47
P: Ya, memang kalau tidak lulus UN tidak lulus, tetapi kalau tidak lulus UAS juga
tidak lulus. Namun, tidak banyak murid yang takut tidak lulus UAS.
G: Soalnya UAS itu ditentukannya oleh sekolah, dan tidak mungkin ada sekolah
yang tidak meluluskan siswanya… yaa, walau ada saja sih… Kan sekolah juga tidak mau pamornya turun karena ada siswanya yang tidak lulus.
P: Tentu... Dan, terakhir, setelah setahun lebih sejak mengikuti UN, bagaimana
pendapat Anda sekarang terhdap sontek-menyontek, dan UN-nya sendiri?
G: Sepertinya sih budaya menyontek dan segala macamnya susah untuk dipisah
dari pelajar kita, intinya sudah mendarah daging, kecuali kalau pemerintah bisa lebih tegas dan membuat sistem pendidikan yang lebih baik.
P: Lebih baik, misalnya bagaimana? G: Ya, tidak seperti UN yang dijadikan satu-satunya faktor kelulusan, karena yang
namanya sekolah kan tidak hanya mengajar dan mengejar nilai tapi juga mendidik… kalau penyamarataan pendidikan macam ini terus, yang sama
hanyalah kuantitas angka, bukan kualitas akhlak serta norma.
P: Ya, terima kasih atas partisipasinya, sepertinya cukup sampai di sini. G: Sama-sama.
48
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA
HariTanggal Wawancara: Selasa7 Desember 2010
Nama: Priscilla Linda Larasati Status: Mahasiswa Tahap Persiapan Bersama Institut Teknologi Bandung
Jenis kelamin: Perempuan Peserta UN tahun: 2010
SMA Asal: SMA Mardi Yuana Depok
P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa
tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?
Pr: Cukup tegang, karena tahun itu tahun terakhir dengan segala beban yang
harus dipikul untuk persiapan UN dan SNMPTN.
P: Bagaimana dengan teman-teman? Merasa tegang juga? Pr: Sebagian lebih tegang lagi, mungkin karena faktor nilai mereka dari Kelas 10
yang kurang menjanjikan, hehehe… Sebagian lagi, tenang, tapi cukup tegang untuk menyusun persiapan.
P: Persiapan apa yang dilakukan oleh Anda dan teman-teman?
49
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
Pr: Rata-rata nyari bimbel [bimbingan belajar], kalau aku termasuk setop semua
ekskul juga. Fokus ngatur waktu, meng-deactivate Facebook, Twitter, dan kawan- kawan, hahaha…
P: Apakah dengan persiapan itu seseorang menjadi pasti dengan kemampuan
sendiri, atau mencari kepastian dengan metode lain... bocoran soal, kunci jawaban, dan semacamnya?
Pr: Tergantung individunya, kalau dia merasa belum mampu sampai mendekati
hari-H, pasti nyari alternatif; sebagian temanku termasuk [yang] mengambil langkah alternatif itu. Ada seseorang yang dapat channel dari luar untuk kunci
jawaban, harganya jutaan, dan sebagian teman-temanku di IPA patungan beli itu. Yang IPS lebih parah lagi jumlah massanya.
P: Bagaimana, tuh? Pr: Ya itu tadi, ada salah satu orang yang dapat channel untuk jual-beli kunci
jawaban. Nah, dia kasih tahu ke yang lain, otomatis yang lain juga mau. Jangankan di sekolahku, teman-temanku dari [sekolah] negeri pun yang
sekolahnya termasuk sekolah-sekolah dengan rating tinggi di kotaku… di sana juga banyak penyebarluasan kunci.
P: Hoo... Dan bagaimana hasil ujian mereka yang menggunakan kunci jawaban
tersebut?
50
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
Pr: Wah, bagus-bagus, lah. Bahkan di sekolahku yang dapat nilai UN tertinggi itu
seseorang tak terduga, dan dia beli “kunci” [kunci jawaban]. Malahan juara-juara umumnya paling cuma di-rating 4, 5, 8, bahkan 20-an. Jadi sebenarnya aku nggak
suka UN karena… banyak kecurangan di sana. Yang bisa membuktikan seorang anak berhasil dalam studinya itu berdasarkan rapotnya… yang juara umum pasti
ketahuan… kalau UN justru yang juara umum tersingkir. Artinya dunia pendidikan kita sudah termanipulasi oleh anak didiknya sendiri, kan?
