Bukti Surat Alat-Alat Bukti

1. Dalam hukum acara perdata yang dicari adalah kebenaran formal yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari para pihak yang berperkara, sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil yaitu kebenaran sejati yang harus diusahakan tercapainya 2. Dalam hukum acara perdata hakim bersifat pasif yaitu hakim memutus perkara semata-mata berdasarkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak- pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa di persidangan. Jadi hakim tidak mencampuri terhadap hak-hak individu yang dilanggar selama orang yang bersangkutan tidak melakukan penuntutan di pengadilan, sedangkan dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif yaitu hakim berkewajiban untuk memperoleh bukti yang cukup mampu membuktikan dengan sungguh-sungguh apa yang dituduhkan kepada terdakwa. 3. Dalam hukum acara perdata alat-alat pembuktiannya terdiri dari: bukti surat, bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan dan bukti sumpah Pasal 164 H.I.R., sedangkan dalam hukum acara pidana alat-alat pembuktiannya terdiri dari: bukti keterangan saksi, bukti surat, bukti pengakuan, dan bukti petunjuk Pasal 295 H.I.R . 5 Berdasarkan alat-alat pembuktian terlihat bahwa dalam hukum acara perdata alat pembuktian yang utama adalah bukti surat, sedangkan dalam hukum acara pidana alat pembuktian yang utama adalah keterangan saksi Dalam hukum acara pidana tidak dikenal alat pembuktian sumpah sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata. Hal ini dapat dimengerti karena sumpah yang dijadikan alat pembuktian itu dimaksudkan untuk mengakhiri suatu sengketa.

4. Alat-Alat Bukti

Alat–alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan dalam hal ini diatur di dalam Pasal 165 H.I.R dan Pasal 1866 K.U.H Perdata. Adapun yang disebut bukti, yaitu:

a. Bukti Surat

5 Teguh Samudera, Loc Cit, hlm.32-33. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Sesuai dengan kemajuan peradaban manusia masalah alat bukti tertulis atau surat adalah sangat penting. Pembuktian dengan bentuk surat ini diartikan oleh Sudikno Mertokusumo sebagai berikut : “ Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda–tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.” 6 Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa alat bukti tertulis tersebut harus berisi pokok–pokok persoalan yang menjadi obyek dari pihak yang mengadakan hubungan hukum tersebut, apakah hubungan hukum tersebut menyangkut sewa menyewa, jual- beli dan lain sebagainya. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan–tulisan otentik maupun dengan tulisan–tulisan dibawah tangan.” 7 Mengenai alat–alat bukti tertulis ini ada yang membagi menjadi 3, yaitu : “1. Surat Otentik 2. Surat Akta di bawah tangan 3. Surat–surat biasa.” 8 Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan akta otentik adalah : 6 Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hlm. 121. 7 R. Subekti, Op Cit, hlm. 475. 8 Teguh Samudera, Op Cit, hlm. 37. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 “ Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang–undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai–pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” 9 Pegawai umum yang dimaksud ialah pejabat yang diberi wewenang oleh undang– undang untuk membuat akta otentik itu misalnya : Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, Panitera, Juru Sita dan lain sebagainya. Akta otentik tersebut tidak dapat dibuat oleh pejabat yang tidak mempunyai wewenang maka pejabat–pejabat yang telah ditentukan oleh Undang–undang saja yang berwenang membuatnya, apabila pihak–pihak yang tidak berwenang itu membuat akta hal ini tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. Mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1869 KUH Perdata yaitu : “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagaimana tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.” 10 Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan akta dibawah tangan adalah : “Sebagai tulisan–tulisan di bawah tangan akta–akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat–surat, register–register, surat–surat urusan rumah tangga dan lain– lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” 11 9 R. Subekti, Op Cit, hlm. 475. 10 Ibid 11 Ibid, hlm.476. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Mengenai akta di bawah tangan jika dibandingkan dengan surat–surat yang bukan akta mengalami kesulitan, tetapi sebenarnya dapat dibedakan apabila ditinjau dari tujuan dibuatnya surat–surat lain yang bukan akta dengan akta di bawah tangan tersebut. Kesulitannya biasanya surat–surat dan akta–akta di bawah tanganpun ada tandatangannya, jika dilihat dari tujuannya ada yang berpendapat bahwa surat akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani, dan yang dibuat dengan maksud dijadikan alat bukti, tetapi tidak dengan perantaraan seorang pejabat umum. Hal ini berbeda dengan surat yang bukan akta, surat–surat yang bukan akta pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari, sehingga surat–surat yang demikian itu dapat dianggap petunjuk kearah pembuktian. Petunjuk ke arah pembuktian maksudnya adalah bahwa surat itu dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan atau dapat pula dikesampingkan atau bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya. Sesuatu hal yang dapat mengakibatkan alat pembuktian tertulis tidak memenuhi persyaratan sebagai alat bukti di pengadilan adalah tidak dipenuhinya bea materai. Menurut ketentuan Pasal 23 aturan Bea Materai 1921 jo Pasal 1 angka 1 Undang–undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang bea materai ditentukan antara lain bahwa semua tanda yang ditandatangani, yang diperbuat sebagai buktinya perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat hukum perdata dikenakan bea materai. Berdasarkan hal tersebut, sesuatu tulisan yang dipakai sebagai alat pembuktian di pengadilan harus ditempeli bea materai secukupnya. Mahkamah Agung berpendapat bahwa suatu alat bukti tertulis dikatakan sebagai tidak memenuhi persyaratan sebagai alat Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 bukti di pengadilan apabila tidak ada materai yang direkatkan dalam alat bukti tertulis tersebut. Dengan tiadanya materai dalam alat bukti tertulis misalnya dalam suatu perjanjian jual beli itu tidak berarti perbuatan hukumnya perjanjiannya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian, sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata. 12 Alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan materai untuk memenuhi pasal 2 sub a UU No 13 Tahun 1985 jo. PP No 7 tahun 1995 tentang Bea Materai. yaitu pada: 13 “Surat perjanjian dan surat–surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat bukti mengenai perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.” Selain pada sub a diatas, sub b dan c pasal tersebut juga mengatur tentang pemateraian atas akta notaris termasuk salinanya dan akta yang dibuat PPAT termasuk dengan rangkap-rangkapnya. Adapun materai yang dikenakan adalah sebesar Rp.6000,00 enamribu rupiah. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Maret 1971 No.589 K Sip 1970 berpendapat bahwa surat bukti yang tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti yang sah. Surat yang tidak sejak semula dibubuhi materai, misalnya surat korespondensi biasa, dan kemudian digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan Perdata, haruslah 12 Teguh Samudera, Op.cit, hlm. 46 13 Ronal Siahaan, Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 tentang Perubahan Tarif Bea Materai Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai, BP Cipta Jaya, hlm 105 Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 dibubuhi dengan materai pemateraian kemudian nazegelen. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang–Undang no.13 Tahun 1985 yang menyatakan pemateraian kemudian dilakuakan terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. b. Bukti Saksi Pembuktian dengan alat bukti tertulis dalam hukum acara perdata mempunyai peranan yang sangat penting, tetapi apabila alat–alat bukti tertulis ini tidak ada atau masih kurang kekuatan pembuktiannya dalam suatu perkara, maka hakim masih memerlukan bukti–bukti lain untuk dapat memutuskan perkaranya, dengan mencari tambahan bukti lain yang dapat berupa mendengarkan keterangan saksi., hal ini terdapat dalam Pasal 1895 KUHPerdata dan Pasal 1902 KUHPerdata. Pasal 1895 KUHPerdata menyatakan : “ Pembuktian dengan saksi–saksi diperkenankan dengan segala hal dimana itu tidak terkecualikan oleh undang–undang.” Pasal 1902 KUHPerdata menyatakan : “Dalam segala hal dimana oleh undang–undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan–tulisan, namun itu jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah pembuktian dengan saksi–saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan, selainnya dengan tulisan.” Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis, yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa–peristiwa yang dimajukan seseorang. Masalah bukti saksi ini sangat penting bagi pihak–pihak yang bila melakukan perbuatan hukum tersebut tidak ditulis tetapi cukup dihadiri oleh saksi–saksi. Dalam praktek ada dua macam saksi, yaitu saksi yang kebetulan mengetahui dan saksi yang sengaja didatangkan untuk menyaksikan suatu perbuatan. Berdasarkan Pasal 308 RBg pada dasarnya pendapat atau persangkaan yang di dapat karena berfikir bukan merupakan kesaksian, sedangkan inti dari Pasal 309 RBg dan Pasal 1908 KUHPerdata memberikan instruksi kepada hakim supaya hakim menimbang nilai keterangan para saksi, cocoknya keterangan saksi dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang perkara yang diadili. Dalam Pasal 306 RBg dan Pasal 1905 KUHPerdata menyatakan : “Keterangan dari seorang saksi saja tanpa suatu alat bukti lain, dimuka Pengadilan tidak boleh dipercaya.” Keadaan tersebut tidak dapat dianggap sebagai pembuktian yang cukup unus testis nulus testis artinya: Satu saksi berarti bukanlah saksi, dikecualikan pada tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Maksud pasal tersebut diatas bukan setiap peristiwa hukum harus dibuktikan dengan lebih dari seorang saksi, tetapi harus dibuktikan dengan saksi maupun dengan alat–alat bukti lain yang dapat mendukung dalil–dalil yang dikemukakan, misal ditambah degan pengakuan, sumpah dan sebagainya. Golongan–golongan yang tidak dapat memberikan kesaksian menurut hukum ada dua antara lain : “1. Golongan yang secara mutlak dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi yaitu : a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan–keturunan yang lurus dari salah satu pihak. b. Istri atau laki salah satu pihak, meskipun sudah bercerai c. Anak–anak yang umumnya tidak dapat diketahui benar bahwa sudah cukup lima belas tahun. d. Orang gila, meskipun kadang–kadang ingatannya terang. 2. Golongan yang secara relatif dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi yaitu : a. Anak–anak yang belum mencapai umur 15 Tahun b. Orang gila sakit ingatan, sekalipun kadang–kadang ingatannya terang. 3. Orang yang karena permintaan sendiri dibebaskan dari kewajibannya sebagai saksi yaitu : a. Saudara laki–laki dan saudara perempuan, dan ipar laki–laki dan perempuan dari salah satu pihak. b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki–laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak. c. Sekalian orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi semata–mata hanya Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat pekerjaanya atau jabatannya itu saja. 14 Semua orang yang cukup untuk menjadi saksi pada dasarnya diwajibkan memberikan kesaksian, hal ini dapat kita lihat dari diadakannya sanksi–sanksi terhadap orang–orang yang dipanggil dan tidak memenuhi panggilannya untuk memberikan kesaksian, dan menurut undang–undang orang–orang ini dapat diberikan sanksi sebagai berikut : 1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkannya untuk memanggil saksi. pasal 166 RBg 2. Secara paksa dibawa kemuka pengadilan pasal 167 RBg 3. Dimasukkan dalam penyanderaan Gijzeling sesuai pasal 176 RBg. 15 Dalam setiap sidang perdata hakimpun boleh mendengarkan seorang ahli untuk dijadikan saksi dan biasanya seorang ahli itu disebut saksi ahli, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 181 RBg saksi ahli ini dapat dipanggil oleh hakim atas permintaan kedua belah pihak maupun atas kehendak hakim sendiri. Sifat keterangan seorang ahli adalah berlainan daripada sifat keterangan seorang saksi biasa. Seorang saksi biasa harus memberi keterangan tentang kenyataan dari suatu peristiwa yang diketahui, dialami olehnya, sedangkan seorang ahli bertugas memberikan pendapatnya terhadap hal–hal yang perlu dipahami hakim, agar hakim dapat mengambil suatu keputusan. Misalnya : Seorang dokter diminta pendapatnya mengenai sebab–sebab kematian seseorang. 14 Teguh Samudera, Op Cit, hlm.67-68. 15 R. Subekti, Op Cit, hlm. 39. Merry Natalia Sinaga: Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris, 2007. USU e-Repository © 2008 Berdasarkan Pasal 181 ayat 3 RBg menyatakan : “Tidak boleh diangkat menjadi ahli, mereka yang sedianya tidak akan dapat didengar sebagai saksi.” 16 Pasal 181 ayat 4 RBg menyatakan : “Pengadilan negeri sekali–kali tidak diwajibkan mengikuti pendapat ahli itu, apabila keyakinannya bertentangan dengan itu.” 17 Seorang saksi ahli sebelum memberi keterangannya bersumpah menurut agamanya dan kepercayaannya bahwa saksi ahli tersebut akan mengemukakan pendapatnya dengan jujur dan keyakinan yang murni serta tidak dipengaruhi oleh pihak– pihak lain.

c. Persangkaan