Ritual tradisi nyadar dan pengaruhnya bagi kehidupan sosial warga desa Pinggir Papas di Madura

(1)

RITUAL TRADISI NYADAR DAN PENGARUHNYA

BAGI KEHIDUPAN SOSIAL WARGA DESA PINGGIRPAPAS

DI MADURA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosiologi (S.Sos)

Oleh :

Hosnor Chotimah

Nim : 19932216485

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2007


(2)

RITUAL TRADISI NYADAR DAN PENGARUHNYA

BAGI KEHIDUPAN SOSIAL WARGA DESA PINGGIRPAPAS

DI MADURA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosiologi (S. Sos)

Oleh :

Hosnor Hotimah

Nim : 9932216485

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Hamid Nasuhi, M.A Drs. Idris Thaha, M.Si

NIP: 150241817 NIP: 150317723

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2007


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Warga

Desa Pinggirpapas di Madura” telah di ujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 Maret 2007.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Sosiologi (S.sos) pada program studi Sosiologi Agama

.

Jakarta, 12 Maret 2007

Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Hj. Hermawati, M.A Dra. Joharatul Jamilah, M.Si

NIP: 150 227 408 NIP: 150 282

401

Anggota

Penguji I Penguji II

Dra. Ida Rasyidah, M.A Prof. Dr. Musrifah Sunanto

NIP: 150 242 267 NIP: 150 062 829

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Hamid Nasuhi, M.A Drs. Idris Thaha, M.Si


(4)

ABSTRAK

Hosnor Chotimah

Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura

Tradisi Nyadar yang terdapat di Desa Pinggirpapas merupakan adat istiadat untuk mengingatkan kembali warga Pinggirpapas khususnya atas jasa-jasa Anggasuto sebagai penemu garam pertama kali di desa ini. Adapun mengenai proses ditemukannya garam oleh Anggasuto banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat setempat. Konon, di Pinggirpapas Anggasuto memulai kehidupannya dan menemukan butiran kristal dari air laut yang dibiarkannya berminggu-minggu. Butiran kristal yang kemudian disebut garam itu kemudian diolah sehingga menjadi sumber penghidupan. Inilah yang kemudian mengawali berdirinya tambak-tambak garam di Pulau Madura.

Waktu pun terus bergulir, tradisi pembuatan garam rakyat terus dilakukan turun-temurun oleh warga Desa Pinggirpapas. Alhasil, ratusan kilogram garam setiap hari diproduksi para petani garam di desa ini. Dengan adanya mata pencaharian ini, warga Pinggirpapas bertambah makmur dan hidup dengan prestise material yang tinggi. Buktinya, haji-haji garam banyak bermunculan dan sarjana-sarjana yang memperoleh biaya pendidikan dari hasil garam lahir setiap tahunnya. Walaupun kini Pinggirpapas telah berubah menjadi sebuah desa yang besar, jasa-jasa Anggasuto yang telah membuka cakrawala kehidupan warga tidak dilupakan. Dan setiap tahun menjelang musim panen, warga Pinggirpapas memperingati jasa Anggasuto dalam sebuah ritual yang disebut Nyadar.

Mengenai pelaksanaannya tradisi Nyadar dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun. Hal ini merujuk pada cerita masyarakat yang berkembang, yakni Anggasuto bernazar apabila talangan yang ia buat berhasil menjadi garam, maka Anggasuto akan mengadakan tasyakuran/ selametan bersama-sama dengan rakyatnya. Begitu juga yang dilakukan oleh adik Anggasuto yang bernama Kuasa. Sedangkan adik perempuan Anggasuto yang bernama Indusari melakukan tasyakuran/ selametan dirumahnya sendiri. Atas ketiga pelaksana nazar inilah, baik Anggasuto, Kuasa, dan Indusari, tradisi Nyadar dilakukan sebanyak tiga kali. Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar pemakaman Anggasuto beserta kerabatnya di Desa Kebundadap. Dan Nyadar ketiga dilakukan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas.

Dengan merujuk pada cerita di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadar sebenarnya adalah tradisi Nazar yang berarti janji berbuat sesuatu jika cita-citanya tercapai. Namun terbentur pada dialek orang Madura pada umumnya, maka pengucapan Nazar berganti menjadi Nyadar. Oleh karena itu tradisi Nyadar tetap dilakukan oleh warga Pinggirpapas selain sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto dan kerabatnya, tradisi Nyadar dilakukan guna menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga dapat memberikan pengaruh atau dampak yang positif bagi warga Pinggirpapas khususnya, baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi dan agama


(5)

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillah dengan mengucap puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang menggenggam alam semesta ini beserta segala isinya, yang telah memberi segala taufik dan hidayah-Nya serta yang telah membukakan segala kemudahan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura”. Shalawat dan salam tak lupa diucapkan kepada jujungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menempuh ujian sarjana strata satu (S-1) Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam hasil penelitian yang tertuang didalamnya. Penulis sangat berharap agar hal ini dapat dimaklumi, karena atas dasar keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari beberapa pihak, karena dengan bantuan mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan fasilitas perkuliahan selama penulis menempuh studi di fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

2. Dra. H. Hermawati. M.A selaku ketua program studi Sosiologi Agama dan Bapak Ismail S.Ag selaku mantan Sekretaris program studi Sosiologi Agama atas bantuan nilainya dan Ibu Joharotul jamilah yang telah memberikan nasehat dan membantu penulis selama perkuliahan, baik dalam mata kuliah, adminitrasi, maupun birokrasi.


(6)

3. Drs. Hamid Nasuhi, M.A dan Drs. Idris Thaha, M.Si selaku pembimbing selama penulis menyelesaikan skrpsi, terima kasih atas kelonggaran waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis, semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan berada dalam lindungan-Nya.

4. Kedua orang tuaku tercinta yaitu Ayah dan Ibuku yang telah memberikan semangat dalam skripsiku sekaligus yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Dan Buhari selaku adik kandungku terima kasih atas bantuan dan supportnya selama ini.

5. Amrul Rahman yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya dalam membantu dan mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Maka dari itu penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih yang mendalam kepadanya. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan supportnya skripsi ini tidak akan cepat selesai. Terima kasih juga dari awal penulisan skripsi hinga selesai Amrul selalu siap sedia mengantarkan penulis ke kampus. Jasa-jasamu tak kan kulupakan.

6. Mbak Jemil yang insyaAllah akan menjadi kakak iparku, he…he… terima kasih ya mbak yang sudah berkenan untuk direpotkan dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Kak Rizal dan Masrawi, walaupun kadang-kadang suka membuat penulis kesal, biar bagaimanapun kalian adalah orang-orang yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian, Mator sa kalangkong…!!!

8. Lulu selaku temanku yang sangat pengertian karena telah meminjamkan komputernya.

9. Ipeh teman seperjuanganku, kita berdua saling mendoakan dan mensupport satu sama lain dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Eva si maniak F4 dan Faris si ibu teladan, yang tidak henti-hentinya selalu mengingatkan agar penulis tidak malas dan cepat-cepat wisuda.

Dan tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dari semua pihak. Harapan penulis semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas bantuannya. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.


(7)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Jenis Kelamin…...25

2. Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Usia………...26

3. Tabel 3 Fasilitas Umum Desa Pinggirpapas………..29

4. Tabel 4 Populasi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan………...30

5. Tabel 5 Sarana Pendidikan di Desa Pinggirpapas………..31


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

………...i

KATA PENGANTAR

………..………..……….ii

DAFTAR TABEL

………...v

DAFTAR ISI

.………..…...

vi

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Masalah………..…1

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah…………...………..….8

C.

Metodologi Penelitian………..………..…...9

D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian……….10

E.

Sistematika Penulisan………. 10

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR

BAGI WARGA DESA PINGGIRPAPAS

A. Pengertian Ritual………..………..…………...13

B.

Pengertian Tradisi………...15

C. Karakteristik Orang Madura Umumnya……..……….17

1. Carok………18

2. Islam dan Ulama……… 19


(9)

BAB III

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA

PINGGIRPAPAS

Letak Geografis……….24

Keadaan Penduduk………... 25

1. Bidang sosial ………26

2. Bidang Pendidikan………30

3. Bidang Ekonomi………...32

4. Bidang Agama………...34

BAB IV ANALISIS TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR

Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar………39

Penetapan Waktu dan Praktik Nyadar………41

C. Struktur Kepemimpinan dalam Tradisi Nyadar...…………..49

D. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar dalam Kehidupan

Masyarakat Pinggirpapas………...51

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan………..………53

B.

Saran……….………...54

DAFTAR PUSTAKA……...………..……..…55

LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Madura sebagai wilayah kepulauan yang terletak di sebelah Timur pulau Jawa,

terbagi atas empat Kabupaten, yakni : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Dengan luas masing-masing sebagai berikut : Bangkalan 1260 km

2

, Sampang 1233 km

2

,

Pamekasan 792 km

2

dan Sumenep 1989 km

2

.

1

Berbeda dari wilayah Jawa pada umumnya yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, sebagian tanah Madura kurang subur/ gersang dan tandus. Kondisi daerah yang demikian memaksa kebanyakan orang Madura pergi merantau ke daerah lain dalam rangka mencari penghidupan yang lebih layak. Namun sesungguhnya Madura bukan daerah yang tidak berpotensi sama sekali. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya garam sebagai salah satu potensi terbesar yang dihasilkan oleh Madura. Berkaitan dengan garam, di Kabupaten Sumenep yang berasal dari kata Songennep, tepatnya di desa Pinggirpapas, terdapat tradisi budaya yang dikenal dengan tradisiNyadar.

Tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas berhubungan erat dengan leluhur mereka, Anggasuto yang dianggap penemu garam pertama dan yang mengislamkan masyarakat Pinggirpapas. Kepeduliannya yang tinggi terhadap orang kecil dan lemah serta kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, menyebabkan dia diangkat sebagai tokoh masyarakat.2

Dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto, maka masyarakat Pinggirpapas mempunyai sumber kehidupan yang layak dalam hal memproduksi garam hingga saat ini. Adapun proses bagaimana ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto, siapakah sebenarnya Anggasuto dan pada tahun

berapakah beliau memulai kehidupannya di Desa Pinggirpapas, hal ini tentunya berkaitan erat dengan sejarah

1

Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhu), (Malang: Bayumedia, 2004), h. 16

2

Budiyono, Tradisi Nyadar bagi Masyarakat Pinggirpapas di Madura, (Jember: Universitas Jember, 1992), h. 1


(11)

awalnya tradisi Nyadar muncul dan kerap dilaksanakan oleh masyarakat Pinggirpapas tiap tahunnya. Oleh karena itu penulis akan membahas hal ini lebih lanjut dalam bab IV.

Di samping Anggasuto yang perlu senantiasa diteladani tokoh-tokoh yang dikultuskan oleh masyarakat Pinggirpapas adalah Embah Kuasa, Embah Dukun, dan Embah Bangsa. Embah Kuasa adalah adik Anggasuto yang diberi kekuasaan untuk mengatur semua aktivitas masyarakat Pinggirpapas, sedangkan Embah Anggasuto sendiri berperan sebagai penasehat atau sesepuh. Dan Embah dukun adalah seorang yang berasal dari Banten berperan sebagai pembantu Anggasuto, sedangkan Embah Bangsa adalah seorang yang berasal dari Sulawesi dan dinikahkan dengan adik perempuan Anggasuto yang bernama Indusari.1

Adapun bentuk pelaksanaan tradisi Nyadar pertama dan yang kedua adalah

ziarah atau nyekar ke makam tokoh yang dikultuskan yakni Anggasuto beserta

kerabatnya di desa Kebundadap, Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Dan tradisi

Nyadar ketiga dilakukan di setiap rumah warga Pinggirpapas, hal ini merujuk kepada

tradisi Nyadar yang dilakukan oleh Indusari (adik Anggasuto) yang melakukan tradisi

Nyadar di rumahnya sendiri. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan sejarah munculnya

tradisi Nyadar yang oleh karena itu penulis akan menguraikannya secara menyeluruh

dalam bab IV.

Walaupun masyarakat Pinggirpapas umumnya beragama Islam, namun dalam

pelaksanaannya tradisi Nyadar masih dipengaruhi oleh praktik-praktik Hinduisme yakni

nilai-nilai kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti halnya membakar kemenyan

sebelum ritual dimulai, membawa sesajen (baik berupa kembang sesaji ataupun makanan

yang khusus dipersiapkan), dan menorehkan bedak di dahi ataupun di telinga. Hal yang

terakhir ini memiliki makna bahwa seseorang telah mengikuti tradisi Nyadar dan ada pula

1 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar (Nadzar), (Sumenep: Depdikbud, 2002), h. 2


(12)

yang mengasumsikan bahwa hal ini dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat pada saat

seseorang melaksanakan tradisi Nyadar. Hal ini tentunya tidak terlepas hubungannya

dengan komponen historis, sebagaimana yang penulis akan uraikan lebih lanjut dalam

bab IV.

Namun masyarakat Pinggirpapas tidak mau dianggap menyekutukan Allah SWT

atau melakukan bid’ah jika mereka melaksanakan ritual tradisi Nyadar tersebut. Karena

mereka menganggap tradisi Nyadar ini merupakan bentuk rasa syukur mendalam mereka

atas karunia Allah SWT yang telah memberikan nadi kehidupan kepada masyarakat

Pinggirpapas atas hasil garam yang ditemukan pertama kali oleh Anggasuto. Dan sebagai

ahli waris Anggasuto, wajib kiranya untuk meneruskan nilai nilai perjuangan beliau yang

terkandung dalam tradisi Nyadar, khususnya dalam pembuatan garam sampai akhirnya

berbuah hasil/ panen garam. Oleh karena itu, walaupun zaman sudah semakin modern,

tidak mudah bagi masyarakat Pinggirpapas untuk menghilangkan tradisi Nyadar yang

secara turun temurun selalu dilaksanakan tiap tahunnya hingga saat ini.

Dan dalam perkembangannya, ada yang beranggapan bahwa ritual tradisi

Nyadar bersifat bid’ah. Dengan kata lain menyimpang dari ajaran Islam yang terkandung

di dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali, ia

menganggap semua macam peringatan adalah bid’ah, seperti peringatan hari ulang tahun

maupun hari wafat seseorang. Karena menurut al-Ghazali menyelenggarakan

peringatan-peringatan itu lebih banyak membawa Mafsadah (keburukan) daripada membawa

Mashlahah (kebaikan).

2

Tetapi lain pula pendapat Muhammad Mustafa al-Maraghi, mantan Rektor

Universitas al-Azhar, melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga


(13)

para sahabatnya bisa menjadi bid’ah dan bisa juga tidak. Misalnya mengadakan

peringatan Maulid Nabi, Hijrah Nabi, dan sebagainya itu dimaksudkan sebagai unsur

ibadah atau unsur agama, maka jelaslah menjadi bid’ah karena merupakan ibadah baru.

Tetapi jika upacara peringatan tersebut dimaksudkan sebagai “tradisi” dan untuk

membangkitkan umat Islam agar suka mengikuti ajaran Nabi dan meneladani akhlaknya

yang mulia; maka mengadakan peringatan Maulid Nabi itu bukan bid’ah, karena tidak

dimaksudkan sebagai agama dan tidak pula untuk menciptakan sesuatu yang baru di

dalam agama.

3

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menilai baik-buruknya,

bid’ah atau tidaknya sesuatu hal itu tergantung kepada perspektif atau sudut pandang

seseorang.

Menurut pendapat saya, dalam hal ini kiranya perlu dibedakan antara kegiatan

upacara keagamaan yang ada kaitannya dengan Islam dan Nabi Muhammad SAW

sebagai pembawa ajaran Islam, seperti peringataan Maulid Nabi; dengan kegiatan

upacara keagamaan yang dikaitkan dengan seseorang bukan Nabi, seperti perayaan

tradisi Nyadar sebagai peringatan syukuran.

Penyelenggaraan upacara keagamaan macam pertama, dapat ditolerir atau

dibenarkan, sebagaimana yang difatwakan oleh Muhammad Mustafa al-Maraghi di atas.

Sedangkan kegiatan upacara keagamaan macam kedua, tidak dapat dibenarkan oleh

Islam, karena bisa menjurus kepada pengkultusan seseorang yang dilarang oleh agama.

Hal ini sesuai dengan Hadits riwayat Abu Dawud yang berbunyi:

ْﻢ ْآﺚْﻴﺣﻰ ﻐﻠْ ْﻢﻜ ﺻنﺎﻓﻰﻠ اْﻮﱡﻠﺻواًﺪْﻴ يرْﻮ ﻗاْﻮﻠ ْﺠ واًرْﻮ ﻗْﻢﻜْﻮﻴ اْﻮﻠ ْﺠ )

داودﻮ ا اور (

Artinya:

3 Zuhdi, Studi Islam, h. 124


(14)

“Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, dan jangan pula kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, berdo’alah (shalawatlah) untukku, karena sesungguhnya do’amu akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”.4

Mempertimbangkan komponen historis dari suatu fenomena sosial pada

dasarnya merupakan upaya untuk menyingkap dimana “tempat berdiri” seseorang atau

sekelompok orang pada masyarakat tertentu dalam kaitannya dengan sejarah. Sejarah

selalu terkait dengan peristiwa masa lalu. Dalam kajian antropologis peristiwa di masa

lalu dikaji bukan semata-mata untuk mengetahui apa yang telah terjadi di masa lalu tetapi

diarahkan untuk memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di masa lalu yang berperan

dalam membentuk wujud dari kenyataan sosial di masa kini.

Oleh karena itu penulis merasa tertarik dengan fenomena tersebut dan mencoba mengangkatnya dalam sebuah skripsi, yakni sebuah tradisi yang secara turun temurun masih dilaksanakan oleh masyarakat Pinggirpapas. Serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Pinggirpapas baik dari segi sosial, ekonomi, maupun budaya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Guna menghindari pembahasan yang melebar sehingga apa yang diharapkan kurang memenuhi sasaran, maka dalam penulisan skripsi ini penulis membatasinya dengan hal-hal yang berkaitan dengan ritual tradisi Nyadar.

Selanjutnya berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan

masalah yang akan penulis tuangkan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.

Bagaimanakah sejarah munculnya tradisi ritual Nyadar ?

2.

Bagaimanakah proses penetapan waktu dan praktik ritual Nyadar?

3.

Bagaimanakah pola struktur kepemimpinan dalam tradisi ritual Nyadar?


(15)

4.

Serta apa sajakah dampak atau pengaruh tradisi Nyadar dalam kehidupan masyarakat

Pinggirpapas?

C. Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian yang dipergunakan untuk mengumpulkan data bagi penulisan skripsi ini ada dua cara sebagai berikut :

1.

Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu membaca dan menelaah buku-buku

yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, seperti buku-buku yang berkaitan

dengan tradisi Nyadar.

2

. Penelitian lapangan

(Field Research), yaitu mengadakan penelitian lapangan terhadap

masyarakat Pinggirpapas khususnya para sesepuh yang biasa memimpin ritual tradisi

Nyadar. Dengan teknik-teknik sebagai berikut :

a. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung untuk mendapatkan

keterangan-keterangan mengenai ritual tradisi Nyadar dan keadaan masyarakat Pinggirpapas .

b.

