Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi
32 Secara garis besar, faktor yang menjadi penyebab utama timbulnya
permasalahan PRT, pada tiap-tiap proses penempatan, antara lain BPPK Kemlu 2011: 6-13:
1. Pada tahap rekruitmen.
a. Dominasi peran calosponsor dalam proses perekrutan.
Proses rekruitmen yang masih didominasi oelh keterlibatan calo, dan sekarang telah menjadi percaloan terstruktur, sulit untuk dihilangkan.
Bahkan infrastruktur penempatan PRT dianggap telah terdistorsi sehingga sulit membedakan proses penempatan PRT secara prosedural dan no-
prosedural illegal. Sponsor membantu menguruskan dan bahkan memalsukan hampir semua persyaratan administrasi pendaftaran yang
diperlukan PRT dan calon PRT tinggal menandatanganinya. Pemalsuan identitas diri ini seringkali menyulitkan PRT terutama ketika mereka
menghadapi masalah dan memerlukan perlindungan. Dibalik kemudahan yang diberikan sponsor, sering terjadi praktek-praktek penipuan dan
pemerasan terhadap calon PRT.
b. Mengutamakan kebutuhan negara penempatan tenaga kerja tanpa
mengindahkan rambu-rambu Undang-Undang. UU No.39 tahun 2004 telah menyebutkan bahwasanya penempatan
PRT hanya dilakukan ke negara-negara yang memiliki MoU dengan Indonesia. namun pada prakteknya, penempatan dilakukan juga ke
negara-negara yang tidak memiliki MoU dengan Indonesia mengingat
33 kebutuhan di negara tersebut yang sangat besar terhadap tenaga kerja
asing, terutama tenaga kerja sektor informal.
2. Pada tahap pelatihan.
a. Belum ditanganinya penyiapan tenaga kerja migran secara
profesional. Lemahnya kualitas calon PRT antara lain disebabkan tidak semua PPPRTS
mempersiapkan mengadakan pelatihan calon PRT sesuai ketentuan yang berlaku. Banyak kasus PRT yang menghadapi kesulitan di negara tujuan
akibat kurang dipersiapkan dalam hal keterampilan, kemampuan bahasa maupun pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan masyarakat di negara
tujuan.
b. Belum adanya jaminan kemampuan calon PRT melalui sertifikasi.
Sebagai dampak dari pelaksanaan pelatihan yang terkesan hanya sebagai formalitas, maka dalam hal ini pemberian sertifikat masih ditemui
kasus sertifikasi yang tidak melalui proses pelatihan, standar pelatihan yang diharuskan atau tanpa melalui tahap uji keterampilan. Bahkan dalam
praktek ditemui banyak sertifikat diberikan tanpa melalui proses pelatihan sama sekali.
34 3.
Pada tahap pemberangkatan. a.
Lemahnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengurusan dokumen perjalanan.
Dari sisi kelembagaan, dalam penyelenggaraan penempatan PRT seharusnya banyak stakeholders yang terlibat, yaitu: Kemnakertrans,
BNP2PRT, PPPRTS, asuransi, jasa transportasi, LSM, DPRorganisasi sosial politik, akademisi. Namun demikian, Kemenakertrans sesuai
fungsinya sebagai regulator, fasilitator dan pengawas serta BNP2PRT sebagai pelaksana penempatan dan perlindungan PRT di luar negeri
merupakan instansi yang sangat dominan dalam penyelenggaraan penempatan PRT ke luar negeri. Dalam prakteknya, pelaksanaan
penempatan banyak didominasi oleh pihak swasta bisnis, khususnya PPPRTS.
b. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN
sebagai dampak dari panjangnya prosedur dan persyaratan pengurusan dokumen.
Calon PRT harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit dan kompleks dalam pengurusan dokumen paspor, visa kerja, bebas fiskal dan
tiket. Praktek ini tidak jarang menimbulkan peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelayanan pengurusan dokumen yang melibatkan banyak
instansi dengan lokasi pelayanan yang berbeda-beda, sementara ego
35 sektoral masih melekat kuat, maka untuk memperoleh dokumen-dokumen
tersebut diperlukan waktu yang lama. Sebagian PPPRTS yang harus segera memberangkatkan calon PRT
cenderung ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dalam pengurusan dokumen, dengan melakukan pemalsuan dokumen identitas PRT termasuk
alamat tempat tinggal Teguh 2007: 171. Praktek pemalsuan ini menjadi faktor penghambat dalam upaya perlindungan PRT, terutama pada saat
mereka mendapatkan masalah pada saat penempatan.
c. Lemahnya hukum dalam prosedur perjanjian kerja antara calon PRT
dan pihak pengguna. Sistem perjanjian kerja antara calon PRT dan pihak pengguna di luar
negeri cenderung merugikan calon PRT. Beberapa permasalahan pokok antara lain:
Sistem perjanjian kerja cenderung tidak mengedepankan
unsur-unsur perlindungan terhadap PRT.
