Madura dapat dikatakan sebagai daerah berbasis budaya keislamannya sangat tinggi. Citra Madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Menjadi haji, misalnya, merupakan impian setiap
orang Madura, dan mereka akan berusaha keras untuk mewujudkannya. Seolah-olah “kesempurnaan hidup” telah dapat dilampauinya jika bisa mengunjungi tanah suci menurut Islam untuk
melaksanakan ibadah haji. Hampir setiap rumah orang Madura memiliki bangunan langgar atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur halaman
bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang Islam ketika melaksanakan sholat.
Secara umum, di kalangan umat Islam, ahli-ahli pengetahuan keagamaan Islam disebut ulama. Dalam perspektif lokal, di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ahli-
ahli pengetahuan keagamaan Islam tersebut disebut kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya sangat dekat, dan kyai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh
seorang kyai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak.
27
Dalam masyarakat Madura, kyai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kyai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kyai akan lebih dihormati
kalau ia memiliki karisma dan keramat memiliki ilmu gaib karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan dilaksanakan umatnya orang Madura. Pejabat dan orang kaya, di
sini, masih hormat kepada kyai. Setelah kyai, pejabatlah yang dihormati masyarakat Madura. Ia simbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena
kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium tangan kyai. Orang kaya dihormati masyarakat kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu
dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik halal akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, ia kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan
terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, jabatannya dan baru hartanya.
3. Percaya terhadap Kuburan Keramat
27
Andang Subaharianto, Tantangan Industrialisasi Madura, h.52
Pada umumnya orang Indonesia percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu maupun lingkungannya. Roh-roh itu dapat diminta
tolong dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam membuka lahan baru untuk areal pertanian, mendirikan rumah baru ataupun anak yang akan pergi jauh bersekolah atau merantau, mereka akan mendatangi
makam leluhurnya untuk memohon restu dan perlindungan. Makam dan kuburan keramat mempunyai persamaan, yakni di tempat itu terdapat jenazah yang
dikubur. Namun, secara spesifik, di antara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal jenazah siapa yang tertanam di situ. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur adalah anggota keluarga biasa.
Meskipun makamnya setiap jumat dikunjungi ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tetapi semasa hidupnya dia tidak memiliki kelebihan di bidang lain yang bermanfaat bagi hajat hidup orang
banyak. Adapun kuburan keramat, arwah roh yang bersemayam di situ dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli warisnya, tetapi juga
diperlukan untuk melindungi orang banyak warga masyarakat. Kuburan keramat seperti itu disebut buju’
yang “kesaktiannya” sangat diperlukan bagi kepentingan publik public function.
28
Kepercayaan orang Madura terhadap buju’ cukup tinggi. Hampir di setiap kampung dusun terdapat buju’, yang sangat fungsional sebagai axis powers untuk menjaga keseimbangan kehidupan
seluruh warga masyarakat setempat. Mengenai kesaktian buju’ di masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan melalui legenda atau cerita rakyat folklore. Isi
legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh tersebut merupakan pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal atau pembabat desa,
atau dapat pula sebagai orang yang sakti ketika hidup, atau seorang ulama yang menyebarkan agama Islam. Yang jelas, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah yang sembarangan.
29
Salah satunya yakni Buju’ Gubang atau Buju’ Anggasuto, kuburan ini terletak di desa Kebundadap Timur, Kecamatan Saronggi, kabupaten Sumenep. Tempat ini disebut gubang jurang
28
Dominikus Rato, Buju’ dan Asta. Persepsi Masyarakat Madura Sumenep Terhadap Kuburan Keramat, Jember : Universitas Jember, 1992, h.18
29
Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 20
karena pada jaman Anggasuto di sini terdapat jurang lubang besar yang tidak dapat ditimbuni oleh tanah. Berkat kesaktian Anggasuto, lubang-lubang tersebut dapat di tutup dan dijadikan kuburan.
Menurut masyarakat setempat, Anggasuto adalah seorang wali yang mengasingkan diri untuk bertapa. Berkat kesempurnaan ilmunya, ia dianggap memiliki kesaktian yang luar biasa. Namun ia dianggap
pula sebagai pembabat desa dan leluhur masyarakat Pinggirpapas serta penemu garam pertama di Madura.
30
Oleh karena itu masyarakat Pinggirpapas menghormati beliau dengan melakukan tradisi nyekar dan berdoa bersama, yang terkandung dalam tradisi Nyadar sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh penulis sebelumnya. Menurut Bapak H. Mahbub selaku tokoh agama di desa Pinggirpapas, tradisi nyekar dan
membaca doa seperti surat Yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih hidup di dunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang dikirimkan itu
diyakini akan berdampak positif kepada manusia yang masih di dunia maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang yang masih hidup akan selamat dunia dan akhirat, sedangkan
yang sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah dan rahmat Allah SWT. Dikatakan pula oleh beliau berdoa di atas makam lebih berharga afdol daripada
mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar.
31
Menurut jenisnya, kuburan keramat yang terdapat di Madura dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : 1 makam keturunan raja, 2 makam para wali atau tokoh penyebar agama Islam, 3
makam pembabat desa, dan 4 makam orang sakti, termasuk di dalamnya adalah mereka yang ketika hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.
32
Dari ketiga karakteristik yang penulis uraikan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa karakteristik orang Madura percaya terhadap kuburan keramat pada umumnya, sesuai dengan
kepercayaan masyarakat desa Pinggirpapas yang percaya terhadap kuburan keramat, yakni makam Anggasuto atau yang disebut dengan Buju’ Gubeng.
30
Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 34
31
Wwancara Pribadi dengan Bapak H. Mahbub, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006
32
Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.77
BAB III GAMBARAN UMUM