Kandungan Logam Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada Air dan Komunitas Ikan di Daerah Aliran Sungai Percut

(1)

KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN

SUNGAI PERCUT

TESIS

Oleh : RIRI SAFITRI 127030017/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd),

TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT.

Nama Mahasiswa : RIRI SAFITRI Nomor Induk Mahasiswa : 127030017

Program Studi : Pascasarjana Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara.

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Ing. Ternala A.B.M.Sc) (Dr. Erni Jumilawaty, MSi) NIP. 19581016 198703 1 003 NIP. 19700102 199702 2 002

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed) ( Dr. Sutarman, M.Sc ) NIP. 19660209 199003 1 003 NIP. 19631026 199103 1 001


(3)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN

SUNGAI PERCUT

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya di jelaskan

sumbernya dengan benar.

Medan, Agustus 2014

127030017 Riri Safitri


(4)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Kandungan Logam Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada Air dan Komunitas Ikan di Daerah Aliran Sungai Percut” ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Master Biologi pada Program Pascasarjana Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala A Barus dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, dorongan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih M.Si dan Bapak Dr. T.Alief Aththorick. M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian tesis ini. Ketua Program Pascasarjana Biologi Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed. Ketua Departemen Biologi Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc dan seluruh staff pengajar dan pegawai di Program Pascasarjana Biologi. Bapak Dr. Sutarman M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Ungkapan terima kasih yang tak ternilai juga penulis ucapkan kepada suami dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan, dan memberikan harapan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Biologi dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat diucapkan satu persatu.

Dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Untuk kesempurnaan hasil penelitian ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014 Penulis


(5)

ABSTRAK

Penelitian mengenai “Kandungan Logam Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada Air dan Komunitas Ikan di Daerah Aliran Sungai Percut”. Telah dilakukan pada bulan Maret-April 2014 bertujuan untuk mengetahui kandungan logam kadmium (Cd), timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada air dan jaringan tubuh ikan di daerah aliran sungai percut. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah “Purposive Random Sampling” pada 6 (enam) stasiun pengamatan. Dilakukan analisis logam Cd, Pb dan Hg pada air dan jaringan ikan dilakukan dengan metode spectrometer ICP Plasma, Flame dan MVU AAS (Spektrofotometrik Serapan Atom). Dilakukan pengukuran parameter fisik kimia perairan meliputi suhu air, pH air, kecepatan arus, DO, BOD5, COD. Hasil penelitian didapatkan 4 jenis ikan antara lain ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan sapu kaca (Liposarcus pardalis), ikan belanak (Valamugil engeli), ikan baung (Mystus gulio). Logam Cd, Pb dan Hg yang berada pada air sungai DAS Percut belum melebihi batas baku mutu berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001. Logam Cd, Pb dan Hg yang terakumulasi pada tubuh ikan belum melebihi batas baku mutu menurut SNI/7387/2009.


(6)

ABSTRACT

Research about "The Metal Content of Cadmium (Cd), Lead (Pb) and Mercury (Hg) in Water and Fish Communities in Watershed Percut". It has been done in March-April 2014 aims to determine the metal content of cadmium (Cd), lead (Pb) and mercury (Hg) in water and fish tissue in the body Percut watershed. The method used in determining the location of sampling for fish sampling is "Purposive Random Sampling" in 6 (six) observation stations. Metal analysis Cd, Pb and Hg in water and fish tissue was conducted using ICP plasma spectrometer, and MVU Flame AAS (Atomic Absorption spectrophotometric). Measured physical parameters of water chemistry include water temperature, water pH, flow velocity, DO, BOD5, COD. The results showed 4 types of fish include tilapia (Oreochromis niloticus), a fish broom glass (Liposarcus pardalis), mullets (Valamugil Engeli), baung fish (Mystus gulio). Metals Cd, Pb and Hg are located in the watershed of the river water Percut not exceed the quality standard based on the PP. 82, 2001. Metals Cd, Pb and Hg that accumulates in fish body has not exceeded the quality standard according to SNI/7387/2009.


(7)

DAFTAR ISI

PENGHARGAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 3

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Logam Berat ... 5

2.2. Bahan Buangan Anorganik ... 6

2.3. Logam Berat Kadmium ( Cd ) ... 7

2.4. Logam Berat Timbal (Pb) ... 10

2.5. Logam Berat Merkuri (Hg) ... 11

2.6. Karakteristik Ikan ... 12

2.7. Akumulasi Logam dalam Jaringan ... 13

2.8. Pengaruh Toksisitas Logam pada Jaringan Ikan ... 14

BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat... 16

3.2. Metode Penelitian ... 16


(8)

3.4. Pengambilan Sampel ... 18

3.4.1. Sampel Air ... 18

3.4.2. Sampel Ikan ... 18

3.4.3.Identifikasi Sampel Ikan ... 19

3.4.4.Pengambilan Jaringan Tubuh Ikan ... 19

3.5. Pengukuran Logam Berat ... 20

3.5.1 Pengukuran Logam Berat Pada Sampel Ikan ... 20

3.5.2 Pengukuran Logam Berat Pada Air ... 20

3.6 Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan ... 21

3.6.1 Temperatur Air ... 21

3.6.2 Derajat Keasaman (pH) Air ... 21

3.6.3 Kecepatan Arus ... 21

3.6.4 Oksigen Terlarut (DO) ... 21

3.6.5 Biochemical Oxygen Demand (BOD) ... 21

3.6.6 Chemical Oxygen Demand (COD) ... 21

3.7 Analisa Data... 22

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ciri-ciri Morfologi dan Klasifikasi Ikan ... 26

4.2 Kandungan Logam Berat pada Air ... 37

4.3 Kandungan Logam Berat pada Daging Ikan ... 40

4.4 Parameter Fisik Kimia Perairan ... 45

4.5 Sifat Fisika Kimia di Perairan DAS Percut Berdasarkan Metode Storet ... 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 22

3.2 Nilai Baku Mutu Logam Berat Tubuh Ikan 23 Menurut SNI/7387/2009 dan dalam Air Menurut

Standard Baku Mutu Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001

3.3 Baku Mutu Air Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 24 3.4 Pemberian Skor Dalam Penentuan Indeks Storet 25

Alat, Satuan dan Tempat Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

3.1 Pengukuran Morfometrik pada Ikan 19

1a Oreochromis niloticus 27

1b Letak Mulut Superior (keatas) pada

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 27 1c Bentuk Morfologi Ekor Truncate (Bersegi)

Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 27 1d Tipe Sisik Stenoid pada Ikan Nila

(Oreochromis niloticus) 28

1e Oreochromis niloticus Jantan dan Betina 29

2a Liposarcus pardalis 30

2b Letak Mulut Inferior (keatas) pada

Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) 30 2c Bentuk Morfologi Ekor Lunate

Pada Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) 30 2d Bentuk Sisik pada Ikan Sapu Kaca

(Liposarcus pardalis) 31

2e Liposarcus pardalis Jantan dan Betina 32

3a Valamugil engeli 33

3b Letak Mulut Terminal pada

Ikan Belanak (Valamugil engeli) 33 3c Bentuk Morfologi Ekor Emarginate

Pada Ikan Belanak (Valamugil engeli) 33

3d Tipe Sisik Stenoid

Ikan Belanak (Valamugil engeli) 34

4a Mystus gulio 35


(11)

4c Bentuk Morfologi Ekor Forked pada

Ikan Baung (Mystus gulio) 36


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN JUDUL HALAMAN

A Foto Stasiun Penelitian 56

B Peta Lokasi Penelitian 58

C Bagan Kerja Pengukuran DO 59

D Bagan Kerja Pengukuran BOD5 60


(13)

ABSTRAK

Penelitian mengenai “Kandungan Logam Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada Air dan Komunitas Ikan di Daerah Aliran Sungai Percut”. Telah dilakukan pada bulan Maret-April 2014 bertujuan untuk mengetahui kandungan logam kadmium (Cd), timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada air dan jaringan tubuh ikan di daerah aliran sungai percut. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah “Purposive Random Sampling” pada 6 (enam) stasiun pengamatan. Dilakukan analisis logam Cd, Pb dan Hg pada air dan jaringan ikan dilakukan dengan metode spectrometer ICP Plasma, Flame dan MVU AAS (Spektrofotometrik Serapan Atom). Dilakukan pengukuran parameter fisik kimia perairan meliputi suhu air, pH air, kecepatan arus, DO, BOD5, COD. Hasil penelitian didapatkan 4 jenis ikan antara lain ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan sapu kaca (Liposarcus pardalis), ikan belanak (Valamugil engeli), ikan baung (Mystus gulio). Logam Cd, Pb dan Hg yang berada pada air sungai DAS Percut belum melebihi batas baku mutu berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001. Logam Cd, Pb dan Hg yang terakumulasi pada tubuh ikan belum melebihi batas baku mutu menurut SNI/7387/2009.


(14)

ABSTRACT

Research about "The Metal Content of Cadmium (Cd), Lead (Pb) and Mercury (Hg) in Water and Fish Communities in Watershed Percut". It has been done in March-April 2014 aims to determine the metal content of cadmium (Cd), lead (Pb) and mercury (Hg) in water and fish tissue in the body Percut watershed. The method used in determining the location of sampling for fish sampling is "Purposive Random Sampling" in 6 (six) observation stations. Metal analysis Cd, Pb and Hg in water and fish tissue was conducted using ICP plasma spectrometer, and MVU Flame AAS (Atomic Absorption spectrophotometric). Measured physical parameters of water chemistry include water temperature, water pH, flow velocity, DO, BOD5, COD. The results showed 4 types of fish include tilapia (Oreochromis niloticus), a fish broom glass (Liposarcus pardalis), mullets (Valamugil Engeli), baung fish (Mystus gulio). Metals Cd, Pb and Hg are located in the watershed of the river water Percut not exceed the quality standard based on the PP. 82, 2001. Metals Cd, Pb and Hg that accumulates in fish body has not exceeded the quality standard according to SNI/7387/2009.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sungai mempunyai fungsi penting bagi kehidupan manusia termasuk untuk menunjang keseimbangan lingkungan sebagai akibat adanya peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai bidang maka baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempunyai dampak terhadap kerusakan lingkungan termasuk didalamnya pencemaran sungai yang berasal dari limbah domestik maupun non domestik seperti pabrik dan industri. Oleh karena itu pencemaran air sungai dan lingkungan sekitarnya perlu dikendalikan seiring dengan laju pembangunan agar fungsi sungai dapat dipertahankan kelestariannya (Yudo, 2006).

Sungai Percut merupakan sungai yang alirannya melewati kawasan pemukiman kota Medan dan Deli Serdang yang bermuara ke Selat Malaka. Padatnya Masyarakat disekitarnya memanfaatkan sungai Percut untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan aktifitas lainnya dengan aktivitas tersebut menyebabkan masuknya berbagai limbah domestik. Adanya aktivitas industri karet, industri kertas serta polusi dari bahan bakar kendaraan bermotor di sekitar kawasan sungai Percut menyebabkan masuknya berbagai limbah industri ke badan sungai. Berbagai sumber polutan yang ada di kawasan aliran sungai Percut tersebut menjadi penyebab timbulnya pencemaran logam berat kadmium (Cd), timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) di sungai Percut.