P: Seharusnya lebih dilihat dari sehari-harinya, ya? Pr: Yep, karena belajar dan prestasi itu menurutku proses… dan jangka waktunya
panjang. Bukan cuma blek “UN bagus”, lalu seseorang jadi pintar… nggak gitu. Aku termasuk salah satu yang menentang UN, dengan alasan percuma UN ada
tapi kecurangan masih banyak di mana-mana… Itu cuma buang-buang waktu, tenaga… malahan bikin anak stress.
P: Ya… Pr: Coba bayangkan mereka yang dari kampung, dari Papua gitu, yang belajar
dengan fasilitas minim, sekolah nggak punya lab bahasa, TV pun belum tentu punya, tiba-tiba UN harus listening Bahasa Inggris… aku saja yang di kota masih
kelabakan. Mereka yang miskin belum tentu punya duit [untuk] beli “kunci”, tapi mereka semua korban ketidakadilan sistem pedidikan di negeri kita yang—kalau
51
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
aku boleh jujur, aku berpendapat—serba instan, cuma terpatok kurikulum yang kurang strategi, dan anak-anak belajar semata-mata ngejar nilai, bukan ngejar
ilmu. Terbukti, kok, pas kuliah. Semua yang diajarin pas SMA itu—khususnya aku yang merasakan—serba instan, rumus tanpa kita tahu aplikasi dan asal-
mulanya, lalu cuma metode cepat yang sama sekali mematikan karakter kita untuk melatih olah pikir… Curcol nih lama-lama…
P: Hahaha, nggak apa… Namun, sepertinya sekolah juga sangat mengutamakan
kelulusan muridnya dalam UN, berhubung imej mereka juga berkaitan dengan jumlah murid yang lulus UN…
Pr: Nah, itu dia, setuju Cuma demi mempertahankan akreditasi… Sistem
pendidikan kita seakan-akan terlalu dibonekakan oleh UN.
P: Apakah ada upaya yang dilakukan pihak guru dan sekolah Anda untuk
memastikan kelulusan siswa dalam UN?
Pr: Upaya? Nggak ada, cuma ngajar doang. Tapi ada beberapa hal yang aku
sendiri rasakan pas hari-H UN… jadi, guru dari sekolah lain ngawas di kelas aku… Aku benar-benar benci banget dengan sistem pengawasan mereka. Masa
mereka ngobrol-ngobrol di luar pintu? Aku sudah berusaha pura-pura batuk, bentar “ck, ck, ck”, supaya mereka tuh nyadar. Eh, tetap saja nggak nyadar…
ganggu konsentrasi banget. Nah, ada beberapa teman yang bilang pengawas
52
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
sengaja gitu supaya ngasih kesempatan [kepada] kita [untuk] nyontek. Lalu, ada dua guru dari dua sekolah berbeda justru malah ngajarin kita sistem tukar
jawaban gitu, yang dulu aku diajarin “A B C D E”-nya. “Ini A, ini B, ini C…” dan seterusnya [Priscilla menunjukkan gestur tangan]. Aku curiga, antara guru
Sekolah A dan Sekolah B memang sudah ada kesepakatan sendiri untuk mengawas dengan “baik hati”—jadi ada Guru X yang bilang ke kita setelah
membagi soal, “Kalian satu jam pertama kerjain dulu saja yang baik, jangan ganggu teman-temannya dulu… Nanti satu jam terakhir kalau kalian sudah
mentok, baru deh”… sambil [siswa] diajarin metode tangan “A B C D E”. Mungkin baik untuk sebagian anak yg benar-benar pas UN terdesak dan panik
karena nggak bisa ngisi... Aku curiga memang sudah ada kesepakatan khusus antarpengawas soal “kebaikan mengawas”… yang seharusnya itu “kebijakan
pengawas”.
P: Bisa dijelaskan lagi yang “A B C D E” itu dalam kata-kata? Pr: Nggak bisa, Man, aku bingung… soalnya kan itu gerakan gitu, hahaha…
Pokoknya gitu, lah… Intinya kode dengan gerakan tangan. Tapi aku rasa percuma juga, wong yang lain sudah punya kunci jawaban, perlu tukar jawaban pun nggak
jadi masalah.
