Moratorium Penempatan PRT Indonesia Ke Arab Saudi
49 1.
Usulan perjanjian tentang ketenagakerjaan merupakan respon Pemerintah Indonesia terhadap himbauan The High Level Regional Governmental
Forum on Women Migrant Workers, Human Trafficking and Labour Law Reform yang diselenggarakan oleh United Nation Development Fund for
Women UNIFEM di Amman, Jordania pada tahun 2007. Forum yang dihadiri oleh semua negara pengirim dan penerima tenaga kerja tersebut
telah mengeluarkan beberapa pernyataan akhir bersama, yaitu: a.
Pentingnya negara pengirim dan penerima tenaga kerja membuat perjanjian bilateral yang mengatur hak dan kewajiban PLRT yang
sesuai dengan konvensi internasional. b.
Pentingnya membuat PK standar yang mengatur hak dan kewajiban majikan dan pekerja.
c. Pemberlakuan mekanisme kontrol untuk mencegah pelanggaran
terhadap hak semua pihak terutama pekerja. d.
Perlunya Undang-Undang atau instrument hukum lainnya yang mewajibkan agen-agen penyalur tenaga kerja untuk terlibat dalam
memberikan perlindungan kepada para pekerja. 2.
Pemerintah Indonesia memperhatikan laporan dari berbagai pihak tentang hak dan kewajiban PLRT asal Indonesia di Arab Saudi seperti waktu
lembur, hak cuti, akomodasi, upah dan fasilitas lainnya, pada kenyataannya, terdapat ketimpangan yang lebar dimana perlakuan dan
hak-hak pekerja yang diperoleh seorang expatriate.
50 3.
Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk meyakinkan masyarakat Indonesia dan Internasional tentang upaya dan niat baik kedua
pemerintahan, Indonesia dan Arab Saudi dalam memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pelanggaran hak-hak tenaga kerja di luar negeri
termasuk di Arab Saudi. Dalam permasalahan PRT di Arab Saudi, sistem hukum negara Indonesia
tidak dapat menjangkau permasalahan yang terjadi di Arab Saudi. Menangani kasus-kasus PRT yang terjadi di Arab Saudi tidak hanya didasarkan atas peraturan
hukum yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia. Pelaksanaannya harus disesuaikan dengan peraturan negara setempat, yaitu sistem hukum Arab Saudi
Syariah selaku negara yang menjadi tempat terjadinya masalahkasus. Hal ini mengakibatkan penanganan kasus terhadap PRT di Arab Saudi menjadi sulit,
apalagi UU ketenagakerjaan di negara tersebut pada pasal 1 menyebutkan bahwa UU perlindungan ketenagakerjaan tersebut tidak mencakup perlindungan terhadap
informal. Bahkan dalam pandangan dan tradisi mereka, para PRT di sana dianggap budak-budak belian, sehingga rawan terjadi perkosaan, pelecehan
seksual, penganiayaan, dan pelanggaran HAM lainnya. Tindakan yang dilakukan Indonesia dan Arab Saudi dalam menangani
permasalahan PRT diwujudkan dalam kebijakan yang bersifat umum yaitu kebijakan yang terdiri atas serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui
pernyataan-pernyataan kebijakan dan tindakan-tindakan dari pejabat terkait, diwujudkan juga dalam kebijakan yang bersifat administratif, yaitu kebijakan
yang dibuat oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas
51 melaksanakan hubungan luar negeri negaranya, berupa dokumen-dokumen tertulis
dalam bentuk aturan hukum yang dipublikasikan secara umum. Upaya pemerintah Indonesia dan Arab Saudi untuk mewujudkan adanya perjanjian bilateral dalam
bidang ketenagakerjaan khususnya bidang informal. Hal yang sulit dalam penyelesaian kasus tenaga kerja antara PRT dan
majikan pada sektor Informal, khususnya PLRT adalah dikarenakan tidak ada hukum perburuhan atau ketenagakerjaan nasional pada negara tujuan penempatan
tersebut dikarenakan sifatnya yang dipandang informal. Di Arab Saudi, konsep PLRT sebagai bagian dari keluarga, membuat profesi PLRT tersebut tidak dapat
digolongkan sebagai suatu pekerjaan professional yang diatur secara resmi dalam Dekrit Kerajaan Nomor M51, tahun 2005, bagian VI yang merupakan dasar
hukum perburuhan Arab Saudi. Akibatnya, selain tidak adanya standarisasi perlindungan bagi PRT, sengketa antara PRT dengan majikan pun menjadi sulit
untuk dibawa ke ranah hukum ketenagakerjaan Teguh 2010. Untuk menyelesaikan masalah kekosongan hukum ini dan dalam rangka
memenuhi mandat Pasal 11 UU No. 39 Tahun 2004 yang mensyaratkan penempatan PRT di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar
perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara pengguna PRT atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Luar Negeri RI terus mendorong terbentuknya perjanjian bilateral di bidang penempatan atau
perlindungan PRT antara Indonesia dengan negara-negara tujuan, salah satunya