Wawancara

yaitu mengadakan tanya jawab dengan beberapa orang yang

mengetahui seluk beluk tentang tradisi Nyadar secara keseluruhan, yang terdiri dari

para tokoh pemimpin Nyadar, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Di

antara mereka adalah Embah Kasa selaku Ketua Adat, Bapak Harun Rasyid selaku

tokoh agama dan Bapak Ahmad Rizal selaku tokoh masyarakat. Hal ini dilakukan

untuk memperoleh data yang sifatnya faktual dan akurat. Wawancara dibagi

menjadi beberapa bagian, yakni:

a. Wawancara bebas, inguided interview, dimana pewawancara bebas menanyakan


(16)

akan dikumpulkannya. Dalam pelaksanaannya pewawancara tidak membawa

pedoman mengenai apa yang akan ditanyakan.

b. Wawancara terpimpin, guided interview, yaitu wawancara yang dilakukan

dengan membawa sederet pertanyaan yang lengkap dan terperinci.

c. Wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan

wawancara terpimpin dalam pelaksanaanya pewawancara membawa pedoman

yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.

5

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara (guided

interview) yang berarti penulis menggunakan pedoman wawancara dalam mendapatkan

informasi dan mengumpulkan data secara sistematis, faktual dan akurat.

Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif

dengan metode deskriptif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari si pelaku yang sedang diamati.

Di samping itu teknik pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah mengambil studi

kasus, yaitu bentuk penelitian yang mendalam tentang aspek lingkungan sosial termasuk

manusia didalamnya.

6

Di samping itu, penelitian deskriptif yang penulis gunakan bertujuan

menggambarkan suatu keadaan atau suatu fenomena tertentu berdasarkan data yang

diperoleh. Secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud

membuat semacam penjelasan mengenai situasi-situasi atau kejadian tertentu sehingga

5 Suharsini Arikunto, ProsedurPenelitian: Suatu Pendekatan dan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), h. 145-146

6


(17)

diperoleh deskripsi yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat

populasi atau daerah tertentu.

7

Adapun analisa data merupakan salah satu langkah penting untuk memperoleh

temuan-temuan hasil penelitian. Dalam penelitian, data dianalisa secara kualitatif. Data

yang diperoleh dari hasil observasi partisipasi wawancara dan dokumen tersebut

dideskripsikan dalam bentuk uraian, maksud utama analisa data itu adalah dimengerti,

sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan kepada orang lain.

Pelaksanaan analisanya dilakukan pada saat masih di lapangan dan setelah data

terkumpul. Peneliti menganalisa data-data sepanjang penelitian dan dilakukan secara

terus menerus dari awal sampai akhir penulisan. Data-data tersebut bisa berupa

informasi-informasi dari masyarakat setempat, tokoh masyarakat dan lain sebagainya.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang munculnya tradisi ritual Nyadar dan seberapa jauh pandangan masyarakat Pinggirpapas menganggap pentingnya ritual Nyadar yang selama ini diyakininya.

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar

sarjan di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Ciputat khususnya, dan untuk

menambah khazanah pengetahuan tentang adat istiadat atau kebudayaan dari tanah

kelahiran penulis sendiri.

E. Sistematika Penulisan

7


(18)

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan dengan merujuk pada buku “Pedoman Ushuluddin dan Filsafat yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2005-2006.” Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab.

Penulisan skripsi ini diawali dengan bab I yang berisikan tentang latar belakang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

Sedangkan dalam bab II membahas tentang kajian teori ritual tradisi Nyadar, baik itu dari segi pengertian ritual yang dikutip dari teorinya Kingsley Davis dan Robertson Smith, pengertian tradisi yang mengutip dari buku, diantaranya kamus sosiologi dan kamus antropologi maupun karakteristik orang Madura pada umumnya, yakni: carok (membela harga diri), sangat menghormati ulama, dan percaya terhadap kuburan keramat.

Berbeda halnya dengan bab II yang lebih mengarah pada kajian-kajian teoritis, dalam bab III menjelaskan tentang gambaran umum masyarakat Pinggirpapas, di lihat dari letak geografis dan keadaan masyarakatnya; baik dari bidang sosial, bidang pendidikan, bidang ekonomi ataupun bidang agama.

Adapun isi/ inti pembahasan secara keseluruhan dapat dilihat dalam bab IV, diantaranya menjelaskan tentang sejarah munculnya tradisi Nyadar sebagai perwujudan sikap masyarakat Pinggirpapas atas penemuan garam di tanah leluhur mereka. Hal ini merujuk pada hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa tokoh yang berkepentingan dalam ritual tradisi Nyadar dan masyarakat Pinggirpapas khususnya. Dan pembahasan selanjutnya mengenai Penetapan waktu dan Praktik Nyadar, Dimana waktu pelaksanaan tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid dan ketentuan harinya harus dilaksanakan hari Jumat dan Sabtu. Adapun praktik/ pelaksanaan Nyadar terbagi atas tiga tahapan, yaitu: pelaksanaan Nyadar pertama dan Nyadar kedua dilakukan disekitar pemakaman embah Anggasuto. Dan Nyadar ketiga dilaksanakan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas khususnya. Dan pembahasan selanjutnya mengenai struktur Kepemimpinan ritual tradisi Nyadar. Dimana

pelaksanaan tradisi Nyadar ini dipimpin oleh Embah Kasa selaku Ketua Adat dan beberapa tokoh pelaksana Nyadar lainnya yang akan penulis uraikan dalam bab ini. Dan pembahasan yang terakhir


(19)

adalah berisikan tentang dampak atau pengaruh ritual tradisi Nyadar bagi kehidupan masyarakat Pinggirpapas umumnya, yaitu mempererat ikatan kekerabatan antar warga dan akhirnya warga Pinggirpapas memiliki sumber perekonomian melalui usaha panen/ hasil garam.

Dan tulisan ini diakhiri dengan bab V yang menjelaskan tentang kesimpulan dan saran daripada penulisan kajian skripsi ini. Namun saran penulis tentang ritual tradisi Nyadar ini hendaknya tidak menimbulkan adanya pemikiran-pemikiran yang menjerumuskan kepada perbuatan bid’ah atau menyimpang dari ajaran Islam. Seperti halnya apabila tradisi Nyadar tersebut menimbulkan

kepercayaan terhadap orang yang meninggal (pengkultusan seseorang). Tapi hendaknya tradisi Nyadar hanya dijadikan sebuah adat istiadat sebagai salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.


(20)

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR

Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa ritual tradisi Nyadar selain merupakan bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Pinggirpapas atas panen/ hasil garam yang diperoleh tiap tahunnya, tradisi ini juga bertujuan untuk selalu mengenang jasa-jasa leluhur mereka, Anggasuto yang telah memberikan sumber kehidupan atas penemuan garam pertama kali olehnya.

Dengan demikian masyarakat Pinggirpapas selalu melaksanakan tradisi Nyadar tiap tahunnya sebagai warisan nenek moyang/ leluhur yang patut dilestarikan. Dengan harapan hasil/ panen garam yang diperoleh selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sehubungan dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan beberapa teori yang berkaitan dengan ritual tradisi Nyadar sebagai berikut:

A. Pengertian Ritual

Menurut bahasa, ritual berarti upacara keagamaan.1 Upacara keagamaan di sini adalah upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh umat beragama untuk memperingati hari besar agamanya atau peristiwa bersejarah bagi agamanya, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW oleh umat Islam atau peringatan Natal oleh umat Kristen.9

Sedangkan secara istilah ritual bermakna suatu sistem upacara atau prosedur magis atau religius biasanya dengan bentuk-bentuk khusus kata-kata atau kosa kata khusus yang bersifat rahasia dan biasanya dihubungkan dengan tindakan-tindakan penting.10 Ada juga yang mengartikan ritual sebagai buku resmi yang berisi doa-doa dan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dalam

1 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), h. 488

9 Zuhdi, Studi Islam, h. 121


(21)

perayaan sakramen, penguburan, pengucapan kaaul publik, pemberkatan gereja, dan upacara-upacara keagamaan yang lain.11

Kingsley Davis lebih menekankan ciri-ciri ritual. Menurutnya ciri-ciri ritual adalah segala jenis tingkah laku, seperti memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan formal, bersemedi, menyanyi, menyanyikan lagu gereja, berdoa (bersembahyang), memuji, pesta, berpuasa, menari, berteriak, mencuci, dan membaca.12

Dengan merujuk pada beberapa pengertian ritual di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadar merupakan upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas tiap tahunnya. Berkaitan dengan pernyataan Kingsley Davis sebelumnya, tradisi Nyadar memperlihatkan bentuk ritual yang sifatnya nyekar atau ziarah. Dimana dalam ritual nyekar atau ziarah tersebut mengandung salah satu ciri sebuah upacara keagamaan, yakni berdoa.

Adapun ritual atau upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek di dalamnya, yakni : 1. Tempat upacara keagamaan dilakukan, yakni berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana

upacara dilakukan seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau mesjid dan sebagainya. 2. Saat-saat upacara keagamaan dijalankan, yakni berhubungan dengan saat-saat beribadah, hari-hari

keramat dan suci.

3. Benda-benda dan alat upacara, yakni berhubungan dengan benda-benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci dan sebagainya.

