Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Di Kabupaten Sumbawa Barat

(1)

HELMY AKBAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014 Helmy Akbar NIM C252100091


(3)

Kabupaten Sumbawa Barat. Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL, ARIO DAMAR, dan KADARWAN SOEWARDI.

Pengelolaan suatu sumberdaya pesisir yang baik perlu memperhatikan aspek keberlanjutan. Selain itu, pengetahuan dan informasi sejauh mana potensi sumberdaya pesisir serta konsep pengembangannya kedepan sangat menentukan keluaran (output) yang dihasilkan. Komoditas rumput laut selama ini masih menjadi andalan sektor kelautan dan perikanan. Dalam konsep minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), rumput laut menjadi salah satu sektor basis dalam pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. Pada skala lokal, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menargetkan peningkatan produksi rumput laut dengan pengalokasian lahan pesisir secara maksimal untuk pengembangan budidaya. Tentunya target ini perlu diikuti dengan riset yang menunjang sebagai justifikasi ilmiah agar konsep pengelolaan dan pengembangan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana diketahui Kabupaten Sumbawa Barat terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan area yang potensial untuk budidaya rumput laut seperti Kappaphycus alvarezii. Pada saat ini, pusat budidaya rumput laut berlokasi di Teluk Kertasari dan Poto Tano. Dari hasil identifikasi ditemukan ada tiga varian rumput laut ekonomis yang diperoleh pada lokasi budidaya yaitu

Kappaphycus alvarezii (var tambalang) brown yellow, K. alvarezii (var maumere

+ tambalang) brown red , dan Kappaphycus striatum (sacol) green.

Permintaan pasar untuk komoditas K. alvarezii cenderung meningkat, dan karena itu pembukaan daerah-daerah baru untuk budidaya sangat diperlukan untuk dikembangkan. Studi fisika, kimia dan biologi kelautan diperlukan untuk menilai kesesuaian lokasi budidaya. Metode penentuan daerah kesesuaian menggunakan pembobotan nilai kriteria ekologis dengan analisis GIS (Geographical

Information System). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kecamatan Poto Tano

memiliki 805 ha lahan yang cocok untuk budidaya. Sedangkan, Kecamatan Taliwang dan Jereweh memiliki sekitar 70 ha dan 86 ha. Sehingga, total jumlah lahan yang cocok untuk budidaya rumput laut sekitar 961 ha.

Kata kunci: analisis GIS, budidaya rumput laut, fisika-kimia perairan, Kappaphycus alvarezii, K. striatum, kesesuaian lokasi


(4)

Sumbawa. Supervised by MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL, ARIO DAMAR, and KADARWAN SOEWARDI.

Management of coastal resources is needed a good consideration of sustainability. The extent of knowledge and information as well as the coastal resource potential future development concept will determine the output. Seaweed commodities are still a mainstay for marine and fisheries sector. The Ministry of Maritime Affairs and Fisheries with concept of “minapolitan” include seaweed as one of the flagship commodities in the economic development of coastal communities. At the local scale, the Government of West Sumbawa is targeting to increase seaweed production with a maximum land allocation for marine culture development. Obviously, this target needs to be followed by supporting research as the scientific justification for management and development.

West Sumbawa is included in the Province of West Nusa Tenggara, which is a potential area for seaweed farming. Currently, the center activity for seaweed farming was located in the Gulf of Kertasari and Poto Tano. Three variants are found during field survey on study location as commercial product of seaweed, i.e. Kappaphycus alvarezii (var tambalang) brown yellow, K. alvarezii (var Maumere + tambalang) brown red, and Kappaphycus striatum (var sacol) green.

Market demand for commodities of K. alvarezii tends to be increase, and new areas of cultivation are required to be developed. Through a study of physics, chemistry and biology of marine aspect is needed to assess the area suitability. The method that used for suitability analysis is scoring value based on ecological criteria trough GIS (Geographical Information System) analysis. The result showed that Poto Tano has the biggest suitable for farming (805 ha). While, Taliwang and Jereweh are consist about 70 ha and 86 ha, respectively. Total suitable for seaweed farming is about 961 ha.

