Pengaruh Persepsi Tentang Penyakit Kusta Dan Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Dalam Berobat Di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010
PENGARUH PERSEPSI TENTANG PENYAKIT KUSTA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN PENDERITA DALAM
BEROBAT DI KECAMATAN JANGKA KABUPATEN BIREUEN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TAHUN 2010
Oleh
MASYKUR
067012016/IKMPROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2010
(2)
PENGARUH PERSEPSI TENTANG PENYAKIT KUSTA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN PENDERITA
DALAM PEMAKAIAN OBAT PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN JANGKA KABUPATEN BIREUEN
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2009
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Rumah Sakit
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh :
MASYKUR
067012016/IKMPROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2010
(3)
Judul Tesis : PENGARUH PERSEPSI TENTANG PENYAKIT KUSTA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN PENDERITA DALAM
PEMAKAIAN OBAT PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN JANGKA KABUPATEN BIREUEN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2009
Nama Mahasiswa : MASYKUR Nomor Induk Mahasiswa : 067012016
Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Kebijakan dan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si) (dr. Halinda Sari Lubis, MKKK) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi)
Tanggal lulus : 29 Maret 2010
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 29 Maret 2010 31
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si
Anggota : 1. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK
2. Prof. Dr. Azhar tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK 3. drh. Hiswani, M.Kes
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH PERSEPSI TENTANG PENYAKIT KUSTA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN PENDERITA
DALAM PEMAKAIAN OBAT PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN JANGKA KABUPATEN BIREUEN
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2010
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Maret 2010
MASYKUR
067012016/IKM(6)
ABSTRAK
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi yang tinggi penderita kusta, dan menempati urutan 9 (sembilan) dari 12 daerah dengan prevalensi kusta antara 1-2 per 10.000 penduduk. Penyebaran penderita kusta di Provinsi NAD juga tidak merata dan daerah tertinggi prevelansi kusta ditempati oleh Kabupaten Pidie dengan jumlah kasus 47 tipe Multi Basiller (MB), 75 tipe Pausi Baciller (PB) dengan angka RFT sebesar 34,3%, disusul Kabupaten Bireun dengan jumlah kasus 74 tipe Multi Basiller (MB), dan 18 tipe
Pausi Baciller (PB), dan angka Release From Treatment (RFT) 32,0%.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan dalam pemakaian obat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jenis penelitian survai dengan tipe eksplanatory research.
Populasi adalah seluruh penderita kusta yang ada di wilayah kerja Puskesmas Jangka Kabupaten Bireun dengan sampel seluruh populasi sebanyak 54 penderita dan keluarga. Data diperoleh dari hasil survei penelitian
Analisis data menggunakan uji regresi logistik berganda pada α = 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel persepsi tentang penyakit kusta (beratnya penyakit kusta, resiko penyakit kusta, konsekuensi tidak teratur berobat, pencegahan kecacatan) serta variabel dukungan keluarga (emosional, instrumental, informasi) berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan penderita dalam pemakaian obat di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Tahun 2009 (p<0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 33.4%. Variabel persepsi konsekuensi tidak teratur berobat memiliki pengaruh paling dominan terhadap tingkat kepatuhan penderita dalam pemakaian obat di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Tahun 2009 dimana (p=0,033) dan koefisien
β
=-1.039.Disarankan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen agar memberikan kesempatan kepada petugas P2 kusta untuk mengikuti pelatihan sehingga dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan agar kualitas pelayanan lebih optimal. Melakukan kegiatan penyuluhan secara intensif dengan menyampaikan informasi baru mengenai penyakit kusta, menjadi pemotivator dan bekerjasama dengan keluarga dalam mengawasi minum obat.
Kata kunci : Persepsi, Tingkat Kepatuhan Penderita, Kusta
(7)
ABSTRACT
Province of Nanggroe Aceh Darussalam in 2006 had high prevalence of leprosy and ranks 9th (ninth) of the 12 regions with a leprosy prevalence of 1-2 per 10,000 population. The spread of leprosy patients in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam were also not distribute. Pidie district had the highest leprosy prevalence with 47 cases of Multi Basiller (MB), 75 cases of Pausi Baciller (PB) with the RFT percentage at 34,3%, followed by Bireun District with 74 cases of Multi Basiller (MB), and 18 Pausi Baciller (PB), with Release From Treatment (RFT) percentage at 32.0%.
The purpose of this study was to analyze3 the influence of perceptions about leprosy and families support on the level of compliance in the use of drugs in Bireuen District in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam. This was an explanatory research. Populations were all leprosy patients in the working area of Bireuen District Health Office with sample of 54 patients. Analysis of data were using multiple logistic regression test at α = 0.05.
The results statistically showed that perception variable about leprosy (leprosy level, the risk of leprosy, the consequences of irregular treatment, prevention of disability) and family support (emotional, instrumental, information) influence on the level of patient compliance in the intake of drugs in Bireuen District in 2009 (p<0.05). The amount of influence of independent variables simultaneously were 40.54%. Perception variable with the consequences of irregular drug intake had the most dominant influence on the level of patient compliance in the intake of drugs in 2009 in Bireuen District where (p = 0.033) and coefficient β = 10.067.
It is recommended to Bireuen District Health Office : (1) TO provide training opportunity for leprosy officers so that they can develop the knowledge and skills for better service quality, (2) Should be intensively in dissemination information to convey updated information about leprosy, in order that these officers can be motivate and cooperate with the family to better monitor medication.
Keywords : Perception, the Level of Patient Compliance, Leprosy
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Persepsi Tentang Penyakit Kusta dan Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Dalam Pemakaian Obat Penderita Kusta di Kecamatan Jangka kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis dapat terlaksana berkat dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini izinkanlah penulis untuk menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara yaitu Prof. dr. Cahiruddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K).
Selanjutnya kepada dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(9)
Terima kasih penulis ucapkan kep[ada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis muldai dari proposal hingga penulisan tesis ini selesai.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada drh. Hiswani, M.Kes dan Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK, selaku penguji tesis yang telah
banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Tak terhingga terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada orangtua tercinta Ayahanda Alm. M. Yusuf Milhy dan Ibunda Almh. Mudainah serta seluruh keluarga yang telah banyak memberikan sumbangan moril dan materil.
Teristimewa buat istri tercinta dan tersayang Safriah serta ananda Rifky Vernanda dan Inaya Alaika, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta motivasi dan memberikan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.
Selanjutnya terima kasih juga kepada para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.
Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat berkonsultasi dalam
(10)
penyusunan tesis ini dan semua pihak yang telah membantu proses penulisan tesis ini hingga selesai.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Februari 2010 Penulis
Masykur
(11)
RIWAYAT HIDUP
MASYKUR, lahir pada tanggal 01 Februari 1965 di Lhokseumawe dengan jumlah 12 bersaudara, tinggal di Kompleks Perumahan Helvetia Medan, Jl. Matahari Raya No. 48 E.
Pendidikan formal penulis dimulai dari Pendidikan SD Negeri No. 22 Banda Aceh, tamat tahun 1977, SMP Negeri Matangglumpangdua Bireuen, tamat tahun 1980, SMA Iskandar Tsani Banda Aceh, tamat tahun 1983, SPPH Banda Aceh, tamat tahun 1987, AKL Kabanjahe, tamat tahun 1998, FKM Muhammadiyah Banda Aceh, tamat tahun 2005. Penulis menikah pada tahun 1990 dengan Safriah dan dikaruniai 2 orang anak putera dan puteri yang bernama Rifky Vernanda dan Inaya Alaika.
Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen pada tahun 2002 dan menjadi Wasor P2 TB Kusta sejak tahun 2004 hingga sekarang.
