Konsep Otonomi Daerah Tinjauan Teori

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Konsep Otonomi Daerah

Peraturan tentang otonomi telah ada sejak zaman Orde Baru yang tertera dalam UU No. 5 tahun 1974. Menurut undang-undang tersebut otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, pelaksanaannya masih mengarah kepada sistem sentralistik. Mengingat kemampuan pemerintah pusat mensubsidi daerah dan membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah semakin menurun maka pemerintah memberlakukan suatu peraturan mengenai otonomi daerah yang mengarah kepada sistem desentaralisasi. Peraturan mengenai otonomi daerah ini tertera pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Berdasarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan o tonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Namun, ada perubahan terhadap UU No. 221999. Perubahan itu tercermin pada UU No. 32 tahun 2004. Berdasarkan UU No. 322004 pasal 10 ayat 3 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut undang-undang tersebut, otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional adalah memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi kepemimpinan nasional dan mempercepat pencapaian kemakmuran rakyat. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal LIPI, 2002. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahap awal telah menimbulkan masalah baru. Karena otonomi daerah dilandaskan atas nilai-nilai kebebasan dimana kebebasan tersebut tidak mampu dikendalikan oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya penegakan hukum banyak mendatangkan dampak negatif. Polemik pun timbul di kalangan masyarakat. Pemerintah beranggapan bahwa UU No. 22 tahun 1999 memberikan otonomi daerah yang terlalu luas dan tidak jelas sehingga memberikan kesempatan bagi daerah-daerah untuk mengambil langkah-langkah yang merugikan pelaksanaan otonomi daerah. Menurut tinjauan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI ada tiga alasan pemerintah meninjau ulang pelaksanaan otonomi daerah dengan mengadakan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut : 1 Kewenangan yang besar dari DPRD provinsi dan kabupatenkota sebagai akibat berubahnya DPRD yang semula merupakan bagian dari pemerintah daerah menjadi lembaga legislatif di daerah. Praktek money politics tawar- menawar dalam memperoleh dana di antara aparat pemerintahan pun mudah terjadi. 2 Kecenderungan banyak pemerintah kebupaten dan kota untuk meningkatkan PAD Pendapatan Asli Daerah dan sumber-sumber penghasil dana dengan cara menaikkan retribusi dan pajak. Dalam jangka panjang, peningkatan retribusi dan pajak justru akan merugikan daerah yang bersangkutan karena menyulitkan para pedagang dan pengusaha serta menjauhkan para calon investor. Di negara maju, menaikkan pajak adalah langkah terakhir yang ditempuh pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara karena merugikan rakyat banyak. 3 Adanya masalah hierarki antara pemerintah daerah pada tingkat Provinsi dan tingkat kabupatenkota. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada kabupatenkota menimbulkan persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat Provinsi. Padahal kenyataannya peran gubernur masih tetap penting dalam mengkoordinir para bupati dan walikota agar tercipta kerjasama yang baik dan dikuranginya benturan-benturan di antara mereka. Terkait dengan ketiga alasan tersebut pada akhirnya revisi terhadap undang-undang otonomi daerah pun dilakukan. Dengan demikian keluarlah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 25 tahun 1999.

2.1.2. Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran