Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian

13 ketajaman sentral mata yang diukur berdasarkan satuan feet kaki atau meter dengan menggunakan Snellen Chart. Maksud dari visus 20200, yakni seseorang hanya dapat melihat suatu objek pada jarak 20 feet 6 meter yang seharusnya objek tersebut dapat dilihat oleh mata normal pada jarak 200 feet 60 meter. Ardhi Wijaya 2013: 21 menyatakan bahwa seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya yang bersangkutan memerlukan alat bantu khusus, metode khusus, atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat belajar tanpa pengelihatan atau dengan pengelihatan yang terbatas. Kondisi ketunanetraan ini menyebabkan mereka membutuhkan suatu layanan khusus untuk mengakses informasi seperti menggunakan tulisan Braille dan program orientasi dan mobilitas. Lowenfeld 1974: 31 menjelaskan pengertian tunanetra, yaitu: “child is totally blind or has only light perception, he needs to be given opportunities to observe with his sensory equipment and to learn the skills of self-care and social living, of mobility and communication by the use of his nonvisual senses. Children who have some sight will experience the world and themselves more like seeing children ”. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa anak buta atau hanya memiliki persepsi cahaya, dia perlu diberikan kesempatan untuk mengamati dengan peralatan sensoriknya dan belajar keterampilan perawatan diri dan kehidupan sosial, mobilitas dan komunikasi dengan menggunakan indera nonvisualnya . Anak-anak yang memiliki sedikit pengelihatan akan mengalami dunia dan diri mereka sendiri seperti anak-anak yang dapat melihat. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang tunanetra total atau hanya memiliki persepsi 14 cahaya harus diberikan kesempatan untuk mengamati dengan indera sensoriknya dan belajar keterampilan perawatan diri, kehidupan sosial, komunikasi, mobilitas menggunakan dria nonvisual, sedangkan anak tunanetra yang masih memiliki sisa pengelihatan tetap dapat memperoleh pengalaman dari lingkungan seperti anak pada umumnya. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tunanetra merupakan suatu kondisi hilangnya persepsi visual baik sebagian low vision ataupun seluruhnya blind akibat dari adanya kerusakan organ dan atau persyarafan pengelihatan. Hilangnya kemampuan visual menyebabkan mereka membutuhkan indera nonvisual untuk dapat memperoleh pengalaman tentang diri, kehidupan sosial, mobilitas serta komunikasi. Kondisi ini menyebabkan mereka membutuhkan penanganan khusus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran dibutuhkan suatu metodik khusus untuk dapat membelajarkan seorang tunanetra, namun dapat juga dilakukan dengan memodifikasi berbagai perangkat yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa tunanetra.

2. Karakteristik Anak Tunanetra

Setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kondisi ketunanetraan menyebabkan munculnya beberapa ciri khas atau karateristik khusus pada penyandang. Sari Rudiyati 2002: 34 menjelaskan bahwa anak tunanetra memiliki karakteristik berupa: cenderung mengembangkan rasa 15 curiga, mudah tersinggung, verbalisme, perasaan rendah diri, adatan atau blindsmmannerism, suka berfantasi, berpikir kritis, serta pemberani. Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa beberapa karakteristik tersebut merupakan karakteristik yang sering terlihat pada penyandang tunanetra. Berbagai karakteristik ini terlihat karena kurang atau tidak adanya rangsangan visual. Padahal sebagian besar rangsang diperoleh melalui indera pengelihatan. Hal ini menyebabkan penyandang tunanetra merasa kesepian dan kesulitan berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga menyebabkan mereka memiliki karakteristik mudah curiga, mudah tersinggung, verbalisme, blindsmmannerism, dan pemberani. Pendapat lain mengungkapkan bahwa, anak tunanetra memiliki karakteristik prestasi akademik yang terhambat, curiga pada orang lain, mudah tersinggung, ketergantungan pada orang lain, sikap tubuh kurang ajeg, kepekaan yang lebih baik pada indera perabaaan dan pendengaran dibanding anak awas, gerakan kaku dan kurang fleksibel dan perilaku stereotip Wardani, 2008: 20. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa kondisi ketunanetraan yang dialami seseorang menyebabkan mereka kesulitan dalam memahami suatu konsep terutama yang pemahamannya membutuhkan indera visual, sehingga terkadang kondisi ini menyebabkan penyandang tunanetra memiliki prestasi akademik yang terhambat. Selain itu, karakteristik sikap yang kurang ajeg dan kaku pada penyandang tunanetra dikarenakan mereka kesulitan untuk memposisikan tubuh dengan postur yang benar. Kondisi ketunanetraan juga menyebabkan mereka memiliki sikap ketergantungan 16 pada orang lain. Oleh karena itu, diperlukan latihan dria nonvisual agar penyandang tunanetra dapat mengenal lingkungannya. Hallahan and Kauffman 2009: 388-394 menyatakan bahwa penyandang tunanetra memiliki karakteristik yang dapat ditinjau dari aspek bahasa, intelektual, orientasi dan mobilitas, akademik dan sosial yang lebih lanjut dapat ditinjau sebagai berikut: a. Perkembangan bahasa Halahan and Kauffman 2009: 388 menyatakan bahwa “... auditory more than visual perception is the sensory modality through which we learn language, it is not surprising that studies have found that people who blind are not impaired in language functioning ”. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa persepsi pendengaran memberikan modalitas sensori lebih baik dari pada pengelihatan melalui bahasa yang kita pelajari, hal itu tidak mengherankan bahwa banyak studi sebelumnya menemukan bahwa orang yang buta tidak mengalami gangguan fungsi bahasanya. Pendapat ini dapat ditegaskan bahwa ketunanetraan secara signifikan tidak berpengaruh pada kemampuan bahasa, karena bahasa dapat dipelajari melalui pendengaran. Oleh karena itu, penyandang tunanetra tidak mengalami masalah pada pengembangan bahasa fungsional. b. Kemampuan Intelektual Menurut Hallahan and Kauffman 2009: 388 “most authorities now believe that such comparisons are virtually impossible because finding