4. PARASETAMOLASETAMINOFEN DAN ASAM ASETIL SALISILAT 4.1. PARASETAMOL
ASETAMINOFEN
Asetaminofen merupakan obat analgesik, antipiretik dan non antiinflamasi. Fenasetin merupakan prodrug yang dapat dimetabolisme
menjadi asetaminofen.
4.1.1. Mekanisme kerja
Cyclooxigenase COX, enzim yang mengkonversi asam arakhidonat menjadi endoperoksida precursor
prostaglandin mempunyai setidaknya 2 isoform: COX-1 dan COX-2. COX-1 terutama bekerja dalam sel-sel non inflamasi
sementara COX-2 bekerja dalam limfosit, sel
polimorfonuklear dan sel-sel inflamasi lainnya. Efek antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus
aminobenzen, dimana obat ini bekerja dengan menghambat enzim COX, terutama sangat selektif pada COX-2, dengan
demikian mengurangi jumlah prostaglandin E2 di susunan saraf pusat, maka akan menurunkan set-point di pusat
pengaturan suhu di talamus. Obat ini bekerja sebagai inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di
jaringan perifer, yang menyebabkan tidak adanya efek antiinflamasi, hal ini karena parasetamol hanya bekerja pada
Universitas Sumatera Utara
lingkungan yang kadar peroksidnya rendah, sementara pada lokasi inflamasi yang biasanya di perifer mengandung
banyak peroksid yang dihasilkan leukosit. Bukti-bukti lain menunjukkan obat ini dapat menghambat enzim ketiga,
COX-3, di susunan saraf pusat. Katzung, dkk, 2005; Wilmana, dkk, 2007
4.1.2. Efek
Merupakan analgesik dan antipiretik, tanpa efek antiinflamasi dan antipletelet.
4.1.3. Farmakokinetik dan Penggunaan klinis
Asetaminofen efektif untuk indikasi yang sama pada dosis intermediet dari asam asetil salisilat efek analgesik dan
antipiretik: 300 – 2400 mg hari. Diserap dengan baik secara oral dan dimetabolisme di hepar. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam, dengan masa paruh 2 – 3 jam pada orang dengan fungsi hati yang
normal, dan tidak dipengaruhi oleh penyakit pada ginjal. Sebagian besar 80 dikonjugasi dengan asam glukoronat
dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Tersebar di seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25 terikat protein
plasma. Diekskresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai
Universitas Sumatera Utara
parasetamol 3 dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007
4.1.4. Dosis
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg 5 ml. Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 – 1000 mg per kali beri, dengan dosis maksimum 4 gram per hari; untuk anak 6-12
tahun 150 – 300 mg kali dengan maksimum 1,2 gram hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60 – 120 mg kali dan bayi di bawah 1
tahun: 60 mg kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari Wilmana PF, 2007.
4.1.5. Kontraindikasi
Parasetamol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap obat ini. Perdarahan saluran cerna
dosis besar 2000 mg hari. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian
juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Wilmana PF, 2007 ; García Rodríguez LA dan Hernández-
Díaz S, 2000.
Universitas Sumatera Utara
4.1.6. Toksisitas
Dalam dosis terapeutik, toksisitasnya pada kebanyakan individu tidak ada. Namun pada pemakaian melebihi dosis
atau pasien dengan gangguan fungsi hepar yang berat, obat ini merupakan hepatotoksin yang berbahaya Katzung, dkk,
2005.
4.2. ASAM ASETIL SALISILAT
Asam asetil salisilat merupakan prototipe dari salisilat. Selain sebagai prototipe, obat ini merupakan standar dalam
menilai efek obat sejenis Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007
4.2.1. Mekanisme kerja
Asam asetil salisilat bekerja dengan menghambat kedua bentuk isoform dari enzim COX dan makanya menurunkan
sintesis prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh. Perbedaan obat ini dengan obat anti inflamasi nonsteroid
yang lainnya ialah obat ini menghambat COX secara irreversibel, sementara yang lainnya reversibel Katzung,
dkk, 2005.
Universitas Sumatera Utara
4.2.2. Efek
Derivat asam arakhidonat merupakan mediator yang penting dari inflamasi, penghambat COX akan mengurangi
manifestasi dari inflamasi, meskipun tidak mempunyai efek terhadap kerusakan jaringan yang mendasarinya atau reaksi
imunologis. Sintesis prostaglandin di susunan saraf pusat yang distimulasi oleh pirogen, dihambat oleh obat ini
sehingga menurunkan demam efek antipiretik. Mekanisme analgesik obat ini belum sepenuhnya dipahami. Aktifasi
sensor nyeri di perifer mungkin berkurang sebagai akibat penurunan produksi prostaglandin di jaringan yang cedera.
Obat ini juga mengganggu fungsi keseimbangan prostaglandin, terutama mengurangi prostaglandin-mediated
cytoprotection di saluran gastrointestinal Katzung, dkk, 2005.
4.2.3. Farmakokinetik dan Penggunaan Klinis
Asam asetil salisilat melalui oral diserap dengan baik di lambung dan di intestinal dalam 4-10 menit dan mencapai
puncak dalam plasma 30-40 menit. Dihidrolasi di hepar menghasilkan asam salisilat. Metabolit inaktif diekskresikan
melalui ginjal. Obat ini mempunyai 3 rentang dosis
Universitas Sumatera Utara
terapeutik: Rentang rendah 300 mghari, efektif dalam mengurangi agregasi platelet. Dosis intermediet 300-2400
mg hari mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Dan dosis tinggi 2400-4000 mg hari mempunyai efek
antiinflamasi. Katzung, dkk, 2005 ; Jacewicz, dkk, 2008
4.2.4. Dosis
Asam asetil salisilat tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 500 mg. Dosis yang digunakan:
- Sebagai anti platelet: 300 mg hari - Sebagai antipiretik dan analgesik: 300 – 2400 mg hari
untuk dewasa dan 15 – 20 mg kg berat badan per kali beri tiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 3,6 gram per
hari untuk anak. - Sebagai antiinflamasi: 2400 – 4000 mg hari untuk
dewasa dan 100 – 125 mg kg berat badan per hari, diberikan tiap 4-6 jam untuk anak. Katzung, dkk, 2005 ;
Wilmana PF, 2007
Universitas Sumatera Utara
4.2.5. Kontraindikasi
Asam asetil salisilat tidak boleh diberikan pada penderita dengan riwayat alergi terhadap obat ini, gangguan
pernafasan, gangguan keseimbangan asam basa, gangguan hati dan ginjal. Pada penderita
hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat meinimbulkan perdarahan. Juga pada
penderita gastritis, ulkus gaster dan perdarahan saluran cerna. Wilmana PF, 2007
4.2.6. Toksisitas
Adverse effect yang paling sering pada dosis antiinflamasi adalah gangguan lambung. Pemakaian yang kronis bisa
menyebabkan ulkus gaster, perdarahan gastrointestinal bagian atas dan gangguan ginjal. Katzung, dkk, 2005
Universitas Sumatera Utara
5. KERANGKA TEORI