BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, yang kemudian berlanjut dengan krisis kepercayaan, krisis politik, krisis sosial, krisis
budaya, krisis keamanan, dan krisis mental, yang mengakibatkan kondisi negara indonesia sangat memperihatinkan, sehingga tantangan masa depan
bangsa dan negara Republik Indonesia semakin berat dan semakin kompleks pula. Selain daripada krisis tersebut, nampaknya persaingan ekonomi semakin
terbuka dan mengglobal, karena perdagangan antar individu dan antar bangsa semakin bebas pula, seakan-akan tidak ada lagi batas antar negara, yang
ditandai dengan derasnya arus informasi dan komunikasi yang begitu mudah dan cepat dari seluruh dunia, demikian juga dengan letak geografis kepulauan
nusantara kita, yang jumlahnya puluhan ribu pulau, berada pada posisi silang yang diapit oleh dua benua yaitu benua Asia disebelah utara, dengan paham
sosialiskomunis, dan benua Australia di selatan, dengan paham liberalis, serta jumlah penduduk nomor empat terbesar dunia, maka dengan
mencermati kondisi posisi silang tersebut serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas masalah perjanjian perdagangan di indonesia yang akhir-akhir ini
di lihat semakin berkembang, sangat berpotensi disusupi negara lain yang punya kepentingan ipoleksosbudagmil, yang pada gilirannya akan berpotensi
menjadi sumber perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1
Perkembangan ekonomi global, menimbulkan persaingan yang semakin ketat menuntut pelaku usaha melakukan langkah efisiensi dalam
segalalini agar perusahaan dapat tetap dan terus eksis dengan ketat harus menimbulkan produk dan atau jasa layanan terbaiknya. Menghadapi
kompetisi sebagai akibat semakin diminati kerja lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin linear dan responsif sehingga selalu mampu
menyesuaikan dengan perubahan kerja lingkungan bisnis yang karateristiknya serba cepat dan serba tidak pasti.
Sesuai kondisi tersebut agar dunia usaha dapat tetap dan terus eksis, banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan
dengan status hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWT dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain, yang dikenal dengan istilah outsourcing. Praktek hubungan kerja dan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan
atau menyerahkan sebagian pelaksana pekerjaan kepada perusahan lain, sudah lama dikenal di Indonesia. Khusus pelaksana outsourcing telah dikenal
sejak jaman kolonial Belanda sebagaimana tercantum dalam Pasal 1601 b KUH perdata yang mengatur “ Pemborongan pekerja adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu, sipemborong mengikatkan diri unutk menyerahkan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborong
dan menerima suatu harga yang ditetapkan “. Namun sebelum keluarnya Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak ada satupun
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang mengatur tentang
outsourcing. Kalaupun ada yang menyebutkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No : per-02Men1993 tanggal 15 Pebruari 1993 hanyalah mengatur
tentang Kesepakatan Kerja Waktu tertentu, yaitu aspek hubungan kerja dan tanggung jawab renteng.
Secara leterleg kata outsourcing tidak ada diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, akan tetapi karena penyerahan
sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain diartikan sebagai outsourcing, maka Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, yang
menyebutkan bahwa; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan, atau
penyediaan jasa pekerja buruh yang dibuat secara tertulis, dan inilah yang sering diartikan orang dengan istilah outsourcing.
Sehingga untuk menyikapi praktek pelaksanaan PKWT dan outsourcing, maka Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003
dalam beberapa pasal mengatur mengenai PKWT dengan maksud memberi kepastian hukum pekerja dan sebagai acuan untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PKWT dan outsourcing. Memperhatikan banyaknya perusahaan yang menyerahkan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain, dengan status hubungan kerja PKWT, menimbulkan reaksi dari kalangan pekerja yang menuntut agar outsourcing
dihapuskan, padahal di sisi lain perkembangan sektor perdagangan dan industri dapat membantu pemerintah dalam hal mengurangi angka
pengangguran yang semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan
terhadap pelaku bisnis dan tenaga kerja sejalan dengan adanya krisis global yang saat ini sedang melanda dunia juga turut mempengaruhi.
Perlindungan ini perlu dilakukan demi terciptanya situasi yang kondusif ditempat kerja dan hubungan yang serasi, seimbang, selaras antara
pekerja dan pengusaha untuk mencegah perusahaan-perusahaan di indonesia gulung tikar. Oleh karena itu perlu tetap menjaga iklim investasi yang sehat
dan kondusif di Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip hubungan industrial yang bertujuan untuk a menciptakan ketenangan atau ketentraman kerja serta
ketenangan usaha; b meningkatkan produksi; c meningkatkan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu hubungan industrial harus dilaksanakan sesuai asas
tri kemitraanthree-partnership yaitu partnership in responsibility, partnership in production, partnership in profit.
1
1
Mitar Pelawi, Seminar perselisihan perburuhan di Indonesia, Jakarta, 2006
Proses interaksi antara pekerja dengan pengusaha di Indonesia dipengaruhi banyak faktor. Selain kondisi internal perusahaan yang
memainkan peranan sangat penting, kondisi kerja working condition dan budaya di dalam perusahaan corporate culture, juga kondisi eksternal
perusahaan yaitu eksistensi pemerintah dalam memainkan tugas dan fungsinya sebagai regulator yang bertindak membuat perundang-undangan
sebagai alat untuk mengontrol system hubungan industrial baik pada tingkat mikro perusahaan maupun tingkat makro perusahaan, asosiasi serikat pekerja,
dan organisasi pengusaha selaku organisasi yang mempunyai kepentingan untuk memperjuangkan kepentingan dan kelompoknya masing-masing.
Selain keterlibatan pemerintah sudah tentu para pelaku bisnis berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan usahanya dan memperkecil
ongkos produksinya. baik dengan cara mengadakan kejasama dengan perusahaan lain dalam pengadaan barang maupun jasa demi efisiensi
produktifitas perusahaan. Dalam era globalisasi dewasa ini para pelaku bisnis harus
meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing dalam pasar bebas dimana pelaku bisnis dituntut mutu suatu produk yang akan dilepas kepasar global
memenuhi standart internasional atau setidak-tidaknya setara dengan standart nasional. Namun hal ini mungkin akan sulit terwujud, jika kualitas orang-
orang yang bekerja pada perusahaan belum seperti yang diharapkan atau dengan kata lain sumber daya manusianya tidak dapat bersikap profesional
dalam melakukan pekerjaanya. Dalam perkembangan globalisasi dan pasar bebas yang sedang kita
hadapi saat ini, yang menjadi permasalahan bukan saja diukur dari kualitas maupun kwantitas suatu produk, akan tetapi masalah yang menyangkut hak
dan kewajban yang diatur dalam suatu perjanjian apakah itu perjanjian dagang ataupun perjanjian yang menyangkut hubungan kerja.
Saat ini perjanjian di luar KUH Perdata telah berkembang berbagai hal baru, seperti leasing, franchise, dan termasuk perjanjian penyediaan jasa
pekerja. Berdasarkan hukum Ketenagakerjaan, istilah penyediaan jasa pekerja sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalm Pasal 64 Undang-
Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa
perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa
pekerja yang dibuat secara tertulis.
B. Permasalahan