Menurut Yudo (2006) Peningkatan kadar logam berat dalam air sungai umumnya disebabkan oleh masuknya limbah industri, pertambangan, pertanian dan domestik yang banyak mengandung logam berat yang semula dibutuhkan


(16)

untuk berbagai proses metabolisme, akan berubah menjadi racun bagi organisme akuatik. Menurut Sa’dah, et al (2010) kegiatan industri karet dapat menyebabkan gangguan lingkungan berupa limbah industri yang mengandung logam berat, termasuk didalamnya kadmium (Cd). Selanjutnya menurut Palar (2008) pabrik pulp (bubur kayu) dan kertas juga merupakan sumber pencemaran merkuri (Hg) terbesar. Pada industri pulp dan kertas ini senyawa merkuri digunakan untuk mengontrol pengapuran dan pertumbuhan jamur pada pulp dan kertas basah. Pada saat pengeringan, merkuri ikut menguap keudara.

Logam kadmium (Cd) akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam tubuh biota perairan jumlah peningkatan (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi kadmium (Cd) yang lebih banyak (Palar, 2008). Keberadaan kadmium di alam berhubungan erat dengan hadirnya logam Pb dan Zn (Darmono 2001). Kadmium (Cd) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini berisiko tinggi terhadap pembuluh darah. Kadmium (Cd) berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal (Palar, 2008).

Timbal (Pb) selain dalam bentuk logam murni juga dapat ditemukan dalam bentuk senyawa inorganik dan organik. Semua bentuk Pb tersebut berpengaruh sama terhadap toksisitas pada manusia. Bentuk organik seperti tetra etil-Pb dan tetra metil-Pb (TEL & TML), menyebabkan pengaruh toksisitas yang sama, tetapi agak berbeda dengan bentuk senyawa inorganik-Pb (Darmono, 2001). Menurut Soemirat (2005) pencemaran Pb bersumber dari kendaraan bermotor yang dibubuhkan kedalam BBM dalam bentuk Tetra Etil Lead (TEL) sebanyak 0,42 mg/l sejak 1990.

Besarnya pencemaran pada suatu lingkungan habitat dapat diketahui dengan menggunakan biota akuatik sebagai bioindikator (Salbiah, et al 2009). ikan


(17)

merupakan biota air yang dapat dijadikan sebagai salah satu bioindikator tingkat pencemaran dalam perairan. Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme air seperti ikan (Supriyanto, et al 2007). Menurut Palar (2008) dalam tubuh ikan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami biomagnifikasi di badan perairan.

Ikan merupakan hewan bertulang belakang yang hidup di air, salah satu habitatnya adalah sungai. Ikan berbahaya dikonsumsi oleh masyarakat, jika didalam tubuh ikan telah terkandung kadar logam berat yang melebihi batas yang telah ditentukan dalam SNI 7389:2009 tentang batas maksimum cemaran logam dalam pangan dengan nilai Timbal (Pb) 0,3 ppm, kadmium (Cd) 0,1 ppm dan merkuri (Hg) 0,5 ppm. Kandungan logam berat dalam tubuh ikan erat kaitannya dengan pembuangan limbah industri di sekitar tempat hidup ikan tersebut, seperti sungai, danau, dan laut. Banyaknya logam berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan tergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi polutan, aktivitas mikroorganisme, tekstur sadimen, serta jenis dan unsur ikan yang hidup di lingkungan tersebut (Supriyanto, et al 2007).

1.2 Permasalahan

Berbagai sumber polutan yang ada di kawasan sungai Percut tersebut menjadi penyebab timbulnya pencemaran logam berat kadmium (Cd), timbal (Pb) dan merkuri (Hg) di sungai Percut. Dalam tubuh ikan jumla akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dalam rantai makanan dan biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi Cd, Pb dan Hg yang lebih banyak. Sampai saat ini informasi mengenai kandungan logam kadmium (Cd), timbal (Pb) dan merkuri (Hg) pada air dan komunitas ikan di daerah aliran Sungai Percut belum pernah didapatkan sehingga perlu dilakukan penelitian.


(18)

1.3Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan logam kadmium (Cd), timbal (Pb) dan merkuri (Hg) pada air dan jaringan tubuh ikan di daerah aliran sungai Percut

1.4Manfaat

a. Untuk memberikan informasi konsentrasi logam berat pada ikan

b. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang kualitas air di daerah aliran sungai Percut

c. Sebagai bahan rujukan untuk peneliti selanjutnya, serta pemerintah terkait dan masyarakat disekitar daerah aliran sungai Percut.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Logam Berat

Pencemaran logam berat seperti besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Kadmium (Cd), Cromium (Cr), Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Nikel (Ni) dan Raksa (Hg), berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, dimana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, Ni dan sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, dan dimana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Apabila kepekatan logam-logam ini tinggi dari biasa, logam-logam ini akan menjadi suatu ancaman bagi kesehatan manusia jika memasuki rantai makanan. Oleh karena itu pemantauan kadar logam berat dalam air sungai sangat perlu dilakukan (Yudo, 2006).

Sungai sangat bermanfaat bagi manusia, dan tidak kalah pentingnya bagi biota air. Disamping itu sungai merupakan suatu media yang rentan terhadap pencemaran. Hal ini disebabkan karena daerah aliran sungai merupakan tempat buangan akhir limbah cair, oleh karena itu sangat rentan terhadap pencemaran dan mengakibat kualitas air sungai tidak sesuai dengan peruntukannya. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yaitu sulit didegradasi, sehingga mudah


(20)

terakuimuiasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai, dapat terakumulasi dalam organism termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut (Anggraini, 2007).

Logam berat umumnya bersifat racun terhadap mahkluk hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Berbagai perantara, seperti udara, makanan maupun air yang terkontaminasi oleh logam berat, logam tersebut dapat terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan. Jika keadaan ini. Berlangsung terus menerus, dalam jangka waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia (Supriyanto, et al

2007). Konsentrasi logam berat paling tinggi berada di dalam daging ikan daripada konsentrasi di dalam insang ikan. Hal ini terjadi karena insang merupakan alat pertukaran gas pada organisme akuatik sehingga lebih sering tercuci air (Agustina, 2011).

2.2 Bahan Buangan Anorganik

Bahan buangan anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan bahan buangan anorganik ini masuk ke air lingkungan maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam di dalam air. Bahan buangan anorganik biasanya berasal dari industri yang melibatkan penggunaan unsur-unsur logam seperti timbale (Pb), Arsen (As), Kadmium (Cd), Air raksa (Hg), Kroom (Cr), Nikel (Ni), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Kobalt (Co) dan lain-lain. Industri elektronika, elektroplating dan industri kimia banyak menggunakan unsur-unsur logam tersebut di atas. Apabila bahan buangan industri berupa bahan anorganik yang dapat larut maka air akan mendapatkan tambahan ion-ion logam yang berasal dari bahan anorganik tersebut. Banyak bahan anorganik yang memberikan ion-ion logam berat yang pada umumnya bersifat racun seperti logam Pb dan Cd. Selanjutnya apabila ion-ion logam yang terjadi didalam air berasal dari logam berat maupun logam bersifat racun maka air yang mengandung ion-ion logam


(21)

tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Air tersebut tidak dapat digunakan sebagai air minum (Wardana, 1995).

2.3 Logam Berat Kadmium (Cd)

1. Sifat dan Karakteristik Kadmium (Cd)

Kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila dipanaskan. Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd Klorida) atau belerang (Cd Sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4, titik leleh 321 0C, titik didih 7670C dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3 (Widowati et al, 2008).

Logam kadmium (Cd) memiliki karakteristik berwarna putih keperakan seperti logam aluminium, tahan panas, tahan terhadap korosi. kadmium (Cd) digunakan untuk elektrolisis, bahan pigmen untuk industri cat, enamel dan plastik. Kadmium (Cd) adalah metal berbentuk kristal putih keperakan. Cd didapat bersama-sama Zn, Cu, Pb, dalam jumlah yang kecil. Kadmium (Cd) didapat pada industri alloy, pemurnian Zn, pestisida, dan lain-lain (Said, 2008). Logam kadmium (Cd) mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam. Berdasarkan sifat-sifat fisiknya, kadmium (Cd) merupakan logam yang lunak ductile, berwarna putih seperti putih perak. Logam ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab serta cepat akan mengalami kerusakan bila dikenai uap amoniak (NH3) dan sulfur hidroksida (SO2). Berdasarkan pada sifat kimianya, logam kadmium (Cd) didalam persenyawaan yang dibentuknya umumnya mempunyai bilangan valensi 2+, sangat sedikit yang mempunyai bilangan valensi 1+. Bila dimasukkan ke dalam larutan yang mengandung ion OH, ion-ion Cd2+ akan mengalami proses pengendapan. Endapan yang terbentuk dari ion-ion Cd2+ dalam larutan OH biasanya dalam bentuk senyawa terhidrasi yang berwarna putih (Palar, 2004).


(22)

Menurut Darmono (2001) Keberadaan kadmium di alam berhubung erat dengan hadirnya logam timbal (Pb) dan seng (Zn). Dalam industri pertambangan timbal (Pb) dan seng (Zn), proses pemurniannya akan selalu memperoleh hasil samping cadmium yang terbuang dalam lingkungan. Kadmium masuk ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Mengukur Kadmium intake ke dalam tubuh manusia perlu dilakukan pengukuran kadar Cd dalam makanan yang dimakan atau kandungan Cd dalam Faeses.

2. Bioakumulasi Kadmium (Cd)

Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh (Darmono, 2001).

4. Dampak Cd terhadap Kesehatan Masyarakat

Kadmium (Cd) dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan terutama terikat sebagai metalotionein mengandung unsur sistein, dimana Kadmium (Cd) terikat dalam gugus sufhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil dari protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium (Cd) disebabkan oleh interaksi antara kadmium (Cd) dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh (Darmono, 2001).

Gejala akut dan kronis akibat keracunan kadmium (Cd) yaitu (Sudarmaji, et al 2006):

a. Gejala akut : 1) Sesak dada.

2) Kerongkongan kering dan dada terasa sesak (constriction of chest). 3) Nafas pendek.

4) Nafas terengah-engah, distress dan bisa berkembang kearah penyakit radang paru -paru.


(23)

5) Sakit kepala dan menggigil. 6) Mungkin dapat diikuti kematian. b. Gejala kronis:

1) Nafas pendek.

2) Kemampuan mencium bau menurun. 3) Berat badan menurun.

4) Gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan.

