Analisis Repayment Capacity Kredit Usaha Rakyat Sektor Agribisnis Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Cibungbulang- Bogor

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kredit adalah salah satu faktor yang berperan penting di dalam pengembangan usaha. Pada umumnya ada dua jenis kredit, yaitu kredit modal kerja dan kredit investasi. Kredit modal kerja adalah kredit berjangka waktu pendek atau menengah yang bertujuan untuk menambah modal yang mendukung kegiatan operasional di dalam satu siklus usaha, sedangkan kredit investasi adalah kredit berjangka waktu menengah hingga panjang yang bertujuan untuk menambah modal yang berbentuk investasi, seperti mesin dan bangunan.

Pada Agustus 2011, penyaluran kredit modal kerja dan kredit investasi adalah sebesar Rp 1.301.955 milyar dengan komposisi 67,5 persen kredit modal kerja dan 32,5 persen kredit investasi. Kredit modal kerja merupakan jenis kredit yang paling banyak diberikan kepada debitur, hal ini dapat dilihat dari persentase kredit modal kerja yang lebih besar jika dibandingkan dengan kredit investasi. Tabel 1 menunjukkan besarnya penyaluran kredit modal kerja berdasarkan sektor ekonomi.

Tabel 1. Penyaluran Kredit Modal Kerja per sektor ekonomi

Sumber : BPS (diolah) *Hingga Agustus 2011

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa proporsi laju penyaluran kredit di sektor pertanian per tahun hingga 2011 relatif sedikit jika dibandingkan dengan penyaluran kredit di sektor lainnya, yaitu sebesar 10,17 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pihak perbankan cenderung menghindari sektor pertanian,

Periode Pertanian secara luas (Rp Milyar) Pertam-bangan (Rp Milyar) Industri Pengolah-an (Rp Milyar) Perda-gangan (Rp Milyar) Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan (Rp Milyar) Jasa-Jasa (Rp Milyar) Jumlah (Rp Milyar) 2006 26.761 8.502 141.905 138.061 na 97.889 415.003 2007 33.112 14.693 159.049 184.031 na 135.727 526.612 2008 37.993 19.075 213.475 220.595 na 186.523 677.661 2009 37.639 26.175 188.101 257.505 na 188.996 698.416 2010 40.255 40.092 216.137 245.568 101.136 111.588 754.776 2011* 42.815 46.061 241.970 308.274 115.579 124.158 878.857 Laju (%/tahun) 10,17 41,58 12,25 18.16 14,28 9,54 16,63


(2)

dikarenakan sifat usaha yang memiliki risiko tinggi dan sifat risiko yang sulit untuk diminimalisir.

Usaha kecil dan menengah adalah salah satu penunjang perekonomian negara. Sesuai data Departemen Koperasi dan UKM, pada tahun 2009 proporsi usaha UMKM di dalam perekonomian Indonesia mencapai 53.283.732 unit1 atau

sebesar 99 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. Perkembangan usaha UMKM dari tahun 2006 hingga tahun 20102 meningkat sebanyak 9,80 persen.Dengan demikian, UMKM memiliki peran yang cukup besar di bidang perekonomian negara.

Jika dibandingkan dengan perkembangan usaha berskala besar yang hanya mencapai 5,69 persen3 pada periode 2006-2010, maka perkembangan UMKM relatif lebih signifikan. Akan tetapi, penyaluran kredit untuk usaha yang berskala kecil dan menengah lebih rendah jika dibandingkan dengan usaha yang berskala besar. Hingga Desember 2011, proporsi penyaluran kredit di sektor UMKM hanya sebesar 21,234 persen dari total penyaluran kredit nasional. Lebih jauh lagi, sektor perdagangan dan industri adalah penerima kredit UMKM terbesar, dengan proporsi sebesar 43,7 persen5 dari total kredit UMKM.

Untuk meningkatkan kredit pada sektor usah kecil dan menengah, pemerintah menyusun suatu program yang bertujuan untuk membantu masyarakat yang masih belum memenuhi persyaratan untuk mengajukan kredit komersil. Salah satu jenis program yang berlangsung hingga saat ini adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).

KUR adalah sebuah program pemerintah yang ditujukan untuk usaha UMKM yang feasible akan tetapi belum bankable. Dengan pertimbangan bahwa sebagian besar usaha UMKM merupakan usaha yang belum bankable, maka calon penerima dana KUR tidak harus memiliki jaminan untuk mengajukan permintaan kredit. Akan tetapi, untuk mengurangi peluang terjadinya adverse selection, hanya usaha yang telah berdiri paling tidak enam bulan yang dapat mengajukan       

1 

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. “Data UKM 2011”.www.depkop.go.id.  [14 Desember 2011] 

2 

Loc.cit [22 Februari 2012] 

3  Loc.cit  4 

Bank Indonesia. “Perkembangan kredit UMKM Desember 2011”. www.bi.go.id [6 Maret 2012] 

5 


(3)

permohonan dana KUR. Selain itu, pemilik usaha juga harus memiliki perhitungan cash flow usaha yang dijalankan serta pengeluran pribadi yang berdampak terhadap kemampuan membayar (repayment capacity).

Pemerintah mengkategorikan KUR ke dalam dua bagian, yaitu KUR mikro dan KUR ritel. Perbedaan di antara kedua jenis KUR ini terdapat pada persyaratan di dalam pengajuan kredit, jumlah kredit maksimum yang dapat diberikan kepada debitur, dan tingkat suku bunga yang dibebankan. KUR mikro ditujukan untuk UMKM yang pada umumnya masih belum memiliki surat ijin usaha, sedangkan KUR ritel ditujukan untuk usaha yang sudah memiliki perijinan dan ketetapan hukum. Selain itu, jumlah kredit maksimum yang dapat diberikan kepada debitur KUR mikro adalah Rp 20 juta, sedangkan untuk KUR ritel jumlah maksimum yang dapat diberikan kepada debitur adalah Rp 500 juta. Pada umumnya, suku bunga untuk KUR mikro lebih besar jika dibandingkan dengan suku bunga pada KUR ritel. Jenis KUR yang akan menjadi fokus dari penelitian ini adalah KUR mikro.

Pemerintah menetapkan 19 bank sebagai lembaga penyalur KUR. Kesembilanbelas bank ini terdiri dari Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan 13 Bank Pembangunan Daerah. Sumber dana KUR berasal dari bank pelaksana, dengan pemerintah sebagai penjamin sebesar 70 persen dan bank pelaksana sebesar 30 persen.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah salah satu bank yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan dana KUR. BRI melayani KUR mikro dan KUR ritel. Berdasarkan data hingga Desember 2010, KUR mikro memiliki nasabah lebih banyak dibandingkan dengan KUR ritel. Hal ini sesuai dengan karakteristik KUR yang bertujuan untuk membantu usaha UMKM agar dapat meningkatkan skala usahanya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan laporan akhir tahun 20106, Provinsi Jawa Barat menempati urutan ketiga dalam penyaluran KUR dengan share sebesar 13,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat animo yang besar dari masyarakat Jawa Barat untuk

       6 


(4)

meningkatkan skala usahanya. Salah satu sentra agribisnis di Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor, di mana banyak terdapat usaha di bidang pertanian secara luas yang masih bersifat mikro. Salah satu unit BRI cabang Bogor yang paling banyak melayani nasabah KUR di bidang agribisnis adalah BRI unit Cibungbulang. Hingga November 2011, BRI unit Cibungbulang telah menyalurkan dana KUR mikro sebesar Rp 984.420.971,00 dengan total nasabah sebanyak 274 orang dengan 46 nasabah di antaranya bergerak di bidang agribisnis.

Terdapat lima kriteria yang digunakan oleh pihak perbankan di dalam menentukan kelayakan seorang calon debitur di dalam menerima dana kredit. Kriteria tersebut adalah capacity (kapasitas calon debitur), character (karakter calon debitur), capital (kapital yang dimiliki oleh calon debitur), collateral

(agunan), dan condition of economy (kondisi perekonomian). Jika calon debitur tidak memenuhi salah satu dari lima kriteria ini, maka calon debitur tersebut dinilai tidak layak di dalam menerima kredit.

Sebagai salah satu bentuk kredit, KUR juga memiliki persyaratan di dalam menentukan debitur yang layak. Hanya saja, karena kredit ini ditujukan untuk usaha yang bersifat feasible tetapi belum bankable, tidak semua dari kelima kriteria tersebut dapat digunakan. KUR ditujukan untuk UMKM, sehingga pada umumnya calon debitur belum memiliki pengalaman kredit. Tidak adanya pengalaman ini menyulitkan pihak perbankan di dalam menilai karakter calon debitur. Agunan juga tidak dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria, dikarenakan agunan bukan merupakan syarat yang harus dimiliki oleh calon debitur, sedangkan kondisi perekonomian dan kapital yang dimiliki oleh calon debitur pada umumnya tidak dapat menggambarkan kelayakan calon debitur tersebut di dalam menerima kredit. Dengan demikian, pihak perbankan menggunakan kapasitas yang dimiliki oleh calon debitur di dalam menilai layak tidaknya seorang calon debitur di dalam menerima kredit.

Kapasitas yang dimiliki oleh calon debitur dinilai dengan menggunakan nilai repayment capacity yang dimiliki. Nilai dari repayment capacity

menggambarkan kemampuan debitur di dalam mengembalikan kredit (ability to pay), sehingga semakin besar nilai repayment capacity maka kemungkinan


(5)

terjadinya penunggakan akan semakin kecil. Repayment capacity pada umumnya dinilai dengan menghitung selisih di antara pendapatan usaha dan pengeluaran usaha. Akan tetapi, untuk Kredit Usaha Rakyat nilai repayment capacity dinilai dengan menghitung selisih di antara pendapatan usaha, pengeluaran usaha, dan pengeluaran rumah tangga. Hal ini disebabkan karena pada umumnya pemilik UMKM belum memisahkan pengeluaran usaha dengan pengeluaran rumah tangga. Dengan demikian besarnya pengeluaran rumah tangga mempengaruhi nilai repayment capacity calon debitur.

Hingga November 2011, Non-Performing Loan (NPL) KUR mikro BRI Cibungbulang mencapai 18,37 persen. Walaupun tingkat NPL tergolong tinggi, tetapi nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan NPL pada tahun 2009 yang mencapai 35,61 persen. Penurunan ini menunjukkan adanya perbaikan di dalam sistem penyaluran dana KUR.

Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2009),

repayment capacity pada BRI unit Cibungbulang pada tahun 2009 berpengaruh

negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenaikan nilai repayment capacity tidak meningkatkan kelancaran pengembalian kredit, tetapi menurunkan kelancaran pengembalian.

Korelasi negatif di antara kedua variabel ini mengindikasikan adanya faktor lain di luar pendapatan usaha, pengeluaran usaha, dan pengeluaran rumah tangga yang mempengaruhi nilai repayment capacity. Penelitian yang dilakukan oleh Durguner dan Katchova (2011) menunjukkan bahwa adanya faktor usia debitur yang mempengaruhi nilai repayment capacity secara positif.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu :

1) Apakah repayment capacity debitur mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian debitur?

