berhubungan dengan penilaian pada kehidupan secara keseluruhan. Orang bahagia mengalami kesenangan dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam pada itu,
kesenangan tidak membawa kepada kebahagiaan bila tidak sejalan dengan, atau bertentangan dengan, tujuan seseorang.
18
Dari berbagai persfektif yang telah dikemukakan kebahagiaan pada dasarnya ialah pengalaman pada diri sendiri, dan hanya diri sendirilah yang
mengalami kebahagiaan tersebut. Karena boleh jadi seseorang mengatakan bahwa ia senang lalu dikatakan bahagia, justru orang yang senang terkadang ia menutupi
kesedihannya dengan menyenangkan dirinya, dan ini bukan termasuk suatu bahagia.
D. Konsep Kebahagiaan
Islam memberikan pencerahan kepada pemeluknya yang mau mengikuti tatanan pedoman sebagai pegangan hidup. Dalam hal ini Al-
Qur’an sebagai pedoman jalan menuju keabadian telah memberi kan beribu-ribu kali bagaimana
cara hendak mendapatkan keberuntungan, maupun kebahagiaan. Dari berbagai persfektif kebahagiaan yang telah di sebutkan di atas dan dari berbagai pendapat
kiranya dapat dijadikan sebagai pembendaharaan pengetahuan mengenai definisi kebahagiaan, walaupun belum secara totalitas.
Kebahagiaan dalam bahasa Arab terambil dari kata al-Falah yang berarti membelah. Dari sini, petani dinamai al-Fallah, karena dia mencangkul untuk
membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanamnya menumbuhkan buah yang diharapkan. Dari sini agaknya sehingga memperoleh apa yang
diharapkan dinamai Falah, dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang juga menjadi salah satu makna falah.
19
Maka dari sisnilah dapat diketahui bahwasanya konsep kebahagiaan ialah sesuatu yang keinginan yang hendak diperoleh dengan mendambakan keinginan
tersebut dengan melalui proses pengorbanan usaha, kemudian membuahkan keberhasilan yang didambakannya tadi sesuai dengan petunjuk dan arahan,
18
Jalaludin Rahmat, Meraih Kebahagiaan, h. 184
19
Quraisy Shihab. Tafsir Misbah, h.113.
bimbingan yang benar. Sebagaimana telah banyak disinggung dalam al- Qur’an
dalam memperoleh kebahagian dunia akhirat tidak terlepas dari bimingan, dan tununan Allah SWT dengan mengikuti segala yang diperintahkan.
Dengan demikian, Sesungguhnya kitab mulia ini al- Qur’an adalah kitab
teragung yang menyeru anda pada kebahgiaan, pada kegembiraan, kesenangan, keceriaan. Sesungguhnya ia memberi kabar gembira kepada anda agar senantiasa
tenang, kokoh pendirian, berbahagia selalu, optimis, maju terus dan gembira. Bergembiralah bahwa dibalik malam akan muncul subuh, di belakang gundukan
akan ada taman indah, dan setelah padang sahara yang tandus ada sungai. Di padang sahara pasti ada mata air yang sejuk. Bersama dengan terik matahari ada
naungan. Dan setelah kelelahan ada tidur tenang, nyenyak dan nikmat. Demikian ‘Aidh Abdulloh al-Qorni menjelaskan dalam sub judul Al-Qur’an menyuruhmu
pada kebahagiaan.
