pertempuran lain, yang berpengaruh besar terhadap sejarah Jepang seperti Okehazana atau Mikataga Hara, nyaris tidak diketahui oleh dunia barat.
Inilah masa jaya golongan samurai, sebab ketika peperangan berakhir, ibukota kekaisaran Kyoto hanya berperan sebagai boneka Shogun Tokugawa dan
pemerintahan militernya yang bermarkas di Edo.
2.1.2 Jalan Samurai
Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis pekerjaan. Semua bushi – baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya
termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.
Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer semata-mata. Beberapa samurai menjadi cendikiawan termasyur. Ada yang berkiprah sebagai
administrator sipil dan militer, seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka
dalam keadaan perang. Kaum perempuan dilatih menggunakan belati kecil yang diselipkan pada kain
ikat pinggang. Senjata yang biasa terbungkus sarung brokat ini menjadi suatu penanda posisi, sama halnya dengan pedang. Bagi kaum laki-laki. kaum perempuan
kelas atas bahkan dilatih menggunakan senjata khas tertentu yaitu naginata sejenis tombak menjadi senjata perempuan, dan digunakan sebagai pertahanan terakhir. Para
penguasa feodal punya pasukan perempuan bersenjatakan naginata yang berlalu lalang di pekarangan dalam benteng mereka pada malam hari.
Universitas Sumatera Utara
Banyak biksu Buddha – setidaknya mereka yang berkedudukan – terlahir sebagai samurai. Walupun biksu Buddha merupakan pekerjaan yang seharusnya tidak
memandang kedudukan seseorang bagaimanapun, segala aspek duniawi seharusnya ditanggalkan pada waktu seseorang menjadi biksu, dalam kenyataanya jarang
demikian yang terjadi. Beberapa pembesar yang kaya-raya dan berkuasa terus memerintah wilayah kekuasaan mereka dan memimpin pasukan yang besar,
meskipun telah mengucapkan ikrar sebagi biksu. Takeda Shingen terlahir Harunobu dan Uesugi Kenshin terlahir Terutora merupakan dua contoh terkenal.
Bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagi prajurit rendahan memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, justru Toyotomi
Hideyoshi – anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi penguasa Jepang – yang membuat impian itu semakin sulit terwujudkan, yaitu ketika
ia mengeluarkan titah yang membatasi status samurai kepada mereka yang telahir sebagai samurai.
Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri dari atas anggota marga dan pengikut yang turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka , semuanya, lebih
menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar, dan itu
membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik adalah Akechi
Mitsuhide, seorang jendral dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang calon penakluk itu.
Universitas Sumatera Utara
Struktur sosial kaku sebagaimana diperkenalkan oleh ajaran Konghucu tidak memperoleh pengakuan resmi sampai pemerintahan Tokugawa, yang berkeinginan
kuat mendapatkan kendali atas masyarakat, mendukungnya secara resmi. Meskipun demikian, terdapat arus bawah Konghucu yang kuat, suatu sikap hidup yang ditandai
oleh kepasrahan kepada nasib. Kebetulan, sikap itu sejalan dengan cara pandang pasrah terhadap dunia yang diusung oleh umat Buddha.
Orang-orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika
menjadi tak bertuan – menjadi ronin secara harfiah ‘manusia ombak’ atau ‘manusia kelana’ seorang petarung kehilangan dukungan atau pelindung marga. Jika seorang
pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya
berkelahi atau melanggar peraturan. Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan seringkali
berpaling kedunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan tetap menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan
bersumpah setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka.
Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapatan ini mereka harus membiayai rumah tangga bagi yang memilikinya dan membeli segala
perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran kekayaan yang lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi
seseorang untuk makan selama satu tahun. Semua tanah kekuasaan dijabarkan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku antara 120 liter. Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku dengan asumsi
jatah makannya ditanggung junjungannya. Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar
beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya, menyediakan perbekalan bagi garnisunnya, membeli pakan kuda, mengupah para
pelayan, dsb. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras. Bahkan, marga Takeda dari
Kai, yang menguasai tambang emas paling berharga diseluruh negeri, tetap memerlukan beras untuk memberi makan tentara mereka.
Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil panen padi yang mereka tanam untuk para samurai. Mereka terpaksa beralih kebiji-
bijian lain yang lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk dihitung, lalu disimpan atau dibagikan.
Urusan keuangan diserahkan kepada kaum isteri karena dipandang rendah oleh para laki-laki samurai. Kaum laki-laki yang mengurus uang hanyalah mereka
yang memang dituntut oleh tugas pengawas dapur benteng, misalnya. Pada masa itu pun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian.
Berbagai tugas di dalam marga ditetapkan sebagai posisi resmi. Dalam beberapa hal, pengaturan itu menyerupai angkatan bersenjata modern; setiap orang
adalah serdadu, tapi ada yang merangkap juru masak, juru tulis, pengurus angkutan, dan ada yang mengemban tanggung jawab lain, yang bersifat lebih khusus.
Universitas Sumatera Utara
Para samurai dalam satu garnisun akan berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain jika pekerjaan mereka dinilai cukup baik. Promosi tidak selalu terjadi
dalan satu bidang saja. Dengan cara ini, ketika seorang petarung mencapai pangkat yang cukup tinggi, ia pun cukup menguasai semua rincian yang diperlukan untuk
menjalankan dan memelihara suatu pasukan, garnisun atau bahkan provinsi.
2.1.3 Kehidupan Sehari-hari