Pr: Sebenarnya, kasihan juga untuk sebagian orang yang benar-benar butuh…
karena nggak tega juga lihat dia nggak lulus… Di satu sisi, memang kesalahan dia
53
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
dan pihak sekolah yang nggak matang mempersiapkan UN. Aku saja UN 80 persiapan sendiri, percuma ngandalin sekolah, karena serba “instan”.
P: Bisa dibilangkah bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa merasa
kurang siap untuk UN adalah metode pengajaran sekolah yang instan?
Pr: Betul. Lalu, faktor mental juga. Aku sendiri juga merasakan, “malasnya
belajar buat UN”…
P: Hoo? Pr: Faktor kecanduan social-network site… Faktor mental yang lain… Aku
menemukan beberapa temanku ngeluh, “Ah, udah lah, nggak sanggup lah gue lihat rumus-rumus entah berantah kayak gini, entar dekat UN juga dapat
“kunci”…”, jadi otak mereka ter-set untuk menyepelekan belajar, karena sudah tenang dengan “kunci”. Nanti, giliran kunci salah, baru kelabakan deh mereka…
wakakaka… sayangnya kunci kemarin benar.
P: Jadi dari awal mereka memang sudah berniat menggunakan kunci? Pr: Sebagian iya, nggak semuanya, ya… bahkan, sebagian kecil yang berpikir
gitu: beberapa anak yang beli kunci karena mereka “terpaksa”… karena mereka benar-benar nggak mampu dan kurang persiapan.
54
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
P: Jadi, mayoritas masih berusaha belajar dulu, ya… Tetapi, mereka tetap
menggunakan kunci jawaban?
Pr: Yep. Ada juga mereka beli kunci karena nggak PD [percaya diri] dengan
kemampuan diri sendiri… cuma sebagai pegangan doang buat jaga-jaga. Mereka nggak yakin dengan diri mereka sendiri, Man… Mental anak didik di Indonesia
itu rata-rata mental penyontek. Dulu aku, pas SMA, ulangan-ulangan juga pernah sih nyontek sekali-kali… Lama-lama aku mikir, nyontek itu cuma mematikan
karakter kejujuran kita… Jadi, pas kuliah, begitu dapat statement “mahasiswa yang menyontek akan kehilangan status kemahasiswaannya” aku sudah nggak
kaget, karena aku sudah meng-set-kan diri untuk jujur dalam ujian. Lebih baik aku ngulang, daripada aku lanjut ke tingkat lebih tinggi padahal aku belum mampu di
tingkat lebih basic-nya, ujung-ujungnya aku akan ngulang lagi.
Pr: Sistem pendidikan kita salah itu terutama karena kurangnya pendidikan budi
pekerti dan moral… Setahuku dulu bahkan ada pelajaran budi pekerti, nggak tahu kenapa sekarang nggak ada... Pendidikan Pancasila dulu ada, sekarang malah
nggak ada, diganti Kewarganegaraan yang cenderung ke segi politis [sebenarnya diganti menjadi PKn, Pancasila dan Kewarganegaraan —pewawancara]. Padahal
kalau pendidikan moral itu ditanamkan dari kecil, itu menumbuhkan pribadi- pribadi baru sebagai generasi bangsa yang jujur, antikorup…
55
Lampiran D TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA sambungan
Pr: Nah, aku juga menilai faktor-faktor rusaknya moral anak-anak bangsa karena
lingkungan juga, media massa terutama… Sinetron-sinetron yang nggak mendidik, dan kawan-kawan… Anak kecil itu kan dalam proses sosiologinya
cenderung “meniru”, kalau dari kecil yang ditiru negatif-negatif, sampai gede perilakunya negatif juga.
P: Bisa jadi… Rasanya cukup itu saja, terima kasih atas partisipasinya. Pr: OK…
56
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Amanda Kistilensa
Tanggal 16 November 1992 menandakan kelahiran anak kedua dari Siswanda Harso Sumarto dan Hetifah
Sjaifudian di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Pada hari itu juga, anak perempuan itu diberi nama
Amanda Kistilensa. Seusai kelahirannya, ia tinggal di Bandung bersama kedua orang tua dan kakaknya,
Amirah Kaca, dan dua tahun kemudian adiknya, Asanilta Fahda, lahir. Sesudah melalui masa taman kanak-kanak, Amanda memasuki SD Islam
Ibnu Sina. Tidak lama kemudian, adiknya yang kedua, Nahla Tetrimulya, lahir. Selama empat tahun ajarannya di sana, prestasinya cukup baik sebagai peraih
peringkat pertama tiap tahun. Pada akhir kelas empat, kedua orang tuanya memutuskan melanjutkan studi mereka di Flinders University yang terletak di
Kota Adelaide, Australia, dan membawa keempat anak mereka ke sana. Mengulangi kelas empat, Amanda memulai persekolahannya di Australia
di Flagstaff Hill Primary School bersama Asanilta yang berada di kelas dua. Pada akhir kelas enam, ia memutuskan untuk berpindah ke sekolah menengah Pasadena
High School. Sebagai salah satu murid kelas tujuh yang jumlah totalnya hanya tiga orang, ia dimasukkan ke kelas delapan. Pada akhir semester pertama,
57
keluarganya selain kakaknya kembali ke Indonesia, dan ia dipindahkan lagi ke kelas sembilan.