2) Apakah faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity debitur?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


(6)

1) Menganalisis korelasi di antara repayment capacity dan tingkat kelancaran pengembalian kredit debitur.

2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity debitur.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu :

1) Bagi Bank Rakyat Indonesia, diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya meminimalisir terjadinya kredit yang bersifat gagal bayar. 2) Bagi mahasiswa, diharapkan dapat menjadi bahan penambah wawasan

dalam dunia perbankan dan khususnya kredit UMKM.

3) Bagi penulis, agar dapat menjadi media dalam menerapkan semua ilmu yang didapat di dalam perkuliahan, sebagai alat analisis, mengaplikasikan teori, dan dalam persiapan dalam menghadapi dunia kerja.


(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Kredit di Dalam Perkembangan Usaha

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011) mengenai pengaruh kredit program kemitraan dan bina lingkungan terhadap produksi dan pendapatan petani belimbing dewa di Kota Depok, kredit tidak berdampak nyata terhadap perkembangan usaha dan peningkatan pendapatan petani. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kredit, yaitu untuk kegiatan produksi usaha. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis regresi dengan taraf nyata sebesar 10 persen.

Novitasari (2006) di dalam penelitiannya mengenai kinerja dan dampak KUPEDES terhadap peningkatan pendapatan usaha kecil di BRI Unit Kreo, Tangerang, menyimpulkan bahwa dana yang diperoleh dari KUPEDES mampu meningkatkan pendapatan debiturnya dengan tingkat kenaikan rata-rata sebesar 31,96 persen. Hal ini menunjukkan bahwa KUPEDES efektif di dalam membantu pengembangan usaha. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Penelitian mengenai kinerja penyaluran KUPEDES serta dampaknya terhadap peningkatan pendapatan usaha nasabah BRI Unit Citeureup yang dilakukan oleh Fitrianingsih (2008) menunjukkan bahwa KUPEDES mampu meningkatkan pendapatan nasabahnya. Peningkatan pedapatan rata-rata yang dialami oleh nasabah mencapai 29,14 persen, sedangkan sektor perdagangan mengalami peningkatan yang paling signifikan dengan peningkatan sebesar 35,26 persen. Tingkat kepercayaan pada penelitian ini adalah 95 persen, dikarenakan jumlah responden yang tidak banyak.

Wijaya (2011) di dalam penelitiannya mengenai analisis kinerja usaha Restoran XYZ dengan menggunakan fasilitas kredit UKM menunjukkan bahwa terjadi perkembangan usaha jika dibandingkan dengan keadaan keuangan sebelum mendapatkan kredit. Akan tetapi, peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan omzet. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan belum dapat mengelola aktiva dengan efisien.


(8)

Penelitian mengenai analisis penerimaan KUPEDES terhadap performance business dalam sektor perdagangan, industri, dan pertanian di Bank Rakyat Indonesia Unit Parung yang dilakukan oleh Sudarmaji (2008) menunjukkan bahwa sektor pertanian dan industri memiliki keterikatan yang lebih besar di antara KUPEDES dan performance business jika dibandingkan dengan sektor perdagangan. Akan tetapi, sektor perdagangan lebih unggul jika dilihat dari rasio aktivitas dan profitabilitas.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit

Hasibuan (2010) pada penelitiannya mengenai faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit macet KUPEDES pada BRI Unit Cijeruk, Bogor, menemukan bahwa variabel usia, tingkat pendidikan, dan agunan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Variabel usia dan pendidikan memiliki nilai koefisien negatif, akan tetapi variabel agunan memiliki koefisien positif. Dengan demikian semakin bertambah usia dan semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka kemungkinan terjadinya penunggakan akan semakin tinggi. Sebaliknya, adanya agunan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penunggakan terhadap pengembalian kredit.

Penelitian yang dilakukan oleh Triwibowo (2009) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian kredit bermasalah pada BPR Rama Ganda Bogor menyimpulkan bahwa omzet memiliki hubungan negatif dengan kelancaran pembayaran kredit debitur walaupun hal ini tidak berpengaruh secara signifikan. Faktor yang mempengaruhi pengembalian kredit di dalam penelitian ini adalah jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman dalam pengambilan kredit.

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammamah (2008) mengenai faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit Kupedes (studi kasus BRI unit Cigudeg, Bogor) menunjukkan bahwa omzet usaha dan pengalaman dalam pengambilan kredit adalah faktor yang menentukan tingkat kelancaran pembayaran kredit. Metode analisis yang digunakan adalah regresi logistik dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Penelitian yang dilakukan oleh Agustania (2009) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran pengembalian KUR di BRI Unit Cimanggis


(9)

menunjukkan bahwa dengan taraf nyata sebesar 10 persen adanya pinjaman terhadap pihak lain, omzet usaha, dan besarnya jumlah pinjaman mempengaruhi tingkat pengembalian. Adanya pinjaman terhadap pihak lain berdampak negatif terhadap kelancaran pembayaran kredit, sedangkan omzet usaha dan besarnya jumlah pinjaman berpengaruh positif terhadap tingkat pengembalian kredit.

Limsombunchai, Gan, dan Lee (2005) di dalam penelitiannya yang berjudul An Analysis of Credit Scoring for Agricultural Loans in Thailand menemukan bahwa total nilai aset, capital turnover ratio, dan durasi kerjasama di antara bank dan debitur mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian kredit. Semakin besar total nilai aset maka semakin lancar pengembalian kredit debitur. Akan tetapi, semakin besar capital turnover ratio dan semakin lama durasi kerjasama di antara bank dan debitur maka semakin besar kemungkinan terjadinya penunggakan kredit.

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian KUPERTA (Studi kasus di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawasi Selatan) yang dilakukan oleh Sulaiman (2006) menunjukkan bahwa jumlah pinjaman, jarak di antara rumah debitur dan bank pelaksana, adanya usaha sampingan, lama pinjaman yang lebih dari satu tahun, dan pendidikan yang lebih dari SMA memiliki peranan yang siginifikan di dalam tingkat kelancaran pengembalian kredit.

Rachmat (2011) di dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian pembiayaan agribisnis pada bank umum syariah (studi kasus pada BMI Cabang Depok) menemukan bahwa jumlah tanggungan keluarga, pendapatan usaha, lama usaha, dan jenis usaha berpengaruh nyata terhadap pengembalian pembiayaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode regresi logistik dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Haloho (2010) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Kredit Mikro PT BPD JaBar Banten KCP Darmaga menemukan bahwa faktor usia, tingkat pendidikan, serta jaminan menentukan tingkat kelancaran pengembalian kredit. Penelitian ini dilakukan


(10)

dengan menggunakan metode analisis regresi logistik, dan memiliki tingkat kepercayaan sebesar 90 persen.

2.3 Pengaruh Repayment capacity Terhadap Kelancaran Kredit

Penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2011) mengenai faktor yang mempengaruhi realisasi KUR di BRI Unit Cibinong, Bogor menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian dengan metode ini menunjukkan bahwa omzet memiliki nilai positif walaupun tidak signifikan, sedangkan repayment capacity memiliki nilai negatif walaupun tidak signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2009) di BRI Unit Cibungbulang mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kelacaran pembayaran KUR di BRI Cibungbulang menunjukkan bahwa omzet bernilai positif dan siginifikan terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit, akan tetapi repayment capacity memiliki korelasi negatif dan tidak siginifikan. Hal ini sesuai dengan nilai Non-Performing Loan yang bernilai cukup besar, yaitu 35,61 persen.

Auditiya (2011) di dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian kredit usaha rakyat mikro menunjukkan bahwa repayment capacity berpengaruh positif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit, akan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap pengembalian kredit adalah jarak tempat tinggal dengan BRI dan omzet usaha.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Repayment capacity

Durguner dan Katchova (2011) melakukan penelitian yang berjudul Repayment capacity of Farmers: A Balanced Panel Data Approach untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity petani. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data time series mulai dari tahun 2000 hingga 2006 terhadap 184 orang petani di Illinois. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa working-capital ratio, debt-to-asset ratio dan usia responden berpengaruh signifikan terhadap nilai repayment capacity responden. Working-capital ratio mempengaruhi nilai repayment capacity secara negatif, debt-to-asset ratio mempengaruhi nilai repayment capacity secara negatif, dan usia responden mempengaruhi nilai repayment capacity secara positif. Korelasi positif di antara usia dan nilai repayment capacity menunjukkan bahwa semakin dewasa


(11)

responden maka nilai repayment capacity yang dimiliki akan semakin besar, akan tetapi nilai tersebut mengalami penurunan setelah mencapai tingkat usia tertentu.

Penelitian yang dilakukan oleh Zech dan Pederson (2003) menunjukkan bahwa turnover ratio mempengaruhi nilai repayment capacity secara positif, besarnya pengeluaran rumah tangga berpengaruh secara negatif, dan debt-to-asset ratio mempengaruhi nilai repayment capacity secara negatif. Usia responden berpengaruh secara negatif walaupun tidak signifikan.

Penelitiaan ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Durguner dan Katchova (2011) serta penelitian Zech dan Pederson (2003). Perbedaan dapat dilihat pada skala usaha yang digunakan, metode perhitungan repayment capacity, ketersediaan data yang dapat digunakan, dan jenis kredit yang menjadi objek penelitian. Akan tetapi, penelitian ini menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Durguner dan Katchova (2011) dan Zech dan Pederson sebagai acuan di dalam penentuan variabel yang diperkirakan akan mempengaruhi nilai repayment capacity yang dimiliki oleh responden.


(12)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Peranan Kredit di Dalam Usaha

Pada hakikatnya setiap perusahaan akan membutuhkan tambahan modal untuk dapat berkembang. Menurut Murray dan Nelson (1960) ada beberapa sumber tambahan modal, yaitu savings, family arrangement, incorporation, leasing, purchase contracts, vertical integration, dan credit. Ketujuh sumber ini memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing, sehingga satu sumber yang tepat untuk suatu usaha belum tentu tepat digunakan untuk usaha lain yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Salah satu sumber tambahan modal yang umum digunakan adalah kredit. Hal ini disebabkan karena kredit relatif lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan sumber lainnya, dengan bunga sebagai harga yang harus dibayar oleh debitur setelah mendapatkan kredit. Besarnya nilai kredit yang diberikan bergantung kepada cash flow perusahaan, sehingga penting bagi calon debitur untuk memiliki pencatatan keuangan usahanya.