Tahun 2006 penulis mengikuti Pendidikan Lanjutan S2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... iv
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Hipotesis ... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Defenisi Penyakit Kusta ... 11
2.2. Pengetahuan... 11
2.3. Sikap ... 12
2.4. Pencegahan Penyakit Kusta ... 13
2.4.1. Pencegahan Primer... 13
2.4.2. Pencegahan Sekunder... 14
2.4.3. Pencegahan Tersier ... 14
2.5. Pengobatan ... 16
2.6. Kepatuhan Berobat Penderita Kusta ... 19
2.7 Konsep Kepercayaan Terhadap Pengobatan Penyakit ... 21
2.8 Persepsi Sehat Dan Sakit... 23
2.9. Dukungan Keluarga Terhadap Pengobatan Penyakit... 27
2.10. Landasan Teori... 28
2.11. Kerangka Konsep Penelitian ... 30
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.3. Populasi dan Sampel ... 31
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 32
(13)
3.4.1.Data Primer ... 32
3.4.2. Data Sekunder ... 35
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 36
3.6. Metode Pengukuran ... 37
3.7. Metode Analisis Data ... 39
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 40
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... .... 40
4.2 Karakteristik Responden ... 44
4.2.1. Jenis Kelamin ... 44
4.2.2. Pendidikan... 44
4.2.3. Pekerjaan ... 45
4.2.4. Lama Tenderita Kusta ... 46
4.3. Persepsi tentang Penyakit Kusta ... 46
4.3.1.1 Distribusi responden berdasarkan uraian persepsi ... 47
4.3.2 Distribusi responden berdasarkan uraian persepsi ... 47
4.3.3 Distribusi responden berdasarkan uraian persepsi ... 48
4.3.4 Distribusi responden berdasarkan uraian persepsi ... 49
4.3.5 Distribusi responden berdasarkan uraian dukungan ... 51
4.3.6 Distribusi responden berdasarkan uraian dukungan ... 52
4.3.7 Distribusi responden berdasarkan uraian dukungan ... 54
4.4. Dukungan Keluarga ... ... 58
4.5. Kepatuhan Berobat Penderita Kusta ... 60
4.6 Analisis Bivariat... 61
4.6.1. Hubungan Persepsi tentang Penyakit Kusta... 61
4.6.2. Hubungan Dukungan Keluarga... 64
4.7. Analisis Multivariat... 65
BAB 5. PEMBAHASAN ... 68
5.1. Pengaruh Persepsi Tentang Penyakit Kusta... 68
5.1.1. Pengaruh Persepsi Beratnya Penyakit... 68
5.1.2. Pengaruh Persepsi Resiko Penyakit ... 69
5.1.3. Pengaruh Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat... 70
5.1.4. Pengaruh Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan ... 71
5.2. Pengaruh Dukungan ... 72
5.2.1. Pengaruh Dukungan Emosional... 72
5.2.2. Pengaruh Dukungan Instrumental... 73
5.2.3. Pengaruh Dukungan Informasi ... 74
5.3. Keterbatasan Penelitian... 75
(14)
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77 6.1. Kesimpulan ... 77 6.2. Saran... 78 DAFTAR PUSTAKA
KUESIONER PENELITIAN
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Dosis obat Tipe PB 1 : Lesi : 1... 18
3.1. Validitas dan Reliabilitas ... .33
3.2. Metode Pengukuran Variabel Independen... 38
4.1. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan Di Kabupaten Bireun... 41
4.2. Penderita Baru Murni Kusta Menurut Cara Penemuan... 42
4.3 Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 44
4.4 Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 45
4.5. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 45
4.6. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Menderita Kusta 46 4.7 Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi Beratnya ... 47
4.8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi Risiko... 48
4.9. Distribusi Frekuensi responden Berdasarkan Konsekuensi... 49
4.10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan.. 51
4.11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga.... 52
4.12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Ins... 53
4.13. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Inf... 54
4.14. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori beratnya ... 55
4.15. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori persepsi... 56
4.16. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori tidak teratur... 57
4.17. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori tindakan ... 58
4.18. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori dukungan ... 59
4.19. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori dukungan ... 59
4.20. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori dukungan ... 60
4.21. Distrbusi Frekuensi Responden Berdasarkan kategori kepatuhan ... 61
4.22. Hubungan Persepsi Tentang Penyakit Kusta Dengan Tingkat ... 62
4.23. Hubungan Persepsi Tentang Penyakit Kusta Dengan Tingkat ... 64
4.24. Hasil Uji Regresi Logistik Berganda... 66
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Hasil Uji Reliabilitas ... 81
2. Kuisioner penelitian ... 90
3. Tabel Frekuensi ... 98
4. Hasil Uji Pearsons Correlations ... 110
5. Hasil Uji Regresi Logistik Berganda ... 113
(17)
ABSTRAK
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi yang tinggi penderita kusta, dan menempati urutan 9 (sembilan) dari 12 daerah dengan prevalensi kusta antara 1-2 per 10.000 penduduk. Penyebaran penderita kusta di Provinsi NAD juga tidak merata dan daerah tertinggi prevelansi kusta ditempati oleh Kabupaten Pidie dengan jumlah kasus 47 tipe Multi Basiller (MB), 75 tipe Pausi Baciller (PB) dengan angka RFT sebesar 34,3%, disusul Kabupaten Bireun dengan jumlah kasus 74 tipe Multi Basiller (MB), dan 18 tipe
Pausi Baciller (PB), dan angka Release From Treatment (RFT) 32,0%.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan dalam pemakaian obat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jenis penelitian survai dengan tipe eksplanatory research.
Populasi adalah seluruh penderita kusta yang ada di wilayah kerja Puskesmas Jangka Kabupaten Bireun dengan sampel seluruh populasi sebanyak 54 penderita dan keluarga. Data diperoleh dari hasil survei penelitian
Analisis data menggunakan uji regresi logistik berganda pada α = 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel persepsi tentang penyakit kusta (beratnya penyakit kusta, resiko penyakit kusta, konsekuensi tidak teratur berobat, pencegahan kecacatan) serta variabel dukungan keluarga (emosional, instrumental, informasi) berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan penderita dalam pemakaian obat di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Tahun 2009 (p<0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 33.4%. Variabel persepsi konsekuensi tidak teratur berobat memiliki pengaruh paling dominan terhadap tingkat kepatuhan penderita dalam pemakaian obat di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Tahun 2009 dimana (p=0,033) dan koefisien
β
=-1.039.Disarankan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen agar memberikan kesempatan kepada petugas P2 kusta untuk mengikuti pelatihan sehingga dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan agar kualitas pelayanan lebih optimal. Melakukan kegiatan penyuluhan secara intensif dengan menyampaikan informasi baru mengenai penyakit kusta, menjadi pemotivator dan bekerjasama dengan keluarga dalam mengawasi minum obat.
Kata kunci : Persepsi, Tingkat Kepatuhan Penderita, Kusta
(18)
ABSTRACT
Province of Nanggroe Aceh Darussalam in 2006 had high prevalence of leprosy and ranks 9th (ninth) of the 12 regions with a leprosy prevalence of 1-2 per 10,000 population. The spread of leprosy patients in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam were also not distribute. Pidie district had the highest leprosy prevalence with 47 cases of Multi Basiller (MB), 75 cases of Pausi Baciller (PB) with the RFT percentage at 34,3%, followed by Bireun District with 74 cases of Multi Basiller (MB), and 18 Pausi Baciller (PB), with Release From Treatment (RFT) percentage at 32.0%.
The purpose of this study was to analyze3 the influence of perceptions about leprosy and families support on the level of compliance in the use of drugs in Bireuen District in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam. This was an explanatory research. Populations were all leprosy patients in the working area of Bireuen District Health Office with sample of 54 patients. Analysis of data were using multiple logistic regression test at α = 0.05.
