Keaslian Penelitian Kerangka Teori dan Konsepsi

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya, terutama tentang kewewenang notaris atas legalisasi dan waarmerking terhadap akta di bawah tangan . 2. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kelangan praktisi dalam menangani suatu perkara dalam suatu pemeriksaan mengenai bukti–bukti terutama mengenai bukti surat, juga memberikan masukan kepada masyarakat mengenai sejauh mana peranan notaris dalam legalisasi dan waarmerking akta–akta di bawah tangan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa tesis dengan judul: “Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi dan Waarmerking Oleh Notaris”, ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia telah dikodratkan untuk saling berhubungan, hal ini telah terbukti bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini, setiap manusia selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dan berhubungan dengan sesama manusia lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang ahli pikir Yunani yaitu Aristoteles yang menyatakan: “manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.” 16 Manusia sebagai individu perseorangan mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan mudah. Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu berbeda tingkatannya, misalnya hubungan suami isteri dalam rumah tangga, keluarga, suku bangsa, bahkan hubungan tersebut kerap terjadi dalam bentuk kerjasama antara golongan yang satu dan yang lainnya. 16 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.29 Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Salah satu bentuk hubungan untuk mencapai kebutuhannya tersebut antara pihak yang satu dengan yang lainnya seringkali mengadakan perjanjian–perjanjian, apakah itu perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian perkawinan dan sebagainya. Dalam hubungannya tersebut diatas ada pihak–pihak diantaranya yang lebih menyukai dengan dasar kepercayaan dan ada juga yang lebih menyukai dengan menggunakan bukti–bukti secara tertulis, karena para pihak berpendapat, bahwa bukti tertulis ini dapat dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari apabila timbul perselisihan, lain halnya dengan yang hanya berdasarkan kepercayaan saja, pihak–pihak yang seperti ini tidak mempunyai bukti tertulis hal ini sebenarnya dapat menyulitkan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. “Dinamika kehidupan sosial masyarakat menuntut untuk berinteraksi, interaksi yang terjadi tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik-konflik sehingga memerlukan jalan keluar untuk mengakhirinya. Biasanya apabila konflik tersebut tidak bisa diselesaikan oleh para pihak, maka mereka akan menggunakan jalur peradilan.” 17 Untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka perjanjian tersebut harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal 17 Nico, Op Cit, hlm.19 Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Apabila syarat subyektif dan syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan. Hukum perjanjian ini menganut sistem terbuka yaitu setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang–undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Seseorang dikatakan telah melakukan wanprestasi artinya ia tidak memenuhi kewajibannya sama sekali, memenuhi kewajiban secara tidak sempurna atau tidak tepat waktu, memenuhi kewajiban secara tidak sempurna atau tidak tepat waktu, memenuhi kewajibannya secara keliru atau tidak baik. Untuk dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya kesalahan, baik kesalahan yang dapat diukur secara objektif dan subjektif. Secara obyektif harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara subyektif harus meneliti, apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 perbuatannya, dan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Untuk mengetahui adanya suatu perbuatan melawan hukum ini, beban pembuktian tidak hanya harus didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, tetapi juga bahwa perbuatan tersebut harus dapat dibuktikan dengan melihat pada isi dari perjanjian tertulis yang dibuat oleh pihak–pihak yang bersangkutan sebagai alat bukti. Ini berarti bahwa surat atau akta berfungsi sebagai syarat atas keabsahan suatu tindakan hukum dan apabila suatu perbuatan hukum tidak dilakukan dengan surat atau akta maka oleh hukum dianggap tidak sah Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu, semua alat bukti adalah penting, tetapi alat bukti surat sangat penting dan paling utama di dalam pembuktian. Hal ini sesuai dengan bentuk surat atau akta yang didalam perkara perdata memegang peranan yang sangat penting dimana semua kegiatan yang menyangkut bidang keperdataan sengaja dicatat atau dituliskan dalam suatu surat atau akta. Setiap transaksi baik jual beli, sewa menyewa, penghibahan, pengangkutan, asuransi, kelahiran, perkawinan dan kematian sengaja dibuat dalam bentuk tertulis untuk kepentingan pembuktian guna memastikan bahwa suatu peristiwa hukum telah terjadi. Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa: “Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.” 18 : 18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm 149. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Dalam hal yang sama I. Rubini menyatakan “ Surat adalah suatu benda Bisa kertas, kayu, daun lontar yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran diwujudkan dalam suatu surat.” 19 Rumusan tersebut diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Surat sebagai alat bukti tertulis dapat berupa: 1. Surat yang bukan merupakan akta, Di dalam Pasal 1881 ayat 1 sub 1 dan 2, Pasal 1883 KUHPerdata telah diatur secara khusus beberapa surat dibawah tangan yang bukan akta yaitu yang berupa: a. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran yang telah diterima; b. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan didalam suatu alas hak bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan; c. Catatan-catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulisnya itu merupakan suau pembebasan terhadap debitur; 19 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm.36 Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 d. Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau tanda pembayaran asal saja salinan atau tanda pembeyarannya itu berada dalam tangannya debitur. 2. Surat yang berupa akta Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan. 20 Selain pengertian akta sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan. Pasal 108 KUHPerdata menyebutkan: “Seorang istri,biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari suaminya.” R. Subekti menyatakan kata “akta” pada pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah perbuatan. 21 Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti. 20 R.Subekti dan Tirtosudibio, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta 1980, hlm.9 21

R. Subekti, Pokok_Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2006, hlm.