pertambangan tidak cocok untuk dikembangkan. Jika dipaksakan, hal tersebut akan mengundang bencana ekologi yang sangat parah. Hal ini dikarenakan
pertambangan mineral maupun minyak di Jawa Timur justru banyak dilakukan di kawasan hutan ataupun kawasan lindung. Salah satu akibat dari eksplorasi dan
eksploitasi di Jawa Timur yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan adalah terjadinya semburan lumpur Lapindo yang secara ekonomi menimbulkan
kerugian sebesar Rp. 33,27 trilyun Bachtiar, 2006.
5.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional pada Pra dan Era
Otonomi Daerah 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
Dalam melihat perbandingan kesempatan kerja di Jawa Timur maupun kesempatan kerja nasional pada lapangan usaha digunakan suatu rasio kesempatan
kerja. Rasio kesempatan kerja tersebut terbagi atas nilai Ra, Ri, dan ri. Tabel 5.5. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional Nilai Ra, Ri, ri
Lap. Usaha
Pra Otonomi Daerah Era Otonomi Daerah I
Era Otonomi Daerah II Ra
Ri ri
Ra Ri
ri Ra
Ri ri
1 0,05
0,08 0,08
-0,00 0,06
-0,04 0,07
0,02 0,10
3 0,05
0,08 0,04
-0,00 -0,10
-0,07 0,07
0,12 0,09
5 0,05
-0,08 -0,03
-0,00 0,07
0,09 0,07
0,16 0,03
6 0,05
0,15 0,06
-0,00 -0,04
0,00 0,07
0,08 0,05
7 0,05
0,16 0,06
-0,00 0,12
0,05 0,07
0,09 -0,01
8 0,05
0,28 0,89
-0,00 0,15
0,09 0,07
0,24 0,82
9 0,05
-0,18 -0,21
-0,00 -0,11
0,01 0,07
0,14 0,12
24 0,05
-0,45 -0,26
-0,00 -0,19
-0,10 0,07
-0,08 -0,25
TOTAL 0,05 0,05
0,02 -0,00
-0,00 -0,02
0,07 0,07
0,07
Sumber : BPS Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 3. Keterangan :
1. Pertanian 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
2. Pertambangan dan Penggalian 7. Transportasi, dan Komunikasi
3. Industri Pengolahan 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 9. Jasa-jasa
5. Bangunan
Berdasarkan Tabel 5.5. secara keseluruhan pertumbuhan kesempatan kerja nasional yang paling tinggi terjadi pada saat pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi
daerah dengan nilai Ra sebesar 0,07. Nilai ra tersebut menunjukkan selisih kesempatan kerja nasional tahun 2004 dan 2007.
Pada periode sebelum otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja juga bernilai positif seperti pada periode pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah.
Namun, nilai Ra pada periode pra otonomi daerah ini hanya sebesar 0,05. Memiliki selisih yang cukup jauh dari nilai Ra pasca tiga tahun pelaksanaan
otonomi daerah. Namun, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhannya negatif
sehingga nilai Ra juga negatif. Namun, nilai Ra tersebut sangatlah kecil bahkan mendekati nol -0,00 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tiga tahun
pertama pelaksanaan otonomi daerah tidak ada perubahan yang signifikan dalam pertumbuhan kesempatan kerja nasional. Jadi dapat dikatakan bahwa secara
keseluruhan pelaksanaan otonomi daerah dalam tiga tahun pertama belum memberikan kemajuan yang berarti. Ketidaksiapan perubahan dalam kubu
pemerintahan ini menjadi salah satu pemicu kurang berhasilnya pemerintah daerah dalam meningkatkan kesempatan kerja.
Nilai Ri menunjukkan kontribusi masing-masing lapangan usaha dalam menciptakan kesempatan kerja nasional. Dalam tiga periode analisis 1996 dan
2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 gabungan dari sektor pertambangan dan penggalian dengan sektor listrik, gas, air bersih selalu memiliki nilai Ri negatif.
Hal ini menunjukkan gabungan kedua sektor tersebut belum memberikan
kontribusi yang berarti dalam meningkatan kesempatan kerja nasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kurang berkontribusinya sektor
pertambangan di Jawa Timur dikarenakan pertambangan di Jawa Timur dapat mengundang kerusakan bencana alam yang parah. Sedangkan pertambangan
nasional kurang menarik minat investor. Kondisi listrik Indonesia juga sangat memprihatinkan. Krisis listrik di Indonesia terjadi karena pada saat krisis ekonomi
1997 tidak ada investor yang menanamkan modalnya untuk membangun pembangkit listrik. Selain terbatasnya pembangkit, perseroan juga menghadapi
keterbatasan kemampuan membeli energi. Pertumbuhan penggunaan listrik, kurangnya investor untuk meningkatkan pembangkit, disertai dengan mahalnya
harga bahan bakar membuat rentang harga jual listrik dengan biaya produksi makin jauh. Sementara itu, anggaran untuk membeli bahan bakar dibatasi Zack,
2008. Oleh karena itu, kontribusi sektor listrik dalam menciptakan lapangan kerja sangatlah kecil.
Periode pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah merupakan periode terbaik dalam meningkatkan kesempatan kerja nasional. Semua sektor memiliki
nilai Ri positif kecuali gabungan dari sektor pertambangan dan penggalian dengan sektor listrik, gas, air bersih. Nilai kontribusi gabungan kedua sektor tersebut yang
bernilai negatif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja nasional ternyata dialami juga oleh tenaga kerja di Jawa Timur. Dalam tiga periode analisis, nilai ri
gabungan kedua sektor tersebut adalah negatif. Kondisi ini berbeda sekali dengan sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan yang selalu memiliki nilai Ri dan
ri positif. Kontribusi sektor keuangan terhadap peningkatan kesempatan kerja
Jawa Timur dan nasional selalu tinggi bahkan selalu memiliki nilai paling tinggi di antara sektor-sektor lainnya. Sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan
ini memang banyak diminati banyak angkatan kerja. Selain memiliki banyak peminat, sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Membanjirnya
lembaga keuangan di berbagai daerah baik di Jawa Timur maupun di Indonesia menjadi salah satu faktor pendukung dalam memperluas kesempatan kerja.
5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah pada Pra dan Era