20
Kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia. Karenanya orang mau melakukan apapun untuk mencapainya. Banyak cara, kiat-kiat, teknik-teknik
bagaimana menggapai kebahagiaan dalam hidup. Motivasi untuk mencapai kebagaiaan, sesungguhnya motivasi hidup manusia yang tertinggi. Bahkan
dikatakan bahwa Islam hadir bertujuan untuk menciptakan “sa’adatun nas fi al- darain
” kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan diukur dengan cara yang berbeda dan pada hakekatnya
ukuran kebahagiaan bisa berjenjang. Ada manusia yang mengukurnya sebatas capaian materi atau materialistik, dan merasa telah cukup sampai di sana, namun
ada yang menganggap capaian kebahagiaan berbasis materi tak akan membawa manusia dalam kebahagiaan sejati. Capaian kebahagiaan terakhirlah yang kerap
dinamakan sebagai kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan keruhanian. Kata bahagia dalam bahasa Indonesia memang di identifikasikan kapada
arti yang sama seperti kesenangan,dan kegembiraan. Akan tetapi dalam bahasa Arab yang kaya akan arti memiliki perbedaan pemaknaan terdapat bermacam-
macam bentuk arti makna kebahagiaan. Seperti kata falaha yang artinya berkisar
20
‘Aidh. Abdulohah Al-Qarni, Berbahagialah, h. 328
17
BAB III PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBENTUKAN KELUARGA
BAHAGIA
A. Struktur Hubungan Keluarga
Tuntunan al- Qur’an kepada orang tua menyangkut anak-anaknya,
walaupun tidak sebanyak tuntunan-Nya terhadap anak, tidaklah menjadikannya kurang penting. Ini dapat dimengerti, karena biasanya orang tua lebih arif dan
bijaksana dibandingkan dengan anak. Dengan demikikian status perkawinan mengindikasikan terbentuknya keluarga, karena Allah swt menjadikan
perkawinan yang diatur dengan syariat Islam adalah untuk memuliakan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang paling mulia, yang diberikan
oleh Islam.
1
Terdapat beberapa asumsi tentang hubungan keluarga dan struktur hubungan dalam keluarga. Asumsi pertama: Bahwa hubungan antara suami istri,
ayah, ibu, anak dan sebagainya itu merupakan suatu proses. Jadi merupakan suatu relationship, bukan “being” tapi becoming, sebuah pertumbuhan yang terus-
menerus. Asumsi kedua: Hubungan dalam keluarga itu sangat ditentukan oleh keterampilan komunikasi di dalam menghadapi perubahan-perubahan stuktur
hubungan tersebut.
2
1
Mahmud Sabagh, Keluarga Bahagia dalam Islam, Pent.Yudian Wahyudi Asmin dkk. Pustaka Mantiq, 1993, h. 41
2
M. Tholhah Hasan, Pendidikan Anak usia Dini dalam Keluarga, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2009, cet. 1, h 11.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, menyebutkan ada tiga macam stuktur hubungan keluarga,
3
yang secara ringkas dipaparkan sebagai berikut: Pertama, Struktur komplementer, yang biasa disebut sebagai pola keluarga
tradisonal. Pada hubungan sejenis ini, ada dua pihak yang menjalankan peran tidak sama, dan masing-masing menekankan ketidaksamaan tersebut, tetapi
masing-masing pihak merasa tidak dapat hidup dengan baik tanpa kehadiran pihak lainnya. Dalam struktur komplementer, kesamaan itu justru akan merusak
hubungan suami istri, keluarga yang seperti ini tidak akan menemukan kedamaian dan harmoni. Dari banyak penelitian dietemukan, bahwa struktur keluarga yang
terjamin stabilitasnya adalah struktur keluarga komplementer yang dianggap tradisonal tadi. Misalnya, suami berperan mencari nafkah atau pekerja sosial
lainnya, sedangkan istri berperan sebagai pengurus rumah tangga dan memelihara anak-anaknya dengan baik, istri menjadi menejer rumah tangga yang mengatur
masalah-masalah dalam keluarga. Meskipun struktur hubungan keluarga yang komplementer ini banyak dikritik oleh orang modern sekarang, karena menurut
mereka, salah satu karakteristik komplementer ialah adanya hubungan kekuasaan yang tak seimbang. Ada satu pihak yang memiliki kekuasaan lebih banyak
daripada pihak yang lain, yang biasanya suami memiliki lebih banyak kekuasaan daripada istri.
Kedua, Struktur Simetris, ini yang sering disebut sebagai stuktur hubungan keluarga modern, yaitu suami dan istri memasuki pernikahan seperti memasuki
sebuah “kontrak” perjanjian, dan mereka umumnya merumuskan kontrak tersebut secara tertulis. Contoh hubungan keluarga simetris ini banyak ditemui di
Amerika Serikat dan di negara Eropa, diantaranya suami istri membuat perjanjian yang disepakati bersama, diantara keduanya ada power yang seimbang. Kedua
belah pihak dapat memutuskan kehendaknya masing-masing. Disini unsur otonomi lebih dominan dari pada unsur relationship. Mereka hanya terikat dengan
perjanjian kerjasama yang disebut dengan kontrak keluarga. Masing-masing suami istri dapat mengejar keinginan tanpa ada halangan dari kedua belah pihak.
3
Jalaludin Rakhmat, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, Bandung: Rajawali Press, 1993, h. 107-110