Keywords: seaweed mariculture, Kappaphycus alvarezii, K. striatum, physics-chemistry of marine, GIS analysis, land suitability.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis initanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

HELMY AKBAR

Tesis

Sebagai syarat untuk meraih gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(7)

(8)

(9)

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian telaah kriteria ekobiologi dan lingkungan alga laut budidaya.dengan judul Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat.

Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih atas saran dan nasehat dari komisi pembimbing yaitu Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc, Bapak Dr. Ir. Ario Damar, MSi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi selaku penguji luar komisi dan Dr Yon Vitner SPi MSi selaku perwakilan dari program studi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Syamsul Hidayat, MSi (BAPPEDA-KSB), Bapak Iman Teguh, S.Pi, Singgih A. Putra, SPi, MSi, M. Arif Nasution, SPi, MSi, Ahmad M Rangkuti, SPi, MSi yang telah membantu selama penelitian. Serta Bapak Dr. Mujio Sukir dan Destilawaty SPi, MSi yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh studi pascasarjana.

Terakhir, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada bapak dan ibu di Bima NTB, Imam dan Bang Yudi di Malang serta keluarga di Bogor (A. Solikhah, Abdullah Ismail, dan Abbas Abdurrahman) atas perhatiannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014


(10)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah ... 2

Pendekatan Studi ... 5

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Biologi dan Ekologi Rumput Laut ... 6

Teknik Budidaya Rumput Laut yang Berkelanjutan ... 7

Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut... 8

Suhu ... 8

Kecerahan ... 8

TSS………... ... 9

Arus ... 10

Kedalaman perairan ... 10

Salinitas ... 11

pH ... 11

Nutrien ... 11

Kandungan oksigen terlarut (DO) ... 11

Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) ... 12

Logam berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb)) ... 13

Hama dan penyakit ... 13

Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut ... 14

Produktivitas Rumput Laut ... 17

Kandungan Karaginan Rumput Laut ... 18

Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya... 18

Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir ... 19

METODOLOGI PENELITIAN ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Teknik Pengumpulan Data ... 24

Data Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi ... 24

Produksi ... 25

Pengumpulan data sekunder ... 27

Analisis Data ... 27

Analisis Kualitas Perairan dan Identifikasi Jenis Rumput Laut... 27

Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ... 27

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 30


(11)

Pertumbuhan Ekonomi... 34

PDRB Perkapita ... 35

Potensi Perikanan Laut ... 35

Perikanan Tangkap... 35

Perikanan Budidaya Laut ... 36

Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil ... 37

Kondisi Lokasi Berpotensi Menjadi Sentra Budidaya Rumput Laut ... 38

Keragaan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat... 39

Jalan dan Transportasi ... 42

Potensi Perikanan Budidaya Air Laut... 43

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Biologi dan Ekologi Rumput Laut ... 45

Reproduksi ... 47

Ekologi ... 48

Pemilihan Kriteria Ekologis ... 49

Analisis Kualitas Air... 56

Arus ... 56

Suhu ... 57

Dasar perairan ... 59

Kedalaman air ... 60

Salinitas ... 61

Kecerahan ... 63

Kekeruhan ... 64

pH ... 65

Kandungan Oksigen Terlarut ... 66

Kebutuhan Oksigen Biologis ... 67

Kebutuhan Oksigen Kimiawi ... 68

Nutrien ... 69

Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), tembaga (Cu), mercury (Hg) dan timbal (Pb))... 70

Pencemaran ... 72

Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut ... 72

Potensi Budidaya Rumput Laut ... 75

Beberapa Teknologi dan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut ... 75

Sistem dan Metode Budidaya ... 75

Potensi Produksi, Kualitas dan Strategi Pengembangan... 79

KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

Kesimpulan ... 81

Saran ... 81


(12)

1 Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk

Budidaya Laut ... 14

2 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 15

3 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 15

4 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 16

5 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 16

6 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 17

7 Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Euchema yang dinyatakan dalam persen ... 18

8 Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian ... 24

9 Data Kecamatan dan Luas Wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 ... 31

10 Jumlah Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat per Kecamatan ... 32

11 Data Aggregat Kependudukan Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 .. 32

12 Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 1971-2008 ... 33

13 Nama pulau-pulau kecil yang ada di KSB dan potensinya ... 37

14 Potensi dan Pemanfaatan Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 ... 40

15 Nilai Produksi Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Jenis Tahun 2009 .... 40

16 Produksi Budidaya Rumput Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 ... 40

17 Luas Areal dan Produksi Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat 2004-2008 ... 41

18 Jumlah Nelayan dan Penduduk Desa/Kelurahan Pantai di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 ... 41

19 Potensi Areal, Pemanfaatan dan Produksi Budidaya Laut di Kabupaten Sumbawa Barat 2008 ... 42

20 Potensi Areal Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 (Ha) ... 42

21 Potensi Produksi Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Dirinci Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 ... 42