Menurut Palar (2004), efek kronis akibat toksisitas kadmium (Cd) pada manusia dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu :

a) Efek kadmium (Cd) terhadap ginjal

Logam kadmium (Cd) dapat menimbulkan gangguan dan bahkan mampu menimbulkan kerusakan pada sistem yang bekerja di ginjal. Kerusakan yang terjadi pada sistem ginjal dapat dideteksi dari tingkat jumlah atau jumlah kandungan protein yang terdapat dalam urine. Petunjuk kerusakan yang dapat terjadi pada ginjal akibat logam kadmium (Cd) yaitu terjadinya asam amniouria dan glokosuria, dan ketidaknormalan kandungan asam urat kalsium dan fosfor dalam urine.

b) Efek kadmium (Cd) terhadap paru

Keracunan yang disebabkan oleh peristiwa terhirupnya uap dan atau debu kadmium (Cd) juga mengakibatkan kerusakan terhadap organ respirasi paru-paru. Kerusakan paru-paru tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari keracunan kronis yang disebabkan oleh kadmium (Cd).

c) Efek kadmium (Cd) terhadap tulang

Efek keracunan kadmium (Cd) juga dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Gejala rasa sakit pada tulang sehingga menyulitkan untuk berjalan. Terjadi pada pekerja yang bekerja pada industri yang menggunakan kadmium (Cd). Penyakit tersebut dinamakan “itai-itai”


(24)

d) Efek kadmium (Cd) terhadap sistem reproduksi

Daya racun yang dimiliki oleh kadmium (Cd) juga mempengaruhi sistem reproduksi dan organ-organya. Pada konsentrasi tertentu kadmium (Cd) dapat mematikan sel-sel sperma pada laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa akibat terpapar oleh uap logam kadmium (Cd) dapat mengakibatkan impotensi.

2.4 Logam Berat Timbal (Pb)

1. Sifat dan Karakteristik Timbal (Pb)

Selain dalam bentuk logam murni, timbal dapat ditemukan dalam bentuk senyawa inorganik dan organik. Semua bentuk timbal (Pb) tersebut berpengaruh sama terhadap toksisitas pada manusia. Bentuk organik seperti tetra etil-Pb dan tetra metil-Pb (TEL&TML), menyebabkan pengaruh toksisitas yang sama, tetapi agak berbeda dengan bentuk senyawa inorganic-Pb (Darmono, 2001).

Walaupun pengaruh toksisitas akut agak jarang dijumpai, tetapi pengaruh toksisitas kronis paling sering ditemukan. Pengaruh toksisitas kronis ini sering dijumpai pada pekerja di pertambangan dan pabrik pemurnian logam, pabrik mobil (proses pengecatan ), penyimpanan bateri, percetakan, pelapisan logam dan pengecatan sistem semprot (Darmono, 2001)

2. Mekanisme

Timbal adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksisitasnya dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya yaitu sebagai berikut.

a. Sistem hemopoietik Pb menghambat sistem pembentukan hemoglobin sehingga menyebabkan anemia

b. Sistem saraf pusat dan tepi dapat menyebabkan gangguan ensefalopati dan gejala gangguan saraf perifer

c. Sistem ganjil dapat menyebabkan gaminoasiduria, fosfaturia, glukosuria, nefropati, fibrosis, dan atrofi glomerular.


(25)

e. sistem kardiovaskuler; menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler pembulu darah.

f. Sistem produksi; dapat menyebabkan kematian janin waktu melahirkan pada wanita serta hipospermi dan teratospermia pada pria

g. Sistem indokrin; mengakibatkan gangguan fungsi tiroid dan fungsi adrenal (Darmono, 2001).

2.5 Logam Berat Merkuri (Hg)

1. Sifat dan Karakteristik Merkuri (Hg)

Logam merkuri atau air raksa, mempunyai nama kimia hy-dragyrum yang berarti perak cair. Logam merkuri dilambangkan dengan Hg. Pada tabel priodika unsur-unsur kimia menempati urutan (NA) 80 dan mempunyai bobot atom (BA 200,59), Merkuri telah dikenal manusia sejak manusia mengenal peradaban. Logam ini dihasilkan dari bijih sinabar, HgS, yang mengandung unsure merkuri an-tara 0,1%-4% (Palar, 2008).

Ada tiga bentuk merkuri yang toksik terhadap manusia yaitu merkuri elemen (merkuri murni ), bentuk garam inorganik dan bentuk organik. Bentuk garam inorganik dan Hg dapat membentuk merkuri ( Hg2+) dan bentuk merkuro (Hg+ ), dimana bentuk garam merkuri lebih toksik dari pada merkuro. Bentuk organik Hg seperti aril, alkil, dan alkoksi alkil, sangat beracun diantara bentuk garam lainnya (Darmono, 2001).

Menurut Palar (2008) secara umum logam merkuri memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Berujud cair pada suhu kamar (25 0C) dengan titik beku paling rendah sekitar-390C.

2. Masih berujud cair pada suhu 396 0C pada temperatur 396 0C ini telah terjadi pemuaian secara menyeluruh

3. Merupakan logam yang paling mudah menguap jika dibandingkan dengan logam-logam yang lain.


(26)

4. Tahanan listrik yang dimiliki sangat rendah, sehingga menempatkan merkuri sebagai logam yang sangat baik untuk menghantarkan daya listrik. 5. Dapat melarutkan bermacam-macam logam untuk membentuk alloy yang

disebut juga dengan amalgam.

6. Merupakan unsur yang sangat beracun bagi semua makhluk hidup, baik itu dalam bentuk unsur tunggal (logam) ataupun dalam bentuk persenyawaan.

2. Penggandaan Merkuri Dalam Rantai Makanan

Masuknya merkuri ke dalam tubuh organisme hidup, terutama melalui makanan yang dimakannya, karena hampir 90% dari bahan beracun ataupun logam berat (merkuri) masuk ke dalam tubuh melalui bahan makanan. Sisanya akan masuk secara difusi atau perembesan lewat jaringan dan melalui peristiwa pernafasan. Melalui jalur makanan, logam merkuri masuk melalui dua cara, yaitu lewat air (minuman) dan tanaman (bahan makanan). Jumlah merkuri yang masuk lewat minuman bisa menjadi sangat tinggi. Jumlah tersebut bisa berlipat kali dibandingkan jumlah merkuri yang masuk melalui tanaman. Hal ini dapat terjadi disebabkan logam merkuri dalam air bisa jadi telah mengalami pelipatgandaan dari jumlah awal yang masuk. Pelipatgandaan merkuri dalam air berawal dari proses bacterial terhadap ion logam atau merkuri yang terdapat dalam atau pengendapan pada lumpur di dasar peraiaran. Proses bacterial ini bisa terjadi disemua bahan perairan (sungai ataupun danau) yang telah kemasukan senyawa merkuri. (Palar, 2008).

2.6 Karakteristik Ikan

Ikan merupakan vertebrata akuatik dan bernapas dengan insang, beberapa jenis ikan bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang (gelembung udara). Ikan merupakan organisme yang mempunyai kemampuan bergerak sehingga tidak tergantung pada arus yang kuat atau genangan air yang disebabkan oleh angin, mereka dapat bergerak di dalam air menurut kemauannya sendiri (Nybakken, 1994).


(27)

Ikan merupakan jasad multiseluler, sel-sel menyusun jaringan-jaringan dan selanjutnya membentuk kelompok kerja yang kompleks dan dengan strukutur spesifik yang dikenal sebagai organ. Organ-organ tersebut memiliki spesifikasi dan menjalankan fungsi-fungsi seperti otak, otot, perut, hati, jantung dan ginjal. Selain organ-organ yang serupa dengan hewan pada umumnya, beberapa orang memiliki fungsi yang sama misalnya insang yang berperan dalam pernafasan, dijumpai pula organ spesifik yang tidak ada pada hewan yang hidup di darat yaitu gelembung renang (odum, 1994).

Penyebaran ikan di perairan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: faktor biotik, faktor abiotik, faktor teknologi , dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dan faktor abiotik yang mencakup faktor fisik dan kimia yaitu cahaya, suhu, arus, garam-garam mineral, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Sedangkan faktor teknologi dan kegiatan manusia berupa hasil teknologi dan kegiatan – kegiatan lain baik yang sifatnya memperburuk lingkungan seperti pabrik yang membuang limbahnya ke perairan maupun yang memperbaiki lingkungan seperti pelestarian daerah pesisir (Rifai et al,.1984).

2.7 Akumulasi Logam dalam Jaringan

Proses akumulasi logam dalam jaringan terjadi setelah absorpsi logam dari air atau melalui pakan yang terkontaminasi. Seperti pada hewan darat logam biasanya dibawah oleh sistem darah dan kemudian didistribuikan ke dalam jaringan. Tujuan utama untuk mengetahui proses bioakumulasi logam ini ialah pengaruhnya terhadap nilai ekonomi, terutama dalam sistem perikanan komersial baik ikan air tawar maupun air laut. Sekitar tahun 1970-an, komisi pengawas bahan makanan dan obat Amerika (USFDA) dan kanada (CFDD) menentukan batas maksimum konsentrasi Hg dalam produk perikanan yaitu 0,5 mg/kg Hg berat basah. Hal ini menyebabkan hasil perikanan di Amerika dan kanada pada saat itu tidak boleh dikonsumsi karena kandungannya melebihi batas terebut.


(28)

Kerugian yang ditimbulkan dari sektor perikanan karena pemusnahan produk perikanan ini besar sekali. Proses biokumulasi logam dalam jaringan ikan cukup bervariasi, bergantung pada jenis logam dan spesies ikan. Beberapa jenis logam terakumulasi lewat rantai pakan sehingga predator sebagai pemangsa ikan mempunyai konsentrasi logam yang besar (seperti tuna dan paus). Dalam dosis yang sama akumulasinya dalam jaringan berbeda-beda, tetapi akumulasi logam tersebut ke dalam jaringan juga bergantung pada faktor lingkungan yaitu: suhu air, kadar garam, pH, dan bentuk senyawa logam yang terlarut dalam air (Darmono, 2001)

2.8 Pengaruh Toksisitas Logam pada Jaringan Ikan 2.8.1 Toksisitas Logam pada Insang Ikan

Insang sebagai alat pernapasan ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh karena itu, insang merupakan organ yang penting pada ikan, di samping insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Logam klas B sangat reaktif terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam klas B tersebut sangat penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap sel. Bilamana metaloenzim disubtitusi oleh logam yang bukan semestinya, maka akan menyebabkan protein mengalami deformasi dan mengakibatkan menurunnya kemampuan katalitik enzim tersebut. Hal ini sering terjadi dalam sel epitel insang tempat beberapa macam logam klas B terikat (Darmono, 2001).

2.8.2 Toksisitas Logam pada Alat Pencernaan Ikan

Alat pencernaan seperti usus sebagai saluran pencernaan dan hati sebagai produksi enzim pencernaan selalu mengalami gangguan oleh pengaruh logam toksik ini. Toksisitas logam dalam saluran pencernaan terjadi melalui pakan yang terkontaminasi oleh logam. Toksisitas logam pada saluran pencernaan juga dapat terjadi melalui air yang mengandung dosis toksik logam (Darmono, 2001).


(29)

2.8.3 Toksisitas Logam pada Ginjal Ikan

Seperti halnya makhluk tingkat tinggi lainnya, ikan mempunyai organ ekskresi, yaitu ginja. Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan oleh tubuh termasuk bahan racun seperti logam berat yang toksik. Hal tersebut menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan oleh daya toksik logam (Darmono, 2001).


(30)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s/d April 2014 di daerah aliran sungai Percut Sumatera Utara.

