Pengertian perbuatan tidak kooperatif

BAB III TINDAKAN DEBITUR YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF

A. Pengertian perbuatan tidak kooperatif

Tindakan kooperatif itikad baik seharusnya menjadi ruh dalam memahami, melahirkan dan melaksanakan perjanjian. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lain saat ini menjadi dinamika yang berkembang di Indonesia. Banyak pihak berharap penyelesaian sengketa melalui jalur ini akan membawa angin segar bagi dunia hukum dan bisnis. Pada kenyataannya praktik penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan ini sering terkendala dengan adanya perbuatan tidak kooperatif masing-masing pihak maupun pihak lain yang terkait yang mengakibatkan munculnya permasalahan hukum. Asas itikad baik dikenal dalam perjanjian, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa dipengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Blacks Law Dictionary. 53 Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”. Dalam Black‟s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense.” Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut: Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum. Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik. Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak. Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada „kesengajaan sebagai bentuk kesalahan‟ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. 54 Menurut uraian mengenai perbuatan kooperatif diatas dapatlah dikatakan bahwa perbuatan tidak kooperatif adalah perbuatan tipu daya yang bertentangan 54 http:lbh-madani.blogspot.com201302itikad-baik-menurut-hukum.html diakses pada 6 Maret 2013. dengan perbuatan kooperatif. Yaitu perbuatan yang tidak menunjukkan adanya kerja sama dengan melakukan pertentangan terhadap suatu sikap individu maupun golongan tertentu yang dapat menimbulkan kerugian bagi mitra janjinya dan kepentingan umum. Pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator sering menemui hambatan-hambatan yang menghalangi jalannya proses kepailitan sampai dengan pelaksanaan putusan kepailitannya. Hambatan ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena dengan lambatnya pelaksanaan putusan kepailtan maka dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kepailitan tersebut, padahal UUK-PKPU menganut asas adil memperhatikan kepentingan secara seimbang antara kreditur dan debitur, cepat dibatasi jangka waktu penyelesaian perkara baik ditingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali, dan efektif putusan mempunyai kekuatan pasti dan sudah dapat dilaksanakan. Hambatan biasanya datang dari pihak debitur yang tidak kooperatif atau yang tidak mempunyai keinginan untuk melunasi utang-utangnya, bisa berupa penggelapan investasi pada saat kurator akan mencatat harta debitur, dengan serta merta debitur memindahkan harta kekayaannya ke tempat lain sehingga pada saat diadakan pencatatan oleh kurator ternyata debitur telah tidak mempunyai harta apa-apa lagi, menolak memberikan seluruh data dan informasi sehubungan dengan harta pailit secara lengkap dan akurat, menolak menyerahkan seluruh kewenangan pengurusan harta pailit dan usahanya kepada kurator dan tidak lagi menjalankannya sendiri, menolak jika diminta membantu tugas kurator dalam menjalankan tugasnya 55 Tidak jarang pula debitur tidak kooperatif terhadap Balai Harta Peninggalan selaku kurator pailit dalam menginventarisir harta pailit. Hal ini mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam menelusuri keberadaan dari harta pailit tersebut. Disamping itu, berkaitan dengan hal tersebut sering juga dijumpai debitur yang melarikan diri pada saat permohonan pailit sedang di proses di Pengadilan Niaga, maupun setelah keluarnya putusan pailit. Dalam hal jika terjadi hal seperti itu, maka hakim pengadilan niaga berhak untuk mengeluarkan putusan permohonan pernyataan pailit serta penetapan untuk penahanan sementara bagi debitur pailit sampai proses kepailitan berakhir atau sering disebut sebagai paksa badan gijzeling. Gizjeling merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitur pailit benar-benar membantu tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. 56

B. Ruang Lingkup Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur menurut Undang-