4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara, yakni berhubungan dengan para pelaku upacara keagamaan seperti, para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.13

Upacara keagamaan yang biasa terjadi selalu menghadirkan sesaji atau sesajen sebagai perlengkapan ritual tersebut. Menurut Robertson Smith fungsi dari upacara bersaji adalah di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, juga dianggap sebagai suatu aktivitas mendorong rasa solidaritas

11 Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 67

12 Gerald O’ Collins dan Edward G. Fairuguay, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.92 13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1989), h. 377-378


(22)

dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa di pandang sebagai warga komunitas, walupun sebagai warga yang istimewa.14

Ritual menanamkan sikap ke dalam kesadaran diri yang tinggi, dan melalui hal itu akan memperkuat komunitas moral. Dengan demikian melakukan tradisi keagamaan merupakan tindakan sosial atau tindakan berjamaah di mana kelompok menetapkan kembali hubungannya dengan objek-objek suci dan melalui hubungan ini akan memperkuat solidaritas dan mengukuhkan nilai-nilai sendiri.15

B. Pengertian Tradisi

Istilah tradisi yang telah menjadi bahasa Indonesia, dipahami sebagai sesuatu yang turun temurun dari nenek moyangnya.16 Tradisi dalam kamus Antropologi sama dengan adat istiadat yakni kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial.17 Sedangkan dalam kamus Sosiologi, diartikan sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dapat dipelihara. 18

Tradisi merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah dan kebiasaan-kebiasaan. Tradisi tersebut bukanlah suatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat tradisi maka manusia juga yang dapat menerimanya, menolaknya dan mengubahnya.19

Tradisi juga dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang turun temurun dalam sebuah masyarakat, dengan sifatnya yang luas tradisi bisa meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga tidak mudah

14 Koentjaraningrat, Pengantar Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 68

15 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 76

16 W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h. 1088

17 Ariyono dan Aminuddi Siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1985), h. 4 18 Soekanto, SH., MA., Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 459 19 Van Peursen, Sosiologi Kebudayaan, (Jakarta: Kanisius, 1976) , h. 11


(23)

disisihkan dengan perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa atau mirip, karena tradisi bukan obyek yang mati, melainkan adat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.20

Tradisi dipahami sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang memiliki pijakan sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa tata kemasyarakatan keyakinan dan sebagainya, maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering proses penerusan terjadi tanpa dipertanyakan sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup dimana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan lebih baik diambil alih begitu saja. Memang tidak ada kehidupan manusia tanpa sesuatu tradisi. Bahasa daerah yang dipakai dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang tetapi bila tradisi diambil alih sebagai harga mati tanpa pernah dipertanyakan maka masa kini pun menjadi tertutup dan tanpa garis bentuk yang jelas seakan-akan hubungan dengan masa depan pun menjadi terselubung, tradisi lalu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.21

Dengan merujuk pada beberapa teori tersebut, dapat dikatakan bahwa Nyadar merupakan tradisi, yakni adat istiadat yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Pinggirpapas. Sedangkan secara teknis merujuk kepada tradisi dengan maksud menjaga, menghormati serta memelihara warisan nenek moyang yang sudah ada. Nyadar dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa sosial yang telah menjadi wadah bagi masyarakat Pinggirpapas dan sekitarnya untuk mengekspresikan wujud ungkapan terima kasih dan rasa syukur terhadap segala nikmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa.

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Nyadar bisa diartikan sebagai adat istiadat atau tradisi bagi masyarakat. Untuk itu masyarakat Pinggirpapas selalu melaksanakan ritual tradisi Nyadar tiap tahunnya, karena masyarakat di sini berpendapat bahwa tradisi Nyadar merupakan warisan nenek moyang yang patut dilestarikan.

C. Ciri Khas Orang Madura Umumnya 1. Carok( membela harga diri)

Dalam bukunya yang berjudul “Tantangan Industrialisasi Madura”, Andang Subaharianto mengemukakan bahwa carok adalah membela harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan

20 W.S. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 3


(24)

terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Tindakan carok merupakan

manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang Madura, ango’an poteya tolang etembeng poteyamata, yang artinya “lebih baik putihnya tulang daripada putihnya mata”. Hal ini sama artinya dengan lebih baik mati daripada hidup menanggung malu menjadi referensi dari perbuatan carok.22

Berbeda halnya dengan dasar pembelaan diri tentara Jepang yang di sebut dengan Harakiri (bunuh diri). Menurut cerita, pada saat kota Nagasaki dan Hiroshima di bom secara besar-besaran oleh pasukan Amerika, serdadu Jepang yang sedang menduduki Indonesia yang berada di Pangkalan Bun, ibukota Kobar (Kotawaringin Barat), dengan segera meninggalkan Pangkalan Bun. Dan terdapat satu orang serdadu Jepang yang tertinggal bernama Tei-Cho, menurutnya tidak ada kata lain selain melakukan tindakan Harakiri (bunuh diri) dengan menembakkan mulutnya dengan pistol. Dan hingga sekarang makamnya terdapat di Pangkalan Bun dan dimakamkan secara Islami.23

Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang sudah bersuami tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan simbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau perempuan ditafsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.24

Dasar pembelaan terhadap istri tersebut dikemukakan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron, dalam ungkapan, “Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya (Islam), sekaligus menginjak-injak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan perwujudan dari landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.25

22

Andang Subaharianto, Tantangan Industrialisasi Madura, h. 60

23 “Makam Serdadu Jepang diZiarahi,” artikel diakses pada 11 Agustus 2006 dari http://www.google.com

24

Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.61

25


(25)

Adapun manifestasi daripada carok umumnya banyak dilakukan oleh orang Madura bagian Barat, yakni Bangkalan dan Sampang. Anggapan ini melihat pada kenyataannya bahwa orang Madura bagian Barat umumnya memiliki watak dan temperamen yang lebih keras daripada orang Madura bagian Timur, yakni Pamekasan dan Sumenep. Hal ini dapat dilihat perbandingannya secara jelas dalam gaya pengucapan (dialek) dan tutur bahasanya orang Pamekasan dan Sumenep lebih halus daripada orang Madura bagian Barat yakni Sampang dan Bangkalan. Hal ini lebih disebabkan bahwa segala tindak tanduk orang Madura bagian Timur berkiblat pada budaya Kraton. Seperti penggunaan dialek dan bahasa orang Madura bagian Timur mengenal tingkatan-tingkatan bahasa dari bahasa yang terhalus sampai bahasa yang terkasar sekalipun. Demikian pula pribadi santun dan ramah yang dimiliki oleh orang Madura bagian Timur. Namun di sini sebenarnya penulis tidak ingin membedakan karakteristik orang Madura bagian Barat dan Timur, Akan tetapi penulis merasa hal ini perlu

dilakukan sebagai bentuk upaya untuk meluruskan pandangan orang luar Madura umumnya yang menganggap umumya orang Madura terkesan bahwa satu-satunya persoalan merendahkan harga diri hanya dapat diselesaikan melalui perbuatan carok bukan secara baik-baik.

Oleh karena itu penulis ingin mengagarisbawahi bahwa umumnya yang melakukan tindakan carok di sini adalah orang Madura bagian Barat, yakni Sampang dan Bangkalan dengan merunut pada apa yang telah penulis uraikan sebelumnya. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa prilaku Carok (membela harga diri) itu banyak dilakukan oleh orang Madura bagian barat sebagai bentuk

perwujudan harga dirinya diinjak-injak. Sebagaimana kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang perwira kepolisian kepada istri, teman istrinya dan mertuanya di Bangkalan Madura baru-baru ini. Sebagai akibat dari adanya prilaku perselingkuhan yang dilakukan oleh istrinya dengan teman satu angkatannya di kepolisian juga.26

Sebab-sebab lain yang dapat mengganggu harga diri orang Madura selain masalah kehormatan perempuan adalah masalah tanah dan leluhur, penghinaan terhadap agama dan pelecehan terhadap anggota keluarga apalagi jika hal itu dilakukan di depan umum.

2. Sangat Menghormati Ulama

26 “Perwira Polisi Menembak Mati Istri, Teman Selingkuhnya dan Mertuanya di Bangkala, Madura,” Republika, 26 Februari 2006, h. 11


(26)

Madura dapat dikatakan sebagai daerah berbasis budaya keislamannya sangat tinggi. Citra Madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Menjadi haji, misalnya, merupakan impian setiap orang Madura, dan mereka akan berusaha keras untuk mewujudkannya. Seolah-olah “kesempurnaan hidup” telah dapat dilampauinya jika bisa mengunjungi tanah suci (menurut Islam) untuk

melaksanakan ibadah haji. Hampir setiap rumah orang Madura memiliki bangunan langgar atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang Islam ketika

melaksanakan sholat.

Secara umum, di kalangan umat Islam, ahli-ahli pengetahuan keagamaan Islam disebut ulama. Dalam perspektif lokal, di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ahli-ahli pengetahuan keagamaan Islam tersebut disebut kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya sangat dekat, dan kyai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh seorang kyai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak.27

Dalam masyarakat Madura, kyai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kyai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kyai akan lebih dihormati kalau ia memiliki karisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan dilaksanakan umatnya (orang Madura). Pejabat dan orang kaya, di sini, masih hormat kepada kyai. Setelah kyai, pejabatlah yang dihormati masyarakat Madura. Ia simbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium tangan kyai. Orang kaya dihormati masyarakat kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, ia kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, jabatannya dan baru hartanya.

3. Percaya terhadap Kuburan Keramat

27


(27)

Pada umumnya orang Indonesia percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu maupun lingkungannya. Roh-roh itu dapat diminta tolong dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam membuka lahan baru untuk areal pertanian, mendirikan rumah baru ataupun anak yang akan pergi jauh bersekolah atau merantau, mereka akan mendatangi makam leluhurnya untuk memohon restu dan perlindungan.

