15
2.6 Epidemiologi Asma Bronkial
2.6.1 Distribusi dan Frekuensi
Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia, diperkirakan terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma
dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Prevalensi Asma lebih tinggi pada kelompok usia anak-anak.
9
Di Amerika, Asma menjadi penyebab ke-3 tertinggi kesakitan pada anak usia dibawah 15 tahun. Terdapat 25,9 juta penduduk Amerika
yang menderita penyakit Asma dengan 7,1 juta diantaranya adalah kasus pada usia anak-anak.
29
Sementara itu, di Australia, 10 penduduk sekitar 2 juta orang menderita Asma, 11 merupakan penduduk berusia di atas 75 tahun. Pada tahun
2007 tercatat 385 kematian akibat Asma di Australia, kemudian meningkat menjadi 449 kematian pada tahun 2008.
30
Di New Zealand, dilaporkan 8 remaja mengalami mengi dan 10 orang dewasa mengalami kesulitan bernapas. Pada tahun 2006,
tercatat 182 kematian akibat Asma di New Zealand.
31
Di Inggris tercatat 5,4 juta orang menjalani terapi Asma, 1,1 juta diantaranya merupakan pasien usia anak-
anak.
32
Di Kanada, prevalensi Asma mencapai 8,5 pada tahun 2010. Prevalensi Asma pada anak-anak di Kanada adalah 13. Asma menjadi penyakit utama
penyebab kesakitan pada anak-anak di Kanada.
33
Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta penderita Asma di Indonesia.
34
Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia menunjukkan prevalensi Asma yang bervariasi, di Bandung 2,6; Jakarta 16,4; Yogyakarta 10,5. Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood ISAAC pada anak
Universitas Sumatera Utara
16
berusia 13-14 tahun melaporkan prevalensi Asma di Indonesia sebesar 2,1 pada tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2.
15
2.6.2 Determinan
A. Host Pejamu
Ada beberapa faktor pada host pejamu yang merupakan determinan serangan Asma, diantaranya:
Genetik
Faktor genetik berperan pada penyakit Asma anak terutama bila ibu juga menderita Asma.
35
Asma dan penyakit alergi sering terjadi bersamaan pada individu dalam satu keluarga. Prevalensi terjadinya Asma meningkat pada pasien
yang menderita Rinitis Alergi. Beberapa studi longitudinal menunjukkan manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak usia kanak-kanak misalnya dermatitis
atopi dan alergi makanan yang terjadi saat bayi akan berlanjut dengan Asma danatau Rinitis Alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30 anak-anak dengan
Dermatitis Atopi akan berkembang menjadi Asma di kemudian hari dan hampir 66 akan menjadi Rinitis Alergi.
36
Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, 30-90 kasus Asma Bronkial memiliki gejala Rinitis Alergi
sebelumnya.
37
Jenis Kelamin
Pria merupakan risiko untuk Asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi Asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
14
Sibbald 1997 menulis bahwa prevalensi
Universitas Sumatera Utara
17
Asma pada anak atopik lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, sementara itu pada orang dewasa biasanya non-atopik dan rasio antara perempuan dan laki-laki
hampir sama. Von Matius, dkk 1999 dalam teorinya menyebutkan bahwa anak laki-laki memiliki saluran napas yang lebih kecil dibandingkan ukuran paru.
38
Pada wanita, peningkatan kadar progesteron di masa kehamilan memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan
sensitifitas terhadap CO
2
yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang disebut sebagai dispnea
selama kehamilan.
39
Usia
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30 penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90 anak yang menderita Asma gejala pertamanya
muncul sebelum umur 4-5 tahun.
40
Atopi penyakit alergi yang muncul pada usia dini terutama dalam 3 tahun pertama kehidupan memiliki potensi untuk
berkembang menjadi Asma. Pemberian antibiotik dalam sebelum usia 1 tahun merupakan risiko untuk terjadinya Asma di masa mendatang.
17
Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index BMI, merupakan faktor risiko Asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat memengaruhi fungsi saluran napas
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya Asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan Asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas, dan status kesehatan.
14
Obesitas juga dikaitkan dengan penurunan fungsi paru yang memungkinkan terjadinya Asma.