3.2 Metode Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah “Purposive Random Sampling” pada 6 (enam) stasiun pengamatan. Sedangkan analisis logam berat dilakukan dengan metoda Flame dan MVU AAS (Spektrofotometrik Serapan Atom) yang dilakukan di Balai Riset Standarisasi Medan (BARISTAN) dan dilakukan dengan metode Spektrometer ICP Plasma (Induktif coupled plasma) yang dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP)

3.3 Deskripsi Area

Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel dipilih dengan melihat sumber polutan serta aktivitas yang ada di sekitar lokasi, sehingga ditetapkan 6 stasiun pengamatan.

a. Stasiun 1

Stasiun ini berada di kecamatan Patumbak kabupaten Deli Serdang yang merupakan daerah hulu dari sungai Percut. Secara geografis terletak pada 03026’9,10” LU & 098042’0,34” BT.


(31)

b. Stasiun 2

Stasiun ini berada di kelurahan Timbang Deli kecamatan Medan Amplas kotamadya Medan yang sumber polutannya berasal dari limbah pabrik karet, limbah asap kendaraan bermotor dan limbah domestik. Secara geografis terletak pada 03032’2,42” LU & 098042’8,41” BT.

c. Stasiun 3

Stasiun ini berada di kelurahan Menteng Raya kecamatan Medan Denai kotamadya Medan yang sumber polutannya berasal dari limbah domestik, limbah pertanian, limbah dari tempat pengisian bahan bakar, limbah konveksi baju sepatu dan limbah dari gudang besi tua. Secara geografis terletak pada 03034’0,93” LU & 098043’2,69” BT.

d. Stasiun 4

Stasiun ini berada di desa Tembung kecamatan Pecut Sei Tuan kabupaten Deli Serdang yang sumber polutannya berasal dari limbah pabrik kertas, limbah pabrik pembuatan sandal karet, limbah pertanian dan limbah domestik. Secara geografis terletak pada 03036’2,33” LU & 098044’7,15” BT.

e. Stasiun 5

Stasiun ini berada di desa Cinta Damai kecamatan Percut Sei Tuan kabupaten Deli Serdang yang sumber polutannya berasal dari limbah domestik dan kapal nelayan . Secara geografis terletak pada 03040’9,80” N & 098045’9,13” BT.

f. Stasiun 6

Stasiun ini berada di Muara Percut kecamatan Percut Sei Tuan kabupaten Deli Serdang dan daerah ini merupakan daerah yang terdegradasi. Secara geografis terletak pada 03042’9,79” LU & 098047’0,49” BT (Lampiran A dan B).


(32)

3.4 Pengambilan Sampel 3.4.1 Sampel Air

Sampel air diambil dengan menggunakan botol sampel, kemudian disimpan di dalam coolbox untuk menjaga suhu agar tetap optimal. Sampel dianalisis di laboratorium balai teknik kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit (BTKLPP) untuk dianalisis kandungan logam berat berupa Pb, Cd dan Hg.

3.4.2 Sampel Ikan

Pengambilan ikan dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat tangkap ikan yaitu:

a. Gill Net

Giil net atau jaring insang yang digunakan sebanyak 4 jaring. Jaring insang memiliki panjang 10 meter dengan ukuran mata jaring 1 inch. Jaring dipasang di tepi sungai sejajar dengan arah aliran sungai pada pagi hari sekitar pukul 7.00 WIB dan akan diambil pada pukul 13.00 WIB. Ikan yang didapat diawetkan dengan icepack dalam kotak pendingin (coolbox) untuk mempertahankan tingkat kesegaran ikan, sehingga diharapkan pada saat pengambilan jaringan tubuh ikan masih tetap dalam kondisi yang sama dengan pada saat ditangkap.

b. Jala Lempar

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jala lempar yang merupakan alat tangkap yang sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar dalam pembuatan. Bahannya terbuat dari nilon multifilamen atau dari monofilament, diameternya berkisar 3-5 m. Bagian kaki jaring diberikan pemberat terbuat dari timah. Jala lempar dioperasikan menggunakan tenaga manusia, cara melemparnya menggunakan teknik-teknik tertentu. Ikan yang didapat diawetkan dengan icepack dalam kotak pendingin (coolbox) untuk mempertahankan tingkat kesegaran ikan, sehingga diharapkan pada saat pengambilan jaringan


(33)

tubuh ikan masih tetap dalam kondisi yang sama dengan pada saat ditangkap.

3.4.3 Identifikasi Sampel Ikan

Ikan yang didapat terlebih dahulu diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Kottelat, et al (1993), dilakukan pengukuran berat ikan dengan timbangan neraca analitik. Selanjutnya dilakukan pengukuran morfometrik (Gambar 3.1) dan meristik pada ikan yang didapat.

Gambar 3.1 Pengukuran Morfometrik Pada Ikan Keterangan:

PT : Panjang Total, PS: Pangajang Standart, TB: Tinggi Badan, PPE: Panjang Pangkal Ekor, TPE: Tinggi Pangkal Ekor, PDP: Panjang di Depan Sirip Punggung, PPP1: Panjang Pangkal Sirip Punggung Pertama, PPP2 : Panjang Pangkal Sirip Punggung Kedua, PSD: Panjang Sirip Dada, PSP: Panjang Sirip Perut, PPD: Panjang Pangkal Sirip Dubur, PK: Panjang Kepala, PM: Panjang Moncong, DM: Diameter Mata.

3.4.4 Pengambilan Jaringan Tubuh Ikan

Ikan tersebut dibedah diambil dagingnya minimal 15 gram, kemudian dimasukkan kedalam plastik klep lalu diawetkan kembali dengan icepack. Sampel dianalisis dilaboratorium balai riset dan standarisasi medan Sumatera Utara (BARISTAN).

PM

DM PK

PSD PDP

TPE PS

PT

TB

PSP

PPD PPE PPP1 ppp2


(34)

3.5 Pengukuran Logam Berat

3.5.1 Pengukuran Logam Berat Pada Sampel Ikan

Pengukuran Pb, Cd dan Hg pada sampel ikan dilakukan di laboratorium balai riset dan standarisasi medan (Sumut). Daging ikan di blender (dihomogenkan), ditimbang didalam cawan sebanyak 2 g. Selanjutnya dipanaskan menggunakan oven dengan suhu 1000 C selama 2 jam untuk menghilangkan unsur air dari daging ikan, diarangkan diatas api Bunset (hot plate) sampai hilang asap. Kemudian cawan porselen dimasukkan kedalam

Fornance (tanur) dengan suhu 5500C selama ± 3 jam sampai menjadi abu. Abu yang dihasilkan dicampur dengan larutan aquabides asam (campuran 1 L aquades + 1,5 ml HNO3), dalam labu ukur 550 ml. disaring menggunakan kertas saring

whatman no.42, hasil saringan dibaca dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) untuk mengukur kadar Pb, Cd dan Hg.

3.5.2 Pengukuran Logam Berat pada Air

Pengukuran kadar logam berat Pb, Cd, dan Hg pada air dilakukan dengan metode Spektrometer ICP Plasma (Induktif coupled plasma) yang dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Medan. Dimasukkan sampel air yang telah difiltrat sebanyak 50 ml ke dalam erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan 5 ml HNO3 pekat dan panaskan perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15-20 ml. Ditambahkan lagi 5 ml HNO3 pekat, ditutup erlenmeyer dengan kaca arloji dan panaskan lagi. Dilanjutkan penambahan asam dan pemanasan sampai semua logam larut, yang terlihat dari warna endapan dalam sampel menjadi agak putih atau sampel menjadi jernih. Ditambahkan lagi 2 ml HNO3 pekat dan panaskan kira-kira 10 menit. Dibilas kaca arloji dan dimasukkan air bilasannya ke dalam Erlenmeyer. Dibuat larutan baku Cd, Pb dan Hg. Sampel siap untuk diuji dengan prosedur analisa yaitu diatur alat ICP dan optimalkan sesuai dengan petunjuk penggunaan alat untuk pengujian kadar Cd, Pb dan Hg. Diisapkan larutan baku dan larutan sampel satu persatu kedalam alat ICP melalui pipa injeksi alat. Dicatat konsentrasi masing-masing sampel yang terbaca dilayar komputer.


(35)

3.6 Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisik - kimia perairan dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel pada tiap lokasi pengamatan. Parameter yang dilakukan meliputi.

3.6.1 Temperatur Air

Temperatur air dengan menggunakan termometer air raksa yang berskala 0-500C. Pengukuran dilakukan dengan cara memasukan thermometer kedalam air kurang lebih 20 cm dan dibiarkan selama 3 menit.

3.6.2 Derajat keasaman (pH) Air

Derajat kesamaan (pH) perairan diukur dengan menggunakan pH meter yaitu dengan cara memasukan elektroda pH meter kedalam sampel air, dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

3.6.3 Kecepatan Arus

Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan mengikat bola pimpong dengan tali plastik yang ukurannya 10 m yang kemudian di letakkan di permukaan air mengikuti jalannya arus. selanjutnya dilakukan penghitungan waktu dengan menggunakan stopwatch.

3.6.4 Oksigen terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan metoda Winkler. Sampel air diambil dan dimasukan ke dalam botol winkler, dimasukan 1 ml MnSO4 dan 1 ml KOH-KI lalu dihomogenkan, di diamkan sebentar sehingga terbentuk sampel dengan endapan putih. Ditambahkan 1 ml H2SO4 lalu di homogenkan dan diamkan sehingga terbentuk sampel coklat. Diambil 100 ml sampel (yang tidak mengendap) dan dimasukan kedalam erlenmeyer ditetesi dengan Na2S2O3 0,0125 N sehingga dihasilkan larutan warna bening. Banyaknya kadar Na2S2O3 yang terpakai menunjukan kadar oksigen terlarut (Lampiran C).


(36)

3.6.5 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Sampel air dimasukan kedalam botol winkler diinkubasi pada suhu 200C selama 5 hari dihitung kadar BOD dengan cara yang sama seperti perhitungan kadar oksigen terlarut. Kadar BOD5 dihasilkan dengan cara mengurangkan DO awal dan DO (LampiranD).

3.6.6 Chemical Oxygen Demand (COD)

Kadar COD diukur dengan menggunakan metode titrasi. Sampel sebanyak 10 ml ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 0,25 N, 5 ml H2SO4p dan 0,2 gr HGSO4. Sampel kemudian direflux selama 2 jam dilanjutkan penambahan 10 ml H2SO4(p). setelah dingin, sampel ditambahkan Indol-feroin sebanyak 5 tetes. Selanjutnya sampel dititrasi dengan FAS (Ferri Amonium Sulfat) 0,1 N. Kadar COD ditentukan dari banyaknya FAS yang digunakan (Lampiran E).

