Kultivasi dan karakterisasi biomassa Spirulina platensis

Marimin 2004. Kriteria yang menjadi penilaian adalah kriteria sensori dan kimia. Jelly drink Spirulina dengan nilai rasa tertinggi diberi score yang paling tinggi. Nilai bobot dikalikan dengan score sehingga didapatkan nilai alternatif. Nilai alternatif tertinggi menunjukkan jelly drink yang terbaik. Hasil pembobotan jelly drink Spirulina komersial dengan pertimbangan parameter sensori dan kimia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil pembobotan jelly drink Spirulina komersial metode Bayes Parameter Konsentrasi Spirulina Nilai bobot 0,6 0,4 0,2 Rasa 1 2 3 0,180 Aroma 3 1 2 0,154 Warna 1 2 3 0,154 Kenampakan 2 3 1 0,128 Daya sedot 1 3 2 0,102 Protein 3 2 1 0,154 Antioksidan 3 2 1 0,128 Total 2,00 2,08 1,92 Rangking 2 1 3 Penambahan Spirulina 0,4 menghasilkan total nilai pembobotan tertinggi 2,08 dan menjadi formula terpilih. Penambahan Spirulina membantu dalam pemberian warna minuman dan pengkayaan gizi minuman. Jelly drink Spirulina komersial 0,4 akan dibandingkan dengan jelly drink Spirulina 0,4 hasil kultivasi pada konsentrasi yang sama.