The results statistically showed that perception variable about leprosy (leprosy level, the risk of leprosy, the consequences of irregular treatment, prevention of disability) and family support (emotional, instrumental, information) influence on the level of patient compliance in the intake of drugs in Bireuen District in 2009 (p<0.05). The amount of influence of independent variables simultaneously were 40.54%. Perception variable with the consequences of irregular drug intake had the most dominant influence on the level of patient compliance in the intake of drugs in 2009 in Bireuen District where (p = 0.033) and coefficient β = 10.067.
It is recommended to Bireuen District Health Office : (1) TO provide training opportunity for leprosy officers so that they can develop the knowledge and skills for better service quality, (2) Should be intensively in dissemination information to convey updated information about leprosy, in order that these officers can be motivate and cooperate with the family to better monitor medication.
Keywords : Perception, the Level of Patient Compliance, Leprosy
(19)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Selain menimbulkan masalah kesehatan penyakit kusta juga dapat menimbulkan masalah sosial, maka penanganan penderita kusta harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
Terbentuknya ANEK (Aliansi Nasional Eliminasi kusta) pada peringatan hari kusta sedunia di Makassar pada tahun 2002, telah melahirkan komitmen, kebijakan dan strategi untuk mencapai eliminasi kusta di tingkat propinsi maupun kabupaten (ANEK,2006). Namun mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta, selain itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta (Depkes RI, 2005).
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen dalam tahun 1873 (Depkes RI, 2005).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam pemberantasan penyakit menular, bahkan telah dimulai sejak 1951 sampai sekarang. Indonesia telah
(20)
mendapatkan bantuan dana dari WHO melalui Global Fund, bahkan juga sudah ada dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Daerah (APBD), dan dilihat dari fasilitas dan ketersediaan obat-obat juga tersedia secara lengkap sampai ke unit-unit pelayanan kesehatan dasar di Indonesia, namun angka kesakitan kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menempuh langkah-langkah pemberantasan kusta melalui peningkatan penemuan kasus baru, pemberian obat dan pemantauan pengobatan secara rutin, pendidikan dan pelatihan bagi petugas kusta, memberikan pengobatan secara gratis, melakukan upaya intensif terhadap pencegahan kecacatan, serta peningkatan penyuluhan perawatan diri bagi penderita kusta, namun secara implisit masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan.(Depkes RI, 2006).
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Di antara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate di bawah 1 per 10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah di sembuhkan dengan Multi Drug Therapy (MDT). Pada akhir tahun 1999 di jumpai 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000. Di antara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menempati urutan ke empat setelah India, Brazil dan Myanmar. Walaupun suatu negara telah mencapai eliminasi, tidak berarti bahwa kusta tidak lagi menjadi masalah. Nampaknya kasus kusta akan terus ada, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan (Depkes RI, 2005)
(21)
Selama kurun waktu 2000-2005, di Indonesia jumlah penderita kusta secara umum mengalami fluktuasi, dari 21.964 kasus (tahun 2000), menurun menjadi 19.695 kasus (2005), dengan prevalensi 0,98 per 10.000 penduduk. Proporsi kusta jenis
Multi Basiller (MB) sebesar 79,4%, dan proporsi penderita kusta jenis Pausi Baciller
(PB)sebesar 20,59% dengan proporsi Release From Treatment (RFT), masih 75,2%. Keadaan ini menunjukkan bahwa prevalensi penderita kusta dan insidens penderita kusta di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dibandingkan dengan standar yang telah direkomendasikan Depkes RI, yaitu RFT harus 90%, dan insidens penderita kusta harus < 1 per 10.000 penduduk.
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi yang tinggi penderita kusta, dan menempati urutan 9 (sembilan) dari 12 daerah dengan prevalensi kusta antara 1-2 per 10.000 penduduk, sedangkan urutan pertama ditempati oleh Provinsi Maluku Utara dengan prevalensi RFT sebesar 10,32 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2005). Penyebaran penderita kusta di Provinsi NAD juga tidak merata, dan daerah tertinggi prevelansi kusta ditempati oleh Kabupaten Pidie dengan jumlah kasus 47 tipe Multi Basiller (MB), 75 tipe Pausi Baciller (PB) dengan angka RFT sebesar 34,3%, disusul Kabupaten Bireuen dengan jumlah kasus 74 tipe Multi Basiller (MB), dan 18 tipe Pausi Baciller
(PB), dan angka Release From Treatment (RFT) 32,00%. Keadaan tersebut sangat jelas menunjukkan prevalensi dan insiden kusta masih tinggi di provinsi NAD (Dinas Kesehatan Provinsi NAD, 2006).
Di propinsi NAD, Kabupaten Bireuen menempati urutan kedua prevalensi tertinggi penderita kusta yang tersebar 17 wilayah kerja puskesmas, dengan jumlah
(22)
kasusnya setiap tahun berfluktuasi, di mana tahun 2005 terdapat 28 kasus (0,76 per 10.000 penduduk), kemudian menjadi 71 Kasus pada tahun 2006 (2,0) per 10.000 penduduk), kemudian ditemukan lagi kasus baru sehingga menjadi menjadi 92 kasus (2,52 per 10.000 penduduk) pada tahun 2007, sedangkan rata-rata angka RFT masih 79,5%. Hal ini menunjukkan Kabupaten Bireuen masih sangat berpotensi terhadap penularan penyakit kusta dan peningkatan penemuan kasus kusta pada tahun-tahun mendatang.
Menurut hasil Monitoring dan Evaluasi tahun 2007 yang dilaksanakan pada bulan Januari tahun 2008 di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, kendala yang paling utama di dalam penanganan penderita kusta, kurangnya dukungan masyarakat termasuk keluarga serta stigma yang keliru terhadap penyakit kusta dan penderita penyakit kusta.
Salah satu kecamatan paling banyak penderita kusta adalah kecamatan Jangka, yaitu sebanyak 54 kasus, dan mayoritas terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 34 orang (65,3%), dan 18 orang perempuan (34,7%). Selain itu berdasarkan catatan Puskesmas Jangka (2008) 72,9% terjadi pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena kejadian penyakit kusta lebih dominan terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita dan menyerang kelompok penduduk usia produktif. Sedangkan dilihat dari kepatuhan berobat, dari 54 kasus kusta, masih ada 16 pendeita kusta (29,6%) tidak menyelesaikan pengobatan sampai dengan tuntas, sehingga berdampak terhadap kesinambungan proses pengobatan dan kesembuhan penderita kusta.
(23)
Menurut Roos (1989) penderita kusta dapat disembuhkan. Kesembuhan ini diperoleh melalui diagnosis awal, pengobatan dini dan teratur. Melalui tiga hal pokok tersebut hampir semua kasus kusta dapat disembuhkan, dan sebagian besar kerusakan serta kecacatan dapat dicegah. Mengingat pengobatan penyakit kusta memerlukan waktu yang lama dan kepatuhan, sehingga diperlukan program promosi kesehatan dalam rangka memberikan pemahaman, pengertian dan menumbuhkan ketaatan penderita kusta untuk melaksanakan perawatan diri secara teratur, minum obat, dan memelihara kebersihan diri.
Menurut Depkes RI (2006), rendahnya angka cakupan RFT rate di Indonesia adalah karena masih banyak penderita kusta tidak terus menerus mengkonsumsi obat yang telah diberikan, selain itu petugas kesehatan tidak melakukan monitoring terhadap rutinitas pengobatan penderita kusta, serta masih ada stigma di masyarakat bahwa penyakit kusta tidak dapat disembuhkan, bahkan pada penderita itu sendiri.
Kepatuhan berobat pada prinsipnya adalah bagian dari perilaku kesehatan dalam konteks kuratif. Beberapa penelitian yang dinilai relevan dengan kepatuhan berobat seperti penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat, bahwa faktor sosiodemografi seperti pekerjaan, pendidikan, dan pengetahuan berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita kusta, ketersediaan sarana dan pra sarana pelayanan kesehatan, serta efek samping penggunaan obat. Selain itu menurut WHO (2003), dalam konteks kepatuhan berobat peran petugas sangat penting dalam mengawasi rutinitas dan kesesuaian penggunaan obat.