Makam dan kuburan keramat mempunyai persamaan, yakni di tempat itu terdapat jenazah yang dikubur. Namun, secara spesifik, di antara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal jenazah siapa yang tertanam di situ. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur adalah anggota keluarga biasa. Meskipun makamnya setiap jumat dikunjungi ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tetapi semasa hidupnya dia tidak memiliki kelebihan di bidang lain yang bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak. Adapun kuburan keramat, arwah (roh) yang bersemayam di situ dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli warisnya, tetapi juga diperlukan untuk melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut

buju’ yang “kesaktiannya” sangat diperlukan bagi kepentingan publik (public function).28

Kepercayaan orang Madura terhadap buju’ cukup tinggi. Hampir di setiap kampung (dusun) terdapat buju’, yang sangat fungsional (sebagai axispowers) untuk menjaga keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat setempat. Mengenai kesaktian buju’ di masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan melalui legenda atau cerita rakyat (folklore). Isi legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh tersebut merupakan

pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal atau pembabat desa, atau dapat pula sebagai orang yang sakti ketika hidup, atau seorang ulama yang menyebarkan agama Islam. Yang jelas, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah yang sembarangan.29

Salah satunya yakni Buju’ Gubang atau Buju’ Anggasuto, kuburan ini terletak di desa

Kebundadap Timur, Kecamatan Saronggi, kabupaten Sumenep. Tempat ini disebut gubang (jurang)

28

Dominikus Rato, Buju’ dan Asta. Persepsi Masyarakat Madura Sumenep Terhadap Kuburan Keramat, (Jember : Universitas Jember, 1992), h.18

29


(28)

karena pada jaman Anggasuto di sini terdapat jurang (lubang besar) yang tidak dapat ditimbuni oleh tanah. Berkat kesaktian Anggasuto, lubang-lubang tersebut dapat di tutup dan dijadikan kuburan. Menurut masyarakat setempat, Anggasuto adalah seorang wali yang mengasingkan diri untuk bertapa. Berkat kesempurnaan ilmunya, ia dianggap memiliki kesaktian yang luar biasa. Namun ia dianggap pula sebagai pembabat desa dan leluhur masyarakat Pinggirpapas serta penemu garam pertama di Madura.30 Oleh karena itu masyarakat Pinggirpapas menghormati beliau dengan melakukan tradisi nyekar dan berdoa bersama, yang terkandung dalam tradisi Nyadar sebagaimana yang telah diungkapkan oleh penulis sebelumnya.

Menurut Bapak H. Mahbub selaku tokoh agama di desa Pinggirpapas, tradisi nyekar dan membaca doa seperti surat Yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih hidup di dunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang dikirimkan itu diyakini akan berdampak positif kepada manusia yang masih di dunia maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang yang masih hidup akan selamat dunia dan akhirat, sedangkan yang sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah dan rahmat Allah SWT. Dikatakan pula oleh beliau berdoa di atas makam lebih berharga (afdol) daripada mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar.31

Menurut jenisnya, kuburan keramat yang terdapat di Madura dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : 1) makam keturunan raja, 2) makam para wali atau tokoh penyebar agama Islam, 3) makam pembabat desa, dan 4) makam orang sakti, termasuk di dalamnya adalah mereka yang ketika hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.32

Dari ketiga karakteristik yang penulis uraikan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa karakteristik orang Madura percaya terhadap kuburan keramat pada umumnya, sesuai dengan kepercayaan masyarakat desa Pinggirpapas yang percaya terhadap kuburan keramat, yakni makam Anggasuto atau yang disebut dengan Buju’ Gubeng.

30

Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 34

31

Wwancara Pribadi dengan Bapak H. Mahbub, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006

32


(29)

BAB III GAMBARAN UMUM

MASYARAKAT DESA PINGGIRPAPAS

Dalam bab ini penulis akan menggambarkan objek kajian penelitian guna memberikan penjelasan awal mengenai objek kajian yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Baik itu berdasarkan letak geografisnya maupun keadaan masyarakatnya.

Setelah penulis mengamati secara langsung kondisi daerah penelitian, yakni Desa Pinggirpapas dapat diketahui bahwasanya desa ini bertipologi pesisir/ pantai. Dengan kondisi daerah yang demikian, masyarakat Pinggirpapas akhirnya memanfaatkan lahan tersebut untuk lahan pertanian garam sekaligus sumber perekonomian mereka. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi adanya ritual tradisi Nyadar di Desa Pinggirpapas ini. Dengan demikian letak geografis Desa Pinggirpapas sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan masyarakat Pinggirpapas, baik itu dari bidang sosial, pendidikan, ekonomi, maupun agama. Oleh karenanya penulis akan menguraikan hal tersebut berikut ini.

A. Letak Geografis

Desa Pinggirpapas adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Sumenep yang tepatnya berada di Kec. Kalianget. Daerah tersebut sangat terik karena terletak di dataran rendah yang sangat gersang. Hanya karena berada di tepi pantai keterikan itu sedikit berkurang sebagai adanya hembusan angin laut. Hal ini disebabkan oleh adanya tipologi daerah yang berbentuk desa pantai/ pesisir.

Secara administratif desa Pinggirpapas dari sebelah Utara berbatasan dengan desa Karang Anyar, dari sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kebundadap Timur dan Kebundadap Barat, dari sebelah Timur juga berbatasan dengan Selat Madura dan dari sebelah Barat berbatasan dengan desa Nambekor. Desa Pinggirpapas mempunyai luas wilayah 58.340 ha, yang terbagi atas tanah kering seluas 16.540 ha dan tanah basah dengan luas 41.800 ha. Jarak desa Pinggirpapas dari kota Sumenep kurang lebih sekitar 10 km. Adapun sumber mata pencaharian utama warga desa Pinggirpapas adalah petani garam dan nelayan. Hal ini sesuai dengan tipologi daerah Pinggirpapas yang dikelilingi laut dan pesisir pantai.


(30)

B. Keadaan Penduduk

Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2005, penduduk desa Pinggirpapas berjumlah 4511 orang ; yang terdiri dari laki-laki 2.128 orang dan perempuan berjumlah 2.383 orang. Jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki karena di pengaruhi oleh pernikahan usia dini dan kebanyakan laki-laki di Pinggirpapas menikah dengan orang daerah Pinggirpapas. Adapun data tersebut akan ditunjukkan pada tabel berikut ini :

Tabel 1

Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan jenis kelamin 2005-2006 N

o.

Jenis Kelamin Jumlah

1. 2.

Laki-laki Perempuan

2128 orang 2383 orang

Jumlah 4511 orang Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapas , tahun 200533

Alasan mengapa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah laki-lakinya, hal ini lebih disebabkan oleh banyaknya pernikahan yang dilakukan para kaum laki-lakinya dengan wanita yang berasal dari desa lain atau luar daerah Madura. Dan menurut adat Madura, apabila seorang laki-laki menikah dengan wanita dari desa lain atau luar daerah Madura, maka pihak laki-laki tersebut harus hidup/ menetap di rumah pihak keluarga perempuannya. Dengan demikian hal ini dapat mengurangi jumlah populasi laki-laki yang ada di desa Pinggirpapas.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Usia 2005-2006

N Usia Jumlah


(31)

O

1 0 − 9 tahun 845 orang

2. 10 − 19 tahun 671 orang

3. 20 − 29 tahun 785 orang

4. 30 − 39 tahun 852 orang

5. 40 − 49 tahun 531 orang

6. 50 − 58 tahun 507 orang

7. >59 tahun 320 orang

Jumlah 4511 Orang

Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapas, tahun 2005 34

Mengenai keadaan penduduk di Desa Pinggirpapas, penulis akan mencoba menguraikannya dari beberapa bidang kehidupan penduduk setempat berikut ini :

1. Bidang Sosial

Dalam bidang sosial tentunya tidak terlepas hubungannya dengan sebuah sistem yang berlaku dalam sebuah masyarakat, salah satunya yakni yang menyangkut sistem kekerabatan. Adapun sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan berbagai variasi, yang menggambarkan bagaimana jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan, kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer, yakni mulai dari keturunan, ikatan perkawinan, sistem pewarisan, sampai sistem religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat. Sistem kekerabatan orang Madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertikal maupun horizontal. Namun, jika dilihat dari sistem pewarisan, terutama yang berupa tanah pekarangan dan rumah, terjadi

ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat Madura adalah

matrilokal genealogis. Hal itu tampak pada pola pemukiman ideal yang berlaku di Madura, yang


(32)

disebut tanean lanjang (berarti ‘‘halaman panjang’’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean lanjang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan di depan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun di bagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk menerima tamu.35 Dalam tingkah laku sehari-hari penduduk Desa Pinggirpapas berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku. Kehidupan kemasyarakatan mereka tidak mengenal secara tegas perbedaan-perbedaan

golongan atau kasta. Dan setiap orang berhak diakui mempunyai hak yang sama. Batas-batas pergaulan antara warga masyarakat yang satu dengan yang lain tidak dikenal oleh warga Desa ini, kecuali pada tokoh masyarakat seperti halnya para Kyai setempat.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka satu sama lain selalu menjaga dan berusaha untuk berbuat baik, dan karena itu pula penulis merasakan bahwa setiap warga desa yang penulis jumpai selalu bersikap ramah, sopan dan suka menerima tamu yang datang padanya. Dalam hidup bermasyarakat pun bila ada masalah, mereka berusaha menyelesaikan dengan cara bermusyawarah. Landasan dalam masyarakat ini adalah cinta kasih. Hal ini tercermin dalam persiapan pelakasanaan tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas. Mulai dari pelaksanaan parembukan (musyawarah) mengenai penetapan waktu pelaksanaan, mengadakan kerjasama dalam mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan seperti menyiapkan kembang sesaji dan nasi tumpeng.