4.2.2 Kultivasi dan karakterisasi biomassa Spirulina platensis

Spirulina yang ditambahkan dalam pembuatan jelly drink adalah Spirulina komersial dan Spirulina kultur. Spirulina yang dikultur di laboratorium dipanen pada umur 17 hari. Spirulina yang ditambahkan berfungsi sebagai sumber zat gizi dan pewarna alami. Kandungan gizi Spirulina platensis berbeda-beda bergantung pada lingkungan, fase serta umur panen bahan baku tersebut. Zat gizi diperlukan tubuh sebagai penyedia energi, untuk pertumbuhan pengaturan serta pemeliharaan proses fisiologis dan biokimia di dalam tubuh. Hasil karakterisasi Spirulina platensis disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil karakterisasi biomassa Spirulina platensis Karakteristik Kandungan Spirulina kultur Spirulina komersial Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering Kadar air 93,15 4,28 Kadar abu 0,95 13,87 5,99 6,26 Kadar protein 3,85 56,20 61,06 63,79 Kadar lemak 1,65 24,09 0,14 0,15 Karbohidrat - Serat kasar - Serat pangan total 0,00 0,77 0,00 11,24 19,14 9,39 20,00 9,81 Antioksidan - IC 50 ppm 1625 931 Kandungan protein dan karbohidrat Spirulina komersial lebih tinggi dibandingkan Spirulina kultur, namun kandungan lemaknya lebih rendah. Hal ini diduga karena adanya perbedaan media yang digunakan dalam proses kultivasi. Media yang digunakan untuk kultivasi adalah media teknis terdiri dari MgSO 4 , K 2 SO 4 , CaCl 2 , EDTA, FeCl 3 , Urea. ZA, Na 2 HPO 4 , dan NaHCO 3. Kandungan protein yang lebih tinggi pada Spirulina komersial diduga karena konsentrasi N pada media yang digunakan untuk kultivasi lebih tinggi sehingga aktivitas metabolisme tetap berlangsung dalam jangka waktu yang optimum. Sumber nitrogen pada media teknis yang digunakan adalah urea CH 4 N 2 O. Costa et al. 2003 menjelaskan bahwa urea mengandung 2 atom nitrogen 46 nitrogen dan baik untuk pertumbuhan Spirulina selama konsentrasinya kurang dari 1,5 gL. Sumber nitrogen yang digunakan selama kultivasi yakni CH 4 N 2 O sebanyak 0,13 gL lebih rendah bila dibandingkan kulvitasi yang dilakukan oleh Widlaningsih et al. 2008 yang menggunakan NaNO 3 sebanyak 100grL. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Raoof et al. 2006, bahwa sumber N merupakan unsur penting bagi pertumbuhan Spirulina platensis dan merupakan level kritis bagi keberadaan nitrogen pada skala masal produksi Spirulina platensis dan dikatakan bahwa semakin rendah konsentrasi nitrogen maka akan semakin rendah pula nilai protein selnya. Kandungan karbohidrat Spirulina komersial lebih tinggi dibandingkan Spirulina kultur diduga karena adanya perbedaan media kultivasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Goksan et al. 2007, bahwa pada media yang kandungan nitrogennya tercukupi akan mendukung produksi protein tetapi akan menurunkan sintesis karbohidrat. Media yang mengalami kekurangan nitrogen selama kultivasi maka produksi karbohidrat akan meningkat sedangkan produksi protein akan mengalami penurunan. Kandungan lemak Spirulina hasil kultur lebih tinggi bila dibandingkan dengan Spirulina komersial. Hal ini diduga karena adanya perbedaan kondisi lingkungan kultivasi seperti suhu, salinitas dan intensitas cahaya. Menurut laporan penelitian yang dilakukan oleh Colla et al. 2007 diketahui bahwa suhu media kultivasi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi lemak. Qin 2005 juga menjelaskan bahwa intensitas cahaya dan salinitas dapat mempengaruhi produksi lemak. Intensitas cahaya lebih dari 60 Wm 2 dan NaCl lebih dari 0,15 M dapat mengakibatkan pengurunan produksi lemak. Abu merupakan zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral suatu bahan Santoso et al. 2007. Kadar abu Spirulina kultur lebih tinggi dibandingkan Spirulina komersial. Hasil penelitian Widianingsih et al. 2008 menunjukkan bahwa keberadaan unsur mineral dalam media kultur dapat mempengaruhi kadar abu. Spirulina hasil kultur dikultivasi menggunakan media teknis yang mengandung bahan pengisi. Hal ini mengakibatkan media sukar larut sempurna terutama NaHCO 3. Apabila proses pencucian yang dilakukan kurang bersih maka dimungkinkan adanya media yang terikut dan menambah kadar abu dalam bahan baku. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mengikat radikal bebas penyebab beberapa penyakit degeneratif, karsiogenik dan juga penuaan Jeong et al. 2004. Spirulina komersial maupun Spirulina hasil kultur mempunyai aktivitas antioksidan dengan IC 50 Inhibitor Concentration 50 berturut-turut adalah 931 ppm dan 1625 ppm. Nilai IC 50 menggambarkan konsentrasi senyawa antioksidan yang menyebabkan hilangnya 50 aktivitas DPPH. Bahan dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat apabila memiliki IC 50 kurang dari 50 ppm dan dikatakan lemah apabila lebih dari 200 ppm Blois 1958 dalam Molyneux 2004. Hal ini menunjukkan bahwa Spirulina komersial maupun Spirulina kultur mempunyai aktivitas antioksidan namun sangat lemah. Sumber antioksidan yang terkandung dalam Spirulina diantaranya adalah fikosianin, betakaroten, tokoferol, γ-linoleic acid dan komponen fenol. Selenium yang terkandung dalam fikosianian memiliki aktivitas yang kuat dalam menghambat radikal superoksidase dan hydrogen peroksida Merdekawati dan Susanto 2009. Tingginya nilai IC 50 pada Spirulina kultur mengindikasikan bahwa kandungan komponen antioksidannya lebih rendah. Kadar nitrogen dalam media kultur dan juga suhu kulvitasi berpengaruh terhadap sintesis komponen fenol. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colla et al. 2007 menunjukkan bahwa kandungan fenol yang tinggi didapatkan pada kultur dengan penambahan sodium nitrat sebanyak 1,875 gL atau 2,5 gL dan suhu 35 o C. Apabila kadarnya berkurang atau berada dibawah standar maka proses sintesis fikosianin dan komponen lain akan terganggu. Kultivasi yang dilakukan dilaboratorium menggunakan sumber N sebanyak 0,13 gL dengan suhu 29 o C. Hal inilah yang diduga manjadi penyebab rendahnya aktivitas antioksidan Spirulina hasil kultur. Aktivitas antioksidan yang rendah pada Spirulina hasil kultur diduga karena sampel yang digunakan tidak diekstrak terlebih dahulu. Berdasarkan hasil penelitian Herrero et al. 2004 diketahui Spirulina yang diekstrak menggunakan etanol memiliki nilai IC 50 sebesar 91,4 ppm dan rendemen yang didapat lebih besar dibandingkan pelarut heksan dan petroleum eter.

4.3 Penelitian Utama Tahap 2