Ketaatan meminum obat ditunjukkan oleh pasien yang tidak pernah lupa membawa obat dan meminumnya. Pasien justru berusaha untuk tidak lupa membawa
(24)
dan minum obat. Kesadaran akan keadaan lupa dan niat untk melakukan pengobatan secara teratur, menjadi faktor predisposisi yaitu faktor yang memudahkan munculnya perilaku untuk taat meminum obat (WHO, 2003)
Sedangkan menurut penelitian Pramono (2005) di RS kusta Tugurejo Semarang, bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam keberhasilan pengobatan penderita kusta adalah promosi kesehatan, dalam bentuk sosialiasi door to door, serta komitmen petugas kesehatan dalam melakukan tugas-tugasnya dalam mengawasi proses pengobatan penderita kusta.
Hasil survai awal yang dilakukan pada bulan April 2008 di Desa Cot Ara dan Alue Buya Pasi Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bahwa masih ada penduduk di lingkungan penderita kusta merasa “risih” dan tidak mau melakukan aktivitas bersama dengan penderita kusta, bahkan ada beberapa penderita kusta yang dikucilkan dari pemukiman. Wawancara dengan 3 (tiga) petugas kusta Puskesmas, rata-rata mereka hanya mencatat jumlah kasus sebagai tuntutan program puskesmas saja, namun tidak melakukan tindakan monitoring terhadap penderita kusta sampai dinyatakan selesai makan obat. Beberapa catatan wawancara tersebut mengindikasikan bahwa pemahaman tentang penyakit kusta masih rendah dimasyarakat, sehingga berdampak terhadap kepatuhan penderita kusta untuk berobat sampai dinyatakan RFT.
Menurut Sunarsih (2002) yang dikutip oleh Suhadi (2005), ada beberapa faktor yang memengaruhi ketaatan pasien dalam penggunaan obat, antara lain budaya, kepercayaan pasien, sikap dan ketrampilan komunikasi dokter dan pemberi
(25)
obat, keterbatasan waktu konsultasi, kurangnya informasi tertulis, serta kepercayaan masyarakat tentang pemberian obat.
Nukman (1997) melaporkan, kelalaian berobat dapat dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor: sarana, penderita sendiri, keluarga, masyarakat lingkungan dan faktor sosio ekonomi. Faktor sarana ditentukan oleh tersedianya obat yang cukup dan kontinyu dan dedikasi petugas pelayanan kesehatan yang cukup baik.
Kepatuhan berobat penderita kusta dapat disinergiskan dengan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan sesuai dengan konsep Health Belief Model (HBM)
yang dikemukakan oleh Rosentock (1980), bahwa kepercayaan individu terhadap pelayanan kesehatan dalam hal ini kepatuhan berobat mencakup lima unsur utama yaitu: persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility), pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya (perceived threats).
Penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik, bahwa sikap penderita kusta terhadap pengobatan penyakit kusta berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat, dan sejalan dengan penelitian Oesman (1993) di Tanggerang, bahwa secara statistik terdapat pengaruh signifikan kepercayaan penderita kusta terhadap kepatuhan berobat.
Penanggulangan penyakit kusta akan berhasil guna, jika masyarakat ikut serta membantu petugas kesehatan dalam pencarian penderita kusta baru, pemantauan
(26)
minum obat bagi penderita yang sudah mulai berobat, memberikan penyuluhan kepada masyarakat di wilayah yang endemis kusta.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan gagalnya pengobatan penderita kusta adalah faktor keluarga yaitu rendahnya pengetahuan keluarga tentang perawatan, dan pengobatan penderita kusta, minimnya dukungan masyarakat terhadap upaya penanggulangan penyakit kusta, bahkan adanya perilaku diskriminatif terhadap penderita kusta, sehingga penderita kusta tidak mau melakukan pengobatan secara rutin ke puskesmas atau minum obat sampai selesai, selain itu juga peran petugas kesehatan yang relatif kurang dalam memberikan penyuluhan kesehatan, penemuan kasus baru serta masih lemahnya pemantauan petugas kesehatan terhadap penderita kusta (Depkes RI, 2006).
Penelitian Racmawati dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan bahwa peran keluarga sangat penting dalam meningkatkan motivasi penderita kusta untuk berobat secara teratur. Peran tersebut diwujudkan melalui pemantauan terhadap jadwal minum obat dan mengamatinya sampai benar-benar minum obat secara sempurna.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh persepsi tentang penyakit dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan dalam pengobatan penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(27)
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan dalam pemakaian obat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan penderita dalam berobat di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1.4 Hipotesis Penelitian
Persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan dalam berobat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat :
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam perencanaan pemberantasan penyakit kusta di wilayah kerjanya.
2. Memberikan masukan kepada puskesmas dalam peningkatan pemantauan pengobatan penderita kusta sampai selesai berobat dan dinyatakan RFT
3. Konstribusi terhadap peningkatan dan pengembangan ilmu administrasi kebijakan kesehatan.
(28)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit kusta
Amiruddin dalam Harahap (2002) menjelaskan penyakit kusta adalah penyakit kronik disebabkan kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Menurut Depkes RI (1996) penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
2.2 Pengetahuan
Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005) adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya.Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W. Green dalam Notoatmojo (1993), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positif dengan prilaku. Menurut Azwar (2007) fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk
(29)
mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut Masduki (1993), di Kabupaten Kuningan Jawa Barat pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat pada penderita kusta. Apabila penderita kusta memiliki pengetahuan yang baik dan memadai tentang penyakit kusta, cara pengobatannnya, jenis obat,cara memakan obat tersebut dan akibat bila tidak patuh meminum obat yang akan berakibat buruk terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikannya di dalam kehidupannya sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita kusta meningkat. Rendahnya pengetahuan tentang kusta dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit kusta sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat.
2.3 Sikap
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Thurstone dan Likert dalam Azwar (2007) sikap adalah suatu bentuk evaluasi, reaksi perasaan yang mendukung, memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Menurut Taylor dalam Azwar (2007) ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya apakah pasien
(30)
mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan.
2.4 Pencegahan Penyakit kusta 2.4.1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2005a)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan
(31)
ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005a). 2.4.2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
2.4.3. Pencegahan tertier a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
i. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
ii. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
(32)
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006)
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:
i. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
ii. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
iii. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
iv. Terapi okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan
v. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat
Tujuan pencegahan penyakit kusta adalah merupakan upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta. Berikut ini adalah mata rantai penularan penyakit kusta (Depkes RI, 2006) :
(33)
Gambar 1. Mata Rantai Penularan Penyakit kusta
2.5 Pengobatan
Setelah menegakkan diagnosa dan ternyata seseorang menderita kusta segera diberikan pengobatan dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) secara gratis dan dicatat oleh petugas dalam kartu penderita. Memberikan penderita dosis pertama di puskesmas dan menganjurkan ambil obat secara teratur di puskesmas. Kemasan blister obat kombinasi atau Multi Drug Ttherapy (MDT) adalah gratis, disimpan ditempat yang kering, aman, teduh dan jauh dari jangkauan anak-anak. Selama menjalani pengobatan penderita dapat menjalani kehidupan normal, dapat tinggal
Kuman Penyebab M. leprae
Tuan rumah Sumber PENGOBATAN yang kekebalan penularan
VAKSINASI kurang penderita kusta
Cara masuk : Cara keluar : saluran napas saluran napas
Cara penularan utama Saluran Napas (Droplet)
ISOLASI Masih dalam
Pengembangan
MDT
Tidak dianjurkan
(34)
dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai anak serta dalam acara-acara sosial (Depkes RI, 2000).