Secara keseluruhan pengukuran parameter fisik-kimia perairan beserta satuan dan alatnya yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Alat, Satuan dan Tempat Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan

No Parameter Satuan Alat (metode) Tempat Pengukuran 1 Temperatur Air 0C Termometer In-situ

2 pH air Unit pH meter In-situ

3 Kecepatan Arus m/s Bola pimpong In-situ

4 DO mg/I Metode Winkler In-situ

5 BOD5 mg/I Metode Winkler Laboratorium

6 COD mg/l Titrasi Laboratorium

7 Cd Air ppm AAS Laboratorium

8 Pb Air ppm AAS Laboratorium

9 Hg Air ppm AAS Laboratorium

3.7 Analisa Data

a. Analisis Kandungan Logam Berat

Kandungan logam berat yang terukur dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan kandungan logam berat dalam air dengan baku mutu air menurut PP. RI No. 82 tahun 2001 tentang pengolahan kualitas air dan


(37)

pengendalian pencemaran air kelas 3, yaitu air yang dapat digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan. Sedangkankan kandungan logam berat pada jaringan tubuh ikan dibandingkan dengan kandungan maksimum logam berat dalam tubuh ikan menurut SNI/7387/2009 mengenai batas maksimum cemaran logam dalam produk pangan. Nilai baku mutu dari masing-masing logam berat dapat melihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Nilai Baku Mutu Logam Berat Tubuh Ikan Menurut SNI/7387/2009 dan dalam Air Menurut Standard Baku Mutu Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001

Jenis Logam Berat KandunganMaksimum Pada Air

KandunganMaksimum Dalam Tubuh Ikan Timbal (Pb)

Kadmium (Cd) Merkuri (Hg)

0,03 ppm 0,01 ppm 0,002 ppm

0,3 ppm 0,1 ppm 0,5 ppm

b. Metode Storet

Pengukuran faktor-fisik kimia air dilakukan untuk menentukan kualitas air pada setiap stasiun penelitian dengan menggunakan metode Storet. Metode Storet digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan menggunakan Indeks Kualitas Air Storet (Canter, 1997 dalam Saputra, 2009). Baku mutu yang digunakan dalam indeks Storet adalah PP RI No. 82 tahun 2001 kelas 3 (baku mutu air peruntukan budidaya perikanan dan pengairan). Prinsip dari metode Storet adalah membandingkan data kualitas air dengan dengan baku mutu air (Tabel 3.3) yang disesuaikan dengan peruntukkannya guna menentukan status mutu air.


(38)

Tabel 3.3. Baku Mutu Air Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001

Parameter Baku Mutu

Fisika Suhu (0C) Kecepatan arus (m/s)

Kimia pH air DO (mg/l) BOD5 (mg/l)

COD (mg/l) Pb (mg/l) Cd (mg/l) Hg (mg/l) Deviasi 3 (-) 6-9 >3 <6 <50 <0,03 <0,01 <0,002

Keterangan : Tanda (-) menyatakan parameter tersebut tidak dipersyaratkan (Gonawi, 2009)

Status mutu air dinilai berdasarkan ketentuan sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency) yang mengklasifikasikan mutu air kedalam empat kelas, yaitu :

Kelas A : Baik Sekali Skor = 0

B : Baik Skor = -1 sampai dengan -10 C : Sedang Skor = -11 sampai dengan -30 D : Buruk Skor ≥ -31

Sumber : Canter (1997) dalam Saputra (2009)

Menurut Saputra (2009), prosedur yang dilakukan dalam penentuan kualitas air dengan metode Storet adalah menghitung nilai maksimum, minimum, dan rata-rata setiap parameter kualitas air yang diamati, lalu dicantumkan dalam satu tabel. Dibandingkan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari masing-masing parameter kualitas air tersebut dengan nilai baku mutu air. Jika nilai-nilai dari hasil pengukuran tersebut memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor 0 (nol). Jika nilai tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor tertentu sebagai berikut (Tabel 3.4).


(39)

Tabel 3.4. Pemberian Skor dalam Penentuan Indeks Storet

Jumlah Data Nilai Parameter

Fisika Kimia

<10 Maksimum Minimum Rata-rata

-1 -1 -3

-2 -2 -6

≥10 Maksimum

Minimum Rata-rata

-2 -2 -6

-4 -4 -12 Sumber : Canter (1997) dalam Saputra (2009)


(40)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ciri-ciri Morfologi dan Klasifikasi Ikan

Hasil penelitian yang telah dilakukan di daerah aliran sungai Percut Provinsi Sumatera Utara di dapatkan 4 jenis ikan seperti terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 klasifikasi dan jenis ikan yang didapat pada stasiun penelitian.

Spesies Nama Lokal Stasiun Penelitian

1 2 3 4 5 6

Famili : Cichlidae

Oreochromis niloticus

Famili : Loricariidae

Liposarcus pardalis

Famili : Mugilidae

Valamugil engeli

Famili : Bagridae

Mystus gulio

Ikan nila

Ikan sapu kaca

Ikan belanak Ikan Baung + - - - - + - - - + - - - + - - - - + - - - - +

* Tanda (+) menunjukkan ditemukannya jenis tersebut sedangkan tanda (-) menunjukkan tidak ditemukan jenis tersebut

Keterangan : Stasiun 1 (Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), Stasiun 2 (Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan Amplas kotamadya Medan), Stasiun 3 (Kelurahan Menteng Raya Kecamatan Medan Denai kotamadya Medan), Stasiun 4 (Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 5 (Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 6 (Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan).

Ciri-ciri Morfologi pada Ikan yang didapat : 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

a. Ciri-ciri Khusus :

Ikan ini memiliki letak mulut superior (keatas) (Gambar 1b). Tipe sirip ekor homocercal, bentuk morfologi ekor truncate (bersegi) (Gambar 1c). Tubuh


(41)

berwarna kehitaman atau keabuan, pada sirip ekor memiliki garis warna tegak (Gambar 1a).

Menurut kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki garis warna tegak terdapat pada sirip ekor, hampir seluruhnya berwarna hitam; beberapa pita warna pada badan (tidak jelas pada yang dewasa), mulut mengarah ke atas; tenggorok, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung sirip punggung bewarna merah ketika musim berkembangbiak.

Gambar 1a. Orechromis niloticus

(1b) (1c) Gambar (1b) Letak Mulut Superior (keatas) dan (1c) Bentuk Morfologi

Ekor Truncate (bersegi) pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) b. Pengukuran Morfometrik :

Ikan tersebut memiliki panjang total berkisar antara 11,1-17 cm, panjang standar 9,9-13,2 cm, tinggi badan 3,6-6,2 cm, panjang pangkal ekor 1,1-1,7 cm, tinggi pangkal ekor 1,4-2 cm, panjang didepan sirip punggung 2,7-4,1 cm, panjang pangkal sirip punggung pertama 4,6-7,2 cm, panjang pangkal sirip dubur


(42)

1,5-2,5 cm, tinggi sirip punggung 1,9-3,4 cm, tinggi sirip dubur 1,9-3,4 cm, panjang sirip dada 2,8-4,8 cm, panjang sirip perut 2,2-3,4 cm, panjang kepala 3,1-4,4 cm, panjang moncong 0,9-1,6 cm, diameter mata 0,7-1,1 cm, lebar bukaan mulut 1-1,3 cm, bobot ikan yang didapat antara 27,4-108,1 gr.

c. Pengukuran Meristik :

Ikan ini memiliki tipe sisik stenoid (Gambar 1d). Jumlah sisik pada gurat sisi : 29-30; jumlah sisik pada melintang badan : 12-13; jumlah sisik sebelum sirip punggung : 9-10; jumlah sisik melingkar pada pangkal ekor : 6-7; D XVI-XVII, 11-12; A III, 9-10; jumlah jari-jari pada sirip dada : 12-13; jumlah sirip perut : II,5. Menurut Kottelat (1993) Oreochromis niloticus memiliki D XVI-XVII, 11-15; A III, 9-10.

Gambar 1d. Tipe Sisik Stenoid pada Ikan nila (Oreochromis niloticus)

d. Perbedaan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Jantan dan Betina 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Jantan :

Dagu berwarna kemerahan atau kehitaman, sirip dada berwarna coklat kemerahan, perut berbentuk pipih (ramping) (dengan warna kehitaman, alat kelamin nila jantan berbentuk meruncing (Gambar 1e. (1)). Apabila dipijit akan mengeluarkan cairan berwarna putih kental

2. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Betina :

Dagu nila betina berwana putih, sedangkan sirip dada berwarna kehitaman, perutnya lebih buncit (menggembung) dan berwarna putih, alat kelamin berbentuk


(43)

seperti bulan sabit (Gambar 1e. (2)). Apabila dipijat akan mengeluarkan butiran telur.

Menurut Mubinun, et.al (2007) alat kelamin ikan nila jantan berupa tonjolan (papilla) dibelakang lubang anus pada tonjolan ini terdapat satu lubang untuk mengeluarkan sperma dan urine sedangkan alat kelamin ikan nila betina berupa tonjolan dibelakang anus pada tonjolan tersebut terdapat dua lubang yang pertama terletak didekat anus berbentuk seperti bulan sabit dan berfungsi sebagai tempat keluarnya telur, lubang yang kedua terletak dibelakangnya berbentuk bulat dan berfungsi sebagai tempat keluarnya urine.

Gambar 1e. Orechromis niloticus (1) Jantan dan (2) Betina (Sumber : Trubus, 2011)

2. Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) a. Ciri-ciri Khusus :

Ikan ini memiliki letak mulut inferior (Gambar 2b). Tipe sirip ekor homocercal, bentuk morfologi ekor lunate (bentuk bulat sabit) (Gambar 2c). Tubuhnya berwarna hitam kecoklatan dengan kulitnya yang keras dan memiliki mulut yang berbentuk seperti cakram (Gambar 2a). Menurut Kottelat et al., (1993) ikan ini memiliki badan yang tertutup oleh kulit yang mengeras dan mulutnya berbentuk seperti cakram. Serta memiliki 10-13 jari-jari bercabang pada sirip punggung.

1


(44)

Gambar 2a. Liposarcus pardalis

(2b) (2c)

Gambar (2b) Letak Mulut Inferior dan (2c) Bentuk Morfologi Ekor Lunate

(bulan sabit) pada Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) b. Pengukuran Morfometrik :

Ikan ini memiliki panjang total berkisar antara 24,5-35,4 cm, panjang standar 17,8-27,7 cm, tinggi badan 3,2-5,2 cm, panjang pangkal ekor 0,8-1,4 cm, tinggi pangkal ekor 5-2,6 cm, panjang didepan sirip punggung 6,9-9,9 cm, panjang pangkal sirip punggung Pertama 5,9-10,4 cm, panjang pangkal sirip punggung kedua 0,4-0,5 cm , panjang pangkal sirip dubur 0,8-1,7 cm, tinggi sirip punggung 3,9-5,2 cm, tinggi sirip dubur 2,7-4,7 cm, panjang sirip dada 4,5-6,8 cm, panjang sirip perut 3,1-5,6 cm, panjang kepala 4,1-6,5 cm, panjang moncong 1,8-3,8 cm, diameter mata 0,8-1,3 cm, lebar bukaan mulut 1-1,5 cm, bobot ikan yang didapat antara 107-327,3 gr


(45)

c. Pengukuran Meristik :

Ikan ini memiliki sisik yang keras (Gambar 2d) . Jumlah sisik pada gurat sisi : 27-28; jumlah sisik pada melintang badan : 4-5; jumlah sisik sebelum sirip punggung : 2-3; jumlah sisik melingkar pada pangkal ekor : 5-6; D1 I.11, D2 I; A 5; jumlah jari-jari pada sirip dada : I, 6; jumlah sirip perut : I.5

`

Gambar 2d. Bentuk Sisik pada Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis)

d. Perbedaan Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) Jantan dan Betina 1. Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) Jantan :

Ikan sapu kaca (Liposarcus pardalis) jantan memiliki tubuh yang perutnya berbentuk pipih (ramping) (Gambar 2e. (2)). Terlihat dari luar tubuh ikan alat kelamin ikan sapu kaca jantan dan betina memiliki bentuk yang sama yaitu bentuk bulat datar tetapi memiliki warna yang berbeda, ikan sapu kaca jantan pada saat matang gonad alat kelaminnya berwarna merah muda.