Tampak pula di Desa Pinggirpapas suatu pola hidup yang tentram, tenang dan rukun. Dan begitulah kenyataannya yang penulis temui di sana. Kesan adanya hubungan kerja sama, tolong menolong dan gotong royong masih melekat pada jiwa setiap warga masyarakat. Semua hal yang baik ini dilakukan dalam aktivitasnya. Pegangan utama dalam memelihara hubungan antar individu adalah menunjukan rasa hormat kepada yang lebih tua.

Masyarakat Pinggirpapas saat ini telah mengalami perubahan budaya menuju arah modernisasai. Yang sangat jelas terlihat perubahannya di bidang teknologi informasi dan peralatan hidup sehari-harinya,


(33)

yang biasa memakai alat-alat tradisional diganti dengan alat-alat modern. Misalnya peralatan rumah tangga yang biasanya memasak menggunakan kayu bakar sekarang sudah ada yang menggunakan kompor gas, begitu pula dengan banyaknya masyarakat Pinggirpapas yang telah menggunakan sarana telepon seluler dan media televisi.

Dengan adanya kemajuan teknologi tersebut pada akhirnya membentuk perubahan prilaku sesorang, khususnya di kalangan anak remaja. Mereka meniru segala bentuk prilaku yang diadaptasi melalui televisi yang dilihatnya. Baik dari segi meniru gaya bahasa anak modern (bahasa gaul) maupun tren pakaian yang sedang diminati anak remaja umumnya di sana. Bentuk rumah juga telah mengalami perubahan, yang awalnya mayoritas bangunan rumahnya berbentuk tradisional dan berdinding kayu, saat ini telah banyak masyarakat Pinggirpapas membangun rumahnya dengan bentuk rumah yang berarsitektur modern dan bertembok. Adapun alat transportasi yang dimiliki masyarakat Pinggirpapas mayoritas adalah sepeda motor dan sedikitnya ada pula yang memiliki alat transportasi mobil.

Mengenai fasilitas umum yang terdapat di desa Pinggirpapas dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan bersosialisasi antara warga setempat, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 3

Fasilitas Umum Desa Pinggirpapas N

o.

Fasilitas Umum Jumlah Bangunan

1. Masjid 2 buah

2. Mushollah/Surau 4 buah

3. Puskesmas 1 buah

4. Posyandu 3 buah

Jumlah 10 buah

Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapa, tahun 200536


(34)

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan kiranya bahwa dalam bidang sosial, tradisi Nyadar mengajarkan akan pentingnya bermusyawarah dan saling bekerjasama atau tolong-menolong. Hal ini tercermin dalam acara perembukan (musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan tradisi Nyadar dan saling bekerjasama atau saling tolong menolong dalam mempersiapkan perlengkapan ritual, seperti : kembang sesaji ataupun nasi tumpeng. Oleh karena itu dengan adanya tradisi Nyadar ini dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan hubungan silaturahmi yang tetap terjalin diantara sesama warga Pinggirpapas khususnya.

2. Bidang Pendidikan

Pendidikan secara umum dibagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal meliputi pendidikan yang umum dan resmi yaitu TK, TPA, SD, MI, SLTP, dan SLTA. Pendidikan formal sangat penting di jaman modern saat ini untuk kelangsungan hidup agar tidak menjadi masyarakat yang terbelakang (bodoh). Sedangkan pendidikan non formal yaitu pendidikan yang diperoleh dengan mengikuti kursus-kursus, pengajian atau ceramah di mesjid serta membaca buku-buku pengetahuan. Pendidikan formal meskipun sampai ke jenjang perguruan tinggi tidak menjamin seseorang untuk taat dalam menjalankan ibadah. Pengetahuan tentang agama dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal.

Pendidikan masyarakat desa Pinggirpapas saat ini telah mengalami banyak perubahan di mana anak-anaknya rata-rata lulusan SMA dan sedikitnya tujuh orang telah lulus dari perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 4 Populasi Penduduk berdasarkan tingkat pendidikan N

o

Pendidikan Jumlah

1. Belum sekolah 602 orang


(35)

3. Tamat SMP/sederajat 1598 orang

4. Tamat SMU/sederajat 722 orang

5. S-1 7 orang

Jumlah 4511 orang

Sumber : Laporan Tingkat Perkembangan Desa Pinggirpapas, tahun 200537

Pendidikan umum pada jaman orang tua dahulu sebagian besar hanya sampai ke tingkat Sekolah Dasar (SD) itupun bagi mereka yang mampu untuk sekolah, tetapi bagi mereka yang tidak mempunyai biaya tidak bisa belajar di pendidikan formal. Dalam hal pendidikan agama masyarakat Pinggirpapas pada jaman orang tua dahulu bisa dikatakan pintar karena mereka lebih mengutamakan ilmu agama dengan belajar pada guru ngaji di banding belajar di sekolah formal, itu sebabnya masyarakat Pinggirpapas mengerti betul tentang ilmu agama untuk diajarkan pada anak-anaknya, mereka menanamkan nilai-nilai Islam dan membimbing anak-anaknya agar bisa baca tulis Al-Quran.

Kebiasaan yang selalu menanamkan ilmu pengetahuan agama kepada anak-anak mereka sejak kecil adalah kebiasaan masyarakat Pinggirpapas yang bisa dikategorikan sebagai pendidikan non formal yang telah berjalan secara turun temurun. Jadi dalam hal pendidikan agama lingkungan keluarga sangat dominan sekali dalam pembentukan perilaku keberagamaan masyarakat. Mengenai lembaga pendidikan yang terdapat di desa Pinggirpapas, dapat dilihat dalam tabel berikut ini ;

Tabel 5

Sarana Pendidikan di Desa Pinggirpapas N

o

Lembaga Pendidikan Jumlah

1. SD /sederajat 2

2. SLTP/sederajat −

3. SMU/sederajat −

Jumlah 2

Sumber : Laporan Potensi Desa, tahun 200538

37 Tabel 4 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006 38 Tabel 5 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006


(36)

Dengan melihat daftar tabel yang tertera dalam tabel 4, dapat di simpulkan kiranya tingkat pendidikan masyarakat Pinggirpapas cukup mengalami kemajuan. Hal ini dapat di lihat dari daftar tabel 4 yang menyatakan bahwa jumlah yang berpendidikan setingkat tamat SMP, SMU dan S-1 sebanyak 2327 orang lebih tinggi dari jumlah yang berpendidikan setingkat belum sekolah dan tamat SD sebanyak 2184 orang.

Dari kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak dilandasi iman maka akan goyah, tetapi ada juga dengan ilmu pengetahuan iman seseorang akan menjadi kuat dan lebih mantap dalam menghadapi segala cobaan yang datang dari luar maupun dari dalam, dan bila mempunyai ketahanan agama yang kuat maka ia tidak akan terpengaruh oleh dampak buruk yang datang dari luar.

Adapun hubungannya antara tradisi Nyadar dengan dunia pendidikan terletak pada adnya pesan-pesan moril yang terkandung dalam buku/ kitab peninggalan Anggasuta, yakni Layang Jati Suara yang berisikan tentang ajaran untuk selalu berbuat kebajikan terhadap sesama, dan Layang Jati Sampurnaning Sembah. berisikan tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT dengan menjalankan ibadah shalat. Namun jika dilihat dari segi pendidikan masyarakat Pinggirpapas yang selalu mengikuti tradisi Nyadar, kebanyakan dari mereka adalah para orang tua yang pendidikannya hanya sampai tingkat Sekolah Dasar. Akan tetapi ada juga anak mudanya yang hanya sekedar bertujuan untuk meramaikan acara ritual tradisi Nyadar tersebut.

3. Bidang Ekonomi

Dalam bidang ekonomi penulis membatasi pada masalah mata pencaharian masyarakat Pinggirpapas. Dari hasil pengamatan dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap bidang ekonomi, mata

pencaharian di Desa Pinggirpapas telah ada sedikit perubahan yang terjadi di mana mata pencaharian masyarakat Pinggirpapas yang awalnya sebagian besar sebagai nelayan dan petani garam, hal ini dapat dilihat dari hasil produksi tiap tahunnya dari kedua mata pencaharian tersebut. Hasil produksi dari kinerja para nelayan berupa tangkapan udang sebesar 1 ton tiap tahunnya, ikan mujair sebesar 5 ton tiap tahunnya, ikan bandeng sebesar 16 ton tiap tahunnya, dan 10.000 ton untuk hasil produksi petani garam. Kini berubah dengan banyaknya berdiri pemukiman-pemukiman yang mempengaruhi mata pencaharian mereka..Sekarang banyak yang beralih profesi menjadi pedagang, wiraswasta maupun pegawai negeri.


(37)

Perubahan tersebut diakibatkan pola pikir dan perilaku mereka yang berubah untuk menjadi lebih baik lagi. Berikut ini akan ditunjukkan data mata pencaharian penduduk Desa Pinggirpapas pada tabel 6 :

Tabel 6

Mata Pencaharian Warga Desa Pinggirpapas N

o.

