Penahanan Sebagai Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur

B. Penahanan Sebagai Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur

Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Terhadap debitur pailit dapat dikenakan penahanan melalui gijzeling paksa badan. Penahanan ini terutama ditujukan apabila si debitur pailit tidak kooperatif dalam pemberesan kepailitan. Gijzeling merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitur pailit benar-benar membantu tugas-tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur tentang penahanan debitur ini di dalam Pasal 93 sampai Pasal 96. Sedangkan ketentuan teknis penahanan debitur pailit sebelum adanya UUK-PKPU diatur melalui lembaga paksa badan yang mengacu pada Perma No. 1 Tahun 2000. 77 1. Penahanan debitur pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenal ketentuan mengenai kemungkinan debitur pailit ditahan. Dahulu ketika UUK-PKPU yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, lembaga tersebut dikenal sebagai lembaga paksa badan atau penyanderaan. Dalam bahasa Faillessementverordening dikenal sebagai lembaga gijzeling. Dengan UUK- PKPU disebut lembaga penahanan. 77 Hadi Shuban, Op.Cit., hlm.179. a. Alasan penahanan Pasal 93 ayat 1 UUK-PKPU menyatakan : “Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan dirumah tahanan Negara, maupun dirumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.” Penahanan debitur pailit dalam perkara kepailitan dilakukan oleh jaksa atas usul Hakim pengawas, permintaan kurator, atau permintaan seorang kreditur atau lebih. Permintaan penahanan debitur pailit harus dikabulkan apabila didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU, yaitu : 78 1 Mengahambat tugas kurator dalam rangka pengamanan terhadap harta pailit Pasal 98 UUK-PKPU; 2 Dipanggil untuk menghadap Hakim pengawas atau kurator tetapi tidak hadir Pasal 110 UUK-PKPU; 3 Tidak hadir pada rapat pencocokan piutang Pasal 121 ayat 1 UUK- PKPU. 78 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 95. b. Penahanan terhadap anggota pengurus badan hukum yang pailit Pasal 95 UUK-PKPU menyebutkan permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan segaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, dan Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 111 UUK-PKPU, dalam hal kepailitan suatu badan hukum, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96 dan Pasal 97 hanya berlaku terhadap pengurus badan hukum tersebut, dan ketentuan Pasal 110 ayat 1 berlaku terhadap pengurus dan komisaris. Menurut penjelasan Pasal 111, yang dimaksud dengan “komisaris” termasuk badan pengawas. Oleh karena yang disebutkan dalam Pasal tersebut adalah berlaku terhadap pengurus dan badan hukum, maka ketentuan Pasal 111 UUK-PKPU tersebut berlaku untuk badan hukum apapun misalnya untuk pengurus dari debitur yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, BUMN, universitas yang berbentuk badan hukum, dan lain-lain. Namun perlu disepakati dengan jelas, siapa yang dimaksud dengan “pengurus”. Hal tersebut harus dapat ditentukan berdasarkan anggaran dasar badan hukum yang dimaksud. Misalnya, apabila badan hukum tersebut secara jelas dibedakan antara pengurus dan pembina, maka jelas terhadap pembina tidak berlaku ketentuan Pasal 111 UUK-PKPU tersebut. c. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan penahanan Menurut Pasal 93 ayat 1 UUK-PKPU, pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Menurut Pasal 93 ayat 1 itu salah satu yang dapat mengajukan permohonan untuk menahan debitur adalah kreditur. Akan tetapi, UUK-PKPU tidak jelas menentukan apakah permintaan penahanan itu dapat diajukan oleh baik kreditur konkuren maupun kreditur preferen, ataukah hanya dapat diajukan oleh kreditur konkuren. d. Tempat penahanan Selanjutnya Pasal 93 ayat 1 itu pula menentukan pula bahwa penahan tersebut dapat dilaksanakan baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun dirumahnya sendiri. e. Jangka waktu penahanan Pasal 93 ayat 3 UUK-PKPU menentukan, perintah penahanan itu berlaku untuk 30 hari terhitung dari hari mulainya penahanan itu dilaksanakan. Namun demikian, menurut Pasal 93 ayat 4, pada akhir tenggang waktu tersebut, atas usul Hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar Hakim pengawas, Pengadilan Niaga dapat memperpanjang masa penahanan itu untuk setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 