Berdasarkan Nicholson (2002), ada tiga faktor di dalam fungsi produksi, yaitu capital, land, dan labor. Ketiga faktor ini akan mempengaruhi output yang dihasilkan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi profit yang didapatkan oleh perusahaan. Penambahan dana yang didapatkan dari kredit akan memberikan kesempatan bagi pemilik usaha untuk meningkatkan profit yang didapatkan dengan cara menambah nilai faktor yang mempengaruhi fungsi produksi perusahaan.

3.1.2 Risiko Kredit

Bank menghadapi risiko gagal bayar di dalam setiap transaksi kredit yang diberikan kepada debitur. Non-performing loan atau kredit yang mengalami gagal bayar dapat diakibatkan oleh faktor internal debitur, seperti moral hazard, maupun faktor eksternal debitur, seperti keadaan ekonomi yang menyebabkan penurunan profit yang mengakitbatkan debitur tidak dapat memenuhi kewajiban bunga.


(13)

Penilaian kredit perlu dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya gagal bayar. Faktor-faktor yang dinilai dari calon debitur menurut Dendawijaya (2005) adalah:

a) Character

Karakter dari calon debitur akan menentukan menunjukkan willingness to pay atau kemauan untuk mengembalikan kredit dari calon debitur. Penilaian karakter dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang merekomendasikan calon debitur maupun melihat sejarah kredit calon debitur, baik di bank yang sama maupun bank lainnya.

b) Capacity

Kapasitas menunjukkan kemampuan calon debitur di dalam mengembalikan kredit yang telah didapatkan. Penilaian terhadap kapasitas calon debitur dilakukan dengan menganalisis cash flow usaha, menganalisis repayment capacity, dan memproyeksikan pertumbuhan usaha jika mendapatkan kredit.

c) Condition of economy

Kondisi perekonomian secara makro akan mempengaruhi usaha yang dimiliki calon debitur, baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang dipertimbangkan antara lain trend usaha, kondisi politik, dan kondisi sosial budaya.

d) Collateral

Agunan adalah jaminan yang diberikan oleh calon debitur kepada pihak perbankan. Pada umumnya jaminan yang diberikan berbentuk barang yang memiliki nilai yang hampir sama dengan jumlah kredit yang diberikan.

e) Capital

Kapital adalah besarnya modal selain kredit yang dimiliki oleh calon debitur. Penilaian terhadap kapital calon debitur dapat dilakukan dengan cara melihat debt to equity ratio, yang menghitung perbandingan antara total debt dan net worth.


(14)

Jika calon debitur dinilai tidak memenuhi salah satu dari kelima persyaratan ini, maka pihak bank akan menolak memberikan kredit yang telah diajukan. Hal ini sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang dijalankan oleh bank. Hanya saja pada kredit mikro collateral atau jaminan bukanlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon debitur.

Debitur kredit mikro pada umumnya tidak memiliki jaminan, akan tetapi menurut Aghion dan Murdoch (2005) ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pihak perbankan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya penunggakan. Langkah-langkah tersebut adalah :

1) Melakukan perjanjian di mana jika debitur gagal mengembalikan dana kredit yang diterima maka debitur tidak akan mendapatkan kredit di kemudian hari.

2) Memberikan dana kredit secara bertahap.

3) Melakukan komunikasi dengan pihak perbankan lainnya mengenai status kredit debitur, sehingga debitur tidak dapat mengajukan kredit kepada bank lain jika telah mendapatkan kredit sebelumnya.

4) Frekuensi pembayaran yang diperbanyak, sehingga gejala awal kemungkinan terjadinya penunggakan dapat terdeteksi lebih cepat. 5) Melakukan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap jaminan yang

harus dimiliki oleh calon debitur.

Pada kredit makro jaminan yang dimiliki oleh debitur memiliki nilai yang sama atau lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah kredit yang didapatkan. Akan tetapi, pada kredit mikro jaminan yang dimiliki oleh debitur tidak harus memiliki nilai yang sama atau lebih besar dari jumlah kredit yang didapatkan, tetapi memiliki nilai atau value yang bersifat personal terhadap debitur. Dengan pendekatan ini maka hampir semua calon memiliki aset yang dapat dijadikan jaminan.

6) Financial Collateral.

Pihak perbankan dapat meminimalisir terjadinya kegagalan pembayaran dengan cara mengajukan persyaratan keuangan usaha kepada calon debitur. Sebelum mendapatkan kredit calon debitur


(15)

harus dapat menunjukkan keadaan keuangan usaha yang dimiliki dan besarnya jumlah uang yang dapat disisihkan untuk dimasukkan ke dalam tabungan. Dana yang disimpan di dalam tabungan ini dapat digunakan sebagai jaminan kepada pihak perbankan.

7) Mengumpulan informasi mengenai calon debitur sebelum memberikan kredit.

Informasi yang dikumpulkan oleh staf dari pihak perbankan melalui wawancara dan kunjungan lapangan terbukti lebih efektif di dalam penyaringan debitur jika dibandingkan dengan informasi yang didapatkan hanya dari laporan keuangan usaha calon debitur.

3.1.3 Penilaian Repayment capacity di Dalam Pemberian Kredit

Salah satu faktor penting di dalam penilaian calon debitur adalah capacity atau kapasitas usaha calon debitur. Faktor ini akan menunjukkan sejauh mana kemampuan calon debitur mampu mengembalikan kredit yang diterima. Menurut Dendawijaya (2005), hal yang perlu dianalisis di dalam menilai kapasitas calon debitur adalah :

1) Jadwal pembangunan proyek calon debitur 2) Rencana produksi dan penjualan

3) Proyeksi laba/rugi 4) Proyeksi cash flow

5) Kemampuan manajerial pemilik usaha

6) Kemampuan calon debitur di dalam memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain.

Salah satu output dari penilaian terhadap kapasitas calon debitur adalah repayment capacity. Besarnya nilai repayment capacity yang dimiliki oleh calon debitur akan menentukan besarnya jumlah kredit yang akan didapatkan. Pada kredit non-program, nilai repayment capacity didapatkan dengan melakukan perhitungan selisih di antara omzet usaha dan pengeluaran usaha. Akan tetapi, untuk Kredit Usaha Rakyat nilai repayment capacity didapatkan dengan menghitung selisih di antara pendapatan usaha, pengeluaran usaha, dan pengeluaran rumah tangga.


(16)

3.2 Kerangka Operasional

Kredit Usaha Rakyat pada dasarnya adalah kredit semi-program yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas usaha melalui pertambahan modal. Dengan demikian, walaupun memiliki persyaratan yang relatif sederhana,debitur tetap harus mengikuti peraturan kredit yang ditetapkan oleh pemerintah dan bank. Debitur yang gagal mengembalikan kredit yang diterima setelah masa angsuran selesai secara otomatis akan masuk ke dalam black list Bank Indonesia.

Ada lima prinsip yang dimiliki oleh pihak perbankan dalam menilai kelayakan calon debitur sebelum memberikan kredit, yaitu capacity, capital, character, condition of economy, dan collateral. Kelima faktor ini dapat digunakan untuk menilai kelayakan seorang calon debitur dan menggambarkan keadaan usaha yang dimiliki oleh calon debitur.

Dari kelima kriteria ini, kriteria utama yang digunakan di dalam Kredit Usaha Rakyat untuk menilai kelayakan calon debitur adalah capacity. Capacity adalah kemampuan calon debitur dalam mengembalikan dana kredit yang diterima. Kapasitas dapat dilihat dari cash flow usaha, omzet, dan proyeksi peningkatan usaha jika mendapatkan kredit. Pada akhirnya, output dari capacity adalah repayment capacity yang menunjukkan kemampuan membayar calon debitur. Nilai dari repayment capacity menunjukkan ability to pay atau kemampuan membayar debitur.

Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi repayment capacity, yaitu omzet usaha, debt-to-asset ratio, working capital ratio, pengeluaran rumah tangga, lama usaha, dan usia responden. Keenam faktor ini dipilih sesuai dengan referensi penelitian terdahulu dan melalui diskusi yang dilakukan dengan pihak yang merupakan ahli di bidang kredit mikro. Akan tetapi dikarenakan keterbatasan data, maka faktor yang akan digunakan di dalam model adalah omzet, besarnya pengeluaran rumah tangga, lamanya usaha telah berdiri, serta usia responden.

Omzet merupakan pendapatan yang didapatkan dari usaha yang dimiliki debitur. Omzet usaha diduga berkorelasi positif terhadap tingkat repayment capacity, di mana semakin tinggi omzet usaha maka nilai repayment capacity juga akan meningkat.


(17)

Pengeluaran rumah tangga adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh debitur untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada umumnya pengeluaran rumah tangga bukanlah faktor yang diperhitungkan di dalam penilaian repayment capacity, akan tetapi pada usaha mikro, kecil, dan menengah pengeluaran rumah tangga dan pengeluaran usaha tidak terpisah, sehingga besarnya pengeluaran rumah tangga berdampak langsung terhadap pendapatan bersih usaha. Oleh karena itu, pengeluaran rumah tangga diduga berdampak negatif terhadap nilai repayment capacity.

Lama usaha adalah lamanya suatu usaha telah berdiri. Semakin lama suatu usaha telah berdiri maka pengalaman debitur di dalam bidang usahanya akan semakin banyak. Dengan demikian lama usaha diduga berpengaruh positif terhadap nilai repayment capacity.

Usia responden menunjukkan tingkat kedewasaan responden. Selain itu, usia responden juga mempengaruhi kemampuan rasional debitur, sehingga semakin bertambah usia responden diduga nilai repayment capacity yang dimiliki akan semakin besar.

Dari penjelasan di atas, maka diduga ada korelasi positif di antara repayment capacity dan tingkat kelancaran pengembalian KUR. Faktor-faktor yang diduga memiliki dampak terhadap repayment capacity adalah omzet, pengeluaran rumah tangga, lama usaha, dan usia responden. Semua variabel ini diduga berpengaruh secara signifikan terhadap nilai repayment capacity. Gambar 1 menjelaskan kerangka operasional secara ringkas.


(18)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Pengembalian KUR BRI Unit Cibungbulang 

Condition of Economy Collateral

Capital Character

Capacity

Omzet

Pengeluaran Rumah Tangga Lama Usaha

Usia Responden Repayment capacity


(19)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 3 Januari 2012 hingga 20 Februari 2012 pada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Cibungbulang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive atau sengaja, dikarenakan BRI Unit Cibungbulang merupakan salah satu Unit yang mengalami penurunan Non-Performing Loan yang signifikan sejak penelitian terdahulu pada tahun 2009, serta aksesibilitas penulis terhadap responden yang akan diteliti.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang berasal dari dua sumber, yaitu:

1) Data Primer

Di dalam penelitian ini, data primer didapatkan dengan melakukan wawancara baik secara kunjungan dengan menggunakan bantuan kuesioner. Data primer juga didapatkan dengan melakukan wawancara terhadap Kepala Unit BRI Unit Cibungbulang dan Mantri yang langsung melihat kondisi lapangan debitur.

2) Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari data internal BRI nasional berupa data KUR secara nasional, BRI Cabang Bogor berupa penyaluran KUR di daerah Bogor, serta BRI Unit Cibungbulang berupa data nasabah yang merupakan debitur KUR di bidang agribisnis. Data sekunder juga diperoleh dari jurnal, pedoman KUR baik dari pihak BRI maupun pemerintah, serta Badan Pusat Statistik. Data sekunder yang digunakan antara lain penyaluran kredit di Indonesia, penyebaran kredit berdasarkan sektor usaha, dan jumlah UMKM di Indonesia.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah nasabah KUR mikro BRI Unit Cibungbulang yang bergerak di bidang agribisnis, baik di subsistem on-farm maupun subsistem off-farm. Total dari debitur yang bergerak di bidang agribisnis


(20)

adalah 46 orang, dengan debitur yang bergerak di subsistem on-farm sebanyak 12 orang dan debitur yang bergerak di bidang off-farm sebanyak 34 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dikarenakan keterbatasan akses, dengan total sampel yang akan digunakan sebanyak 36 orang, yaitu 11 debitur yang bergerak di subsistem on-farm dan 25 orang bergerak di subsistem off-farm. 4.4 Metode Analisis Data

Analisis data akan dilakukan dengan cara analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif berupa tabulasi yang menjelaskan karakteristik nasabah, sedangkan analisis kuantitatif menggunakan analisis regresi logistik dan regresi berganda. Data kuantitatif akan diolah dengan mengguanakan software Minitab 16, sedangkan analisis kualitatif akan digunakan untuk mendukung hasil yang didapatkan dari analisis kuantitatif.

4.4.1 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif akan dilakukan dengan metode deskriptif. Data akan disajikan di dalam bentuk tabulasi dan akan disortir berdasarkan kesamaan jawaban atau persamaan lainnya. Metode ini digunakan untuk melihat gambaran keadaan responden yang diteliti.

Terdapat tiga karakter yang akan dijelaskan dengan analisis deskriptif, yaitu karakter individu, karakter usaha, dan karakter kredit. untuk analisis faktor yang mempengaruhi kredit ketiga karakteristik ini akan dihubungkan dengan kelancaran kredit, sedangkan untuk analisis faktor yang mempengaruhi repayment capacity ketiga karakteristik ini akan dihubungkan dengan nilai repayment capacity responden.

Karakteristik individu yang akan dijelaskan dengan metode ini adalah jenis kelamin, usia responden, serta pengeluaran rumah tangga. Sedangkan untuk karakteristik usaha responden akan dijelaskan mengenai lama usaha dan omzet usaha. Untuk karakteristik kredit, akan dijelaskan mengenai tingkat kelancaran pengembalian kredit, ada tidaknya agunan, total angsuran, jumlah kredit, dan repayment capacity responden.


(21)

4.4.2 Analisis Kuantitatif

Pada penelitian ini analisis kuantitatif akan dilakukan dengan menggunakan dua metode regresi, yaitu metode regresi logistik untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian kredit dan metode regresi berganda yang akan digunakan untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity responden.

4.4.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kelancaran Pengembalian Kredit

Metode yang digunakan untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian kredit adalah metode analisis regresi logistik. Regresi logistik adalah analisis regresi yang digunakan untuk menerangkan hubungan di antara variabel prediktor dan varibel respon di mana variabel respon memiliki nilai yang bersifat kualitatif. Variabel prediktor adalah variabel bebas yang diduga akan mempengaruhi variabel respon. Model logit secara umum adalah :

ln = β0 + β1X1 + β2X2 + βiXi ……….. (1)

Di mana :

Li = Variabel respon

β0 = Konstanta

βi = Koefisien variabel ke-i Xi = Variabel ke-i

Di dalam penelitian ini, regresi logistik yang digunakan adalah regresi logistik biner, yaitu regresi di mana variabel respon hanya memiliki dua value (Gujarati 2003), yaitu lancar dan tidak lancar.

Model regresi logistik yang akan dipakai di dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Model yang akan digunakan adalah :

Yij = f (Xij)

Di mana :

Yij = Tingkat kelancaran pengembalian kredit , dengan tidak lancar


(22)

Xij = variabel bebas, terdiri dari :

X1 = Repayment capacity (Rp/bulan)

X2 = Omzet usaha (Rp/bulan)

X3 = Agunan; bernilai (0) jika responden tidak memiliki agunan,

dan (1) jika responden memiliki agunan. . X4 = Total angsuran responden (Rp/bulan)

4.4.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Repayment capacity

Metode yang digunakan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity adalah metode regresi berganda. Regresi berganda adalah regresi di mana variabel respon dipengaruhi oleh dua atau lebih variabel prediktor (Gujarati 2003). Model regresi berganda secara umum adalah :

……….(2)

Di mana : Yi = variabel respon

β1 = Konstanta

βi = Konstanta variabel ke-i

Xi = Variabel ke-i

Di dalam penelitian ini, regresi berganda akan digunakan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity. Model yang akan digunakan adalah:

Yij = f (Xij)

Di mana :

Yij = Nilai repayment capacity (Rp/bulan)

Xij = Variabel bebas, terdiri dari :

X1 = Omzet usaha (Rp/bulan)

X2 = Pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan)

X3 = Lama usaha (Tahun)

X4 = Usia responden (Tahun)

4.5 Definisi Operasional

1) Pengembalian kredit yang bersifat lancar adalah pengembalian yang tidak mengalami kendala di dalam pembayarannya dan sesuai dengan perjanjian awal.


(23)

2) Pengembalian kredit yang bersifat menunggak adalah pengembalian kredit yang mengalami kendala di dalam proses pembayarannya dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari waktu yang telah ditetapkan.

3) Repayment capacity adalah kapasitas responden di dalam mengembalikan dana kredit yang didapatkan. Nilai repayment capacity maksimal mencapai 75 persen dari total pendapatan bersih.

4) Omzet usaha adalah pendapatan total usaha selama satu bulan. 5) Agunan adalah jaminan yang dapat disediakan oleh debitur.

Agunan bukanlah syarat mutlak di dalam pengajuan permohonan KUR, dengan demikian tidak semua debitur memiliki agunan. 6) Total angsuran responden adalah nilai total yang harus dibayar oleh

responden setiap bulannya. Total angsuran terdiri dari angsuran pokok dan angsuran bunga.

Lama usaha adalah lamanya suatu usaha telah berdiri. Di dalam penelitian ini lama usaha memiliki satuan tahun.


(24)

V. GAMBARAN UMUM BRI

5.1 Sejarah Bank Rakyat Indonesia

BRI didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja pada tanggal 16 Desember 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah. Pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.21 dan Undang-Undang Perbankan No. 7 yang menjadikan BRI sebagai bank milik pemerintah dengan nama PT. Bank Rakyat Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober 2003 BRI berubah menjadi perusahaan terbuka yang berganti nama menjadi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk atau Bank BRI.

5.2 Visi dan Misi Bank Rakyat Indonesia

Visi yang dimiliki oleh BRI adalah “Menjadi bank komersial terkemukan yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah”. Sesuai dengan visi ini semua program yang dimiliki oleh BRI bertujuan untuk meningkatkan kepuasan nasabah.

Bank Rakyat Indonesia memiliki tiga misi, yaitu :

1) Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan memprioritaskan pelayanan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk menunjang perekonomian masyarakat.

2) Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerha yang tersebar luas dan didukung sumber daya manusia (SDM) yang professional dengan melakukan praktek tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

3) Memberikan keuntungan dan manfaat seoptimal mungkin kepada berbagai pihak yang berkepentingan.

5.3 Gambaran Umum BRI Cibungbulang

Pada tahun 1973 presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1973 mengenai unit desa. Inpres ini bertujuan untuk membantu masyarakat pedesaan, khususnya kepada masyarakat yang bergerak di bidang pertanian, di dalam meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu, Inpres ini


(25)

juga bertujuan untuk menjamin terlaksananya program peningkatan produksi pertanian yang efisien.

Salah satu bentuk implementasi dari instruksi ini adalah dibentuknya Bank Rakyat Indonesia unit desa yang berfungsi untuk melayani kebutuhan perbankan masyarakat pedesaan yang menjadi wilayah kerja unit tersebut. Setiap BRI unit desa diperbolehkan membawahi lebih dari satu wilayah unit desa, sehingga meningkatkan kefesienan kinerjanya. Kegiatan perbankan yang dilayani oleh BRI Unit Desa adalah pelayanan kredit (BIMAS dan non BIMAS) serta pelayanan tabungan.

BRI Unit Cibungbulang adalah salah satu BRI Unit Desa yang berada di wilayah Kota Bogor. BRI Unit Cibungbulang berdiri sejak tahun 1974 dan terletak di Kampung Babakan Cibatok, Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Wilayah kerja BRI Unit Cibungbulang meliputi desa-desa yang terletak wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan.

Ada tiga produk perbankan yang dilayani oleh BRI Unit Cibungbulang, yaitu :

1) Tabungan, yang terdiri dari tabungan Simpedes dan Britama 2) Pinjaman, yang terdiri dari Kupedes dan KUR

3) Jasa bank lainnya, seperti ATM, pembayaran listrik dan telepon, pembayaran kendaraan, pembayaran PBB, jasa transfer, dan kliring. Pelayanan jasa ini bertujuan untuk meningkatkan profit on balance sheet melalui fee based income.

Hingga November 2011, BRI Unit Cibungbulang telah memberikan dana KUR sebesar Rp 984.420.971,00 dengan total debitur sebanyak 214 orang. Nilai Non-Performing Loan (NPL) BRI Unit Cibungbulang hingga November 2011 adalah 18,37 persen. Nilai ini sudah menurun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya di mana NPL dapat mencapai 35 persen.

5.4 Struktur Organisasi BRI Unit Cibungbulang

BRI Unit Cibungbulang dipimpin oleh seorang Kepala Unit yang membawahi dua orang mantri, dua orang teller, dan dua orang deskman. Setiap bagian memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Meskipun demikian, ada keterikatan di antara satu bagian dengan bagian lainnya, sehingga kinerja dari satu


(26)

bagian akan mempengaruhi kinerja bagian lainnya. Struktur organisasi BRI Unit Cibungbulang dapat dilihat pada Gambar 2.

 

Gambar 2. Struktur Organisasi BRI Unit Cibungbulang

5.5 Mekanisme Penyaluran KUR

Bank Rakyat Indonesia Unit Cibungbulang adalah satu dari BRI Unit lainnya yang melayani debitur KUR. Hanya saja sesuai dengan ketentuan yang berlaku, BRI Unit hanya dapat menyalurkan KUR mikro dengan plafond maksimum sebesar Rp 20.000.000. Walaupun hanya menyalurkan KUR mikro, tetapi prosedur pemberian kredit tidak dibedakan dengan prosedur kredit lainnya. Calon debitur harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BRI sebelum mendapatkan kredit.