Tujuan pengobatan penderita untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat. Penderita yang sudah cacat permanen, pegobatan yang dilakukan hanya mencegah cacat lebih lanjut. Penderita kusta yang tidak meminum obat secara teratur maka kuman kusta dapat aktif kembali dan menimbulkan gejala-gejala baru yang memperburuk keadaan penderita. Pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur minum obat agar tidak timbul cacat yang baru.
Sejak tahun 1982 Indonesia memberikan pengobatan secara gratis pada penderita kusta dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yaitu kombinasi
Dapsone atau DDS (Diamino Diphenyl Sulfone), Lamprene atau Clofazimine dan
Rifampisin. Keuntungan Multi Drug Therapy (MDT) adalah: mengubah konsep dari terapi panjang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi pendek yang menyembuhkan penyakit, mencegah resistensi obat, meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%, mencegah deformitas secara lebih efisien dan menurunkan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya. Pengobatan pada penderita Pauci Baciler (PB) lesi 1 diberikan dosis tunggal ROM ( Rifampisin Ofloxacin Minocylin).
Tabel 1. Dosis Obat Tipe PB 1 : Lesi 1
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa 50-70 kg 600mg 400mg 100mg
Anak 5-14 tahun 300 mg 200mg 50mg
Sumber : Depkes RI, 2005 a
(35)
Obat yang diberikan pada penderita Tipe PB 1 Lesi 1 langsung di telan di depan petugas dan apabila obat tersebut tidak ada maka sementara diobati dengan dosis obat Pauci Baciler 2-5. Untuk tipe Pauci Baciler (PB) lesi 2-5, pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian hari ke 2- 28, 1 tablet Dapsone
100 mg 1 blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 6 blister (Depkes RI, 2005a). Untuk tipe Multi Baciler (MB) pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama dosis diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg, 3 tablet Lampren 300 mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian yang ke 2-28 hari 1 tablet
Lamprene 50 mg, 1 tablet dapsone 100 mg. Satu blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 12 blister.Untuk anak dibawah usia 10 tahun obat diberikan berdasarkan berat badan dengan dosis sebagai berikut : Rifampisin 10-15 mg/kg BB, Dapsone 1-2 mg/Kg BB dan Clofazimin 1 mg/Kg BB (Depkes RI, 2005a).
2.5.1. Release from treatment
Penderita kusta tipe Pauci Baciler (PB) dan Multi Baciler (MB) setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan aturan maka dinyatakan Release From Treatment (RFT) tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium yang artinya dianggap sudah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan maksud
Release From Treatment (RFT) kepada penderita bahwa tipe Pauci Baciler (PB)
pengobatan 6 dosis selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh untuk tipe Multi Baciler (MB) pengobatan 12 dosis selesai dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan sembuh (Release From Treatment). Walaupun sudah sembuh petugas tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang ada akan berangsur hilang dan
(36)
menjelaskan cara mencegah terjadinya luka jika terjadi kecacatan yaitu dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat bercak kulit yang baru atau tanda-tanda baru mereka harus datang kembali kontrol atau pemeriksaan ulang ke puskesmas.
2.6 Kepatuhan Berobat Penderita kusta
Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya kecacatan atau bertambah cacat. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2006).
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006).
Beberapa regimen yang direkomendasikan untuk pengobatan kusta, yaitu
Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriosttik.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengobatan dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal pengambilan obat, jika terlambat petugas harus melacak penderita tersebut, dan melakukan pengamatan pemberian obat untuk TP PB 6 dosi (bilster) dalam jangka waktu 6-9 bulan, dan untuk penderita MB dengan 12
(37)
dosis dalam jangka waktu 12-18 bulan dan jika penderita sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase From Treatment tanpa perlu pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006).
Kepatuhan yaitu tingkat/derajat di mana penderita suatu penyakit dalam hal ini penyakit kusta mampu melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau tim kesehatan lainnya, dan merupakan tingkat di mana perilaku seseorang sesuai dengan saran praktisi kesehatan (Smet, 1994).
Menurut Taylor dalam Smet (1994), bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu masalah yang berat dalam dunia medis, dan oleh karena itu sejak tahun 1960-an sudah mulai diteliti di negara-negara industri. Secara umum, ketidakpatuhan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan dan dapat berakibat memperpanjang atau memperburuk penyakit yang sedang diderita.
Kepatuhan penderita kusta untuk mengonsumsi obat dapat dilihat dari dosis dan batas waktu sampai dinyatakan selesai berobat dan tergantung pada jenis kusta yang dideritanya. Dikatakan teratur, jika penderita kusta sudah minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB, dan dinyatakan tidak teratur, jika penderita kusta belum minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB (Depkes RI, 2006).
2.7 Konsep Kepercayaan terhadap Pengobatan Penyakit
Kepercayaan individu terhadap upaya pengobatan dan pelayanan kesehatan dapat merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Rosenstock dalam Sarwono
(38)
(2004), yaitu tentang model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model). Model kepercayaan kesehatan ini mencakup lima unsur utama, sebagai berikut:
a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam.
b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu.
c. Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya (perceived threats). Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Namun ancaman yang terlalu besar malah menimbulkan rasa takut dalam diri individu yang justru malah menghambatnya untuk melakukan tindakan karena individu tersebut merasa tidak berdaya melawan ancaman tersebut. Guna mengurangi rasa terancam tersebut, ditawarkanlah suatu alternatif tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu akan menyetujui alternatif yang diajukan petugas tergantung pada pandangannya tentang manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif tersebut memang dapat mengurangi ancaman penyakit dan akibatnya yang merugikan.
d. Namun sebaliknya, konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut (biaya yang mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Ini merupakan perceived benefits and barriers dari
(39)
tindakan yang dianjurkan. Untuk akhirnya memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut.
e. Faktor pencetus (cues to action) bisa datang dari dalam diri individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar (nasihat orang lain, kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terserang oleh penyakit yang sama, dan sebagainya). Bagi mereka yang memiliki motivasi yang rendah untuk bertindak (misalnya yang tidak percaya bahwa dirinya akan terserang penyakit tersebut, yang menganggap remeh akibat penyakit tersebut atau yang takut menerima pengobatan) diperlukan rangsangan yang lebih intensif untuk mencetuskan respons yang diinginkan, sebab bagi kelompok semacam ini penghayatan subjektif terhadap hambatan/risiko negatif dari pengobatan penyakitnya jauh lebih kuat daripada gejala objektif dari penyakit tersebut ataupun pandangan/saran profesional petugas kesehatan. Tetapi bagi mereka yang sudah termotivasi untuk bertindak, maka rangsangan sedikit saja sudah cukup untuk menimbulkan respons tersebut (Sarwono, 2004).
Berdasarkan teori tersebut, maka kaitannya dengan penyakit kusta adalah masih adanya perbedaan persepsi masyarakat dan penderita kusta sendiri tentang penyakit yang dideritanya baik dilihat dari aspek penularan penyakit kusta, penularanya, pencegahan, perawatan dan pengobatan penderita kusta
(40)
2.8 Persepsi Sehat Dan Sakit
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan akibat dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya.
Menurut Marasmis (2005) persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindra, lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan terhadap objek yang diamatinya, sehingga individu dapat merasakan dan mengerti apa yang diperoleh oleh indranya.
Persepsi terhadap suatu penyakit juga didasarkan pada hasil internalisasi dari indera, dan setiap individu berbeda interpretasi terhadap stimulus yang diperoleh inderanya.
Sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan
(equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang.
Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat. Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan
(41)
pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada mengobati penyakit.
Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural. Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness
sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman(1). Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh.
Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai (Soejoeti, 2005).
Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusia dapat merupakan
(42)
penyebab bermacam-macam penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya. Ditinjau dari segi biologis penyakit merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasyarakatan keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional dan psikososial individu bersangkutan. Faktor emosional dan psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan adat kebiasaan manusia atau kebudayaan (Lumentha 1989).