hari. Dengan demikian, masa penahanan dapat berkepanjangan karena sekalipun setiap 30 hari masa penahanan itu berakhir tetapi selalu saja dapat dimintakan perpanjangan untuk 30 hari lagi. f. Beban biaya penahanan Mengenai siapa yang akan menangung biaya penahanan Pasal 93 ayat 5 menentukan bahwa biaya penahanan tersebut dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit. g. Jaminan pihak ketiga bagi kepentingan debitur Menurut Pasal 94 ayat 1 UUK-PKPU, dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa debitur pailit setiap waktu akan wajib menghadap pada panggilan pertama, pengadilan berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul Hakim pengawas atau atas permohonan debitur pailit. Pasal 94 ayat 2 menentukan, jumlah uang jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh pengadilan. Selanjutnya ditentukan pula bahwa apabila debitur pailit ternyata tidak datang menghadap setelah dipanggil oleh pengadilan, maka uang jaminan tersebut menjadi keuntungan menjadi bagian dari harta pailit. Pasal 95 UUK-PKPU menentukan, permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2. Pasal 98 menyatakan sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Pasal 110 menyatakan Debitur pailit wajib menghadap para Hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil untuk memberikan keterangan. Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing terhadap harta bersama. Pasal 121 menyatakan debitur pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditur dapat meminta keterangan dari debitur pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim pengawas. Ketentuan Pasal 95 yang menunjuk Pasal 98 sangat menimbulkan pertanyaan. Pasal 98 bukan berisi kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur pailit, tetapi kewajiban oleh kurator. Oleh karena itu, bagaimana mungkin debitur pailit dapat melanggar Pasal 98 untuk dijadikan alasan bagi penahannya. Perlu dicatat bahwa keharusan bagi pengadilan untuk mengabulkan permintaan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 tersebut diatas, yaitu dalam hal debitur pailit tidak memenuhi kewajiban Pasal 110 dan 121 adalah apabila dapat dibuktikan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam kedua Pasal tersebut. Namun demikian, apabila tidak dipenuhinya kewajiban debitur pailit tersebut bukan karena sengaja, bukan berarti pengadilan harus menolak permohonan penahanan tersebut. Oleh karena UUK- PKPU tidak menentukan alasan-alasan yang bersifat limitatif dalam hal apa saja seorang debitur pailit dapat diputuskan oleh pengadilan untuk ditahan, maka hakim bebas untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Dengan kata lain, dapat saja hakim mengabulkan permohonan tersebut sekalipun tidak melanggar kewajiban debitur pailit yang ditentukan dalam Pasal 110 dan Pasal 121 tetapi memutuskan untuk menahan debitur pailit karena pertimbangan lain. Kehadiran debitur pailit berkenaan dengan perbuatan hukum yang menyangkut harta pailit dan apabila debitur pailit berada dalam penahanan sangatlah diperlukan, maka atas permintaan Hakim pengawas debitur pailit dapat diambil dari tempat tahanan dan dibawa ketempat diamana perbuatan hukum tersebut dilakukan. Demikian menurut ketentuan Pasal 96 ayat 1 UUK-PKPU. Menurut Pasal 96 ayat 2, perintah hakim pengawas tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dijalankan oleh kejaksaan. Pasal 97 UUK-PKPU menentukan, selama dalam kepailitan, debitur pailit tidak boleh meninggalkan domisilinya tempat tinggalnya tanpa ijin dari Hakim pengawas. Dapat diberi pandangan bahwa, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 97 itu dapat dijadikan alasan bagi diajukannya permohonan penahanan terhadap debitur pailit. Pasal 110 ayat 1 UUK-PKPU menentukan, debitur pailit wajib menghadap Hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur untuk memberikan keterangan apabila debitur pailit itu dipanggil untuk kepentingan tersebut. Dalam hal debitur pailit melalaikan kewajiban yang dibebankan oleh Pasal 110 ayat 1 itu, pengabaian terhadap kewajiban Pasal 110 ayat 1 itu dapat dijadikan alasan bagi diajukannya permohonan agar debitur pailit ditahan. Pasal 110 ayat 2 UUK-PKPU menentukan, dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, mereka wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing terhadap harta bersama. Logikanya, sudah tentu yang dapat diberikan adalah