Rendahnya pemahaman dan penjelasan tentang isi perjanjian kerja bagi calon PRT, sehingga sangat merugikan calon PRT.
Tidak diterimanya salinancopy surat perjanjian kerja juga
menyullitkan calon PRT untuk mencari pertolongan apabila terjadi pelanggaran oleh pihak lain. Akibatnya secara hukum
PRT kurang terlindungi dan mempunyai posisi yang lemah
36 dalam menghadapi masalah yang dialami terutama yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban PRT.
d. Lamanya tinggal di penampungan PPPRTS berpotensi menimbulkan
berbagai permasalahan terhadap PRT. Proses penempatan calon PRT yang tidak jelas membawa konsekuensi
bagi PPPRTS dalam memenuhi permintaan tenaga kerja dan pengiriman tenaga kerja yang tepat waktu, sehingga PPPRTS cenderung banyak
merekrut calon PRT terlebih dahulu tanpa memperhitungkan kepastian keberangkatan calon PRT. Hal ini berimplikasi pada perlunya tempat
penampungan bagi calon PRT agar setiap saat dapat diberangkatkan apabila diperlukan oleh pengguna. Dampaknya, calon PRT akan tinggal
lebih lama di penampungan dan berbagai permasalahan timbul, seperti pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan ketidakbebasan terkait adanya
larangan untuk keluar dari penampungan Teguh 2007: 171. Jumlah calon PRT di penampungan mengalami penumpukan sebagai dampak dari
perekrutan calon PRT sebelum adanya job order dari agensi di negara penempatan.
e. Kurang efektifnya kegiatan Pembekalan Akhir Pemberangkatan PAP.
Menurut pasal 69 3 UU No.39 tahun 2004, pemerintah bertanggung jawab memberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan PAP. Kegiatan
PAP ini telah diberikan kepada dua lembaga. BNP2PRT melakukan
37 pelatihan PRT yang dikirim berdasarkan kesepakatan antar pemerintah.
Sementara, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta agen perekrutan melakukan pelatihan ke semua PRT lain yang akan berangkat.
Kapasitas pelatihan dan PAP masih dipusatkan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya seperti Surabaya. Sentralisasi geografis pelatihan ini
mengakibatkan biaya tinggi bagi tinggi PRT yang diminta untuk membayar perjalanan mereka sendiri dan biaya akomodasi agar bisa
menghadiri pelatihan wajib ini.
Secara yuridis ikatan hak dan kewajiban PRT terjadi dengan PPPRTS dan majikan saja. Hubungan PRT dengan agen tidak jelas tetapi memainkan peran
utama terjadinya penempatan PRT serta permasalahannya. PRT rentan terhadap permasalahan selama masa hubungan kerja Mardjono 2007: 72. Hal ini
dikarenakan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1.
PRT yang bekerja pada pengguna perseorangan berada pada kondisi yang kurang menguntungkan disebabkan antara lain:
Kondisi subjektif dalam interaksi kerja karena dalam lingkungan
keluarga yang didominasi pelaku keluarga.
Hubungan individual yang rentan pada sikap emosional, konflik serta tekanan fisikmental yang dapat berpengaruh buruk terhadap PRT.
Lingkungan kerja tertutup yang rentan terhadap pelanggaran waktu
kerja dan waktu istirahat atau pelanggaran hak-hak PRT pada umumnya.
38 2.
Belum adanya data dasar data base keberadaan PRT oleh perwakilan RI menyebabkan sukar dilakukan monitoring. Pembinaan dan penanganan
masalahnya dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh:
PPPRTS tidak melaporkan keberangkatanketibaan PRT di perwakilan RI.
Agen juga tidak melaporkan kedatangan PRT ke perwakilan.