Untuk dapat mengajukan permohonan kredit, calon debitur harus terlebih dahulu mengisi formulir yang terdapat di BRI Unit. Formulir yang diajukan oleh calon debitur akan ditindaklanjuti oleh satu orang mantri yang bertugas untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan usaha calon debitur. Mantri akan memerisa keadaan keuangan usaha calon debitur, menentukan persentase proyeksi peningkatan usaha jika calon debitur mendapatkan kredit, dan menghitung repayment capacity calon debitur. Selain melakukan perhitungan terhadap kondisi keuangan usaha, mantri juga akan melakukan inspeksi langsung untuk melihat keadaan usaha yang dimiliki oleh calon debitur. Inspeksi ini dilakukan untuk memastikan bahwa usaha yang dimiliki oleh calon debitur bukan usaha fiktif dan untuk melihat kondisi riil usaha. Di dalam inspeksi ini mantri juga akan mewawancarai penduduk sekitar untuk mendapatkan gambaran mengenai karakter calon debitur. Selain melihat kondisi usaha, mantri juga akan melakukan

Kepala Unit


(27)

kunjungan ke rumah calon debitur. Kunjungan ini bertujuan untuk memastikan alamat yang dimiliki oleh calon debitur sesuai dengan alamat yang diberikan kepada Bank Rakyat Indonesia. Hasil dari penilaian ini akan diperiksa oleh Kepala Unit yang akan menentukan apakah calon debitur layak mendapatkan kredit atau tidak. Jika calon debitur dinilai layak mendapatkan kredit, maka debitur akan diminta untuk menandatangani surat perjanjian pengembalian kredit.


(28)

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN

6.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Kelancaran Pengembalian Kredit

Di dalam penelitian ini terdapat 36 orang responden, dengan proporsi 31 orang berjenis kelamin pria dan lima orang responden berjenis kelamin wanita. Seluruh responden mengajukan kredit untuk usaha yang bergerak di bidang agribisnis, baik di subsistem on-farm maupun off-farm. Dari jumlah keseluruhan responden, enam debitur tercatat mengalami penunggakan di dalam pembayaran kredit, sedangkan 30 responden lainnya tergolong ke dalam debitur dengan pembayaran lancar.

Karakteristik responden menggambarkan karakter responden yang akan mempengaruhi responden di dalam kelancaran pembayaran kredit yang didapatkan. Karakter responden dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu karakter individu responden, karakter usaha responden, dan karakteristik kredit responden.

Karakteristik individu responden terdiri dari jenis kelamin, usia, dan jumlah tanggungan di dalam keluarga. Karakteristik usaha responden terdiri dari omzet usaha, repayment capacity dan lama usaha. Sedangkan untuk karakteristik kredit responden terdiri dari jumlah kredit yang diberikan, jumlah angsuran per bulan, ada tidaknya agunan, dan lama angsuran.

6.1.1 Karakteristik Individu Responden 1) Jenis Kelamin

Pada penelitian terdahulu, Lubis (2009) menyatakan bahwa responden berjenis kelamin wanita memiliki kecenderungan untuk mengalami penunggakan di dalam pengembalian kredit jika dibandingan dengan debitur yang berjenis kelamin pria. Akan tetapi, pada penelitian Agustania (2009), jenis kelamin tidak memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat di Tabel 2.


(29)

Tabel 2. Sebaran Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Pengembalian Kredit

Jenis Kelamin

Lancar Menunggak Total Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Pria

25 80,64 6 19,35 31 86,1 Wanita

5 100 0 0 5 13,9

Total

30 83,3 6 16,6 36 100

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa semua responden wanita memiliki status pembayaran kredit lancar, sedangkan untuk responden pria 19,35 persen mengalami penunggakan di dalam pembayaran kredit. Meskipun terdapat responden pria yang menunggak, akan tetapi dapat dilihat bahwa perbandingan di antara responden wanita dan pria tidak proporsional, dengan demikian jenis kelamin tidak dapat dinyatakan memiliki pengaruh nyata di dalam tingkat kelancaran pengembalian kredit.

2) Usia

Usia responden diduga memiliki pengaruh di dalam kelancaran pembayaran kredit. Hal ini dikarenakan semakin dewasa seseorang maka pengalamannya akan semakin banyak dan pola pikirnya juga akan semakin rasional. Usia diduga bersifat positif terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit. Sebagian besar responden berusia 43 tahun, dengan responden termuda berusia 28 tahun dan responden tertua berusia 56 tahun. Sebaran usia responden dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran Responden berdasarkan Usia dan Status Pengembalian Kredit

Usia

Lancar Menunggak Total

Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

26-35 6 16,60 1 2,77 7 19,40

36-45 13 36,11 5 13,90 18 50,00

46-55 10 27,70 0 0,00 10 27,70

≥56 1 2,70 0 0,00 1 2,70


(30)

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 50 persen dari responden berusia 36 hingga 45 tahun, dengan proporsi 36,1 persen responden memiliki status pembayaran lancar dan 13,9 persen debitur memiliki status pembayaran menunggak. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa usia tidak berdampak terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit, dikarenakan baik responden lancar maupun menunggak sebagian besar berada di satu kelompok usia. 3) Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah individu yang dibiayai oleh debitur. Dengan demikian, jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi besarnya jumlah pengeluaran rumah tangga debitur. Jumlah anggota keluarga diduga berkorelasi negatif terhadap tingkat kelancaran kredit. Sebagian besar responden memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak dua orang, dengan jumlah tanggungan keluarga paling sedikit sebanyak satu orang dan paling banyak sebanyak enam orang. Sebaran responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga dan Status Pengembalian Kredit

Jumlah Tanggungan

Keluarga

Lancar Menunggak Total Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

1 1 2,70 0 0,00 1 2,77

2 13 36,11 2 5,55 15 41,60

3 6 16,67 1 2.77 7 19,44

4 6 16,67 2 5,55 8 22,20

5 2 5,55 0 0 2 5,55

6 2 5,55 1 2,77 3 8,33

Total 30 83,33 6 16,60 36 100,00

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki dua orang tanggungan keluarga. Akan tetapi, debitur yang menunggak tersebar di antara dua dan empat tanggungan keluarga. Proporsi ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga memiliki pengaruh terhadap kelancaran pembayaran kredit.


(31)

6.1.2 Karakteristik Usaha Responden 1) Omzet Usaha

Omzet usaha adalah besarnya pendapatan kotor yang didapatkan setiap bulannya. Nilai omzet diduga berkorelasi positif terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit, dikarenakan omzet merupakan sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi responden. Semakin besar omzet usaha yang diterima, maka semakin banyak dana yang dapat dimanfaatkan oleh responden. Sebagian besar responden memiliki omzet sebesar Rp 12.000.000, dengan nilai omzet terkecil sebesar Rp 2.500.000 dan nilai omzet terbesar sebesar Rp 75.000.000. Sebaran omzet usaha responden dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sebaran Responden Berdasarkan Omzet Usaha dan Status Pengembalian Kredit

Omzet (juta Rupiah)

Lancar Menunggak Total Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

≤ 5 2 5,55 0 0 2 5,55

>5-10 9 25,00 1 2,77 10 27,70

>10-15 13 36,11 0 0 13 36,10

>15-20 0 0,00 2 5,55 2 5,55

>20-25 3 8,33 2 5,55 5 13,88

>25-30 0 0 0 0,00 0 0,00

>30 3 8,33 1 2.77 4 11,11

Total 30 83,33 6 16,66 36 100,00

Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa 36,1 persen dari responden memiliki omzet usaha yang berada di antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Sebagian besar responden yang memiliki status menunggak memiliki omzet usaha yang berada di antara Rp 15.000.000 hingga Rp 25.000.000. Hal ini tidak sesuai dengan dugaan bahwa semakin besar omzet usaha maka semakin lancar pengembalian kredit responden.

2) Repayment capacity

Nilai repayment capacity menunjukkan kapasitas debitur di dalam mengembalikan kredit. Untuk menentukan besarnya nilai repayment capacity,


(32)

pihak perbankan harus mengetahui pendapatan bersih debitur, karena nilai maksimal dari repayment capacity adalah 75 persen dari pendapatan bersih debitur pada satu satuan waktu.

Variabel ini diduga akan berkorelasi positif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Sebagian besar responden memiliki nilai repayment capacity sebesar Rp 600.000, dengan nilai repayment capacity terkecil sebesar Rp 225.000 dan nilai repayment capacity terkecil sebesar Rp 1.200.000. Sebaran responden berdasarkan nilai repayment capacity dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Sebaran Responden berdasarkan Repayment capacity dan Status Pengembalian Kredit

Repayment capacity

(Rp ribu)

Lancar Menunggak Total

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

200-400 10 27,77 0 0,00 10 27,77

>400-600 12 33,33 1 2,77 13 36,11

>600-800 4 11,11 3 8,33 7 19,44

>800-1000 2 5,55 0 0,00 2 5,55

>1000-1200 2 5,55 2 5,55 4 11,11

Total 30 83,33 6 16,66 36 100,00

Berdasarkan Tabel 6 sebagian besar responden memiliki nilai repayment capacity yang berada di antara Rp 400.000 hingga Rp 600.000. Dapat dilihat pula bahwa sebagian besar responden yang menunggak memiliki repayment capacity yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang lancar.

3) Lama Usaha

Lama usaha responden menunjukkan pengalaman responden di dalam bidang usahanya. Pengalaman diduga berkorelasi positif terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit, karena dengan pengalaman yang dimiliki


(33)

responden sudah mengerti mengenai usaha yang dimiliki berdasarkan trial and error. Selain itu, semakin lamanya suatu usaha berjalan menunjukkan bahwa responden mampu mengelola usaha yang dimiliki dengan baik sehingga kemungkinan usaha respoden merugi di masa depan akan relatif lebih kecil. Sebagian besar responden memiliki usaha yang telah berjalan selama 10 tahun, dengan usaha yang paling muda telah berjalan selama satu tahun dan usaha yang paling tua telah berjalan selama 20 tahun. Sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat di Tabel 7.

Tabel 7. Sebaran Responden berdasarkan Lama Usaha dan Status Pengembalian Kredit

Lama Usaha (Tahun)

Lancar Menunggak Total Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

1-5 14 38,88 3 8,33 17 47,22

6-10 11 30,55 2 5,55 13 36,11

11-15 4 11,11 1 2,77 5 13,88

16-20 1 2.77 0 0 1 2,77

Total 30 83,33 6 16,66 36 100,00

Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki usaha yang berusia satu hingga lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden masih tergolong baru di dalam bidang usaha yang dijalankan. Dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa masing-masing responden yang lancar dan menunggak sebagian besar memiliki usaha yang berusia satu hingga lima tahun, sehingga lama usaha tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pembayaran.

