11
beraneka ragam pendapat yang berbeda-beda. Sebagai landasan kajian estetika tradisional suku Gayo di Takengon dataran tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah
pada upacara perkawinan “ngerje”, maka tidak berlebihan apabila penulis merujuk pandangan beberapa pakar yang dapat membantu untuk menganalisis masalah
dalam penelitian ini.
2.1. Konsep kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk sosial, yang isinya adalah perangkat-
perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditranmisikan secara historis. Model-
mosel pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh warga masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan
pengetahuan, dan bersikap serta bertindak dalam menghadapi lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan Geerzt dalam Rohidi, 2000 ; 6.
Dalam pengertian tersebut tersirat bahwa kebudayaan; pertama, merupakan pedoman hidup yang berfungsi sebagai blueprint atau desain
menyeluruh bagi kehidupan warga masyarakat pendukungnya; kedua, merupakan sistem simbol, pemberian makna, model kognitif yang ditransmisikan melalui
kode-kode simbolik, dan; ketiga , merupakan strategi adaptif untuk melestarikan dan mengembangkan kehidupan dalam menyiasati lingkungan dan sumber daya di
sekelilingnya.
12
2.2. Upacara Tradisional
Dalam meniti tiap tahap kehidupan manusia, tidak selalu perjalanan itu mulus, kadang-kadang mengalami halangan, bahkan sering kali halangan itu
datang. Hal demikian merupakan hal yang wajar. Sesungguhnya manusia yang hidup dan apa yang dialaminya saat ini merupakan hasil dari kehidupan manusia
masa lalu adat istiadat dan merupakan anugerah Tuhan yang dilimpahkan. Oleh karena itu manusia ingin menghaturkan rasa syukur atas segala karuniaNya
dengan membuat berbagai upacara atau selamatan. Untuk mengantisipasi krisis yang dialami, maka orang Gayo melakukan berbagai selamatan dan upacara
selaras dengan tahapan-tahapan kehidupan, mengadakan upacara kelahiran, turun tanah, sunatan, perkawinan, kematian dan sebagainya dengan maksud agar
mendapat berkah keselamatan dari Yang Maha Kuasa. Disamping itu juga sebagai ucapan terima kasih atas karunia yang dilimpahkanNya
Konsep upacara terutama pada upacara adat tradisional atau upacara keagamaan merupakan suatu upacara yang harus dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya sesuai dengan aturan-aturan adat yang ada dalam masyarakat pendukung adat tersebut. Seperti dikemukakan oleh Merton yang dikutib oleh
David Kaplan dan Albert A. Manners 1999: 80 sebagai berikut: “Upacara mungkin memenuhi fungsi laten itu, yakni memperkokoh
identitas kelompok melalui suatu peristiwa periodik, ketika para warga yang terpencar berhimpun guna melakukan kegiatan kelompok secara
bersama…….. oleh sebab itu, dengan menerapkan konsep fungsi laten secara sistematis tampaknya perilaku irrasional adakalanya ternyata
menyandang fungsi positif bagi kelompok. Dengan konsep fungsi laten ini kita tidak akan terburu-buru menyimpulkan bahwa jika suatu kegiatan
dalam sebuah kelompok tidak berhasil melaksanakan maksud nominalnya, maka kelestarian kegiatan itu hanya dapat dikomentari sebagai “inertia
survival” atau “manipulasi oleh subgrup yang kuat dalam masyarakat”.