2. Ikan Sapu Kaca (Liposarcus pardalis) Betina :

Ikan sapu kaca (Liposarcus pardalis) betina memiliki tubuh yang perutnya lebih buncit (menggembung) (Gambar 2e. (1)). Terlihat dari luar tubuh ikan alat kelaminnya memiliki bentuk yang sama dengan ikan sapu kaca jantan yaitu bulat datar, tetapi warna alat kelaminnya berbeda dimana alat kelamin ikan sapu kaca betina pada saat matang gonad berwarna merah tua.

Menurut Effendie (1997) ikan jantan adalah ikan yang mempunyai organ penghasil sperma dan ikan betina adalah ikan yang mempunyai organ penghasil telur. Selanjutnya menurut Pulungan et al. (1999), untuk membedakan suatu individu ikan baik ikan jantan maupun ikan betina dapat memperhatikan ciri-ciri


(46)

seksual yang dimilikinya yaitu ciri seksual primer atau ciri seksual sekunder. Pengamatan terhadap ciri seksual primer dapat dilakukan dengan cara membedah tubuh ikan pada bagian perut dan kemudian memperhatikan gonad yang dimilikinya, gonad tersebut adalah testes dan ovari. Untuk membedakan testes dan ovari adalah dengan memperhatikan warna gonad, bentuk permukaan gonad dan diameter gonad. Cara yang kedua adalah dengan memperhatikan ciri sekunder yakni penentuan jenis kelamin dilakukan dengan cara memperhatikan bentuk tubuh dan organ-organ pelengkapnya (sexual dichromatisme). Cara ini yaitu dengan memperhatikan ukuran kepala, bentuk kepala, permukaan tengkorak kepala, bentuk badan, bentuk perut, dan bentuk sirip-sirip pada tubuh.

Gambar 2e. (1) Liposarcus pardalis Betina, (2) Liposarcus pardalis Jantan

3. Ikan Belanak (Valamugil engeli) a. Ciri-ciri Khusus :

Ikan ini memiliki letak mulut terminal (Gambar 3b)). Tipe sirip ekor homocercal, bentuk morfologi ekor emarginate (sedikit cekung) (Gambar 3c). Tubuh berwarna kuning pucat berbentuk memanjang agak langsing, bibir bagian atas lebih tebal daripada bagian bawahnya, letak sirip punggung kedua diatas akhir sepertiga bagian depan sirip dubur, jarak awal sirip punggung pertama lebih dekat kepangkal ekor daripada keujung moncong (Gambar 3a).

2 1


(47)

Menurut Kottelat et al., (1993) ikan ini memiliki bibir yang berbentuk ‘v’ jika dilihat dari depan terletak pada sudut moncong; moncong kepalanya tumpul; pinggiran belakang sisik bergerigi; sirip punggung ke dua diatas akhir sepertiga bagian depan sirip dubur; awal sirip punggung pertama lebih dekat ke pangkal ekor daripada ke ujung moncong atau pertengahan. Pinggiran belakang sisik bergerigi.

Gambar 3a. Valamugil engeli

(3b) (3c)

Gambar (3b) Letak Mulut Terminal dan (3c) Bentuk Morfologi Ekor

Emarginate (sedikit cekung) pada Ikan Belanak (Valamugil engeli)

b. Pengukuran Morfometrik :

Ikan ini memiliki panjang total berkisar antara 13,5-18 cm, panjang standar 11,2-14,6 cm, tinggi badan 2,3-3,5 cm, panjang pangkal ekor 1,4-2,6 cm, tinggi pangkal ekor 0,8-1,6 cm, panjang didepan sirip punggung 5,3-6,7 cm, panjang pangkal sirip punggung pertama 0,9-1,8 cm, panjang pangkal sirip punggung kedua 0,7-0,8 cm, panjang pangkal sirip dubur 1,0-1,6 cm, tinggi sirip punggung


(48)

1,5-2,3 cm, tinggi sirip dubur 1,6-2,2 cm, panjang sirip dada 1,8-2,4 cm, panjang sirip perut 1,7-2,3 cm, panjang kepala 1,4-2,2 cm, panjang moncong 0,3-1 cm, diameter mata 0,4-0,3-1 cm, lebar bukaan mulut 0,3-1 cm, bobot ikan yang didapat antara 33,5-56,8 gr.

c. Pengukuran Meristik :

Ikan ini memiliki tipe sisik stenoid (Gambar 3d). Jumlah sisik pada gurat sisi : 28-30; jumlah sisik pada melintang badan : 7-8; jumlah sisik sebelum sirip punggung : 10-11; jumlah sisik melingkar pada pangkal ekor : 6-7; D1 III.1, D2 I.7; A II, 9; jumlah jari-jari pada sirip dada : 13; jumlah sirip perut : I, 5.

Gambar 3d. Tipe Sisik Stenoid pada Ikan Belanak (Valamugil engeli) d. Perbedaan Ikan Belanak (Valamugil engeli) Jantan dan Betina

1. Ikan Belanak (Valamugil engeli) Jantan

Ikan belanak (Valamugil engeli) jantan secara morfologi memiliki bentuk tubuh yang ramping. Pada saat matang gonad dari luar tampak alat kelamin berwarna merah muda.

2. Ikan Belanak (Valamugil engeli) Betina

Ikan belanak (Valamugil engeli ) betina secara morfologi memiliki bentuk tubuh yang perutnya buncit (menggembung) pada saat matang gonad serta dari luar tampak alat kelamin berwarna merah tua.

Menurut Pulungan et al. (1999), penentuan jenis kelamin dengan melihat ciri sekunder dilakukan dengan cara memperhatikan bentuk tubuh dan


(49)

organ-organ pelengkapnya (sexual dichromatisme). Cara ini yaitu dengan memperhatikan ukuran kepala, bentuk kepala, permukaan tengkorak kepala, bentuk badan, bentuk perut, dan bentuk sirip-sirip pada tubuh.

4. Ikan Baung (Mystus gulio) a. Ciri-ciri Khusus

Ikan ini memiliki letak mulut subterminal (Gambar 4b). Tipe sirip ekor homocercal, bentuk morfologi ekor forked (bercagak) (Gambar 4c). Tubuhnya berwarna biru keabu-abuan, badannya tidak bersisik, mempunyai sirip lemak, pada sirip punggung dan sirip dada terdapat duri yang dapat melukai, sungut rahang sangat panjang, ukuran pangkal sirip lemaknya lebih pendek daripada pangkal sirip dubur, terdapat bintik-bintik diatas kepala (Gambar 4a).

Menurut kottelat et al., (1993) Mystus gulio dibedakan dari Mystus lainnya oleh sirip lemak yang pangkalnya lebih pendek daripada pangkal sirip dubur. Selanjutnya menurut Bhagawati (2012) Mystus gulio memiliki posisi mulut subterminal, panjang sungut rahang atas mencapai dubur, dan sungut hidung mencapai belakang mata, linea lateralis lurus, sirip lemak berukuran relatif kecil dan lebih pendek dari sirip dubur, terdapat bintik-bintik kecil diatas kepala, bentuk sirip ekor bercagak.


(50)

(4b) (4c)

Gambar (4b) Letak Mulut Subterminal dan (4c) Bentuk Morfologi Ekor

Forked (bercagak) pada Ikan pada Ikan Baung (Mystus gulio)

b. Pengukuran Morfometrik

Ikan ini memiliki panjang total berkisar antara 11-12,9 cm, panjang standart 8,9-10,2 cm, tinggi badan 1,6-2,7 cm, panjang pangkal ekor 1,6-1,8 cm, tinggi pangkal ekor 1,1-1,3 cm, panjang didepan sirip punggung 3,2-3,4 cm, panjang pangkal sirip punggung pertama 1-1,3 cm, panjang pangkal sirip punggung kedua 0,4-0,5 cm, panjang pangkal sirip dubur 1,1-1,3 cm, tinggi sirip punggung 1,3-1,5 cm, tinggi sirip dubur 1,1-1,2 cm, panjang sirip dada 1,6-1,7 cm, panjang sirip perut 1,1-1,2 cm, panjang kepala 2,2-2,3 cm, panjang moncong 0,6-0,8 cm, diameter mata 0,4-0,6 cm, lebar bukaan mulut 0,8-1 cm, bobot ikan yang didapat antara 16-25 gr.

c. Pengukuran Meristik

Ikan ini memiliki jumlah D I.6-7; A 9-10; jumlah jari-jari pada sirip dada : I.6-7; jumlah jari-jari sirip perut : 5-6 ; namun tidak memiliki sisik.

d. Perbedaan Ikan Baung (Mystus gulio) Jantan dan Betina 1. Ikan Baung (Mystus gulio) Jantan :

Ikan Baung (Mystus gulio) jantan memiliki tubuh yang perutnya pipih (ramping) dan bentuk alat kelaminnya meruncing (Gambar 4d (1)).


(51)

2. Ikan Baung (Mytus gulio) Betina :

Ikan Baung (Mystus gulio) betina memiliki tubuh yang perutnya lebih buncit (menggembung) serta berwarna putih dan alat kelaminnya berbentuk bulat datar (Gambar 4d (2)).

Menurut Khairuman, et al (2008) ikan baung jantan memiliki papilla yang terletak dibagian belakang lubang genital namun tidak ditemukan pada ikan baung betina. Induk jantan yang sudah matang gonad (siap dipijahkan) juga mudah dikenali tandanya, papillanya berwarna merah, yang dimulai dari ujung papilla menyebar ke arah pangkal. Jika bagian pada papilla tidak terlihat berwarna merah maka sang induk jantan tersebut belum matang gonad. Sementara pada induk betina ciri-ciri yang sudah matang gonad adalah bagian perutnya membesar karena mengandung telur yang siap untuk dibuahi. Permukaan kulit perut terasa lembut diraba selain itu lubang genitalnya membesar dan berwarna merah.

Gambar 4d. (1) Mystus gulio Jantan, (2) Mystus gulio Betina

4.2 Kandungan Logam Berat pada Air

Hasil pengukuran kadar logam berat pada air sungai disetiap lokasi penelitian di DAS Percut dapat dilihat pada Tabel 4.2.

1


(52)

Tabel 4.2 Kandungan Logam Pb, Cd, Hg (ppm) pada Air Sungai serta Standard Baku Mutu Berdasarkan PP No.82 Tahun 2001.

Keterangan : Stasiun 1 (Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), Stasiun 2 (Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan Amplas kotamadya Medan), Stasiun 3 (Kelurahan Menteng Raya Kecamatan Medan Denai kotamadya Medan), Stasiun 4 (Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 5 (Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 6 (Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan).