Menurut Djoh dalam Muchsin (2006), bahwa penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog seperti perilaku sehat (health behavior), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit (explanatory model ), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter- perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan.
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi (Sarwono, 2003). Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit
(43)
maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi fisik individu.
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lain, karena tergantung kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas (Sarwono, 2003).
2.9 Dukungan Keluarga terhadap Pengobatan Penyakit
Menurut Sarwono dalam Yusuf (2007), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan.
Sistem dukungan untuk mempromosikan perubahan prilaku ada 3, yaitu : (1) dukungan material adalah menyediakan fasilitas latihan, (2) dukungan informasi adalah memberikan contoh nyata keberhasilan seseorang dalam melakukan diet dan latihan, dan (3) dukungan emosional atau semangat adalah memberi pujian atas keberhasilan proses latihan.
Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan, bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama
(44)
lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang di rekat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama (Sugarda, 2001).
Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung. Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga merupakan bagian integral dari dukungan sosial. Dampak positif dari dukungan keluarga adalah meningkatkan penyusuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan. Menurut Goldsworthy (1998) yang dikutip oleh Friedman (2003), bahwa ada 4 (empat) jenis dukungan sosial yaitu:
(1) Dukungan emosi, yaitu adanya rasa empati, percaya dan perhatian;
(2) Dukungan instrumental, yaitu membantu orang secara langsung, kenyamanan, dan adanya kedekatan.
(3) Dukungan informasi, yaitu upaya memberikan informasi mengenai hal-hal yang dinilai positif dan dapat meningkatkan pengetahuan dan tindakan
(4) Dukungan sipitual, yaitu dukungan dalam bentuk harapan, doa, pengertian dan memahami alasan-alasan.
2.10 Landasan Teori
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka tersebut di atas, maka dapat diambil beberapa landasan teori bahwa persepsi terhadap suatu penyakit dapat didasarkan
(45)
pada konsepe model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) yang dikembangkan oleh Rosenstock dalam Sarwono (2004), yang mencakup (1) Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility), (2) Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu, (3) Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya (perceived threats), dan (4) Perceived benefits and barriers, yaitukonsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut (biaya yang mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan, serta (5) Faktor pencetus (cues to action) bisa datang dari dalam diri individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar (nasihat orang lain, kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terserang oleh penyakit yang sama, dan sebagainya).
Bila dihubungan dengan pola pengobatan penderita kusta, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang tercantum dalam model kepercayaan pelayanan kesehatan, antara lain faktor individu seperti pengetahuan dan persepsi tentang penyakit kusta, faktor luar individu seperti faktor pencetus dari masyarakat, persepsi masyarakat tentang penyakit kusta, peran petugas kesehatan terhadap pencegahan dan pengobatan penderita kusta.
Konsep dukungan keluarga didasarkan pada konsep dukungan keluarga terhadap perawatan dan pelayanan kesehatan yang dikemukakan oleh Friedman
(46)
(2003), bahwa dukungan keluarga adalah bagian dari dukungan sosial. Dukungan keluarga dalam perawatan kesehatan keluarga meliputi:
1. Dukungan emosional, seperti empati, menghormati, kepercayaan, dan kepedulian;
2. Dukungan instrumental, seperti kenyamanan, kedekatan, minat keluarga, dan jaminan finansial;
3. Dukungan informasi yaitu memahami, pembelajaran dan validasi;
2.11 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan landasan teori, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Persepsi
1. Persepsi beratnya penyakit kusta 2. Persepsi risiko penyakit kusta 3. Persepsi konsekuensi tidak teratur
berobat
4. Persepsi tindakan pencegahan kecatatan
Dukungan Keluarga
1. Dukungan Emosional 2. Dukungan Instrumental 3. Dukungan Informasi
Kepatuhan Berobat Penderita kusta
(47)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survai dengan tipe eksplanatory research
untuk menjelaskan pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan penderita dalam pemakaian obat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan pertimbangan masih ditemukan penderita kusta dan menempati urutan kedua tertinggi jumlah kasus kusta di Kabupaten Bireuen yaitu sebanyak 54 kasus, dan masih ditemukan 29,6% penderita kusta yang tidak selesai berobat.
Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan terhitung mulai bulan Mei 2009 sampai Februari 2010.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang ada di wilayah kerja Puskesmas Jangka Kabupaten Bireuen sebanyak 54 penderita keluarga dan sekaligus menjadi sampel penelitian.
(48)
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 sumber yaitu : 3.4.1. Data Primer
Data yang dikumpulkan oleh peneliti melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan meliputi data persepsi tentang penyakit kusta, dukungan keluarga dan kepatuhan beorabat penderita kusta. Kelayakan dalam menggunakan instrumen yang akan dipakai untuk penelitian diperlukan uji validitas dan reliabilitas.
a. Uji Validitas
Uji validitas suatu instrumen (dalam kuesioner) dilakukan dengan mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel menggunakan rumus teknik korelasi Pearson Product Moment Corelation Coeficient (r), dengan ketentuan : a) Bila r hitung > t tabel maka dinyatakan valid dan b) Bila r hitung < t tabel maka dinyatakan tidak valid.
b. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas terhadap kuesioner untuk melihat konsistensi jawaban. Dalam penelitian ini teknik untuk menghitung indeks reliabilitas yaitu menggunakan metode
Cronbach's Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan : a) Jika nilai r Alpha > r tabel maka dinyatakan reliable danb) Jika nilai r Alpha < r tabel maka dinyatakan tidak reliable.
Dalam melaksanakan uji reliabilitas digunakan sampel sebanyak 30 orang di Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen dengan alasan dapat mewakili karena memiliki karakteristik geografis yang sama. Setelah dilakukan uji reliabilitas
(49)
kuisioner maka didapat hasil dengan menggunakan rumus df=n-2. maka df=28 dengan r tabel 0,701.
Tabel 3.1. Validitas dan Reliabilitas
No
Variabel Coreccted
item-Total Correlation (r Hasil) r Tabel r Alpha Validitas 1 2 3 4 5 6
Persepsi Beratnya Penyakit 1 Persepsi Beratnya Penyakit 2 Persepsi Beratnya Penyakit 3 Persepsi Beratnya Penyakit 4 Persepsi Beratnya Penyakit 5 Persepsi Beratnya Penyakit 6
0.936 0.831 0.868 0.967 0.901 0.896
0.701 0.969 Valid
7 8 9 10 11 12
Persepsi Resiko Penyakit Kusta 1 Persepsi Resiko Penyakit Kusta 2 Persepsi Resiko Penyakit Kusta 3 Persepsi Resiko Penyakit Kusta 4 Persepsi Resiko Penyakit Kusta 5 Persepsi Resiko Penyakit Kusta 6
0.873 0.873 0.872 0.943 0.873 0.802
0.701 0.960 Valid
13 14 15 16 17 18
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat 1
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat 2
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat 3
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat 4
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat 5
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat 6
0.941 0.941 0.907 0.907 0.941 0.945
0.701 0.979 Valid
(50)
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 1
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 2
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 3
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 4
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 5
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 6
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 7
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 8
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 9
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan 10 0.850 0.855 0.886 0.886 0.922 0.958 0.958 0.904 0.855 0.832
0.701 0.977 Valid
29 30 31 32 33 34 35
Dukungan Keluarga 1 Dukungan Keluarga 2 Dukungan Keluarga 3 Dukungan Keluarga 4 Dukungan Keluarga 5 Dukungan Keluarga 6 Dukungan Keluarga 7
0.819 0.895 0.866 0.884 0.866 0.862 0.934
0.701 0.965 Valid
36 37 38 39 40 41 42
Dukungan Instrumental 1 Dukungan Instrumental 2 Dukungan Instrumental 3 Dukungan Instrumental 4 Dukungan Instrumental 5 Dukungan Instrumental 6 Dukungan Instrumental 7
0.824 0.904 0.916 0.941 0.916 0.911 0.846
0.701 0.971 Valid
43 44 45 46 47 48
Dukungan Informasi 1 Dukungan Informasi 2 Dukungan Informasi 3 Dukungan Informasi 4 Dukungan Informasi 5 Dukungan Informasi 6
0.981 0.872 0.872 0.908 0.981 0.981
0.701 0.980 Valid
(51)
1) Pada item pertanyaan persepsi beratnya penyakit nilai r alpha = 0,969 > r tabel =0,701 (kuisioner sesuai dengan ketentuan)
2) Pada item pertanyaan persepsi resiko penyakit nilai r alpha = 0,960 > r tabel =0,701 (kuisioner sesuai dengan ketentuan)
3) Pada item pertanyaan persepsi konsekuensi tidak teratur berobat nilai r alpha = 0,979 > r tabel =0,701 (kuisioner sesuai dengan ketentuan)
4) Pada item pertanyaan persepsi tindakan pencegahan kecacatan nilai r alpha = 0,977 > r tabel =0,701(kuisioner sesuai dengan ketentuan)
5) Pada item pertanyaan dukungan keluarga nilai r alpha = 0,965 > r tabel =0,701 (kuisioner sesuai dengan ketentuan)
6) Pada item pertanyaan dukungan instrumental nilai r alpha = 0,971 > r tabel =0,701 (kuisioner sesuai dengan ketentuan)
7) Pada item pertanyaan dukungan informasi nilai r alpha = 0,980 > r tabel =0,701 (kuisioner sesuai dengan ketentuan).
