6. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dan lebih suka menyendiri.
Orang tua dari anak tunagrahita dapat terganggu ketika menghadapi peristiwa-peristiwa kritis. Adapun saat-saat kritis itu terjadi pada saat berikut :
1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat.
2. Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk
sekolah biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal. 3.
Meninggalkan sekolah. 4.
Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat.
Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan
oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat-tempat penampungan. Tetapi
bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih-lebih bagi ibu-ibu yang selama ini menyayangi
orang tersebut Somantri, 2007.
D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA
Tidak ada satupun ibu yang menginginkan anaknya terlahir dan besar dengan kondisi yang berbeda dari anak normal. Engel et. al 1997 mengatakan,
melalui penelitian ilmiah akhir-akhir ini dapat diketahui secara pasti bahwa faktor
Universitas Sumatera Utara
lingkungan yang menjadi penyebab asli dari timbulnya berbagai bentuk kecacatan dan kelumpuhan anak. Ketidaknormalan yang terjadi pada seorang anak dapat
disebabkan benih yang baik namun berada pada lingkungan yang buruk atau benih yang buruk yang berada pada lingkungan yang baik. Banyak sekali
fenomena cacat fisik yang terjadi pada anak yang dahulu dianggap sebagai akibat turunan, namun kini diketahui bahwa penyebabnya adalah faktor lingkungan
terutama karena kekurangan oksigen pada masa kehamilan. Perlu diketahui bahwa lingkungan pada masa perkembangan awal janin memberikan pengaruh kepada
janin yang pengaruhnya lebih besar dari pengaruh lingkungan luar. Kondisi anak yang “berbeda” dari harapan orang tua memicu tekanan dan
kesedihan, khususnya ibu sebagai figur terdekat dengan anak. Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka
berperan langsung dalam mengandung, melahirkan dan membesarkan anak. Pandangan yang terbentuk pada ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara
kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan
tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita Mangunsong, 1998. Bowlby dalam penelitiannya dalam Notosoedirjo Latipun, 2002
mengemukakan bahwa kelekatan anak sangat kuat terhadap ibunya hingga usia 3- 6 tahun dan setelah itu mulai berkurang. Reaksi yang terjadi membuat ibu sulit
menerima kondisi anak tunagrahita dimana anak tunagrahita membutuhkan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan anak yang normal Mawardah,
Siswati Hidayati, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama Kirk Gallagher, 1989. Pertama, orang tua tentunya memiliki harapan-
harapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak
dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang
tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut Farber dalam Kirk Gallagher, 1989. Kedua, krisis yang dialami berhubungan dengan
masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya,
seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Keberadaan anak berkelainan juga akan memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam interaksi satu sama lain. Terdapat beberapa reaksi awal ibu terhadap anak tunagrahita hingga pada
akhirnya mereka perlahan dapat menerima kondisi dirinya sebagai orang tua dari anak tunagrahita dan kondisi anak mereka. Kubler–Ross dalam Garguilo,1985
membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar. Tahapan-tahapan itu adalah: a.
Primary Phase
1.
Shock
Orangtua merasa terguncang, tidak mencapai apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional di tandai dengan menangis terus-menerus dan
perasaan tidak berdaya. 2.
Denial
Universitas Sumatera Utara
Orangtua menolak keadaan keluarganya dengan cara merasionalisasi kekurangan yang ada atau mencari penegasan dari para ahli bahwa tidak ada kekurangan.
3.
Grief and Depression
Merupakan reaksi yang wajar dan tidak perlu dihindari. Dengan adanya perasaan ini orangtua mengalami masa transisi, dimana harapan masa lalu mengenai ‘anak
yang seumpama’ tidak sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini. b.
Secondary Phase
1.
Ambivalence
‘Kecacatan’ yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas kasih sayang sekaligus perasaan bencinya. Dalam hal ini seseorang
dapat mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak atau justru menolak memberikan kasih sayang kepada anak dan menganggap anaknya tidak berguna.
2.
Guilty Feeling
Perasaan bersalah karena menganggap dirinyalah yang menyebabkan anaknya mengalami cacat, dan dirinya akan dihukum karena dosanya di masa lalu.
3.
Anger
Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama, timbulnya pertanyaan: mengapa saya? Kedua, displacement dimana rasa marah ditunjukkan kepada
orang lain, seperti dokter, terapis atau anggota keluarga yang lain. 4.
Shame and embarrasment
Perasaan ini timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek ‘kecacatan’ anak.
c.
Tertiary Phase
1.
Bargaining
Universitas Sumatera Utara
Suatu strategi dimana orangtua membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya menjadi
kembali normal. 2.
Adaptation dan reorganization
Adaptation merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas dan reaksi emosional lainnya., sedangkan
reorganization adalah kondisi dimana orangtua merasa nyaman dengan situasi yang ada dan terdapat rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk merawat
dan mengasuh. 3.