Obesitas menyebabkan penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan
Universitas Sumatera Utara
18
diameter saluran napas perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan hiperreaktivitas saluran napas, perubahan volume darah pulmoner, dan gangguan fungsi ventilasi
perfusi. Penurunan sistem komplians paru pada obesitas disebabkan oleh penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta peningkatan
volume darah paru.
41
Kebiasaan Merokok
Asap tembakau telah terbukti memicu timbulnya gejala Asma, terutama pada anak. Individu lain yang menghirup asap rokok perokok pasif mendapatkan
racun yang lebih banyak dibandingkan dengan dengan pengguna rokok perokok aktif dan mengalami iritasi pada mukosa sistem pernafasan.
40
Ibu yang merokok saat hamil akan melahirkan bayi prematur yang akan mempunyai ukuran paru
lebih kecil dan akan mempunyai faktor risiko mengi pada usia neonatus, di samping itu asap rokok akan mengurangi fungsi paru bayi. Penelitian
membuktikan bahwa bayi prematur dari ibu perokok waktu hamil akan rentan terhadap infeksi saluran napas disebabkan oleh virus, dan karena IgE tali pusat
bayi ini tinggi.
35
Infeksi Saluran Napas
Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus sudah lama diketahui sebagai pencetus Asma yang paling sering ditemukan. Banyak kejadian Asma
muncul saat musim hujan dimana influenza banyak terjadi sehingga menyebar dari satu anggota ke anggota keluarga lainnya, dimulai dengan batuk-batuk yang
kemudian diikuti dengan munculnya sesak napas sebagai bentuk gejala Asma.
14
Infeksi respiratory syncytial virus RSV sering menyebabkan bronkiolitis pada
Universitas Sumatera Utara
19
bayi usia 3-6 bulan. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi Asma bila ditemukan antibodi RSV IgE spesifik dalam
sekret hidung.
35
StresGangguan Emosi
Stresgangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu juga dapat memperberat serangan Asma yang sudah ada. Saat seseorang emosi dan
panik seringkali keluhan Asma muncul. Ekspresi yang ekstrim seperti tertawa, menangis, marah, dan ketakutan dapat menyebabkan hiperventilasi dan
hipokapnia yang membuat saluran pernafasan menyempit sehingga penderita terserang Asma kembali. Di samping gejala asma yang timbul harus segera
diobati, penderita Asma yang mengalami stresgangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena apabila stresnya masih
belum teratasi, maka gejala Asmanya lebih sulit diobati. Suatu studi menyatakan bahwa ibu hamil yang stres dapat menyebabkan risiko Asma pada anak.
42
B. Lingkungan Environment
Faktor lingkungan memengaruhi individu dengan kencederungan Asma untuk berkembang menjadi Asma, menyebabkan kekambuhan, dan atau menimbulkan
gejala Asma menetap.
43
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kejadian Asma, diantaranya:
Alergen
Terdiri atas: 1. Alergen dalam rumahindoor, seperti tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang, dan lain-lain.
14
Universitas Sumatera Utara
20
2. Alergen luar rumahoutdoor, seperti serbuk sari dan spora jamur.
14
3. Alergen dalam bahan makanan, seperti susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna
makanan. Terjadinya Asma bronkial akibat makanan tersebut dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang mengancam jiwa 3 - 8 penderita Asma. Selain
bronkokonstriksi penderita tersebut juga mengalami reaksi gastrointestinal, naso- okuler, dermal, dan peningkatan ekskresi cysteinil leukotriene melalui urin.
44
Alergi makanan kebanyakan dihubungkan dengan IgE spesifik yang dapat diperiksa secara invitro RAST atau dengan uji kulit. Uji kulit negatif
mempunyai nilai prediktif yang tinggi dengan gejala klinik, sebaliknya uji kulit mempunyai nilai prediksi positip sebesar 50.
35
4. Alergi terhadap obat, jenis obat-obatan tertentu dapat mencetuskan Asma. Terdapat dua grup obat yang sangat penting untuk dihindari oleh penderita Asma,
yaitu grup obat beta blockers seperti propanolol, nadolol, bahkan obat beta blockers yang bekerja lokal sekalipun seperti timolol ophtalmic solution. Grup
obat kedua adalah aspirin dan non-steroid anti-inflammatory drugs NSAIDS seperti ibuprofen, naproxen.