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen Dinas Kesehatan dan Puskesmas tentang pelaksanaan program pemberantasan kusta.
3.5. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional
Variabel penelitian terdiri atas variabel independen (variabel bebas) yaitu persepsi masyarakat dan dukungan keluarga serta variabel dependen yaitu pengobatan penderita kusta.
(52)
1. Variabel Independen
1) Persepsi adalah reaksi emosi yang didasari oleh pengetahuan dan sikap masyarakat tentang tentang penyakit kusta, penularannya dan upaya pencegahan dan pengobatan;
2) Persepsi beratnya penyakit kusta adalah respons atau tanggapan penderita kusta terhadap kronis atau tidaknya penyakit kusta yang dialaminya
3) Persepsi resiko penyakit kusta adalah respons atau tanggapan penderita kusta terhadap risiko yang akan muncul di kemudian hari dari penyakit kusta yang dideritanya
4) Persepsi konsekuensi tidak teratur berobat adalah respons atau tanggapan penderita kusta terhadap dampak negatif dan positif dari minum obat sampai selesai
5) Persepsi tindakan pencegahan kusta adalah respons atau tanggapan penderita kusta terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam mencegah terjadinya kecatatan atau reaksi lain yang kemungkinan terjadi.
6) Dukungan keluarga adalah segala sesuatu perbuatan atau pendapat keluarga terhadap pemahaman penyakit kusta, penularannya, upaya pencegahan dan pengobatan;
7) Dukungan emosional adalah adanya interaksi anggota keluarga terhadap penderita kusta selama proses pengobatan dalam bentuk empati, dan kepedulian;
8) Dukungan instrumental adalah adanya interaksi anggota keluarga terhadap penderita kusta berupa penyediaan obat dan makanan
(53)
9) Dukungan informasi adalah adanya interaksi anggota keluarga dalam memberikan informasi kesehatan maupun informasi perawatan selama proses pengobatan penderita kusta
2. Variabel Dependen
Kepatuhan berobat adalah kesesuaian waktu minum obat penderita kusta sesuai tipe kusta, yaitu untuk tipe PB sampai 6 bulan tanpa tertinggal, dan tipe MB sampai 18 bulan tanpa tertinggal.
3.6 Metode Pengukuran
Metode pengukuran variabel independen dapat dilihat pada Tabel 3.2. berikut :
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Variabel Independen
Variabel Jlh
Pertanyaan
Alternatif Jawaban dan
Bobot Nilai
Kategori Alat dan Skala Ukur 1. Persepsi beratnya
penyakit kusta
6 Ya (2) Tidak (1)
Baik (7-12) Kurang (1-6)
Kuesioner (Ordinal) 2. Persepsi resiko
penyakit kusta
6 Ya (2) Tidak (1) Baik (7-12) Kurang (1-6) Kuesioner (Ordinal) 3. Persepsi konsekuensi tidak teratur berobat
6 Ya (2) Tidak (1)
Baik (7-12) Kurang (1-6)
Kuesioner (Ordinal) 4. Persepsi tindakan
pencegahan kecacatan
10 Ya (2) Tidak (1) Baik (11-20) Kurang (1-10) Kuesioner (Ordinal) 5. Dukungan emosional
7 Ya (2) Tidak (1) Baik (8-14) Kurang (1-7) Kuesioner (Ordinal) 6. Dukungan Instrumental
8 Ya (2) Tidak (1) Baik (9-16) Kurang (1-8) Kuesioner (Ordinal) 7. Dukungan Informasi
6 Ya (2)Tidak
(1)
Baik (7-12) Kurang (1-6)
Kuesioner (Ordinal)
(54)
Pengukuran variabel dependen yaitu kepatuhan berobat penderita kusta didasarkan pada skala ordinal, dengan alternatif jawaban ”ya” (bobot nilai 2), dan ”tidak” (bobot nilai 1) dari 5 pertanyaan, kemudian dilakukan penjumlahan dan dikategorikan menjadi:
a. Teratur, jika responsden sudah minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB
b. Tidak teratur, jika responsden belum minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB
3.7 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini terdiri menggunakan uji regresi logistik
berganda pada taraf nyata 95% (p<0,05) untuk mengetahui pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan berobat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(55)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu dari 28 kabupaten yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara melalui Undang-Undang No.48 tahun 1999 tanggal 12 Oktober 1999 dengan luas wilayah 1.901,22 (190.122 Ha) yang terdiri dari 17 Kecamatan, 69 pemukiman dan 608 gampong atau desa.
Kabupaten Bireuen terletak pada garis 4°- 54°, 18°Lintang Utara dan 96°.20°-97°.21° Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah:
- Sebelah Utara dengan Selat Malaka
- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bener Meriah - Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Utara - Sebelah Barat dengan Kabupaten Pidie.
Jumlah penduduk Kabupaten Bireuen pada tahun 2007 adalah 393.331 jiwa yang terdiri dari 191.492 laki-laki dan 201.839 perempuan. Jumlah penduduk yang terpadat terletak di Kecamatan Peusangan yang berjumlah 45.308 dan yang terendah jumlah penduduknya pada Kecamatan Pandrah yang berjumlah 8.584 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Bireuen pada umumnya adalah tamat SD/MI 29.2% laki-laki dan 21.9% perempuan, sedangkan tamat universitas adalah 3.5% laki-laki dan 4.1% perempuan.
(56)
Sarana pelayanan kesehatan yang tersedia di wilayah Kabupaten Bireuen terdiri dari sarana pelayanan kesehatan dasar yang ditujukan sebagai tempat pemberian pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan. Jumlah sarana pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Bireuen terdiri dari 17 unit puskesmas dan 3 unit rumah sakit umum.
