak mereka untuk mengajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Sehingga penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dari pihak yang lemah oleh pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat, di mana tidak selamanya debitur sebagai pihak yang lemah tapi dalam keadaan tertentu kreditur bisa menjadi pihak yang lemah. Maka para pihak dalam penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus dilakukan dengan itikad baik dan fair. Terutama dalam eksekusi benda jaminan di mana dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, eksekusi tidak lagi dimintakan ke pengadilan yang menjadi salah satu bentuk intervensi negara dalam kaitannya dengan prinsip itikad baik, melainkan secara parate executie yaitu dengan kekuatan eksekutorial yang ada pada irah-irah grosse akta di mana eksekusinya dilakukan apabila debitur wanprestasi. Dengan demikian, penentuan Universitas Sumatera Utara klausula syarat batal yang mengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis perlu disepakati secara itikad baik dan fair sehingga dalam penentuan dan pelaksanaan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis ini para pihak terlindungi.

2. Kerangka Konsepsi