6.1.3 Karakteristik Kredit Responden 1) Jumlah Pinjaman

Jumlah pinjaman yang diberikan kepada responden bergantung kepada besarnya jumlah repayment capacity responden tersebut. Semakin besar nilai kredit, maka semakin besar dana yang dapat dimanfaatkan oleh responden, sehingga kemungkinan untuk meningkatkan profit yang didapatkan juga semakin tinggi. Jumlah pinjaman diduga berkorelasi positif terhadap tingkat


(34)

kelancaran pembayaran. Sebagian besar responden memiliki jumlah pinjaman sebesar Rp 5.000.000, dengan jumlah pinjaman terkecil sebesar Rp 3.000.000 dan jumlah pinjaman terbesar adalah Rp 20.000.000. Sebaran responden berdasarkan jumlah pinjaman dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Pinjaman dan Status Pengembalian Kredit

Jumlah Pinjaman (Rp juta)

Lancar Menunggak Total Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

1-5 20 55,55 1 2,77 21 58,33

6-10 8 22,22 4 11,11 12 33,33

11-15 1 2,77 1 2,77 2 5,55

16-20 1 2,77 0 0,00 1 2,77

Total 30 83,33 6 16,67 36 100,00

Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mendapatkan pinjaman sebesar Rp 1 juta-Rp 5 juta, akan tetapi sebagian besar responden yang mengalami penunggakan di dalam pembayaran justru mendapatkan kredit dengan jumlah yang lebih besar, yaitu Rp 6 juta-Rp 10 juta. Hal ini tidak sesuai dengan dugaan awal, di mana semakin besar jumlah kredit maka semakin lancar pengembalian kredit.

2) Jumlah Angsuran

Jumlah angsuran merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh responden setiap bulannya. Jumlah angsuran berbeda-beda dari satu responden dengan responden lainnya, bergantung kepada jumlah kredit yang didapatkan dan lama angsuran. Jumlah angsuran diduga berkorelasi negatif terhadap tingkat kelancaran pembayaran, sehingga semakin tinggi nilai angsuran maka semakin besar kemungkinan terjadinya penunggakan di dalam pembayaran kredit. Sebagian besar responden harus membayar angsuran sebesar Rp 657.100, sedangkan responden dengan jumlah angsuran terkecil harus membayar sebesar Rp 190.900 dan responden dengan jumlah angsuran terbesar harus membayar senilai Rp 1.037.333. Sebaran responden berdasarkan jumlah angsuran dapat dilihat di Tabel 9.


(35)

Tabel 9. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Angsuran dan Status Pengembalian Kredit

Jumlah Angsuran (Rp .000)

Lancar Menunggak Total

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

100-300 17 47,22 1 2,77 18 50,00 >300-500 7 19,44 2 5,55 9 25,00 >500-700 4 11,11 2 5,55 6 16,66 >700-900 2 5,55 1 2,77 3 8,33 Total 30 83,33 6 16,66 36 100,00

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa 50 persen dari total responden memiliki angsuran sebesar Rp 100.000 hingga Rp 300.000. Responden dengan status pembayaran menunggak sebagian besar memiliki angsuran sebesar Rp 300.000 hingga Rp 700.000. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya angsuran memiliki dampak terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit responden. Semakin besar jumlah angsuran, semakin besar dana yang harus disisihkan oleh responden dari pendapatan yang diterima.

3) Lama Angsuran

Lama angsuran akan berdampak terhadap nilai angsuran yang harus dibayarkan setiap bulannya. Semakin lama periode angsuran, maka nilai angsuran yang harus dibayar juga akan semakin kecil. Dengan demikian, lama angsuran diduga berdampak positif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit responden. Sebagian besar responden memiliki lama angsuran selama 18 bulan, dengan periode angsuran tercepat selama 12 bulan dan periode angsuran terlama adalah 36 bulan. Sebaran responden berdasarkan lama angsuran dapat dilihat pada Tabel 10.


(36)

Tabel 10. Sebaran Responden berdasarkan Lama Angsuran dan Status Pengembalian Kredit

Lama Angsuran

(Bulan)

Lancar Menunggak Total Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

12 9 25,00 2 5,55 11 30,55

18 12 33,33 1 2,77 13 36,11

24 8 22,22 3 8,33 11 30,55

36 1 2,77 0 0,00 1 2,77

Total 30 83,33 6 16,66 36 100,00

Sebagian besar responden memiliki periode angsuran selama 18 bulan (Tabel 10). Walaupun demikian, sebagian besar responden yang termasuk ke dalam kategori gagal bayar justru memiliki periode angsuran yang lebih lama, yaitu 24 bulan, sedangkan responden yang termasuk ke dalam kategori lancar sebagian besar memiliki periode angsuran selama 18 bulan.

4) Agunan

Pada Kredit Usaha Rakyat, agunan bukanlah syarat yang harus dimiliki oleh responden. Akan tetapi, debitur dapat menyertakan agunan sebagai syarat tambahan. Agunan adalah harta kepemilikan debitur yang akan berpindah tangan kepada pihak perbankan jika debitur gagal di dalam memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan kredit yang telah didapatkan. Sebaran responden berdasarkan agunan yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran Responden berdasarkan Ada Tidaknya Agunan dan Status Pengembalian Kredit

Agunan

Lancar Menunggak Total

Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%) Jumlah (Orang) Proporsi (%)

Ada Agunan 17 47,22 5 13,88 22 61,11 Tidak Ada

Agunan 13 36,11 1 2,77 14

38,88


(37)

Berdasarkan Tabel 11, sebanyak 61,11 persen dari responden memiliki agunan sebagai syarat tambahan. Dapat dilihat bahwa baik responden dengan status kredit lancar maupun responden dengan status kredit menuggak sebagian besar memiliki agunan, sehingga berdasarkan pengamatan ini agunan tidak memiliki dampak terhadap tingkat kelancaran pembayaran kredit.

6.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Nilai Repayment capacity

Analisis deskripsi berikut ini akan menggambarkan karakter responden yang diduga akan mempengaruhi nilai repayment capacity. Karakter responden yang akan diteliti dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu karakter individu responden dan karakter usaha responden. Penilaian repayment capacity digunakan untuk menilai kelayakan calon debitur di dalam menerima kredit, sehingga karakteristik kredit tidak termasuk ke dalam karatakter yang akan dianalisis. Karakteristik individu responden terdiri dari usia dan pengeluaran rumah tangga, sedangkan karakteristik usaha responden terdiri dari omzet usaha dan lama usaha. Kedua karakteristik ini diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity.

6.2.1 Karakteristik Individu 1) Usia

Usia menunjukkan banyaknya pengalaman yang dimiliki seseorang, sehingga semakin dewasa responden maka pengetahuan yang dimiliki dari pengalaman yang telah dialami akan semakin banyak. Akan tetapi, usia juga menunjukkan tingkat produktivitas dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Responden yang berusia lebih dewasa memiliki produktivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan responden yang lebih muda, demikian juga dengan tingkat adaptasi terhadap perubahan. Responden yang berusia lebih muda relatif lebih kreatif dalam mengadopsi perubahan di sekitar, terutama dalam menghadapi masalah pemasaran. Sebagian besar usia responden berada pada usia 43 tahun, dengan usia termuda adalah 28 tahun dan usia termuda adalah 56 tahun. Sebaran responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 12.


(38)

Tabel 12. Sebaran Responden berdasarkan Usia dan Nilai Repayment capacity

Repayment capacity

(Rp ribu)

Usia

26-36 >36-46 >46-56 Total Jumlah

(Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

Jumlah (Orang)

Proporsi (%)

200-400 2 5,55 3 8,33 5 13,88 10 27,77 >400-600 2 5,55 8 22,22 3 8,33 13 36,11 >600-800 2 5,55 4 11,11 1 2,77 7 19,44 >800-1000 0 0,00 2 5,55 0 0,00 2 5,55

>1000-1200 2 5,55 1 2.77 1 2,77 4 11,11 Total 8 22,22 18 50,00 10 27,77 36 100,00

Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang memiliki repayment capacity terbesar berusia 26 hingga 36 tahun. Demikian pula responden dengan nilai repayment capacity terkecil, sebagian besar berusia 46 hingga 56 tahun. Sebaran ini menunjukkan bahwa responden yang berusia lebih muda memiliki nilai repayment capacity yang lebih tinggi.

2) Pengeluaran Rumah Tangga

Pada usaha mikro, keuangan usaha dan keuangan rumah tangga pada umumnya masih tergabung menjadi satu. Pendapatan yang berasal dari usaha akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan usaha dan kebutuhan rumah tangga, sehingga besarnya pengeluaran rumah tangga akan berdampak terhadap pendapatan bersih usaha. Sebagian besar responden memiliki pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 1.000.000, sedangkan pengeluaran rumah tangga terkecil bernilai Rp 500.000 dan pengeluaran rumah tangga terbesar adalah Rp 3.000.000. Sebaran responden berdasarkan pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada tabel 13.


(39)

Tabel 13. Sebaran Responden berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga dan Nilai Repayment capacity

Repayment capacity

(Rp ribu)

Pengeluaran Rumah Tangga (Rp juta)

≤1 >1-2 >2-3 Total

A (Orang) B (%) A (Orang) B (%) A (Orang) B (%) A (Orang) B (%)

200-400 6 16,66 3 8,33 1 2,77 10 27,77 >400-600 5 13,88 7 19,44 1 2,77 13 36,11 >600-800 5 13,88 2 5,55 0 0 7 19,44 >800-1000 0 0,00 1 2,77 1 2,77 2 5,55 >1000-1200 1 2,77 2 5,55 1 2,77 4 11,11 Total 17 47,22 14 41,66 4 11,11 36 100,00 A=Orang

B=Proporsi

Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pengeluaran rumah tangga yang bernilai kurang dari satu juta rupiah. Pengeluaran ini merupakan output dari beberapa faktor, seperti jumlah anggota keluarga yang dibiayai oleh responden. Semakin banyak anggota keluarga yang dibiayai, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan.

Jumlah tanggungan keluarga responden tidak selalu sama dengan jumlah anggota keluarga yang dimiliki oleh responden, karena pada beberapa kasus responden juga membiayai individu yang bukan merupakan anggota keluarga, baik langsung maupun tidak langsung. Semakin banyak jumlah tanggungan responden, maka pengeluaran rumah tangga juga akan semakin bertambah, dengan demikian jumlah tanggungan keluarga diduga berkorelasi negatif terhadap nilai repayment capacity responden. Sebaran jumlah tanggungan keluarga terhadap pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 14.