14
Polusi Udara
Polusi udara merupakan salah satu faktor pencetus yang harus diperhatikan oleh penderita Asma. Polusi ini bisa berada outdoor seperti di sekitar tempat kerja dan
sekolah, maupun indoor. Polusi udara outdoor dapat berasal dari asap pabrik, bengkel, pembakaran sisa atau sampah industry, serta gas buang yang berasal dari
knalpot mobil maupun motor. Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi
Universitas Sumatera Utara
21
bahan pencemar biologis virus, bakteri, dan jamur, formaldehid, Volatile Organic Compounds VOC, dan Combustion Products CO, NO2, SO2. Sumber
polutan VOC berasal dari penyemprotan serangga, cat, pembersih, komestik, semprotan rambut hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang
disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan, dan pengencer solvent seperti thinner. Sumber polutan formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan,
insulasi, furniture, dan karpet. Sedangkan sumber polutan Combustion Products biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur.
44
Lingkungan Kerja
Asma merupakan salah satu penyakit akibat kerja yang paling sering pada saluran pernapasan disamping rinitis. Di Indonesia belum ada data pasti tentang penyakit
Asma akibat kerja namun diperkirakan 2 dari seluruh penderita Asma di Indonesia adalah Asma akibat kerja.
45
Ada dua jenis Asma akibat kerja
46
: 1. Irritant-induced Occupational Asthma sebelumnya dikenal sebagai Reactive
Airway Dysfunction Syndrome atau RADS 2. Allergic Occupational Asthma. Ini adalah jenis Asma akibat kerja yang paling
sering terjadi.
Exercise-induced Asthma
Latihan fisik atau exercise yang berlebihan seringkali menimbulkan Asma. Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat.
14
Kegiatan olahraga menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat frekuensi
pernafasaan yang pada gilirannya memicu terjadinya serangan Asma. Lari cepat
Universitas Sumatera Utara
22
paling sering menimbulkan serangan Asma. Serangan Asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah aktivitas tersebut selesai.
44
Meskipun olahraga merupakan salah satu pencetus yang efisien untuk menimbulkan serangan asma,
dalam batas-batas tertentu penderita asma dapat melakukan olahraga tanpa menimbulkan bronkokonstriksi yang membahayakan sewaktu dan sesudah
olahraga. Pada penderita Asma, gerakan olahraga yang dapat meningkatkan kekuatan otot pernafasan sangat penting sebab penderita asma kronis umumnya
mengalami penurunan kekuatan otot pernafasan.
47
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering memengaruhi Asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
Asma.
44
Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga serbuk sari beterbangan.
14
2.7 Pencegahan Asma Bronkial
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah penderita tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan Asma, pencegahan sekunder adalah
mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi Asma, dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi seranganbermanifestasi klinis
Asma pada penderita yang sudah menderita Asma.
7
2.7.1 Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal merupakan periode dilakukannya pencegahan primer penyakit Asma.
7
Universitas Sumatera Utara
23
Periode prenatal
Kehamilan trimester kedua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen antigen presenting cells dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi
alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi.
Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.
7
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan
makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk
dilakukan pada periode ini.
7
Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur, ikan,
kacang-kacangan. Sebagian besar studi mengenai hal tersebut menunjukkan hasil yang inkonklusif tidak dapat ditarik kesimpulan. Dua studi dengan tindak lanjut
yang paling lama menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Tindak lanjut menunjukkan berkurangnya bahkan
hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung
oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko
menimbulkan gangguan tumbuh kembang.
7
Universitas Sumatera Utara
24
Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi masih dibutuhkan studi lanjutan. Beberapa studi
terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan
anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan
dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi pencegahan primer
sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein- protein yang berfusi dengan alergen.
7
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun. Studi
lainnya menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok 4 kali lebih sering mendapatkan
gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi
alergen sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi,
tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya Asma alergi di kemudian hari. Pajanan asap rokok lingkungan baik pada periode prenatal maupun postnatal perokok pasif
memengaruhi timbulnya gangguanpenyakit dengan mengi.
7
Universitas Sumatera Utara
25
2.7.2 Pencegahan sekunder