Mata Pencaharian Jumlah

1. Pengusaha Garam 69 orang

2. Petani Garam 898 orang

3. Pedagang 213 orang

4. PNS 32 orang

5. Penjahit 21 orang

6. Montir 8 orang

7. Supir 12 orang

8. Karyawan Swasta 17 orang

9. Buruh Swasta 5 orang

10

Nelayan 740 orang

11

Kontraktor 4 orang

Jumlah 2017 orang

Sumber: Laporan Tingkat Perkembangan Desa Pinggirpapas, tahun 200539

Apabila dibandingkan antara tabel 2 dan tabel 6 di atas, di mana pada tabel 2 dikatakan bahwa jumlah usia produktif sebanyak 2168 orang. Sedangkan pada tabel 6 dikatakan bahwa jumlah populasi menurut mata pencaharian warga setempat sebanyak 2017 orang yang telah bekerja di berbagai profesi dan sisanya sebanyak 151 orang adalah pengangguran. Dari data-data tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa dua mata pencaharian yang banyak digeluti oleh masyarakat Pinggirpapas adalah petani garam dan nelayan. tetapi dari tingkat keberagamaannya masyarakat Pinggirpapas mengalami lemunduran dan


(38)

penurunan. Hal ini disebabkan mereka yang sudah mulai lalai dan meninggalkan perintah-perintah agama karena mereka terlalu sibuk untuk mencari kebutuhan hidup di dunia.

Sehubungan dengan produksi garam sebagai sumber utama masyarakat Pinggirpapas, penghasilan para pengusaha garam khususnya dapat memberi pengaruh pada tingkat pendidikan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi. Bayangkan saja bila para pengusaha garam mendapatkan penghasilan bersih rata-rata sebesar lebih dari Rp. 20.000.000-25.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya, maka bila dikalkulasikan pendapatan tiap bulannya bisa mencapai Rp. 2.000.000-2.500.000. Hasil ini diperoleh dari hasil garam berkualitas bagus. Apabila seorang pengusaha garam mempunyai tambak garam sebanyak 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan 1 ton garam berkualitas bagus dihargai sebesar Rp. 200.000-250.000, maka hasil garam dari 20 petak tambak garam yang ada sebesar Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya. Hasil ini belum dibagikan kepada para petani garam yang bekerja pada pengusaha garam atau dengan kata lain hasil ini merupakan pendapatan kotornya. Umumnya petani garam diberikan bagian sebanyak 1/3 bagian dari total hasil yang diperoleh. Misalkan saja total hasil pendapatan yang diperoleh sebesar Rp. 40.000.000, maka bagian yang diperoleh oleh petani garam sebesar 10.000.000. hal ini belum dibagikan berapa jumlah petani garam yang dipekerjakan oleh pengusaha garam. Apabila pengusaha garam tersebut mempekerjakan petani garam sebanyak 5 orang, maka masing-masing petani garam mendapatkan bagian sebesar Rp.2.000.000. Hal ini belum ditambahkan dengan usaha lainnya yang dilakukan oleh para pengusaha garam dan petani garam apabila telah masuk musim penghujan, yakni usaha dalam tambak perikanan. Baik itu hasilnya berupa ikan bandeng, ikan teri, udang dan lain sebagainya.

4. Bidang Agama

Dalam kenyataannya untuk membuat definisi agama memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan definisi yang diajukan oleh para ahli tersebut sangat ditentukan oleh sudut pandang dari masing-masing agama dan latar belakangnya. Maka kemudian tidaklah mengherankan jika pada akhirnya timbul bermacam-macam rumusan atau pengertian agama. Meskipun demikian tidak lantas rumusan atau pengertian tentang definisi agama itu menjadi tidak perlu, sebab bagaimanapun definisi itu mengandung suatu makna yang menjiwai hidup keagamaan itu sendiri.


(39)

Dalam kamus sosiologi, pengertian agama (religion) mencakup 3 aspek, yakni : Pertama, menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual. Kedua, merupakan seperangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. Ketiga, ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.3

Agama menurut guru besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran, menggambarkan suatu hubungan antara dua pihak dimana pihak yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua. Dengan demikian agama merupakan hubungan antara makhluk dan Khalik-nya, hubungan ini kemudian terwujud dalam satu sikap batinnya serta tampak dalam praktek ibadah/ ritual yang dilakukannya untuk kemudian tercermin pula dalam sikap dan perbuatan dalam kesehariannya.4 Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa agama merupakan seperangkat peraturan atau undang-undang yang dapat mengikat manusia untuk dijadikan pedoman dalam hidupnya. Agama dianut oleh manusia untuk mengatur prikehidupannya di dunia ini agar menjadi teratur dan selaras, sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama sehingga tidak terjadi kekacauan.

Kegiatan keagamaan yang ada di Desa Pinggirpapas terlihat tidak menonjol, yang disebabkan sedikitnya kegiatan keagamaan yang berlangsung di desa ini. Salah satunya adalah Majelis Ta’lim (Pengajian) yang diadakan secara rutin oleh ibu-ibu setiap malam jumat. Pengajian ibu-ibu ini bernama majelis ta’lim “Nurul Jannah” yang beranggotakan sekitar 50 orang. Kegiatan ini dilakukan berguna untuk mempererat tali silaturrahmi dan sebagai sarana interaksi.

Selain kelompok ibu-ibu yang mengadakan pengajian, di desa ini terdapat pula pengajian yang dilakukan oleh kelompok anak-anak di usia sekolah, yakni anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Kegiatan tersebut dilakukan pada waktu setiap ba’da magrib di langgar/ mushollah yang dekat dengan rumah mereka. Kegiatan tersebut bertujuan agar mereka dapat membiasakan diri untuk belajar membaca Al-quran dan menanamkan nilai-nilai agama sejak dini.

Di sini terlihat jelas bahwasannya langgar/ mushollah ataupun masjid sangat berfungsi untuk berlangsungnya kegiatan keagamaan tersebut. Karena masjid atau mushollah selain digunakan untuk

3

Sarjono Soekanto, Kamus sosiologi, ( Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993), h. 430

4

Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Fungsi dan Peran dalam Masyarakat), (Bandung: Mizan, 1997), h. 210


(40)

hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, juga dapat digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dunia. Salah satunya adalah dapat menambah Ukhuwah Islamiyah diantara sesama dengan menghadiri kegiatan-kegiatan pengajian yang dilaksanakan di mesjid maupun di mushollah.

Menurut bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di Desa Pinggirpapas, pengenalan agama sejak dini sangatlah penting peranannya. Hal ini berhubungan erat dengan fungsi agama sebagai pencegah masuknya pengaruh yang tidak baik, khususnya di kalangan anak muda.5

Menurut O’dea, agama berfungsi sebagai kontrol sosial, dimana para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun kelompok. Ajaran agama dianggap sebagai norma sehingga agama berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu atau kelompok. Karena :

1. Agama secara instansi merupakan norma bagi pengikutnya.

2. Agama sebagai dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat propetis (Kenabian).6 Menurut Emile Durkheim, agama mempunyai fungsi positif bagi integrasi masyarakat, baik pada tingkat mikro atau tingkat makro. Menurut Durkheim di dalam memahami fungsi agama banyak peristilahan. Ia mengatakan : ” berbagai peribadatan terlihat memiliki fungsi sosial tertentu, peribadatan itu berfungsi untuk mengatur dan memperkokoh dan mentrasmisikan berbagai sentimen, dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Sebagai tempat bergantung bagi terbentuknya aturan masyarakat yang bersangkutan”.7

Dengan berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa agama memberikan nilai-nilai, hal ini karena kerangka acuannya adalah bersumber pada yang sakral dan absolut dengan adanya sanksi-sanksi yang sakral pula. Ia memiliki kekuatan yang otoritatif dan memaksa, karena di satu sisi manusia berusaha

5

Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Pebruari 2006

6

Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal,(Jakarta : CV. Rajawali, 1987), h.52

7

Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Penterjemah : Machmun Husein, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), h. 65


(41)

untuk mencapai keinginan-keinginan mereka tetapi di sisi lain mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut merupakan standar tingkah laku yang ideal membentuk nilai-nilai sosial.8

8


(42)

BAB IV

ANALISIS TENTANG TRADISI RITUAL NYADAR

Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumya, tradisi ritual Nyadar merupakan adat istiadat masyarakat Pinggirpapas yang kerap dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil/ panen garam juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto beserta kerabatnya.

Adapun hubungannya dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan beberapa hal dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Hal ini dilakukan guna mendapat kajian isi atau bahasan secara menyeluruh hingga di dapatkan hasil analisis yang telah penulis lakukan. Oleh karena itu penulis akan menguraikannya dalam empat pokok pembahasan berikut ini :

A. Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar

Setelah penulis mengadakan penelitian langsung ke lapangan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Bapak Kasa selaku sesepuh dan Ketua Adat di Desa Pinggirpapas, ritual Nyadar itu tidak diketahui pasti tahun berapa mulai dilaksanakannya tetapi yang jelas Nyadar itu adalah tradisi yang sudah turun temurun mulai dari nenek moyang hingga sekarang dan sudah seperti menjadi sebuah kewajiban bagi masyarakat Pinggirpapas untuk melaksanakannya. Namun dari berbagai cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pinggirpapas, dapat dipastikan bahwa sejarah munculnya tradisi Nyadar bertepatan dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto. Pada saat itu Anggasuto

bermunajat atau memohon kepada Allah SWT, agar diberikan petunjuk bagaimana caranya memberikan sumber kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Pada saat itu selain penduduk asli yang tinggal di daerah Pinggirpapas, terdapat pula para pendatang yakni bekas tentara Bali yang diselamatkan oleh Anggasuto sebagai akibat adanya kalah berperang melawan kerajaan Sumenep. Pada saat itu kerajaan Sumenep dipimpin oleh Pangeran Lor dan Pangeran Wetan dari 1562 M-1567 M.1 Dari sini penulis akhirnya mencoba menyimpulkan bahwa munculnya tradisi Nyadar sekitar abad 16. Hal ini bertepatan dengan

1

RB. Ahmad Rifa’ie Agil, Riwayat Singkat Raja-Raja Sumenep dan Peninggalannya, (Sumenep: Oktober 2002), h. 4


(43)

terjadinya peristiwa perang antara kerajaan Bali dan kerajaan Sumenep yang ditandai dengan upaya penyelamatan oleh Anggasuto kepada para tentara Bali yang mengalami kekalahan dari pasukan kerajaan Bali. Dan akhirnya para bekas tentara Bali tersebut mendiami daerah Pinggirpapas dengan bimbingan seorang Anggasuto.