sepanjang keterangan tetang perbuatan hukum yang dilakukan olehnya atau yang diketahuinya. Menurut Munir Faudi, oleh karena ketentuan Pasal 23 UUK-PKPU menentukan, yang dimaksud dengan debitur pailit adalah juga suamiisteri debitur pailit yang menikah dalam persatuan harta tidak membuat perjanjian pisah harta, maka permohonan penahanan dapat diajukan kepada suamiistri dari debitur pailit yang melanggar ketentuan Pasal 110 ayat 2 UUK-PKPU tersebut. Ketentuan penahanan harus diberlakukan seperti itu karena hanya dengan demikian ketentuan Pasal 110 ayat 2 akan dapat ditegakkan. Tanpa adanya sanksi atas tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 110 ayat 2 UUK-PKPU itu, maka ketentuan Pasal 110 ayat 2 UUK-PKPU itu tidak akan memiliki wibawa. 79 Berdasarkan Pasal 93 ayat 1 UUK-PKPU maka debitur dapat ditahan baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun dirumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim. Putusan penahanan dikeluarkan pengadilan atas usul hakim pengawas, permintaan kreditur, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih. Permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2. Pasal 110 79 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 421. menyebutkan debitur pailit wajib menghadap hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil untuk memberikan keterangan. 80 Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa menurut Pasal 95, pelanggaran terhadap kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2 dapat pula dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan penahanan terhadap debitur pailit dan permintaan tersebut harus dikabulkan oleh pengadilan sepanjang terbukti bahwa pelanggaran tersebut dilakukan oleh debitur dengan sengaja. Menurut Pasal 121 ayat 1, debitur pailit wajib hadir sendiri tidak dapat diwakilkan kepada siapapun dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. Apabila ternyata debitur tidak hadir atau tidak hadir sendiri , maka menurut ketentuan Pasal 95 kepada debitur dapat diajukan permohonan penahanan oleh Hakim pengawas, kurator atau kreditur kepada pengadilan dan pengadilan harus mengabulkan permintaan tersebut. Namun sekali lagi harus dicatat bahwa pengadilan hanya wajib mengabulkan permintaan tersebut apabila terbukti debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya itu. 81 2. Penahanan debitur pailit tidak kooperatif menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tetang Lembaga Paksa Badan Pada tanggal 30 Juni 2000, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No.1 tahun 2000. Perma No.1 Tahun 2000 mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung 80 http:m.bisnis.comquick-newsread20130324164970pailit-batavia-air-debitur- tak-boleh-ke-luar-negeri-dan-terancam-ditahan diakses pada 21 februari 2015. 81 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hlm.425. Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975. Sebagaimana diketahui, dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975, diinstruksikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada para ketua pengadilan dan hakim untuk tidak menggunakan lagi peraturan-peraturan mengenai gijzeling yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui HIR serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 259 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura RBg. Larangan tersebut didasarkan pertimbangan bahwa lembaga tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, sehingga perlu mencabut dan mengatur kembali peraturan tersebut. Demikian dikemukakan dalam bagian pertimbangan dari Perma No.1 Tahun 2000. Dari pertimbangan Perma No.1 Tahun 2000 tentang paksa badan tersebut, dapat diketahui pendirian Mahkamah Agung mengenai perlunya lembaga gijzeling dihidupkan kembali setelah sebelumnya dibekukan oleh Mahkamah Agung seperti dikemukakan diatas. Menurut pertimbangan peraturan Mahkamah Agung tersebut, perbuatan debitur, penanggung atau penjamin utang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali utang-utangnya, padahal ia mampu untuk melaksanakannya, merupakan pelangggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar dari pada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan. Pendirian ini adalah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut tidak hanya mengakui hak asasi manusia tetapi mengakui pula kewajiban dasar manusia. Undang- undang tersebut