13
Secara umum upacara merupakan salah satu unsur dari sistem religi. Unsur dan sistem religi adalah 1 sistem keyakinan, 2 sistem upacara, 3 kelompok
pendukung upacara umat. Sistem keyakinan merupakan substansi jiwa dari suatu upacara, yang merupakan salah satu perwujudan dari gagasan upacara. Sistem
upacara menyangkut tempat, cara, alat upacara, waktu upacara dan perilaku berdasarkan peran dalam upacara. Sedangkan kelompok upacara adalah para
pelaku upacara yang bisa terdiri dari satu orang saja, beberapa orang, keseluruhan warga dusun atau desa, para anggota dari satu atau beberapa klen pendukung
upacara dan seterusnya. Andaikata sistem religi tersebut dikaitkan dengan konsep teater, maka
menjadi cukup beralasan bila upacara dihubungkan dengan pengertian kata “theatron” sebagai asal kata dari konsep “theater” itu. Arti “theatron” adalah satu
tempat ketinggian untuk meletakkan sesajian sebagai persembahan bagi para dewa. Pada zaman Yunani kuno “theatron” merupakan tempat persembahan
semacam meja yang dikelilingi lapangan untuk tempat berkumpulnya pengikut suatu upacara Beawiharta; 1991.
Penulis mencoba mengkaitkan upacara perkawinan ngerje sebagai unsur sistem religi dalam sebuah konsep “theater” atau peristiwa theater dengan rincian
sebagai berikut: 1.
Keyakinan sebagai unsur gagasan yang dikembangkan menjadi satu skenario yang menjadi acuan perilaku atau peran-peran dalam acara atau
peristiwa theater itu. 2.
Upacara itu sendiri membutuhkan pentas, peralatan atau perlengkapan, ketentuan waktu pelaksanaannya dan perilaku.
14
3. Kelompok upacara atau pendukung kegiatan upacara adalah sebagai aktor
dengan berbagai perannya. Skema:
Gambar 1. Skema konsep teater dalam upacara perkawinan Sumber: PUSLITBANG BPP IKJ Jakarta, 1988
Berkenaan dengan pendapat Merton tersebut, maka upacara perkawinan ngerje pada suku Gayo di daerah dataran tinggi Takengon Aceh Tengah memiliki
fungsi yang sangat laten dan positif jika dipandang dari segi hubungan sosial kemasyarakatan dan memperkuat identitas kelompok suku Gayo. Upacara
fungsi upacara “ngerje”
“Theater” upacara perkawinan
Actor
Wakt Penta
Alat Perilak
1. Calon
pengantin 2.
Orang tua 3.
Tokoh masyarakat
4 F
il 1.
Menari 2.
Menabuh alat musik
3. Membaca
doa-doa 4.
Menepung 1.
Alat musik
2. perle
ngkapan perkawinan
3. Wada
Sistem religi Sistem
Kelompok
Sistem upacara
15
perkawinan ngerje suku Gayo bertujuan untuk menyatukan dua insan dan dua kepribadian yang berbeda yang telah mampu secara material dan fisikal dalam
satu ikatan perkawinan untuk menghindari fitnah dan perbuatan dosa serta untuk memperkokoh identitas masyarakat Gayo. Upacara perkawinan ini menyatukan
dua belah klen atau golongan dalam satu ikatan perkawinan sehingga memperbesar dan memperkuat lingkaran persaudaraan. Upacara perkawinan adat
dengan segala uberampenya merupakan simbol-simbol atau perlambangan pesan ajaran kebaikan dalam membina rumah tangga.
Hajatan perkawinan terutama di desa-desa, dahulunya merupakan perwujudan kegotong royongan masyarakat setempat karena merupakan hajat
yang melibatkan hampir seluruh warga desa, terutama kalau yang punya hajat tersebut adalah salah seorang petinggi di daerahnya seperti lurah. Orang yang
melakukan hajatan itu meminjam kekuasaan raja. Maksudnya mengundang sanak saudara, tetangga sedesa didudukkan enak, dijamu makanan dan minuman yang
lezat. Banyak anak-anak muda, laki-laki dan perempuan diminta membantu, diambil tenaganya, disediakan makan dan minum yang enak, hampir semua orang
sedesa diminta bantuannya dan diberi makan, sehingga rasanya seperti raja dihadapan seluruh rakyatnya, semuanya diberi makan. Semua tamu yang datang
berpakaian bagus, membawa sumbangan berupa uang atau kotak kado, hal itu sebenarnya dikonotasikan dengan meminjam kekuasaan dan keluhuran raja.
16
2.3. Estetika