3. Terbatasnya campur tangan pemerintah dalam proses hubungan kerja
sehingga rawan atas pelanggran hak-hak PRT seperti gaji tidak dibayar, pekerjaan terlalu berat, tindakan sepihak majikan, dll.
Faktor-faktor kerentanan adanya tindak kekerasan terhadap PRT antara lain yaitu Sri 2007: 70-75 :
1. Budaya Hukum
Dua konteks budaya yang berbeda patut dilihat; budaya hukum di dalam negeri Indonesia dan di negara penerioma timur tengah, meskipun sama-sama
banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. a.
Konteks Indonesia Kebutuhan akan kerja sebagai cara untuk meningkatkan kehidupan lebih
baik bagi diri PRT dan keluarganya dalam kondisi dan situasi dimana daerah masing-masing mereka sangat terbatas akses terhadap sumber daya
yang tersedia merupakan kenyataan. Bekerja di luar negeri merupakan cara lain yang penuh resiko baik disadari maupun tidak disadari. Perempuan di
dorong untuk bekerja demi kepentingan keluarganya.
39 b.
Konteks Negara Timur Tengah Situasi dan kondisi yang beragam di setiap negara di kawasan Timur
Tengah tidak dapat digeneralisir. Meskipun demikian pada umumnya ada pandangan bahwa posisi PRT sangat rendah, nyaris setara dengan budak.
Hal ini menjadikan sikap dan perilaku yang tidak menghargai para PRT.
2. Struktur Hukum-Perilaku Aparat Pemerintah
Dari proses konsultasi Komnas Perempuan terhadap kelompok masyarakat pendamping PRT dan para PRT yang telah menjadi korban dari kawasan Timur
Tengah, perilaku aparat pemerintah, baik pemerintah pusat dan khususnya perwakilan pemerintah di luar negeri masih dianggap kendala. Suka tidak suka,
KBRI menjadi ujung tombak penanganan kasus di negara penerima. Harapan terhadap KBRI menjadi sangat besar oleh masyarakat, sementara KBRI memiliki
keterbatasan. Pertama, terkait dengan penyelesaian kasus. Laporan atas kasus yang
disampaikan oleh PRT ke KBRI di beberapa KBRI segera diproses dengan cepat, tanpa pengendapan dan penggalian lebih dalam terhadap kasus. Masalah
sebenarnya yang dialami oleh PRT baru diketahui khususnya oleh LSM setelah PRT dipulangkan ke Indonesia. Hal ini sangat menyulitkan dari proses
pemenuhan hak-hak korban baik ha katas keadilan maupun pemulihannya.
Kedua, KBRI di kawasan Timur Tengah diharapkan untuk lebih terbuka
terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang peduli terhadap nasib PRT termasuk organisasi yang ada di negara penerima. Informasi dan komunikasi
40 berkaitan dengan kasus-kasus yang terjadi relative kurang bagi pihak-pihak di luar
KBRI dan DEPLU. Kurangnya informasi berpengaruh terhadap pola penanganan kasus yang lemah dari pantauan masyarakat.
Ketiga, inisiatif pemerintah KBRI di Timur Tengah dianggap masih rendah untuk melakukan upaya-upaya sosialisasi tentang hak-hak PRT di tempat
kerja. Inisiatif dari pemerintah secara umum juga rendah untuk dengan cepat membuat
terobosan-terobosan yang
kemudian ditindaklanjuti
dengan pembentukan sistem penanganan kasus secara komperhensif.
Keempat, pemerintah dianggap kurang menjalankan pemantauan yang efektif dan tidak tegas terhadap pihak-pihak yang telah melanggar hak-hak PRT
bahkan dalam beberapa kasus terlibat sebagai pihak yang mengeksploitasi PRT. Kordinasi antar instasi pemerintah masih lemah. Pemerintah belum berhasil
membuat mekanisme pemantauan yang diakui dan dijalankan secara bersama.
3. Hukum dan Kebijakan Negara
Faktor yang berperan dalam kerentanan PRT akan kekerasan antara lain adalah kelemahan pengaturan hukum dan kebijakan di tingkat nasional yang
berpengaruh di dalam dan luar negeri maupun kebijakan di tingkat local khususnya di wilayah asal PRT. Kelemahan tersebut khususnya dalam
perlindungan terhadap PRT ketika ia menjadi korban dalam proses rekruitmen pra pemberangkatan dna pemulangan di Indonesia maupun perlindungan PRT di
negara penerima.
41