Sebagai penunjang pelayanan kesehatan kepada masyarakat terdapat 532 unit posyandu. Jumlah tenaga kesehatan berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Bireuen yang paling banyak adalah tenaga perawat dan bidan yaitu 1458 orang (81.9%). Dapat dilihat secara rinci pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Kabupaten Bieruen No Tenaga Kesehatan Jumlah Persentase (%)
1 Medis 82 4.6
2 Perawat & Bidan 1458 81.9
3 Farmasi 36 2.02
4 Gizi 28 1.2
5 Teknisi Medis 73 6.1
6 Sanitasi 61 3.3
7 Kesmas 67 4.1
Jumlah 1821 100
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Bireuen Tahun 2007
Dinas kesehatan Kabupaten Bireuen memiliki 17 unit puskesmas yang tersebar di 17 kecamatan dengan jumlah tenaga pengobatan kusta 17 orang dan tenaga mikroskopis 5 orang. Berdasarkan cara penemuan penderita baru murni kusta ditemukan jumlah penderita baru dengan tipe PB berjumlah 9 orang dan tipe MB 20 orang. Penemuan penderita dengan cara pemeriksaan secara sukarela tipe PB 7 orang dan MB 13 orang, penemuan penderita baru dengan cara pemberitahuan tipe PB 1
(57)
orang dan tipe MB 7 orang serta pemeriksaan kontak tipe MB berjumlah 1 orang. Pada bulan Agustus 2007 Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen mengadakan Rapid Village Survei (RVS) di Desa Ujung Blang Kecamatan Plimbang Kabupaten Bireuen dengan tujuan mencari penderita baru dalam lingkup kecil dan membina partisipasi masyarakat, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Penderita Baru Murni Kusta Menurut Cara Penemuan Kabupaten Bireuen Januari- Desember 2007
Jumlah Penderi ta Baru Suka rela Pemb eri tahua n Pemeriks aan Kontak Chase Survey RVS No Puskesma
s
P B
MB P B M B P B M B Jl h P B M B Jl h P B M B Jl h P B M B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Samalanga Mamplam C. Glungku Jeunieb Peudada Jeumpa Juli Peusangan Ulee Jalan L.Daneue n Makmur Kuta Blang Gandapura Jangka Kota Juang Kuala Plimbang 0 0 0 0 1 0 0 3 0 0 0 0 0 2 1 1 1 0 3 0 2 0 1 0 0 1 0 0 1 4 2 1 3 2 1 2 1 1 1 1 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 2 1 1
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Bireuen Tahun 2007
(58)
Pada tahun 2008 Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen bersama dengan puskesmas mengadakan survai anak sekolah di tingkat sekolah dasar dengan sasaran murid kelas satu, dua dan tiga.
Tujuannya mendapatkan penderita baru secara dini, apabila ditemukan kasus maka dapat disembuhkan dengan sempurna tanpa meninggalkan cacat serta dapat memutuskan mata rantai penularannya. Pada tahun 2009 kegiatan yang dilakukan adalah pemberian makanan tambahan kepada penderita kusta dengan tujuan untuk peningkatan gizi penderita, karena hampir semua penderita kusta yang ada hidup dalam keluarga miskin.
4.2. Karakteristik Responden
Pada penelitian ini karakteristik responden yang diamati adalah: jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama menderita kusta. Jumlah dan presentase responden berdasarkan identitas dapat dilihat pada uraian berikut:
4.2.1. Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menderita penyakit kusta adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 38 orang (70.4%), dan pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 16 orang (29.6%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat secara rinci pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3.Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 38 70.4
2 Perempuan 16 29.6
Jumlah 54 100,0
(59)
4.2.2. Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan yang menderita penyakit kusta adalah tamatan SD sebanyak 25 orang (46.3%), dan tamatan SLTP yaitu sebanyak 29 orang (53.7%). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4.Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 Tamat SD 25 46.3
2 Tamat SLTP 29 53.7
Jumlah 54 100,0
4.2.3. Pekerjaan
Hasil penelitian menunjukkan yang menderita penyakit kusta adalah petani sebanyak 29 orang (53.7%) dan tidak bekerja yaitu sebanyak 25 orang (46.31%). Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5.Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
1 Petani/Buruh 29 53.7
2 Tidak Bekerja 25 46.3
Jumlah 54 100,0
4.2.4. Lama Menderita Kusta
Hasil penelitian menunjukkan yang menderita penyakit kusta adalah >= 5 tahun yaitu sebanyak 30 orang (55.6%), dan < 5 tahun yaitu sebanyak 24 orang
(1)
Correlations
Correlations
1 .281*
.040
54 54
.281* 1
.040
54 54
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Persepsi Resiko Penyakit Kusta
Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
Persepsi Resiko Penyakit
Kusta
Kepatuhan Berobat Penderita
Kusta
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.
Correlations
Correlations
1 .303*
.026
54 54
.303* 1
.026
54 54
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur Berobat
Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
Persepsi Konsekuensi Tidak Teratur
Berobat
Kepatuhan Berobat Penderita
Kusta
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.
(2)
Correlations
Correlations
1 .368** .006
54 54
.368** 1
.006
54 54
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Persepsi Tindakan Pencegahan Kecacatan
Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
Persepsi Tindakan Pencegahan
Kecacatan
Kepatuhan Berobat Penderita
Kusta
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.
Correlations
Correlations
1 .350** .009
54 54
.350** 1 .009
54 54
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Dukungan Keluarga
Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
Dukungan Keluarga
Kepatuhan Berobat Penderita
Kusta
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.
(3)
Correlations
Correlations
1 .326*
.016
54 54
.326* 1
.016
54 54
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Dukungan Instrumental
Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
Dukungan Instrumental
Kepatuhan Berobat Penderita
Kusta
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.
Correlations
Correlations
1 .303*
.026
54 54
.303* 1
.026
54 54
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Dukungan Informasi
Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
Dukungan Informasi
Kepatuhan Berobat Penderita
Kusta
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.
(4)
Logistic Regression
Case Processing Summary
54 100.0
0 .0
54 100.0
0 .0
54 100.0 Unweighted Casesa
Included in Analysis Missing Cases Total
Selected Cases
Unselected Cases Total
N Percent
If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
a.
Dependent Variable Encoding
0 1 Original Value
baik kurang
Internal Value
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
41 0 100.0
13 0 .0
75.9 Observed
baik kurang Kepatuhan Berobat
Penderita Kusta Overall Percentage Step 0
baik kurang Kepatuhan Berobat
Penderita Kusta Percentage Correct Predicted
Constant is included in the model. a.
The cut value is .500 b.
(5)
Variables in the Equation
-1.149 .318 13.022 1 .000 .317 Constant
Step 0
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variables not in the Equation
7.017 1 .008
4.260 1 .039
4.969 1 .026
7.315 1 .007
6.633 1 .010
5.756 1 .016
4.969 1 .026
18.053 7 .012
PPBP PRPK PKTTB PTPK DK DIN DIF Variables
Overall Statistics Step
0
Score df Sig.
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
19.061 7 .008
19.061 7 .008
19.061 7 .008
Step Block Model Step 1
Chi-square df Sig.
Model Summary
40.547a .297 .445 Step
1
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been a.
(6)
Classification Tablea
40 1 97.6
9 4 30.8
81.5 Observed
baik kurang Kepatuhan Berobat
Penderita Kusta Overall Percentage Step 1
baik kurang Kepatuhan Berobat
Penderita Kusta Percentage Correct Predicted
The cut value is .500 a.
Variables in the Equation
-1.519 .912 2.775 1 .047 4.569 3.037 10.308
-1.614 .836 3.722 1 .042 5.021 1.039 11.026
42.347 49121.515 .000 1 .033 10.067 5.012 19.008
-22.780 40192.980 .000 1 .052 8.009 3.084 12.052
-40.689 49121.510 .000 1 .158 5.017 1.019 12.031
1.614 56841.453 .000 1 .150 5.119 2.055 7.110
18.012 40192.977 .000 1 .101 6.000 3.077 11.009
1.439 .866 2.761 1 .266 6.570
PPBP(1) PRPK(1) PKTTB(1) PTPK(1) DK(1) DIN(1) DIF(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: PPBP, PRPK, PKTTB, PTPK, DK, DIN, DIF. a.