Keterampilan Melawat dengan Tongkat bagi Siswa Tunanetra yang

60 Anak yang tinggal di asrama kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua karena berbagai aktivitas anak yang dilakukan di sekolah dan di asrama. Anak dapat bertemu keluarga saat anak pulang ke rumah pada hari libur. “Large dormitories are giving way to small group living arrangements with a family-like atmosphere ” Cruickshank dan Johnson, 1975: 321. Pendapat ini dapat dimaknai bahwa, sebagian besar asrama memberikan arah untuk mengelola kelompok kecil hidup dengan atmosfir seperti keluarga. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, walaupun anak jarang bertemu dengan keluarga di rumah namun lingkungan asrama menghadirkan suasana seperti hidup dalam kehangatan keluarga. Perasaan kekeluargaan ini muncul karena mereka hidup bersama dalam satu lingkungan. Biasanya saat di asrama anak tinggal satu kamar dengan beberapa temannya. Demikian juga di asrama Yaketunis Yogyakarta tidak dikelompokkan berdasarkan kelas anak, tetapi dalam satu kamar bisa terdiri dari teman yang berbeda kelas dan tingkat pendidikan, seperti satu kamar ada yang terdiri dari anak Madrasah Tsanawiyah MTs, anak Sekolah Dasar SD dan mahasiswa. Adanya pengelompokan ini diharapkan agar anak dapat bersosialisasi dan beradaptasi minimal dengan teman sekamarnya. Selain itu, berbagai sikap dan perilaku dapat berkembang di lingkungan ini seperti sikap saling membantu serta toleransi. Ada beberapa fasilitas yang disediakan di asrama Yaketunis Yogyakarta seperti musholla , tempat wudhu, beberapa kamar mandi, tempat mencuci, jalan yang dilengkapi dengan guiding block , ruang makan, dapur, 61 dan tempat menjemur pakaian. Selain itu, di asrama ini juga memiliki bapak asrama, ibu asrama dan ibu yang biasa memasak makanan untuk anak asrama. Saat memasak biasanya anak dilatih untuk menyiapkan bumbu dan bahan yang akan dimasak. Kemudian beberapa anak ada yang membantu saat ibu tersebut memasak. Ada juga yang menyiapkan meja makan dan menyusun makanan. Kegiatan ini secara tidak langsung melatih anak untuk dapat memasak, menyiapkan meja, menata makanan, sehingga diharapkan anak dapat mandiri serta terampil dalam orientasi dan mobilitas. Anak diwajibkan untuk mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan di asrama. Biasanya setiap subuh siswa diminta solat subuh berjamaah dan mendengarkan kultum. Pada sore hari ada kegiatan TPA, baca tulis Braille, pelatihan bahasa Inggris dan persentasi mengenai pelajaran yang telah diberikan saat di sekolah. Selain itu, ada kegiatan olahraga tenis meja, catur, senam dan futsal setiap dua minggu sekali. Heward and Orlansky 1988: 322 menjelaskan bahwa, “independent living skill and vocational training are important of the program at virtually all residential school ”. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa kemampuan hidup mandiri dan pelatihan kejuruan yang hakikatnya program penting bagi semua sekolah berasrama. Oleh karena itu, kemampuan hidup mandiri dan program kejuruan sangat penting, bukan hanya untuk anak yang mengikuti program sekolah asrama namun juga anak yang mengikuti program sekolah harian. Hal ini diharapkan agar anak dapat mandiri dan memiliki suatu keterampilan. 62 Anak yang tinggal di asrama harus dapat hidup mandiri, sehingga anak harus mampu melakukan berbagai aktivitas secara sendiri seperti mencuci baju, memakai pakaian, mandi, makan dan berpergian secara mandiri. Tuntutan hidup mandiri ini menjadikan anak yang tinggal di asrama mampu mengelola kehidupannya, sehingga secara tidak langsung kemampuan orientasi dan mobilitas anak menjadi terlatih. Anak juga dibiasakan untuk berpergian secara mandiri dengan tongkat maupun melawat secara mandiri.

E. Kajian Komparasi tentang Keterampilan Melawat dengan Tongkat

antara Siswa Tunanetra yang Tinggal di Rumah dengan yang Tinggal di Asrama Komparasi merupakan kegiatan membandingkan dua atau lebih situasi, kejadian, kegiatan yang sejenis atau hampir sama. Komparasi disebut juga sebagai kegiatan membandingkan Nana Syaodih, 2006: 79. Pada penelitian ini dilakukan komparasi tentang keterampilan melawat dengan tongkat antara siswa tunanetra yang tinggal di rumah dengan yang tinggal di asrama. Menurut Nana Syaodih 2006: 56 komparasi dilakukan dengan mengumpulkan data dengan menggunakan instrumen yang bersifat mengukur, dan hasilnya dianalisis secara statistik untuk mencari perbedaan diantara variabel-variabel yang diteliti. Kegiatan komparasi keterampilan melawat dengan tongkat antara siswa tunanetra yang tinggal di rumah dengan yang tinggal di asrama dilakukan dengan menggunakan instrumen yang bersifat mengukur yaitu dengan tes perbuatan keterampilan melawat dengan 63 tongkat dan observasi keterampilan melawat dengan tongkat. Hasil pengumpulan data dari tes perbuatan dianalisis menggunakan statistik nonparametrik dengan tes U Mann Whitney untuk mengetahui dan menguji perbedaan keterampilan melawat dengan tongkat antara siswa tunanetra yang tinggal di rumah dengan yang tinggal di asrama. Selain itu menurut Zainal Arifin 2012: 46 menjelaskan bahwa, hasil perbandingan dapat menentukan unsur-unsur atau faktor-faktor penting yang melatarbelakangi persamaan dan perbedaan. Oleh karena itu, berdasarkan hasil perbandingan data kualitatif akan ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan melawat dengan tongkat pada siswa. Pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa komparasi tentang keterampilan melawat dengan tongkat antara siswa tunanetra yang tinggal di rumah dengan yang tinggal di asrama merupakan suatu kegiatan membandingkan keterampilan melawat dengan tongkat antara siswa tunanetra yang tinggal di rumah dengan siswa tunanetra yang tinggal di asrama. Ada dua lingkungan tempat tinggal yang berbeda yaitu rumah dan asrama. Selain itu, di kedua tempat tinggal tersebut memiliki berbagai aktivitas yang berbeda-beda. Salah satunya kebiasaan serta intensitas melakukan orientasi dan mobilitas seperti melawat dengan tongkat sehingga perlu dilakukan komparasi.