(40)

Tabel 14. Sebaran Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Pengeluaran Rumah Tangga

Pengeluaran RT (Rp juta)

Jumlah Tanggungan Keluarga (Orang)

1-2 3-4 5-6 Total A

(Orang) B (%)

A (Orang)

B (%)

A (Orang)

B (%)

A (Orang)

B (%)

≤1 8 22,22 8 22,22 1 2,77 17 47,22

>1-2 8 22,22 6 16,66 1 2,77 15 41,66

>2-3 0 0,00 2 5,55 2 5,55 4 11,11

Total 16 44,44 16 44,44 4 11,11 36 100,00 A=Jumlah

B=Proporsi

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa semua responden yang memiliki anggota keluarga satu hingga dua orang memiliki pengeluaran yang tidak lebih dari Rp 2 juta. Demikian juga dengan responden yang memiliki anggota keluarga lebih dari 4 orang, sebagian besar memiliki pengeluaran di atas Rp 2 juta (Tabel 14).

6.2.2 Karakteristik Usaha 1) Omzet

Omzet usaha merupakan sumber pendapatan bagi responden. Dengan demikian, jumlah omzet diduga berkorelasi positif terhadap nilai repayment capacity responden. Semakin besar nilai omzet responden, maka pendapatan bersih yang diterima juga akan semakin besar, dengan asumsi pengeluaran tidak bertambah. Berdasarkan asumsi ini, maka semakin besar jumlah omzet maka nilai repayment capacity juga semakin tinggi. Sebaran responden berdasarkan nilai omzet dapat dilihat pada Tabel 15.


(41)

Tabel 15. Sebaran Responden berdasarkan Omzet dan Nilai Repayment capacity

Repayment capacity (Rp ribu)

Omzet (Rp juta)

5 >5-15 >15 Total A

(Orang) B (%)

A (Orang)

B (%)

A (Orang)

B (%)

A (Orang)

B (%) 200-400 1 2,77 9 25,00 0 0,00 10 27,77 >400-600 1 2,77 11 30,55 1 2,77 13 36,11 >600-800 0 0,00 2 5,55 5 13,88 7 19,44 >800-1000 0 0,00 1 2,77 1 2,77 2 5,55

>1000-1200

0 0,00 0 0,00 4 11,11 4 11,11

Total 2 5,55 23 63,88 11 30,55 36 100,00 A= Jumlah

B = Proporsi

Dapat dilihat pada Tabel 15 bahwa sebagian besar responden memiliki omzet usaha di antara Rp 5 juta hingga Rp 15 juta. Data ini mengindikasikan adanya hubungan di antara tingkat omzet dengan nilai repayment capacity, terutama responden dengan omzet yang bernilai lebih dari Rp 15 juta.

2) Lama Usaha

Lama usaha diduga berpengaruh positif terhadap nilai repayment capacity, karena semakin lama suatu usaha berjalan maka kemampuan responden di dalam bidang usahanya akan semakin baik. Selain itu, pengalaman di bidang usaha juga akan membantu responden di dalam mengatur keuangan dan pengalokasian dana yang tepat. Sebaran responden terhadap lama usaha dapat dilihat pada tabel berikut.


(42)

Tabel 16. Sebaran Responden Berdasarkan Lama Usaha dan Nilai Repayment capacity

Repaymen t capacity (Rp ribu)

Lama Usaha (Tahun)

≤ 5 >5-10 >10 Total A B A B A B A B

200-400 7 19,44 3 8,33 0 0,00 10 27,77 >400-600 4 11,11 5 13,88 4 11,11 13 36,11 >600-800 2 5,55 3 8,33 2 5,55 7 19,44 >800-1000 1 2,77 1 2,77 0 0,00 2 5,55

>1000-1200 3 8,33 1 2,77 0 0,00 4 11,11 Total 17 47,22 13 36,11 6 16,66 36 100,00 A= Jumlah (Orang)

B=Proporsi (%)

Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa 47,22 persen dari responden memiliki usaha yang berusia tidak lebih dari lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengalaman di dalam bidang usaha yang dijalankan, walaupun masih terbatas. Data isi sesuai dengan sasaran dari KUR, yaitu usaha yang feasible, tetapi belum bankable.


(43)

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENGEMBALIAN KREDIT DAN

REPAYMENT CAPACITY

7.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian KUR

Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian KUR dilakukan dengan regresi logistik. Hasil dari regresi ini dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian KUR

Variabel Coef SE Coef P Value Odds Ratio Omzet 0.0000001 0.0000000 0.206 1.00 Repayment

capacity

-0.0000107 0.0000054 0.046 1.00

Agunan -1.30473 1.30140 0.316 0.27 Angsuran 0.0000049 0.0000044 0.270 1.00 Log-Likelihood = -11.538

Tests that all slopes are zero: G= 9.365 DF=4 P-value= 0.053

Dari hasil regresi logistik pada Tabel 17, dapat dilihat bahwa p-value memiliki nilai sebesar 0,053. Berdasarkan nilai ini, maka telah cukup bukti untuk menolak H0 yang menyatakan bahwa tidak ada satupun variabel prediktor yang

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon. Artinya, telah cukup bukti untuk menyatakan bahwa ada variabel prediktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon. Demikian juga dengan nilai Standard Error (SE) yang relatif sama, sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam model ini tidak terdapat multikolinearitas.

Langkah berikutnya untuk mengetahui kebaiksesuaian model dapat dilakukan uji Goodness-of-Fit, yang terdiri dari uji Pearson, deviance, dan Hosmer-Lemeshow. Pada model yang baik, nilai p-value dari ketiga uji ini harus lebih besar dari nilai taraf nyata, di dalam penelitian ini bernilai 0,1 (10%). Hasil dari uji regresi logistik terhadap model ini menunjukkan bahwa nilai p-value dari ketiga uji ini secara berurutan adalah 0,699; 0,846; dan 0,370. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model ini layak dan dapat diinterpretasikan.


(44)

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian kredit dapat dilihat melalui nilai p-value masing-masing variabel. Syarat dari suatu variabel prediktor agar dinyatakan berpengaruh signifikan terhadap variabel respon adalah p-value dari variabel prediktor tersebut harus lebih kecil dari nilai taraf nyata (0,1). Dengan demikian, variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen adalah nilai dari repayment capacity, sedangkan variabel prediktor lain seperti omzet, agunan, angsuran, dan jumlah kredit tidak berpengaruh secara signifikan.

1) Omzet Usaha

Nilai omzet usaha memiliki korelasi positif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Hal ini sesuai dengan dugaan awal di mana semakin besar omzet maka semakin pengembalian kredit semakin lancar. Hasil regresi ini juga didukung oleh hasil analisis deskriptif sebelumnya yang menunjukkan sebagian besar responden yang memiliki status lancar memiliki omzet yang lebih besar.

Korelasi positif di antara omzet usaha dan tingkat kelancaran pengembalian kredit menunjukkan bahwa pada dasarnya semua responden dapat mengembalikan kredit dengan lancar. Akan tetapi, terdapat enam orang responden yang mengalami kredit macet, dengan lima di antaranya bergerak di subsistem on-farm. Salah satu penyebab dari penunggakan ini adalah pola pengembalian kredit yang bersifat bulanan, sedangkan pola penerimaan dari usaha yang dimiliki responden bersifat musiman.

Meskipun demikian, nilai p-value untuk variabel omzet pada Tabel 17 menunjukkan bahwa omzet tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Hal ini didukung oleh pengamatan lapangan di mana ada beberapa responden lancar yang memiliki omzet kecil dan responden menunggak yang memiliki omzet besar.

Tabel 17 menunjukkan odds ratio untuk variabel omzet sebesar 1,00. Nilai ini menunjukkan bahwa kenaikan satu satuan terhadap variabel omzet maka responden memiliki peluang satu kali lebih besar untuk mengembalikan kredit. Hasil dari regresi logistik untuk variabel ini sesuai dengan hasil dari penelitian


(45)

yang dilakukan oleh Hasibuan (2010) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian KUPEDES.

2) Repayment capacity

Repayment capacity diduga berkorelasi positif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit, namun berdasarkan hasil analisis regresi ditemukan bahwa repayment capacity berkorelasi negatif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Hal ini diperkuat dengan hasil uji yang menunjukkan repayment capacity memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit.

Pada umumnya semakin besar nilai repayment capacity yang dimiliki oleh debitur maka jumlah kredit yang didapatkan akan semakin tinggi. Akan tetapi, beberapa responden yang menerima dana kredit tidak dapat mengelola dana yang diterima dengan baik. Salah satu kasus yang menunjukkan hal ini adalah terjadinya peningkatan terhadap biaya produksi usaha responden, tetapi profit yang didapatkan tidak mengalami peningkatan. Dengan demikian, tidak terdapat penambahan di dalam skala ekonomi usaha yang dimiliki.

Penyebab lain terjadinya korelasi negatif di antara kedua variabel ini adalah keadaan sosial budaya sebagian besar responden yang mengutamakan kebutuhan keluarga di atas kepentingan membayar angsuran kredit yang telah diterima. Responden tidak menyisihkan pendapatan yang diterima untuk memenuhi kewajiban angsuran kredit, melainkan menggunakan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga terlebih dahulu. Penyebab lain terjadinya korelasi negatif tersebut adalah dikarenakan dana kredit yang diterima juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan membayar hutang yang dimiliki oleh responden. Pengelolaan dana yang tidak tepat ini menyebabkan tidak ada perputaran dana yang akan memberikan nilai tambah terhadap kredit yang telah diterima. Selain itu, beberapa responden juga menggunakan dana kredit yang diterima untuk membuka usaha baru atau untuk membiayai usaha lain yang dimiliki. Hal ini tidak sesuai dengan skema Kredit Usaha Rakyat yang dirancang untuk mengembangkan usaha yang telah berjalan, sehingga sering kali responden tidak memiliki dana cukup untuk memenuhi kewajiban angsuran setiap bulannya.


(46)

Keadaan ini didukung oleh nilai p-value variabel repayment capacity yang berada di bawah taraf nyata, sehingga dapat dikatakan bahwa repayment capacity berpengaruh secara siginifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Nilai odds ratio sebesar 1,00 menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan satu satuan terhadap nilai repayment capacity maka peluang menunggak akan naik satu kali lebih besar. Hasil regresi logistik ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lubis (2009) pada BRI Unit Cibungbulang. Pada penelitian terdahulu di BRI Unit Cibungbulang yang dilakukan oleh Lubis (2009) nilai repayment capacity berkorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Korelasi yang bersifat negatif ini juga sesuai dengan hasil dari peneltian yang dilakukan oleh Irawati (2011).

Akan tetapi, telah terjadi perubahan korelasi di antara nilai repayment capacity dan tingkat kelancaran pengembalian kredit. Berdasarkan perhitungan terhadap nilai repayment capacity dengan menggunakan data keadaan keuangan responden pada periode Februari 2012, korelasi di antara nilai repayment capacity dan tingkat kelancaran pengembalian kredit bersifat positif walaupun tidak signifikan pada tingkat kepercayaan sebesar 90 persen (Lampiran 1).

Selain itu, dapat dilihat bahwa ada keterkaitan di antara kenaikan nilai repayment capacity dan jumlah kredit yang diterima. Semakin besar nilai kredit yang diterima, maka semakin besar juga kenaikan nilai repayment capacity dari responden. Korelasi di antara kedua variabel ini bersifat positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan sebesar 70 persen (Lampiran 2).

