Tinjauan tentang Perjanjian pada Umumnya

e. Jenis Perjanjian Menurut Bentuknya

Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk perjanjian. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka perjanjian menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu (H. Salim. 2008 : 19):

1) Perjanjian Lisan Perjanjian lisan adalah perjanjian atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.

2) Perjanjian Tertulis

a) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan akta (Pasal 1682 BW). Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu a) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan akta (Pasal 1682 BW). Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu

b) Perjanjian standar/perjanjian baku.

Istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dari bahasa Belanda, yaitu standaart contract atau standaart voorwarden . Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa dized contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman mengenai perjanjian baku

yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk (Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 35). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung pengertian yang lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah dibakukan atau distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir atau bentuk perjanjian lain yang sifatnya tertentu.

Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama lainnya, yakni (Mariam

Darus Badrulzaman, 1996: 47):

a) Isinya ditetapkan sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat dari debitur.

b) Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian.

c) Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.

d) Bentuknya tertulis

e) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan individu.

Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan perjanjian sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan perjanjian sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak

f. Berakhirnya Perjanjian

Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah dicapai, dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat juga berakhir karena hal-hal berikut ini (R. Setiawan, 1999 : 68) :

1) Lama waktu perjanjian yang ditentukan oleh para pihak telah terlewati;

2) Batas maksimal berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang- undang;

3) Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak atau oleh undang-undang, bahwa dengan suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir;

4) Adanya pernyataan penghentian oleh salah satu pihak. Misalnya, perjanjian sewa-menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian. Pernyataan penghentian ini harus dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran menurut kebiasaan-kebiasaan setempat;

5) Karena putusan hakim;

6) Adanya kesepakatan para pihak karena yang menjadi tujuan bersama telah tercapai.

2. Tinjauan tentang Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien selaku Konsumen Jasa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Perjanjian Terapeutik

a. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien sebab pelayanan kesehatan ini terkait dengan tujuan dari perjanjian terapeutik itu sendiri yakni untuk memberikan upaya semaksimal mungkin terhadap penyembuhan penyakit pasien. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang untuk selanjutnya disebut UU Kesehatan secara umum pelayanan kesehatan mencakup Pelayanan kesehatan promotif (kegiatan yang bersifat promosi kesehatan), Pelayanan kesehatan preventif (kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit), Pelayanan kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit), dan Pelayanan kesehatan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).

Masyarakat selaku pihak yang menggunakan sarana kesehatan tentunya juga diberikan hak guna menjamin mendapatkan pelayanan

kesehatan yang maksimal. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran dan pemahaman, baik dari pelaku medis maupun dari pasien itu sendiri tentang

hak dan kewajibannya, khususnya mengenai hak pasien.

Healthcare shall be considered free from discrimination if, in the course of delivering healthcare services, patients are not discriminated against on grounds of their social status, political views, origin, nationality, religion, gender, sexual preferences, age, marital status, physical or mental disability, qualification or on any other grounds not related to their state of health. (James Macinko, International Journal for Equality in Health, 2002: Vol. IV).

Terjemahannya adalah sebagai berikut : Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika dalam rangka memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis Terjemahannya adalah sebagai berikut : Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika dalam rangka memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis

Dalam UU Kesehatan telah diatur di dalam Pasal 4, 5 ayat (1), (2), (3),

7, dan Pasal 8, yang dapat disimpulkan bahwa Setiap orang berhak :

Atas kesehatan Mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya

di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau

Berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

Memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Dalam kaitannya dengan perjanjian terapeutik, UU Kesehatan telah

memberikan dasar pengaturan mengenai Tenaga Kesehatan. Berdasarkan Pasal diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

Kewenangan lainnya mengenai tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 23 ayat (1), (2) yakni Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Kewenangan yang dimaksud disini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Pasal

24 ayat (1), (2), yakni, Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, 24 ayat (1), (2), yakni, Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi,

Selain itu, dalam UU Kesehatan juga memberikan perlindungan terhadap pasien yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1), 57 ayat (1), dan 58 ayat (1) yakni:

Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

b. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang untuk selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi yang pada dasarnya tentu untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat. Bila dikaitkan dengan perjanjian terapeutik, di dalam UU Praktik Kedokteran ini telah memberikan landasan hukum yang pasti tentang penyelenggaraan Praktik Kedokteran, diantaranya disebutkan dalam Pasal 36

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

selaku pihak penerima layanan kesehatan terjamin hak-haknya dalam mendapatkan layanan kesehatan dari orang yang tepat

Dalam pelaksanaan praktik, disebutkan dalam Pasal Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam hal ini perjanjian terapeutik yang terjadi harus timbul berdasarkan kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait yakni dokter dan pasien itu sendiri.

c. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 butir (2), dijelaskan bahwa "Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ntaupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan". Sedangkan butir (5) menyatakan bahwa "Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. "

Dalam UU Perlindungan Konsumen memang tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen. Hal ini dikarenakan hubungan tenaga kesehatan/dokter dan pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dengan kata lain bahwa pengertian pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan adalah "Setiap orang pemakai jasa layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter melalui suatu sarana kesehatan yang disediakan bagi masyarakat."

Dibentuknya UU Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang lebih lemah dari pelaku usaha, di samping itu konsumen tidak mengetahui hak-haknya. Sebagaimana pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan yang pada dasarnya memerlukan Dibentuknya UU Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang lebih lemah dari pelaku usaha, di samping itu konsumen tidak mengetahui hak-haknya. Sebagaimana pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan yang pada dasarnya memerlukan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku pada jasa pelayanan kesehatan dengan dasar hukum sebagai berikut:

1) Penjelasan UU Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa undang- undang tersebut adalah payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen (an umbrella act);

2) Ketentuan peralihan, Pasal 64 Undang UU Perlindungan Konsumen -undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan atau tidak bertentangan dalam undang-

3) Menganut asas lex specialis derogat lex generalis artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. UU Kesehatan sebagai lex specialis, UU Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis. Artinya jika kedua-duannya mengatur, maka yang berlaku adalah yang bersifat khusus, yaitu UU Kesehatan. Namun jika dalam UU Kesehatan tidak mengatur sendiri, maka undang-undang tentang kesehatan tidak mengatur tersendiri, maka undang-undang tentang konsumen berlaku untuk jasa pelayanan kesehatan.

Oleh karena itu diharapkan bahwa UU Kesehatan dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya, penjangkau perkembangan yang semakin kompleks yang akan terjadi dalam kurun waktu mendatang dan pemberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.