Pada Tabel 4.2 diketahui nilai kandungan logam Timbal (Pb) pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 0,00443 - 0,02471 ppm. Nilai tertinggi pada stasiun 4 sebesar 0,02471 sedangkan nilai terendah pada stasiun 1 sebesar 0,00443. Tingginya nilai timbal (Pb) pada stasiun 4 dikarenakan pada stasiun tersebut terdapat pabrik kertas dan pabrik pembuatan sandal karet yang mengeluarkan asap pabrik yang menimbulkan pencemaran udara yang kemudian dalam prosesnya dengan turunnya hujan akhirnya masuk kebadan sungai menjadi sumber pencemaran logam timbal (Pb) di sungai. Menurut Widowati et.al (2008) pencemaran Pb selain dari emisi gas buang kendaraan bermotor dapat pula berasal dari buangan industri metalurgi, proses korosi lead bearing alloys, pembakaran batu bara, asap pabrik yang mengolah alkil-Pb, serta Pb-oksida. Namun berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 kandungan timbal (Pb) perairan DAS Percut masih memenuhi batas baku mutu tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Lokasi Penelitian Timbal (Pb) ppm Kadmium (Cd) ppm Merkuri (Hg) ppm Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 0,00443 0,01807 0,00714 0,02471 0,01264 0,01845 0,00060 0,00178 0,00172 0,00014 0,00019 0,00065 0,00017 0,00024 0,00081 0,00049 0,00036 0,00018


(53)

Kandungan logam kadmium (Cd) pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 0,00014 – 0,00178 ppm. Nilai tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,00178 ppm. Tingginya kandungan kadmium (Cd) pada stasiun 2 dikarenakan pada stasiun tersebut terdapat berbagai aktivitas yang mendukung hadirnya logam kadmium (Cd) antara lain adanya limbah pabrik karet yang menjadi sumber seng (Zn) , banyaknya asap kendaraan bermotor yang menjadi sumber timbal (Pb) serta adanya limbah domestik yang masuk kebadan sungai yang keseluruhan logam tersebut nantinya akan menyebabkan timbulnya kandungan logam kadmium (Cd) di badan sungai.

Menurut Darmono (2001) Keberadaan kadmium (Cd) di alam berhubung erat dengan hadirnya logam timbal (Pb) dan seng (Zn). Selanjutnya menurut Widowati (2008) kadmium (Cd) yang terdapat di dalam lingkungan pada kadar yang rendah berasal dari kegiatan penambangan seng (Zn), timah (Pb) dan kobalt (Co) serta kuprum (Cu). Sementara dalam kadar tinggi kadmium berasal dari emisi industri, antara lain dari hasil sampingan penambangan, peleburan seng (Zn) dan timbal (Pb). Namun berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 kandungan kadmiun (Cd) perairan DAS Percut masih memenuhi batas baku mutu tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Kandungan logam merkuri (Hg) pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 0,00017 – 0,00081 ppm. Nilai tertinggi pada stasiun 3 sebanyak 0,00081 ppm selanjutnya diikuti dibawahnya pada stasiun 4 sebesar 0,00049 ppm. Tingginya kandungan logam merkuri pada stasiun 3 dikarenakan pada stasiun tersebut terdapat berbagai aktivitas yang menjadi sumber merkuri (Hg) antara lain limbah konveksi baju sepatu, limbah gudang besi tua, limbah dari tempat pengisian bahan bakar, limbah pertanian dan limbah domestik yang masuk kebadan sungai. Selanjutnya juga terdapat kandungan merkuri (Hg) pada stasiun 4 dikarenakan pada stasiun tersebut terdapat aktivitas yang juga menjadi sumber merkuri antara lain limbah pabrik kertas, limbah pertanian dan limbah domestik yang masuk ke badan sungai. Menurut Palar (2004) Pabrik pulp (bubur kayu) dan


(54)

kertas merupakan sumber pencemaran merkuri terbesar, selanjutnya dalam bidang pertanian senyawa merkuri banyak digunakan sebagai fungisida. Namun berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 kandungan Merkuri (Hg) perairan DAS Percut masih memenuhi batas baku mutu tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

4.3 Kandungan Logam Berat pada Daging Ikan

Hasil pengukuran kadar logam berat pada daging ikan disetiap lokasi penelitian di DAS Percut dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Kandungan Pb, Cd, Hg pada ikan yang terdapat di masing-masing stasiun penelitian serta batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan menurut SNI/7387/2009.

Lokasi Penelitian Jenis Ikan Pada Masing-masing Stasiun Kandungan Logam Timbal (Pb) ppm Kadmium (Cd) ppm Merkuri (Hg) ppm Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Oreochromis niloticus Liposarcus pardalis Liposarcus pardalis Liposarcus pardalis Valamugil engeli Mystus gulio <0,02 <0,02 <0,02 <0,02 <0,02 <0,02 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,004 <0,004 <0,004 <0,004 <0,004 <0,004

Batas Maximum (ppm) 0,3 0,1 0,5

Keterangan : Stasiun 1 (Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), Stasiun 2 (Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan Amplas kotamadya Medan), Stasiun 3 (Kelurahan Menteng Raya Kecamatan Medan Denai kotamadya Medan), Stasiun 4 (Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 5 (Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 6 (Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan).

4.3.1 Kandungan Logam Pada Ikan

Pada Tabel 4.3 diketahui bahwa kandungan logam yang terdapat pada daging ikan masing-masing stasiun berdasarkan limit deteksi pada timbal (Pb) sebesar <0.02 ppm, kadmium (Cd) sebesar <0,06 ppm dan merkuri (Hg) sebesar <0,004 ppm. Hal tersebut menunjukan bahwa kandungan Pb, Cd, dan Hg pada komunitas ikan yang terdapat pada masing-masing stasiun penelitian di DAS Percut tergolong


(55)

aman untuk dikonsumsi berdasarkan batas maksimum cemaran Pb, Cd dan Hg dalam pangan menurut SNI/7387/2009 yaitu 0,3 ppm, 0,1 ppm dan 0,5 ppm.

Rendahnya kandungan logam pada daging ikan dikarenakan sumber polutan yang terdapat pada masing-masing stasiun di DAS Percut tidak menimbulkan pencemaran logam Pb, Cd dan Hg pada badan sungai sehingga akumulasi logam pada daging ikan yang terdapat pada masing-masing stasiun memiliki nilai yang sangat kecil. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik kimia air pada lokasi penelitian yang menunjukkan masih dalam kondisi baik untuk kehidupan biota air termasuk didalamnya jenis ikan.

4.3.2 Jenis Ikan Pada Seluruh Stasiun Penelitian

Terdapat 4 jenis ikan yang didapat dari hasil tangkapan di DAS Percut. Pada stasiun 1 ditemukan ikan nila (Oreochromis niloticus), stasiun ini merupakan daerah hulu yang kondisi perairannya masih sangat baik untuk kehidupan jenis ikan air tawar. Berdasarkan pengukuran fisik-kimia air pada stasiun 1 antara lain suhu sebesar 28 0C; pH air sebesar 7,2; DO sebesar 7 mg/l; kecepatan arus sebesar 1,36 m/s; BOD5 sebesar 0,5 mg/l dan COD sebesar 18,35 mg/l menunjukkan bahwasanya kondisi perairannya masih sangat stabil sehingga tidak terjadi pencemaran logam Pb, Cd dan Hg pada air dan jaringan tubuh ikan selain itu kondisi perairannya cocok untuk kehidupan jenis ikan air tawar termasuk didalamnya jenis ikan nila (Oreochromis niloticus).

Menurut Kottelat (1993) Oreochromis niloticus merupakan suku Cichlidae dimana suku ini merupakan suku besar air tawar yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, Asia Kecil, India dan Sri Langka. Menurut Bachtiar (2002) keasaman air ideal untuk memelihara ikan nila berkisar 7,5-8,5. Namun pH 6,5-9 masih tergolong baik untuk memelihara ikan. Lebih kecil dari itu ikan tidak mampu beradaptasi air yang terlalu alkali atau basa akan bersifat racun bagi ikan. Selanjutnya menurut Darmono (2001) akumulasi logam berat termasuk didalamnya logam Pb, Cd dan Hg yang masuk kedalam jaringan tubuh organisme


(56)

tergantung pada faktor lingkungan antara lain suhu air, kadar garam, pH, dan bentuk senyawa logam yang terlarut dalam air.

Pada stasiun 2 sampai dengan stasiun 4 ditemukan ikan sapu kaca (Liposarcus pardalis) dimana stasiun ini merupakan lokasi penelitian yang berpotensi sebagai sumber makanan bagi ikan tersebut berupa alga yang berasal dari limbah organik atau hasil buangan yang masuk kebadan sungai yang bersumber dari berbagai aktivitas antara lain aktivitas penduduk dan aktivitas pabrik yang ada disekitar stasiun penelitian selain itu pergerakan dari ikan sapu kaca yang relatif lambat dan menetap didasar perairan sehingga ikan tersebut banyak didapatkan.

Menurut Geerinckx (2007) mulut penghisap pada ikan sapu kaca memungkinkan jenis ikan ini untuk menempel pada suatu benda dilingkungan mereka, bahkan pada sungai dengan aliran deras. Mulut dan gigi ikan juga beradaptasi terhadap berbagai makanan seperti alga, invertebrata dan detritus. Selanjutnya menurut Prihardyanto (1995) jika diamati cara makan ikan sapu kaca, gerakannya yang lambat dan menetap didasar perairan, dengan kemampuan hidup yang kuat, ikan ini cenderung memiliki kandungan logam berat yang hampir sama dengan lingkungan tempat hidupnya. Bila perairan bersih, maka ikan ini aman untuk dikonsumsi demikian juga sebaliknya.

Ikan sapu kaca (Liposarcus pardalis) merupakan ikan air tawar yang memiliki kisaran toleransi yang luas sehingga ikan tersebut dapat hidup atau bertahan pada kondisi perairan yang terpengaruh oleh aktivitas sekitarnya. Menurut Fadil et.al (2011) ikan sapu kaca merupakan salah satu jenis ikan yang banyak ditemukan diperairan sekitar buangan pabrik karet. Selanjutnya menurut Ratmini (2009) Ikan sapu kaca adalah salah satu jenis ikan yang mampu hidup di perairan kotor dan berlumpur.


(57)

Berdasarkan pengukuran fisik-kimia air pada stasiun 2 sampai dengan stasiun 4 antara lain suhu 28 0C; pH air berkisar antara 6,2-6,9; DO berkisar antara 3,2-6,3 mg/l; kecepatan arus berkisar antara 0,60-0,95 m/s; BOD5 berkisar antara 0,1-2,1 mg/l dan COD berkisar antara 25,31-55,68 mg/l menunjukkan bahwasanya stasiun tersebut masih dalam kondisi stabil sehingga tidak terjadi pencemaran logam Pb, Cd dan Hg pada air dan jaringan tubuh ikan. Menurut Palar (2008) proses fisiologi yang terjadi pada setiap biota turut mempengaruhi tingkat logam berat yang menumpuk (akumulasi) dalam tubuh dari biota perairan, besar kecilnya jumlah logam yang berat yang terkandung dalam tubuh akan daya racun yang ditimbulkan oleh logam berat, disamping itu proses fisiologi ini turut mempengaruhi peningkatan kandungan logam berat dalam badan perairan.