Acceptance dan Adjustment
Pada fase ini seseorang tidak hanya menerima kondisi penderita tetapi juga menerima kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri.. Adjustment atau penyesuaian
diri adalah tambahan untuk menjelaskan konsep acceptance, dimana terdapat suatu tindakan
positif yang bergerak maju. Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa
orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa
tahap saja serta tidak berurutan. Orang tua adalah guru pertama bagi anak mereka, mereka selalu ada untuk
memberikan dorongan maupun pujian bagi anak. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelektual dan perilaku adaptif, orang tua juga harus mengajarkan
anak mereka agar dapat meneruskan kelangsungan hidupnya dan mandiri. peran
Universitas Sumatera Utara
ibu dalam pengasuhan anak sangat penting dan membutuhkan dukungan penuh agar anak itu sendiri dapat hidup mandiri. Hubungan anak tunagrahita dengan
ibunya sangatlah penting dibandingkan dengan hubungan anak yang inteligensinya normal dengan ibunya. Kepribadiannya, termasuk kestabilan atau
ketidakstabilan emosinya, sampai pada batas tertentu mencerminkan kepribadian dan kestabilan atau ketidakstabilan emosional ibunya Semiun, 2006.
Ibu dengan anak tunagrahita akan mengalami beragam bentuk pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan reaksi emosional negatif yang
mengakibatkan penyesuaiannya kehidupan mereka Findler Proquest, 2000. Kondisi ini mempengaruhi kondisi ibu secara mental psikologis. Dalam kaitannya
dengan kondisi psikologis, maka permasalahan penerimaan diri tidak lepas dalam kondisi ini.
Beberapa studi menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita sering kali mengalami stres tingkat tinggi Hendriks, DeMoor, Oud, Savelberg;
McKinney Peterson; Rodrigue, Morgan, Geffken; Smith, Oliver, Innocenti dalam Lessenberry Rehfeldt, 2004. Beban fisik penyebab stres pada ibu yang
memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari membuat orang tua khususnya ibu harus selalu
siap dalam membantu dan mendampingi anaknya, sedangkan beban psikis yang dirasakan ibu berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa,
rasa bersalah atas kondisi anak serta tidak adanya dukungan dari keluarga Mawardah, Siswati Hidayati, 2012. Ditambah dengan beban sosial dan respon
negatif dari masyarakat membuat ibu yang memiliki anak tunagrahita menjadi
Universitas Sumatera Utara
malu yang kemudian menarik diri dari kehidupan sosial, dan ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis ibu secara keseluruhan.
Ibu dari anak tunagrahita harus menerima dan membantu anak dalam menyesuaikan diri. Jika anak merasa aman dalam hubungan dengan keluarganya
dan mengetahui bahwa orang tuanya benar-benar memperhatikannya maka ini akan banyak membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan dunia luar. Ibu dari
anak tunagrahita yang bisa menerima kondisi anaknya lebih banyak memberikan rasa kasih sayang serta perhatiannya yang lebih terhadap anaknya. Namun ibu
yang tidak bisa menerima kondisi anaknya, memilih untuk menjauhi serta berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anaknya yang
tunagrahita. Biasanya ibu dari anak tunagrahita merasa sangat terbebani secara fisik maupun mental saat harus merawat anaknya sehingga banyak menutup diri
dari pekerjaan maupun kegiatan di luar rumah. Ibu dengan anak tunagrahita juga harus mampu memenuhi kebutuhan psikologisnya untuk mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan agar dapat mengasuh anaknya dengan baik. Konsultasi ibu sangat penting untuk mengatasi stres serta bisa membantu mengidentifikasi rasa
marah dan bersalah yang mungkin timbul pada ibu dalam situasi ini Yulius dalam Mawardah, Siswati Hidayati, 2012.
Pemenuhan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita dapat ditandai dengan kondisi psikologis seorang ibu yang memiliki
keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan
anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi
Universitas Sumatera Utara
potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna. Sangat penting sebagai seorang ibu, untuk
meluangkan waktu untuk merawat diri sendiri sebagai individu dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka. Seorang ibu yang memiliki
anak tunagrahita juga memerlukan dukungan dari segala pihak untuk mengurangi beban yang dirasakannya, dimana kondisi ibu yang memiliki anak yang memiliki
keterbatasan secara intelegensi dan sosial tersebut memerlukan tenaga, pikiran dan biaya yang lebih besar dalam merawat anaknya sehingga membutuhkan
bantuan dari orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan dan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis ibu Ravindranadan,
2007.
Universitas Sumatera Utara
Kerangka pemikiran
Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita
Reaksi ibu Semua orang tua ingin
mempunyai anak normal
Faktanya, banyak anak yang terlahir tidak normal.
Salah satunya Tunagrahita
Menerima kondisi anak dengan lapang dada
Shocked, menolak Tidak dapat menerima
kondisi anaknya
Kesejahteraan Psikologis Ibu
Menurut Ryff 1989, ada 6 dimensi Kesejahteraan Psikologis :
1. Penerimaan diri
2. Hubungan yang positif dengan orang lain
3. Otonomi
4. Penguasaan terhadap lingkungan
5. Tujuan hidup
6. Pertumbuhan pribadi
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian mengenai gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah metode
deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif yaitu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu gejala
pada masa sekarang. Tujuan dengan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, aktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki Azwar, 2004.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian deskriptif ini semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis,
membuat prediksi maupun mempelajari implikasi Hadi, 2002. Menurut Azwar 2007, penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada
data-data numerik angka yang diolah dengan menggunakan metode statistik. Punch dalam Hasan 2003 menyatakan bahwa ada dua kegunaan
penelitian deskriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang baru. Kedua, untuk mendapatkan deskripsi yang tepat mengenai proses-proses
sosial yang kompleks sehingga dapat membantu kita untuk memahami faktor apa saja yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor apa yang perlu diteliti lebih
lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam.
Universitas Sumatera Utara