dalam memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksudkan dengan kewajiban dasar manusia, yang dapat disebut juga sebagai kewajiban asasi, adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Pelaksanaan paksa badan jangan sampai melanggar Pasal 34 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Pasal 34 Udang-U ndang tersebut, “setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang- wenang”. Menurut Perma No. 1 Tahun 2000 tersebut, debitur yang tidak beritikad baik adalah debitur, penanggung, atau penjamin utang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utang-utangnya. Sementara itu, Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan : “Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piut ang”. Menurut Pasal 2 Perma No.1 Tahun 2000, pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik dijalankan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 RBg, kecuali dalam hal yang diatur secara khusus dalam peraturan ini. Paksa badan, menurut Pasal 3 ayat 1 peraturan itu tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang tidak beritikad baik yang telah berusia 75 tahun. Paksa badan, menurut Pasal 3 ayat 2 Perma No. 1 Tahun 2000 dapat pula dikenakan terhadap ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur yang beritikad tidak baik. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, apabila ahli waris ingin terhindar dari kemungkinan menjadi objek paksa badan, maka ahli waris yang bersangkutan seyogianya menolak memperoleh bagian waris pada waktu harta waris terbuka untuk dibagikan. Menurut ketentuan Pasal 4 peraturan itu, maka sekalipun debitur tidak beritikad baik tetapi sepanjang utangnya kurang dari Rp 1 miliar, maka terhadap debitur tersebut tidak dapat dilakukan paksa badan. Pelaksanaan paksa badan bukan tidak terbatas. Menurut Pasal 5, paksa badan ditetapkan untuk enam bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap enam bulan dengan keseluruhan maksimum selama tiga tahun. Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat 1 Perma No.1 Tahun 2000. Dari ketentuan Pasal 6 ayat 1 tersebut menyatakan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan. Namun demikian, sepanjang kewajiban debitur didasarkan atas pengakuan utang sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR258 RBg, menurut Pasal 7 paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 6 ayat 2, terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang kepada Negara atau yang dijamin oleh Negara, putusan tetap paksa badan dilaksanakan secara serta-merta. Artinya, paksa badan tersebut dapat segera dilaksanakan, sekalipun debitur yang bersangkutan melakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi. Pelaksanaan putusan yang menyangkut pelaksanaan paksa badan, menurut Pasal 6 ayat 3 Perma No. 1 Tahun 2000 dilakukan dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 8, pelaksanaan paksa badan dilakukan oleh paniterajuru sita atas perintah ketua pengadilan negeri. Bilamana perlu misalnya karena debitur membangkang dilakukan dengan bantuan alat Negara. Biaya selama debitur yang beritikad tidak baik menjalani paksa badan, menurut Pasal 9 ayat 1 peraturan tersebut dibebankan kepada pemohon paksa badan. Pasal 9 ayat 2 membolehkan bahwa selama menjalani paksa badan debitur yang beritikad tidak baik tersebut dapat memperbaiki kehidupannya atas biaya sendiri. Pasal 9 ayat 2 dapat mengakibatkan tujuan paksa badan menjadi tidak efektif. Dengan dimungkinkannya debitur membayai sendiri kebutuhannya agar kehidupannya menjadi lebih baik, maka tekanan psikologis yang diharapkan tercipta dengan dilakukannya paksa badan itu agar dapat memaksa debitur yang bertikad tidak baik membayar utangnya akan sia-sia. Seyogianya tidak dimungkinkan bagi debitur untuk membiayai sendiri kehidupannya tetapi semata- mata dibiayai oleh pemohon paksa badan itu sendiri. Namun demikian, perlu ditunjuk hakim pengawas dalam hal belum ada hakim pengawas untuk memastikan bahwa pelaksanaan paksa badan tersebut tidak manusiawi. 