Pada stasiun 5 ditemukan ikan belanak (Valamugil engeli), stasiun ini merupakan DAS Percut yang telah terkena pengaruh pasang surut air laut yang kondisi perairannya berdasarkan pengukuran fisik-kimia air pada stasiun 5 antara lain suhu sebesar 290C; pH air sebesar 7,2; DO sebesar 5,3 mg/l; kecepatan arus sebesar 0,07 m/s; BOD5 sebesar 1,6 mg/l dan COD sebesar 21,51 mg/l menunjukkan bahwasanya stasiun tersebut juga masih dalam kondisi stabil sehingga tidak terjadinya pencemaran logam Pb, Cd dan Hg pada air dan jaringan tubuh ikan selain itu kondisi perairannya juga cocok untuk jenis ikan yang toleran terhadap kadar garam termasuk didalamnya jenis ikan belanak (Valamugil engeli).

Menurut Kottelat (1993) Valamugil engeli merupakan suku Mugilidae dimana suku ini banyak berkelompok di laut-laut dangkal yang hangat dan bervegetasi, namun ada juga yang memasuki muara sungai dan bahkan sungai-sungai dikawasan tropis, subtropis dan kawasan iklim sedang. Selanjutnya menurut Ruaeny et.al (2012) ikan belanak habitatnya didaerah muara tetapi saat mamijah akan berada di pantai, makanannya berupa alga, ikan kecil, dan invertebrata yang berada di dasar. Selanjutnya menurut Muchlisin (2009) kualitas


(58)

air dengan pH sebesar 6,8-7,6; DO sebesar 1,7-8,3 mg/l; suhu sebesar 27,8-310C; dan air bersifat payau cocok untuk budidaya ikan belanak (Valamugil engeli).

Pada stasiun 6 ditemukan ikan baung (Mystus gulio), stasiun ini merupakan muara sungai percut yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut berdasarkan pengukuran fisik-kimia air pada stasiun 6 antara lain suhu sebesar 300C; pH air sebesar 8,2; DO sebesar 4,1 mg/l; kecepatan arus sebesar 0,06 m/s; BOD5 sebesar 0,6 mg/l dan COD sebesar 24,04 mg/l menunjukkan bahwasanya stasiun tersebut kondisi perairannya juga stabil sehingga tidak terjadi pencemaran logam Pb, Cd dan Hg pada air dan jaringan tubuh ikan selain itu kondisi perairannya cocok untuk jenis ikan yang habitatnya didaerah estuari atau payau termasuk didalamnya ikan baung (Mystus gulio).

Menurut Khairuman et.al (2008) ikan baung ditemukan mulai dari hulu sampai muara sungai didaerah pasang surut yang berair payau. Selanjutnya menurut Kottelat (1993) Mystus gulio dibedakan dari Mystus lainnya oleh sirip lemak yang pangkalnya lebih pendek daripada pangkal sirip dubur dan penyebarannya di daerah estuari. Selanjutnya menurut Rachmawati et.al (2006) kualitas air dengan suhu sebesar 28-300C; pH sebesar 6,9-7,6 dan DO sebesar 3,5-5,6 mg/l masih dalam kisaran layak untuk pemeliharaan ikan baung.

Menurut Supriyanto (2007) kandungan logam berat dalam tubuh ikan erat kaitannya dengan pembuangan limbah industri disekitar tempat hidup ikan seperti sungai, danau, dan laut. Banyaknya logam berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan bergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi polutan, aktivitas mikroorganisme, tekstur sedimen, serta jenis ikan yang hidup di lingkungan tersebut. Selanjutnya menurut Simbolon et.al (2010) faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuh ikan adalah tingkah laku makan ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya memiliki pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang berbeda pula.


(59)

Rendahnya akumulasi logam Pb, Cd, dan Hg dalam jaringan tubuh ikan yang didapat dari lokasi penelitian menunjukkan bahwasanya ikan yang berada di daerah aliran sungai Percut aman untuk dikonsumsi akan tetapi jika terus menerus dibiarkan akumulasi logam dalam jaringan tubuh ikan akan terus meningkat dan akan menyebabkan keracunan logam Pb, Cd dan Hg pada ikan dan apabila dikonsumsi oleh masyarakat maka akan terkena efek dari dari toksik logam tersebut. Menurut Widowati et al (2008) Toksisitas kronis Cd bisa merusak sistem fisiologis tubuh, antara lain system urinaria (ren), system respirasi (paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung, kerusakan sistem reproduksi, sistem syaraf, bahkan dapat mengakibatkan kerapuhan tulang sedangkan logam timbal (Pb) secara kronis bisa mengakibatkan kelelahan, kelesuan, gangguan iritabilitas, gangguan gastrointestinal, kehilangan libido, infertilitas pada laki-laki, gangguan menstruasi serta aborsi spontan pada wanita, depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, daya ingat terganggu, dan sulit tidur.

Menurut Palar (2008) pada peristiwa keracunan kronis oleh merkuri, ada dua organ tubuh yang paling sering mengalami gangguan, yaitu gangguan pada sistem pencernaan dan sistem syaraf. Radang gusi (gingivitis) merupakan gangguan paling umum yang terjadi pada sistem pencernaan sedangkan gangguan sistem syaraf berupa tremor (gemetar) ringan dan parkinsonisme yang juga disertai dengan tremor pada fungsi otot sadar.

4.4 Parameter Fisik Kimia Perairan

Pengamatan fisik kimia perairan meliputi suhu, pH, DO, BOD5, COD, dan kecepatan arus yang dapat menjadi gambaran kondisi lingkungan DAS Percut. Hasil analisis dilaboratorium dan pengamatan secara langsung pada masing-masing stasiun tertera pada Tabel 4.4.


(60)

Tabel 4.4 Nilai Faktor Fisik Kimia pada masing-masing Stasiun Penelitian

Keterangan : Stasiun 1 (Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), Stasiun 2 (Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan Amplas kotamadya Medan), Stasiun 3 (Kelurahan Menteng Raya Kecamatan Medan Denai kotamadya Medan), Stasiun 4 (Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 5 (Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan), Stasiun 6 (Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan).

4.4.1Suhu Air

Pada Tabel 4.4 menunjukkan kondisi suhu air pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 28-300C, suhu tertinggi terdapat pada stasiun 6 sebesar 300C. Hal tersebut dikarenakan pada stasiun 6 merupakan daerah hilir yang pada umumnya memiliki suhu paling tinggi dikarenakan kondisi suhu udaranya yang relatif tinggi dibandingkan pada stasiun 1-4 yang memiliki suhu udara yang relatif rendah selain itu juga adanya pengaruh kecepatan arus pada masing-masing stasiun dimana apabila kecepatan arus cukup tinggi akan semakin mengefisiensikan proses penyerapan panas dari atmosfer kedalam air.

Menurut Barus (2004) menyatakan bahwa daerah hilir pada umumnya memiliki fluktuasi temperatur tahunan yang semakin besar sedangkan daerah hulu memiliki fluktuasi temperatur tahunan yang paling kecil dikarenakan mata air pada daerah hulu belum banyak terjadi kontak dengan udara sehingga menyebabkan temperatur air yang relatif konstan dan rendah. Menurut Nontji (2007) suhu normal untuk perairan Indonesia yakni 28-310C. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan lagi proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara (Darmono 2001).

No Parameter Satuan

Stasiun

1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 Suhu pH air DO Kecepatan arus BOD5 COD 0 C Unit mg/l m/s mg/l mg/l 28 7,2 7 1,36 0,5 18,35 28 6,8 6,3 0,60 1,4 55,68 28 6,9 4,3 0,90 0,1 28,47 28 6,2 3,2 0,95 2,1 25,31 29 7,2 5,3 0,07 1,6 21,51 30 8,2 4,1 0,06 0,6 24,04


(61)

4.4.2 pH (Derajat Keasaman)

Pada Tabel 4.4 diketahui nilai pH pada seluruh stasiun berkisar antara 6,2-8,2. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 6 sebesar 8,2 dan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 6,2. Rendahnya nilai pH pada stasiun 4 dikarenakan terjadinya peningkatan pencemaran udara yang berasal dari aktivitas industri yang akhirnya menimbulkan pengasaman atau penurunan pH pada air sungai tersebut.

Menurut Palar (2008) dalam badan perairan ion-ion logam juga bereaksi berbentuk kompleks organik dan kompleks anorganik, semua dimulai dari yang mudah larut kepada kompleks yang sulit larut, semua itu sangat bergantung pada konsentrasi logam-logamnya dan pH dari larutannya. Berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 derajat keasaman (pH) perairan DAS Percut masih menunjukan nilai yang normal dengan kreteria mutu air berdasarkan kelas 3 yang diperuntukan untuk biota perairan berkisar antara 6-9 cm.

4.4.3 DO (Dissolved Oxygen)

Pada Tabel 4.4 menunjukkan kondisi oksigen terlarut pada semua stasiun penelitian berkisar antara 3,2-7 mg/l. Nilai DO tertinggi pada stasiun 1 sebesar 7 mg/l sedangkan nilai DO terendah pada stasiun 4 sebesar 3,2 mg/l. Tingginya nilai DO pada stasiun 1 dikarenakan stasiun tersebut merupakan daerah hulu sungai yang belum tercemar. Rendahnya nilai DO pada stasiun 4 dikarenakan banyaknya limbah yang berasal dari aktivitas industri yang masuk kedalam badan sungai.

Menurut Darmono (2001) penyebab utama berkurangnya kadar oksigen dalam air ialah limbah organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan mengalami degradasi dan dekomposisi oleh bakteri aerob (menggunakan oksigen dalam air) sehingga lama-kelamaan oksigen yang terlarut dalam air akan sangat berkurang. Berdasarkan PP No.82 Tahun 2001, DO perairan DAS Percut masih


(1)

Stasiun 4


(2)

(3)

Lampiran C. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Pengukuran DO

Sampel Air

1 ml MnSO4

Dikocok Didiamkan

Sampel dengan

Endapan Putih/Coklat

1 ml H2SO4

Dikocok Didiamkan

Larutan sampel

Berwarna Coklat

Dambil sebanyak 100 ml Ditetesi Na2S2O3 0,0125 N

Sampel Berwarna

Kuning Pucat

Ditambahkan 5 tetes Amilum


(4)

Lampiran D. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Pengukuran BOD5

Keterangan :

Perhitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan perhitungan nilai DO

Nilai BOD = Nilai DO awal - Nilai DO akhir.

Sampel Air

Sampel Air II

Sampel Air I

Diinkubasi selama 5 hari pada temperatur 200C

Dihutung nilai DO akhir

Dihitung nilai DO Awal


(5)

Lampiran E. Bagan Kerja Pengukuran COD dengan Metode Titrasi

Sampel air

Ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 0,25

N

Ditambahkan 5 ml H2SO4(P)

Ditambahkan 0,2 gr HgSO4

Direflux selama 2 jam

Sampel

Ditambahkan 10 ml H2SO4 (p)

Sampel dingin

Ditambahkan 5 tetes Indol Ferion

Dititrasi dengan FAS (Ferri Amonium Silfat) 0,1 N

Sampel bening

Hasil

Dihitung Volume FAS yang dipakai (=Nilai COD)


(6)