Menurut bapak Suliman selaku salah satu tokoh pelaksana Nyadar, nama desa Pinggirpapas juga mempunyai makna historis. Menurut cerita beliau nama Pinggirpapas diambil dari sejarah tentara bali yang lari terbirit-birit dan hampir jatuh ke pinggir-pinggir atau pesisir pantai. Kata orang Pinggirpapas menyebutnya dengan istilah “la lare ka penggirna ma tagerpas keya”,yang artinya lari terbirit-birit sampai akhirnya jatuh ke pinggir-pinggirnya pantai. sehingga disingkat dengan nama “Pinggirpapas”.2 Mengenai ditemukannya garam oleh Anggasuto, banyak versi yang membahasnya. Konon, Anggasuto menemukan garam pertama kali melalui ilham yang menyuruhnya berjalan-jalan di pesisir pantai sampai kena air sebatas mata kaki. Seperti halnya kondisi pantai dimanapun, pantai Pinggirpapas dipenuhi pasir dan sedikit berlumpur. Sehingga apabila permukaan pasir itu diinjak maka akan dijumpai lubang-lubang bekas injakan kaki itu. Demikian halnya ketika Anggasuto menunaikan perintah bisikan itu, maka tanah pasir pinggir pantai yang ia lewati terlihat lubang-lubang bekas injakan yang berair. Akan tetapi, anehnya setelah beberapa hari ia lihat kembali, di dalam lubang-lubang bekas injakan itu ternyata ada kristal-kristal garam. Maka ia ceritakan kepada keluarganya bahwa ia telah menyaksikan sebuah kristal-kristal garam dari bekas injakan kakinya di pinggir pantai Pinggirpapas. Dari situlah kemudian ia mengajak keluarganya untuk memperluas dan memperlebar bekas injakan itu, yang pada akhirnya menjadi tambak-tambak garam.40

Versi lain menceritakan bahwa pada saat Anggasuto berjalan-jalan di pantai ia menemukan enam buah kotak yang berisi air laut. Keesokan harinya satu kotak itu mengkristal dan berwarna putih. Hari berikutnya kotak yang kedua mengkristal pula diikuti oleh kotak yang ketiga sampai hari yang keenam. Kristal warna putih itu dinamakan buje (garam) oleh Anggasuto. Dari pengalaman tersebut Anggasuto mencoba membuat talangan bersama-sama rakyatnya. Dia (Anggasuto berkata kalu bulan depan air laut dalam talangan itu bisa jadi garam, dia akan melakukan tasyakuran. Percobaan Anggasuto itu ternyata

2

Wawancara Pribadi dengan Bapak Suliman, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, Tanggal 14 Pebruari 2006

40 Aminuddin Kasdi, dkk, Sejarah Pelopor Garam di Sumenep, (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 10-11


(44)

berhyasil dan kemudian diikuti oleh adiknya yang pertama, bernama Kuasa yang juga bernazar kalau bulan depan berikutnya talangan yang ia buat jadi garam, ia akan selamatan bersama-sama dengan seluruh masyarakat. Adik Anggasuto yang perempuan bernama Indusari, istri dari Embah Bangsa, seperti saudaranya ia pun bernazar, kalau garam yang ia buat bulan depan jadi, ia akan melaksanakan nazar di rumah sendiri.41 Merujuk pada uraian ini, maka sebenarnya tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas sama halnya dengan nazar yang mengandung arti janji berbuat sesuatu jika niatnya tercapai. Namun dalam pengucapannya atau dialek bahasa orang Madura, khususnya masyarakat Pinggirpapas menyebut tradisi Nazarberubah menjadi Nyadar. Dengan adanya ketiga peristiwa ini, maka tradisi Nyadar atau Nazar dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh masyarakat

Pinggirpapas hingga sat ini, yakni nazar yang dilakukan oleh Embah anggasuto, Embah Kuasa dan Nyai Indusari (istri Embah Bangsa). Sebagaimana yang telah diceritakan oleh Bapak Mohammad Sadek selaku Kepala Desa Pinggirpapas melalui hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis.42

Namun di balik berbagai cerita tersebut, sesungguhnya terdapat nilai-nilai histories masyarakat Pinggirpapas pada awalnya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perang antara Sumenep dan Bali. Sebagai akibat Raja Bali yang bernama Menakjayengpati tidak mau membayar upeti kepada Sumenep sebelumnya. Pada waktu itu roda pemerintahan Sumenep dikuasai oleh pangeran Lor dan Pangeran Wetan (saudara kembar) yang mengalahkan Bali. Akhirnya bala tentara Bali merasa terdesak oleh kemenangan Sumenep dan mereka melarikan diri ke daerah-daerah terpencil, salah satunya yaitu Pinggirpapas.Di daerah inilah bala tentara Bali bertemu dengan Anggasutoyang melindungi mereka dari kejaran pasukan Sumenep. Hingga pada akhirnya Anggasuto mengislamkan mereka.43

Keberadaan bekas tentara Bali ini semakin menambah populasi jumlah penduduk yang ada di Pinggirpapas. Jumlah penghuni Pinggirpapas yang semakin bertambah membuat Anggasuto berpikir untuk mencari pemecahan bagaimana mereka (penduduk Pinggirpapas) bisa bertahan hidup bila tanpa ada mata pencaharian yang memadai. Penduduk Pinggirpapas yang hidup di pesisir itu hanya

mengandalkan hasil tangkapan ikan (pekerjaan nelayan) yang dipandang masih belum mencukupi.

41 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 11-12

42 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadek, “ kepala Desa Pinggirpapas”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006

43 Iskandar Zulkarnain, dkk, Sejarah Sumenep, (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 73-75


(45)

Anggasuto sebagai seorang yang memiliki kelebihan, terutama dalam ilmu agama termasuk juga memiliki karamah mencoba memohon kepada Allah SWT, untuk dapat diberi jalan keluar terhadap persoalan hidup masyarakat Pinggirpapas.44 Dan akhirnya penemuan garam menjadi petunjuk sebagai tanda awal kemakmuran masyarakat Pinggirpapas sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya. Mengenai siapakah sebenarnya Anggasuto hingga kini masih dalam perdebatan yang panjang untuk menemukan kebenarannya. Namun menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pinggirpapas umumnya dan sesuai dengan literatur yang penulis temukan menyatakan bahwa

Anggasuto sebenarnya adalah Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau melarikan diri ke Madura sesudah ia ditaklukkan oleh Raden Fatah dari Demak. Sebenarnya dikatakan bahwa Brawijaya mengakui bahwa agama yang dibawa oleh Raden Fatah itu merupakan suatu kebenaran, tetapi karena Brawijaya seorang raja, maka ia tidak berani mengakui secara terbuka kebenaran dari agama Islam. Karena ia mengakui ajaran Islam ia menghilang dari kerajaan Majapahit dan hidup sebagai pertapa di Madura dengan nama Syeh Anggasuto. Masyarakat setempat menganggap cerita ini benar sebab dahulu seorang utusan dari kesultanan Yogyakarta mencari sebuah makam yang berundak sebelas. Ternyata dari makam raja-raja yang ada di Indonesia, hanya yang di desa Kebundadap Sumenep ada yang berbentuk demikian. Menurut utusan itu, makam ini merupakan makam Raja Majapahit yang telah menghilan yaitu Brawijaya V.45

Menurut cerita bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di desa ini, ritual Nyadar itu sudah rutin dilaksanakan setiap tahunnya, hanya saja perbedaannya ritual Nyadar pada jaman dahulu dengan ritual Nyadar sekarang terdapat sedikit perbedaan. Karena kurangnya pendidikan masyarakat setempat di jaman dahulu di bidang keagamaan maupun di bidang ilmu pengetahuan, ritual Nyadar pada jaman dahulu dilaksanakan benar-benar hanya memberikan sesajen saja, berbeda dengan sekarang ritual Nyadar dilaksanakan dengan dilengkapi doa-doa khusus dan tujuan-tujuan tertentu.46 Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya penyebaran agama Islam yang bertepatan dengan dimulainya tradisi Nyadar pada abad ke 16. Sehingga tradisi kepercayaan nilai-nilai animisme dan dinamisme (budaya Hinduisme) yang ada sebelumnya, perlahan-lahan mulai diberikan pengaruh nilai-nilai ajaran Islam (adanya proses Islamisasi).

44 Aminuddin Kasdi, Sejarah Pelopo Garam di Sumenep, h. 9-10 45 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 9

46 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006


(1)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ruspandi.

Jenis kelamin : Laki-laki.

Usia : 30 tahun.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Pegawai Harian Lepas (PHL) di Kecamatan.

Alamat : Pinggirpapas.

Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).

Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.

Mengetahui

Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan


(2)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sudirto

Jenis kelamin : Laki-laki.

Usia : 54 tahun.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Nelayan.

Alamat : Pinggirpapas.

Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).

Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.

Mengetahui

Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan


(3)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nesbu Sari.

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 25 tahun.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Petani Garam.

Alamat : Pinggirpapas.

Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).

Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.

Mengetahui

Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan


(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Masrawi.

Jenis kelamin : Laki-laki.

Usia : 25 tahun.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Wiraswasta.

Alamat : Pinggirpapas.

Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).

Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.

Mengetahui

Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan


(5)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rohmah.

Jenis kelamin : Perempuan.

Usia : 25 tahun.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Wiraswasta.

Alamat : Pinggirpapas.

Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).

Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.

Mengetahui

Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan


(6)