82 Paksa badan menurut Perma No. 1 Tahun 2000 adalah tindakan yang ditimpalkan kepada jasad atau tubuh debitur sebagai tekanan atau desakan agar memenuhi kewajiban lialibility membayar utang yang diperintahkan putusan atau penetapan pengadilan. Jadi istilah paksa badan dikaitkan dengan konsep 82 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hlm.426. imprisonment for civil debt “merampas kebebasan atau kemerdekaan” deprivation of liberty atau menahan debitur, bertentangan dengan kemauannya, detention of adebtor contrary to his will sehubungan utang perdata. Menurut Hadiyanto, upaya paksa badan ditujukan kepada penanggung dan penjamin utang atau ahli waris dari debitur yang tidak memiliki barang jaminan, tidak memenuhi pernyataan bersama atau mengingkari surat paksa, serta tidak beritikad baik memenuhi kewajiban meskipun mampu membayar utangnya. 83 Tujuannya untuk mendesak atau menekan debitur memenuhi atau melaksanakan pembayaran utang yang diperintahkan oleh putusan atau penetapan pengadilan. 84 Dilakukan apabila tenggang masa ann maning telah dilampaui dan tergugat tetap tidak menjalankan putusan pengadilan maka berdasarkan Pasal 6 ayat 3 Perma No. 1 Tahun 2000 jo. Pasal 197 ayat 1 dan Pasal 209 HIR: a. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan paksa badan; b. Penetapan berisi perintah supaya tergugat dimasukkan ke tahanan menjalani paksa badan; c. Perintah pelaksanaan paksa badan menurut Pasal 209 HIR ditujukan Ketua Pengadilan Negeri kepada Panitera atau Juru Sita. Debitur yang dapat dikenai paksa badan menurut Perma No. 1 Tahun 2000 adalah : 83 http:www.library.ohiou.eduindopubs200009100061.html diakses pada 25 November 2014. 84 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Eksekusi Perdata Jakarta : Sinar Grafika, 1990, hlm. 96. a. Debitur, penanggung atau penjamin yang tidak mau memenuhi kewajibannya membayar utang-utangya, padahal mampu untuk memenuhinya b. Pasal 2 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung mengatakan, paksa badan dapat dikenakan terhadap ahli waris debitur dengan syarat : 1 Ahli waris tersebut memerima warisan dari debitur, dan 2 Debiturnya sediri beritikad tidak baik Penerapan paksa badan terhadap ahli waris, sejalan dengan prinsip bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya menurut hukum menerima hak dan kewajiban yang ditinggalkan pewaris. Akan tetapi pelaksanaan paksa badan terhadap ahli waris dibatasi. Hanya dikenakan kepada ahli waris yang pewarisnya beritikad tidak baik. Kalau pewaris beritikad tidak baik, ahli waris tidak dapat dikenakan paksa badan. Pembatasan lain terhadap paksa badan hanya dikenakan terwahap ahli waris yang menerima warisan debitur. Terhadap yang menolak warisan tidak dapat dikenakan paksa badan, sepanjang penolakan itu memenuhi ketentuan Pasal 1037 KUH Perdata : a. Penolakan dilakukan dengan tegas; b. Penolakan dibuat dalam bentuk di kepaniteraan Pengadilan Negeri didaerah mana warisan itu terbuka; c. Paksa badan hanya dapat dikenakan terhadap debitur yang mempunyai utang minimal Rp 1 miliar; Tidak terhadap semua debitur dapat dikenakan paksa badan. Akan tetapi, dibatasi terhadap debitur yang mempunyai utang tertentu, hal itu ditegaskan pada Pasal 4 Perma No. 1 tahun 2000 : a. Hanya dapat dikenakan terhadap debitur yang mempunyai utang minimal atau sekurang-kurangnya 1 miliar; b. Debitur tersebut beritikad tidak baik. Kedua syarat itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisah. Meskipun beritikad tidak baik, terhadapnya tidak dapat dikenakan paksa badan jika jumlah utangnya kurang dari Rp 1 miliar. Sebaliknya meskipun jumlah utangnya lebih dari Rp 1 miliar , namun dia beritikad baik terhadapnya tidak dapat dikenakan paksa badan. Mengenai batas minimal jumlah utang yang dapat dikenakan sandera sebesar Rp. 1 miliar, mungkin dianggap realistis pada saat ini. Akan tetapi, pembatasan itu pada suatu saat memerlukan penilaian dan perubahan sesuai dengan fluktuasi daya beli rupiah. Jika pada suatu saat harganya merosot, batas minimal perlu ditingkatkan, sebaliknya kalau daya beli menguat batas tersebut perlu ditinjau. 85 Ketentuan normatif mengenai penahanan debitur pailit baik yang diatur dalam UUK-PKPU dan Perma No. 1 Tahun 2000 masih terdapat problematika yuridis didalamnya. Problematika yuridis tersebut baik dengan adanya beberapa ketentuan yang tidak harmonis antara satu peraturan dengan peraturan lainnya, antara lain sebagai berikut : 86 85 Faisal Akbar,”Paksa Badan Sebagai Alternatif Penanganan Terhadap Debitur Yang beritikad Tidak Baik Dalam Sistem Perbankan Syariah ”,Skripsi sarjana ,Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan,2009, hlm. 61. 86 Hadi Shuban, Op.Cit., hlm.179.

1. Jumlah minimum utang debitur yang beritikad tidak baik yang dapat ditahan.