Suatu perjanjian baru dapat diketahui jenisnya, bahkan kadang-kadang dikenal dengan sebutan tertentu, setelah melihat perikatan-perikatan yang
dilahirkan olehnya. Disamping itu, perikatan-perikatan tersebut juga membedakan dari perjanjian lain dari jenis yang sama.
Adapun istilah lain yang sering dipersamakan dengan perjanjian adalah kontrak. Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa inggris,
yaitu contract of law. Hukum kontrak adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.
11
1. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut KUH Perdata:
Adapun pengertian kontrak tidak disebut secara tegas dalam literatur hokum. Kontrak yang dibuat dalam hubungan bisnis memiliki sifat yang tidak
berbeda dengan perjanjian, yaitu ikatan yang memiliki akibat hukum. Oleh karena kontrak merupakan kesepakatan para pihak yang mempunyai
konsekuensi hukum yang mengikat, maka pengertiannya sama dengan perjanjian sekalipun istilah kontrak belum tentu sebuah perjanjian karena
perjanjian tidak eksklusif sebagai istilah suatu perikatan dalam bisnis
B. Syarat Sahnya P
erjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat didalam KUH Perdata dan hukum perjanjian Amerika;
Dalam Pasal 1320 pembuat undang-undang memberikan suatu patokan umum tentang suatu perjanjian itu lahir. Disana ditentukan
11
Lawrence M Friedman, dalam Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 3
perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan oleh orang, agar para pihak dapat secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban bagi mereka atau
pihak ketiga. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan seterusnya, dalam Bab II Bagian Kedua Buku III KUH Perdata.
Karena perjanjian merupakan tindakan hukum, maka tindakan pra pihak menutup perjanjian ditujukan kepada lahirnya akibat hukum yang ada pada
suatu perjanjian semacam yang mereka adakan
12
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Untuk sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal;
Keempat syarat tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan kedalam dua syarat pokok yang menyangkut
subyek pihak yang mengadakan perjanjian syarat subyektif, dan dua syarat pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek
perjanjiaannya syarat objektif. a.
Syarat Subyektif Syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas
dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Dengan kata lain syarat subyektif sahnya suatu perjanjian
ada 2, yaitu:
12
J Satrio, Op.cit, hal 162
1 Kesepakatan bebas kedua belah pihak
Kata sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam pejanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling
berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dengan diperlakukannya kata sepakat untuk
mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.
Kesepakatan merupakan syarat yang pertama sahnya perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka akan sulit menemuai pengertian, atau definisi dari kesepakatan bebas.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum perdata tersebut, secara a contrario, dapat
dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat
dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, maka akan dibahas terlebih dahulu pengertian
kesepakatan, bagaimana kesepakatan dapat terwujud, dan kapan suatu kesepakatan dianggap telah terjadi.
13
Persesuaian kehendak antara dua pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata
daripada manusia. Dengan kata lain adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena
kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain, dan harus dapat di mengerti pihak lain.
Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuansepakatnya, Jika seseorang itu memang menghendaki
apa yang disepakati. Karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak. Dengan
kata lain sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi
dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan bebas diantara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggung
jawaban dari asas konsensualitas.
14
Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh
Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.
13
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 95
14
J Satrio, Op.cit, hal 165
persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang
diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak
menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan
yang di anggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya.
Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau
bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah
benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan
terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak secara timbal balik.
Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui overeenstemende
wilsverklaring antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan penawaran
dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akeptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa
yang dimaksud sepakat dalam pasal 1320 adalah sepakat pada
saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga
menrbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut
15
Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan karena kehendaknya ditujukan kepada timbulnya uatu akibat
hukum tertentu Sesuatu yang dikehendaki.. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak diketahui oleh
pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu
adanya pernyataan kehendak .
Menurut asser rutten, penawaran diartikan sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian, yang ditujukan kepada pihak
lawan janjinya, usul tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.
16
Cara mengutarakan kehendak bisa bermacam-macam, ada lima cara pernyataan kehendak, yaitu: Pertama, bahasa yang
sempurna dan tertulis; Kedua, Bahasa yang sempurna secara . Pernyataan kehendak tersebut
harus merupakan pernyataan, bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.