Enam bulan kemudian, setelah empat tahun menimba ilmu di Australia, ia beserta kakaknya kembali ke Indonesia. Amanda menjalani satu semester yang
singkat di SMPN 7 Bandung, sebelum diterima sebagai siswa SMAN 1 Bandung. Salah satunya prestasinya adalah menjadi juara dua lomba spelling bee. Pada
tahun ketiganya di SMA, 2008, ia mengikuti ajang pemilihan Mojang-Jajaka Kota Bandung dan menjadi Mojang Remaja Wakil ke-2. Tidak lama kemudian,
kelulusan tiba, dan Amanda melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ia memulai kehidupan mahasiswanya di Universitas Kristen Maranatha,
jurusan Teknik Elektro. Meskipun Amanda amat menikmati perkuliahannya di universitas tersebut, ia memutuskan untuk mengikuti USM Terpusat ITB, dan
mengambil peluang untuk menekuni bidang yang dirasa lebih cocok dengan dirinya, sains. Kini, ia kembali menjadi mahasiswa tingkat pertama di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, dengan harapan melanjutkan studinya di program studi Fisika.
58
Geavani Eva Ramadhania
Geavani Eva Ramadhania lahir di Palembang pada tanggal 15 November 1992.
Geavani, yang biasa dipanggil Vani, merupakan putri kedua dari pasangan Drs. H. Eddy Roflin
M.M. dan Hj. Tati Suhartati. Vani memiliki seorang kakak bernama Ferani Eva Zulvia dan
adik bernama Abizard Bagas Putra. Dari kecil hingga lulus SMA, ia tinggal bersama
orangtuanya di Palembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, ia melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dan tinggal di Bandung bersama
kakak perempuannya hingga sekarang. Vani memulai pendidikannya dengan bersekolah di TK dan SD Islam Az-
zahra, sebuah sekolah yang berada di bawah bimbingan Yayasan Al-Azhar Jakarta. Pada tahun 2004, ia diterima di SMP Negeri 1 Palembang. Vani berada
dalam urutan ke-13 dari 40 siswa terbaik, sehingga ia diterima di kelas bilingual di sekolahnya. Selama menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, ia
dan teman-temannya sering diminta untuk mewakili sekolahnya dalam perlombaan-perlombaan dalam bidang akademis maupun nonakademis dengan
hasil yang cukup membanggakan. Ia juga aktif dalam Organisasi Intra Sekolah yang biasa dikenal dengan singkatan OSIS.
59
Saat melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Palembang pada tahun 2007, ia kembali masuk ke dalam kelas unggulan. Namun, Vani tidak kembali
berpartisipasi dalam OSIS karena ingin mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional dan ujian saringan masuk ke perguruan tinggi yang dia inginkan.
Tahun ini keinginannya terpenuhi saat ia diterima di perguruan tinggi terbaik favoritnya yaitu Institut Teknologi Bandung. Saat ini ia masih menjalani
pendidikannya di perguruan tinggi tersebut. Vani memilih Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam. Ia mengikuti program beasiswa minat dan tahun depan ia
sudah ditetapkan akan dijuruskan ke jurusan Astronomi. Ia bercita-cita ingin menjadi pimpinan di National Aeronautics and Space Administration NASA,
Amerika Serikat. Ia juga mempunyai ambisi untuk mendirikan sebuah badan antariksa negara di Indonesia berskala internasional dan mampu bekerja sama
dengan badan-badan antariksa lainnya di seluruh dunia. Karena ambisinya itulah, ia memutuskan untuk memilih prodi Astronomi.