3) Agunan

Berdasarkan hasil regresi, agunan memiliki korelasi negatif terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Hal ini tidak sesuai dengan dugaan awal, di mana adanya agunan diduga akan meningkatkan kelancaran pengembalian kredit. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan karena pada Kredit Usaha Rakyat jika terjadi gagal bayar maka agunan yang diajukan oleh responden tidak akan ditarik, karena penjamin dari kredit ini adalah pemerintah


(1)

60 

 

---

Lampiran 2.

Output

regresi berganda (

minitab

)

Regression Analysis: Delta RPC versus Plafon The regression equation is

Delta RPC = - 396207 + 0.0535 Plafon

Predictor Coef SE Coef T P Constant -396207 378557 -1.05 0.303 Plafon 0.05349 0.04723 1.13 0.265

S = 1092345 R-Sq = 3.6% R-Sq(adj) = 0.8%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 1.53048E+12 1.53048E+12 1.28 0.265 Residual Error 34 4.05694E+13 1.19322E+12

Total 35 4.20999E+13

Unusual Observations

Obs Plafon Delta Fit SE Fit Residual St Resid 4 20000000 112500 673533 639123 -561033 -0.63 X 6 10000000 2887500 138663 229889 2748837 2.57R 20 10000000 -3000000 138663 229889 -3138663 -2.94R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.


(2)

58 

LAMPIRAN


(3)

59 

 

Lampiran 1. Output

regresi logistik (

minitab

)

Binary Logistic Regression:Tingkat Kelancaran versus RPC1

Link Function: Logit

Response Information Variable Value Count

Dummy 1 30 (Event) 0 6

Total 36

Logistic Regression Table

Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant 1.59896 0.575955 2.78 0.006

RPC1 0.0000000 0.0000004 0.03 0.977 1.00 1.00 1.00

Log-Likelihood = -16.220

Test that all slopes are zero: G = 0.001, DF = 1, P-Value = 0.977

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 26.4019 26 0.441 Deviance 24.8014 26 0.530 Hosmer-Lemeshow 5.0643 8 0.751

Table of Observed and Expected Frequencies:

(See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Group

Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total 1

Obs 2 4 3 4 4 3 2 2 3 3 30 Exp 2.5 3.3 2.5 3.3 4.2 2.5 2.5 2.5 3.3 3.3

0

Obs 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 6 Exp 0.5 0.7 0.5 0.7 0.8 0.5 0.5 0.5 0.7 0.7

Total 3 4 3 4 5 3 3 3 4 4 36

Measures of Association:

(Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures

Concordant 32 17.8 Somers' D -0.24 Discordant 75 41.7 Goodman-Kruskal Gamma -0.40 Ties 73 40.6 Kendall's Tau-a -0.07 Total 180 100.0


(4)

60  ---

Lampiran 2.

Output

regresi berganda (

minitab

)

Regression Analysis: Delta RPC versus Plafon The regression equation is

Delta RPC = - 396207 + 0.0535 Plafon

Predictor Coef SE Coef T P Constant -396207 378557 -1.05 0.303 Plafon 0.05349 0.04723 1.13 0.265

S = 1092345 R-Sq = 3.6% R-Sq(adj) = 0.8%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 1.53048E+12 1.53048E+12 1.28 0.265 Residual Error 34 4.05694E+13 1.19322E+12

Total 35 4.20999E+13

Unusual Observations

Obs Plafon Delta Fit SE Fit Residual St Resid 4 20000000 112500 673533 639123 -561033 -0.63 X 6 10000000 2887500 138663 229889 2748837 2.57R 20 10000000 -3000000 138663 229889 -3138663 -2.94R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.


(5)

 

RINGKASAN

TERESA M.G. HUTABARAT. H34080124. 2012. Analisis Repayment Capacity Kredit Usaha Rakyat Sektor Agribisnis Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Cibungbulang-Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan DWI RACHMINA).

Sesuai dengan data Departemen Koperasi dan UMKM, usaha mikro, kecil, dan menengah mendominasi sektor perekonomian Indonesia dengan proporsi sebesar 99 persen dari total usaha yang ada. Akan tetapi, penyaluran kredit untuk usaha yang berskala kecil dan menengah lebih rendah jika dibandingkan dengan usaha yang berkala besar. Hingga Desember 2011, proporsi penyaluran kredit di sektor UMKM hanya sebesar 21,23 persen dari total penyaluran kredit nasional. Lebih jauh lagi, sektor perdagangan dan industri adalah penerima kredit UMKM terbesar, dengan proporsi sebesar 43,7 persen dari total kredit UMKM. Hal ini tidak sesuai dengan keadaan di mana pertanian adalah mata pencaharian sebagian besar rakyat Indonesia.

Untuk meningkatkan kredit pada sektor usah kecil dan menengah, pemerintah menyusun suatu program yang bertujuan untuk membantu masyarakat yang masih belum memenuhi persyaratan untuk mengajukan kredit komersil. Salah satu jenis program yang berlangsung hingga saat ini adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR adalah sebuah program pemerintah yang ditujukan untuk usaha UMKM yang feasible akan tetapi belum bankable. Dengan pertimbangan bahwa sebagian besar usaha UMKM merupakan usaha yang belum bankable, maka calon penerima dana KUR tidak harus memiliki jaminan untuk mengajukan permintaan kredit. Akan tetapi, untuk mengurangi peluang terjadinya adverse selection, hanya usaha yang telah berdiri paling tidak enam bulan yang dapat mengajukan permohonan dana KUR. Selain itu, pemilik usaha juga harus memiliki perhitungan cash flow usaha yang dijalankan serta pengeluran pribadi yang berdampak terhadap kemampuan membayar (repayment capacity).

Permasalahan yang terjadi di dalam penyaluran KUR adalah tingginya nilai non-performing loan (NPL) atau kredit gagal bayar. Kondisi ini juga terjadi di BRI Unit Cibungbulang, Bogor. Pada tahun 2009, NPL dari KUR yang disalurkan oleh BRI Unit Cibungbulang mencapai 35,61 persen. Nilai ini jauh di atas batas normal NPL kredit yang sehat. Akan tetapi, pada November 2011 nilai NPL dari BRI Unit ini hanya sebesar 18,37 persen. Meskipun tergolong besar, tetapi penurunan yang signifikan ini menunjukkan adanya perbaikan di dalam penyaluran KUR. Salah satu indikator di dalam penentuan persetujuan kredit adalah nilai repayment capacity yang dimiliki oleh debitur. Semakin besar nilai

repayment capacity yang dimiliki oleh debitur maka semakin kecil kemungkinan penunggakan di dalam pengembalian kredit. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan di antara nilai repayment capacity debitur dan tingkat kelancaran pengambalian kredit, serta faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity yang dimiliki oleh debitur.

Penelitian ini dilakukan pada debitur Kredit Usaha Rakyat mikro yang bergerak di sub-sistem agribisnis Bank Rakyat Indonesia Unit Cibungbulang, Bogor yang berjumlah sebanyak 46 orang. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 3


(6)

Januari 2012 hingga 20 Februari 2012. Responden untuk penelitian ini berjumlah 36 orang, dengan 11 debitur bergerak di sub-sistem on-farm dan 25 orang bergerak di sub-sistem off-farm. Pemilihan sample untuk penelitian ini dilakukan secara purposive. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik responden, sedangkan metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis korelasi di antara repayment capacity dan tingkat kelancaran pengembalian kredit (menggunakan metode regresi logistik) dan untuk menemukan faktor-faktor yang menentukan besarnya nilai repayment capacity responden (menggunakan metode regresi berganda). Tingkat kepercayaan untuk kedua analisis kuantitatif ini adalah sebesar 90 persen (α = 0.1).

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit adalah nilai dari repayment capacity yang dimiliki oleh debitur. Korelasi di antara kedua variabel ini bersifat negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai repayment capacity yang dimiliki oleh responden maka kemungkinan terjadinya penunggakan juga akan semakin besar. Faktor lain seperti omzet usaha, agunan, dan total angsuran tidak memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran pengembalian KUR.

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai repayment capacity responden secara signifikan adalah omzet usaha dan usia responden. Korelasi di antara omzet usaha dan nilai repayment capacity responden bernilai positif. Artinya, semakin besar omzet usaha responden, maka semakin besar nilai repayament capacity yang dimiliki. Sebaliknya, usia responden memiliki korelasi negatif terhadap nilai repayment capacity yang dimiliki. Semakin dewasa responden maka semakin kecil nilai repayment capacity yang dimiliki.

Berdasarkan penelitian ini pihak BRI sebaiknya melakukan penyaringan yang lebih ketat lagi di dalam memilih debitur yang akan mendapatkan dana KUR. Faktor-faktor seperti usia debitur dan jumlah tanggungan keluarga sebaiknya juga ikut diperhitungkan di dalam menilai kelayakan calon debitur. selain itu, pihak BRI sebaiknya memberdayakan debitur yang berusia muda. Debitur yang berusia muda memiliki potensi yang besar di dalam mengembangkan usaha yang dimiliki, akan tetapi juga memerlukan bimbingan di dalam kedisiplinan di dalam mengembalikan kredit. Jumlah kredit yang diberikan kepada debitur juga sebaiknya tidak hanya berpatokan kepada nilai repayment capacity debitur, tetapi juga kemampuan debitur di dalam mengelola dana yang akan diterima.


Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Tingkat produktivitas Hasil Panen Padi di Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara

13 132 73

Analisis Fasilitas Kredit Perumahan Rakyat Terhadap Kepemilikan Rumah Pada Masyarakat Kota Medan Di Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Cabang Medan

0 37 94

Analisis Fasilitas Kredit Perumahan Rakyat Terhadap Kepemilikan Rumah Oleh Masyarakat Kota Medan Di Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Cabang Medan

1 41 81

Pengaruh Program Kredit Usaha Rakyat PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Teluk Panji Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Teluk Panji Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhanbatu Selatan

1 42 224

Upaya Penyelesaian Kredit Macet Dalam Kredit Usaha Rakyat (Kur) Pada Bank (Studi Pada Bank Btn Cabang Pemuda Medan)

9 166 128

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Bank Rakyat Indonesia Unit Leuwiliang Kabupaten Bogor

4 38 120

Analisis faktor – faktor yang mempengaruhi pencairan kredit usaha rakyat (KUR) di sektor agribisnis (Kasus pada BRI Unit Cigombong-Bogor)

2 35 103

Pelaksanaan pemberian Kredit Usaha Rakyat (kur) pada Bank Rakyat Indonesia unit Kuwarasan cabang Gombong

0 7 83

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT PADA PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT MAJENANG PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT PADA PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT MAJENANG CABANG SRAGEN.

0 0 16

PENDAHULUAN PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT PADA PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT MAJENANG CABANG SRAGEN.

0 0 18