15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal 97
16
J Satrio, Op.cit, hal 174
lisan; Ketiga, Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; Keempat, Bahasa isyarat asal dapat diterima
oleh pihak lawannya; Kelima, Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan
17
Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mensyarat kan suatu bentuk pernyataan kehendak tertentu, tetapi
memang benar, ada perjanjian-perjanjian tertentu yang mensyaratkan, agar kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk
tertentu. Untuk beberapa tindakan hukum tertentu hukum perdata dalam arti luas mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu
akta bentuk tertulis. Akta tersebut dapat berupa akta bawah tangan maupun bentuk suatu akta otentik Suatu akta yang dibuat
oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti adanya kesepakatan antara para pihak. Tetapi di samping itu, mereka
bebas untuk membuktikannya dengan bukti lain. Suatu akta selain berlaku sebagai alat bukti, akta merupakan syarat konstitutif
untuk adanya perjanjian sebagaimana dimaksudkan oleh undang- undang. Sesuatu yang diisyaratkan oleh undang-undang adalah
penuangan daripada perjanjian itu harus dalam wujud tertentu. Namun hal itu tidak berarti bahwa sebelum dituangkan dalam
bentuk yang disyaratkan undang-undang sama sekali tidak ada .
17
Sudikno mertokusumo, dalam Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan teknik, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 33
perjanjian antara para pihak. Bisa saja ada lahir suatu perjanjian, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh para pihak.
Apabila suatu pernyataan diberikan secara benar, dalam arti pernyataan tersebut sesuai dengan kehendak dan penerimaannya
dilaksanakan dengan benar pula maka terjadilah perjanjian. Namun, adakalanya sepakat tidak tercapai dengan kehendak yang
murni, dan kehendak itu mungkin sengaja diselewengkan kearah lain atau diberikan dalam suasana yang tidak bebas.
Sehubungan dengan syarat kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Cacat dalam
kehendak dapat dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama, tentang kekhilafan dalam perjanjian;
Kelompok yang kedua, tentang paksaan dalam perjanjian; Kelompok ketiga, tentang penipuan dalam perjanjian.
a Tentang kekhilafan dalam perjanjian Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian,
kecuali jika kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang
bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dua hal pokok dan prinsipil, yaitu:
1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan
perjanjian karena kekhilafan, yaitu: Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya Eror in substantia; Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat Eror in pesona.
Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau
penyimpangan, yang dibatasi alasannya. Alasan pertama yaitu eror in substantia, maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu
mengenai sifat dari benda yang merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah pihak untuk mengadakan
perjanjian. Sedangkan dalam alasan kedua yaitu eror in persona, kekhilafan itu mengenai orangnya. Dari kedua alasan
pengecualian tersebut, maka alasan kedua lebih mudah dimengerti daripada alasan pertama.
Dari rumusan yang dikemukakan dalam alasan kedua tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan
dalam pengecualian kedua tersebut adalah subyek dalam perikatan, artinya salah satu pihak dalam perikatan diwajibkan
untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal dan
diakui oleh kitab undang-undang hukum perdata. Tiga macam perikatan yang dimaksud antara lain: memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. b Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1323 membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan
menyatakan bahwa : “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan
suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak
ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.
Ketentuan Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subyek yang melakukan
pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang
yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadp
perjanjian tersebut, dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian
yang dibuat tersebut. Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum,
mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh “orang bayaran” atau “orang
suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau
ancaman tersebut. Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian,
melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis keatas maupun kebawah”.
Subyek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam
perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan maupun
kebawah. Akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, dapat
dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah
dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
Pasal 1324 “Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang
berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya
terancam dengan suatu kerugian yang ternag dan nyata”. Pasal 1326 “Ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu
atau sanak keluarga lain dalam garis ketasa, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk embatalkan perjanjian”.
Dari Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui baha paksaan yang dimaksud dapat
terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan yaitu berupa Pertama Paksaan Fisik dalam pengertian kekerasan.
Kedua Paksaan Psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.
Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yaitu Pasal 1327 yang
menyatakan : “Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat
dituntut lagi, bila paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-
diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan
sebelumnya”.
c Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
terdiri dari dua ayat, berbunyi : “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu
perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata
bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak
dipersangkakan, melainkan harus dibuktkan”.
Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya,
sehingga pihak yang terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus
dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib
membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara tidak benar, dan hal tersebut disengaja
olehnya, yang tanpa adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan
memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut.
2 Kecakapan untuk bertindak
Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun
kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu
perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang
perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan
kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam
hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap
berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang
dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang
cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.
Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan
ke dalam :
18
18
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.cit, hal 127.
a Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.
b Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang
dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah judul
“Pemberian Kuasa”. c
Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
b. Syarat Objektif
Syarat objektif sahnya perjanjian yaitu : 1
Tentang hal tertentu dalam perjanjian Kitab undang-undang hukum perdata menjelaskan maksud hal
tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab undang-undang hukum perdata, yang berbunyi :
“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan
jenisnya” Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu,
asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa
barang yang telah ditentukan jenisnya” terlihat Kitab Undang- Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk
memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan
kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk
tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti
melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.
Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut
haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli
mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda
motor, maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan
sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang
serupa tetapi bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut debitor pastilah
juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu
berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang
penanggung yang menanggung utang seorang debitor, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya,
berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditor, atas
kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitor. Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa :
“penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan
untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan- ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya”.
Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah
penanggungan utang terhadap hak tagih kreditor kepada debitor, dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitor yaitu
untuk membayar hak tagih kreditor manakala debitor cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditor adalah
kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih
dahulu. Dalam perikatan untuk tidak melakuan atau tidak berbuat
sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menegaskan
kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian untuk
merahasiakan sesuatu confidentially agreement misalnya, apa- apa saja yang wajib dirahasiakan oleh debitor misalnya terhadap
hak atas kekayaan intelektual milik kreditor, yang dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah juga
merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus
dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya belum menerbitkan
perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan
untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
2 Tentang sebab yang halal
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan
pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa
yang disebut dengan sebab yang halal yaitu: pertama: Bukan tanpa sebab, kedua: Bukan sebab yang palsu, ketiga: Bukan sebab
yang terlarang Undang-undang tidak memberikan batasan mengenai
makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak
menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga
memang benar bahwa sebab itu adalah terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum
dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang
merupakan unsur esensialia atau yang terkait erat dengan unsur esensialia dalam perjanjian tersebut, yang tanda adanya unsur
esensialia tersebut, tidak mungkin perjanjian tersebut akan dibuat oleh para pihak.
2. Syarat sahnya kontrak menurut hukum kontrak law of contract Amerika
Didalam hukum kontrak law of contact Amerika syarat sahnya kontrak, yaitu :
19
1. Adanya konsiderasi prestasi
a. Offer dan Acceptance penawaran dan penerimaan Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer penawaran
dan acceptance penerimaan. Offer penawaran adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada
masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Sedangkan yang berhak dan berwenang mengajukan penawaran
adalah setiap orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 lima syarat adanya penawaran, yaitu :
2. Sesuai dengan undang-undang
3. Under one of the special rules relating to the revocation of a
unilateral contract 4.
Under doctrine of promissory estoppel, dan 5.
By virtue of a sealed instrument Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak, akan
menghasilkan dua macam kontrak, yaitu : 1.
Kontrak bilateral, dan 2.
Kontrak unilateral Kontrak bilateral, yaitu kontrak yang diadakan antara dua orang,
dalam kontrak itu kedua belah pihak harus memenuhi janjinya.
19
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 35.
Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang membutuhkan tindakan saja, karena berisi satu janji dari satu pihak saja.
b Metting of minds persesuaian kehendak Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat
menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya
kontrak itu dikatakan sah adalah adanya meeting of minds, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak tentang
objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila
kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan fraud, kesalahan mistake, paksaan durress, dan penyalahgunaan keadaan undu
influence maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan.
c. Consideration prestasi,
Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat haruslah didukung dengan konsiderasi concideration.
Menurut sejarahnya, bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. Ini tidak dianggap sebagai unsur penting untuk
membuat kontrak. Dulu semua hak yang dilaksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk pelanggaran masing-masing
kategori pengadilan menyediakan formulir yang dikenal dengan surat perintah writ.
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli. Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi
merupakan motif atau alasan untuk membuat kontrak. Jesse S. Raphael mengartikan konsiderasi adalah penghentian hak sah oleh
satu pihak dengan imbalan janji dari pihak lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak dari yang mendapati janji,
janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang oleh konsiderasi. Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi disamakan
artinya dengan prestasi, yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak
berbuat atau jani dari masing-masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya. Konsiderasi dapat berupa akan
dilaksanakan atau sudah dilaksanakan. d.
Competent parties and legal subject matter kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah.
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subjek hukum untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject
matter yaitu keabsahan dari pokok persoalan. Didalam sistem hukum Amerika, pengadilan membedakan
kemampuan tentang legalitas dari seorang untuk membuat kontrak. Orang yang dapat membuat kontrak harus sudah cukup umur. Masing-
masing negara bagian tidak sama tentang umur kedewasaan. Ada yang menentukan 21 tahun untuk semua jenis kelamin dan ada juga negara
nagian yang menentukan 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita. Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk membuat
kontrak adalah : 1.
Orang dibawah umur, dan 2.
Orang gila
C. Asas-Asas Tentang Perjanjian