22 Potensi, Pemanfaatan Areal, Jumlah RTP Budidaya Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 ... 43

23 Potensi Wilayah Budidaya Rumput Laut KSB Tahun 2005 – 2009 ... 44

24 Produksi Budidaya Rumput Laut KSB Tahun 2005 – 2009 ... 44

25 Target Produksi Budidaya Rumput Laut tahun 2010 – 2014 ... 44

26 Karaginan dari beberapa jenis alga (Chapman & Chapman 1980). ... 47

27 Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii berdasarkan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. ... 48

28 Beberapa parameter atau kriteria ekologis untuk budidaya rumput laut .... 50

29 Paramater lingkungan yang digunakan SEAFDEC 1999 ... 53 30 Kriteria ekologis/parameter lingkungan yang banyak digunakan untuk


(13)

32 Matriks kesesuaian lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii berdasarkan teknologi budidaya mengapung, rakit bambu, dan long line di Kabupaten

Sumbawa Barat ... 55

33 Komparasi perbandingan jenis sedimen pada stasiun pengamatan... 59

34 Komparasi nilai DO, BOD, COD pada stasiun pengamatan ... 69

35 Hasil Analisis Logam Berat di Kolom Air ... 71

36 Luasan perairan, rekomendasi teknik dan identifikasi aktivitas budidaya di perairan pesisir Kabupaten Sumbawa Barat ... 75


(14)

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian... 4

2 Morfologi Kappaphycus alvarezii ... 7

3 Lokasi penelitian ... 23

4 Metode Budidaya Long Line ... 26

5 Jenis rumput laut dibudidayakan di Pulau Sumbawa ... 46

6 Varian dari K. alvarezii (a) Tambalang, (b) Sacol) ... 47

7 Grafik hasil pengukuran kecepatan arus di enam stasiun ... 57

8 Suhu permukaan laut di enam stasiun pengamatan... 58

9 Grafik rataan kedalaman pada masing-masing stasiun ... 60

10 Grafik nilai salinitas pada lokasi pengamatan ... 62

11 Nilai kecerahan(%) pada masing-masing stasiun pengamatan ... 63

12 Grafik nilai kekeruhan pada masing-masing stasiun pengamatan ... 65

13 Grafik derajat keasaman pada masing-masing stasiun pengamatan .... 66

14 Grafik nilai kandungan DO yang terukur pada stasiun pengamatan.... 67

15 Grafik nilai BOD pada masing-masing stasiun pengamatan ... 68

16 Grafik nilai COD pada masing-masing stasiun pengamatan ... 68

17 Kandungan nitrat pada stasiun pengamatan ... 70

18 Kandungan fosfat ... 70

19 Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam mengapung atau long line ... 73

20 Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam tancap dasar ... 74

21 Budidaya rumput laut dengan menggunakan metode longline ... 76

22 Budidaya rumput laut metode atausistem dasar ... 77

23 Jenis hama pengganggu yang ditemukan ... 77

24 Budidaya rumput laut metode rakit ... 78


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatan-obatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan). Realisasi produksi rumput laut pada tahun 2010 adalah sebesar 3,082 juta ton. Berdasarkan data Statistik KKP 2010-2011 produksi budi daya rumput laut selama lima tahun yaitu sejak tahun 2005 hingga 2010 mengalami kenaikan yang signifikan. kenaikan jumlah produksi pada 2005-2006 mencapai 0,46 juta ton atau setara dengan 50,55%. Pada 2006-2007 sebanyak 0,36 juta ton atau setara dengan 26,28%, Pada 2007-2008 sebesar 0,417 juta ton atau setara dengan 24,13%. Pada 2008-2009 sebesar 0,43 juta ton atau setara dengan 20 %. Pada 2009-2010 sebesar 0,51 juta ton atau setara denga 19,74%. Dengan demikian rata-rata kenaikan selama lima tahun mencapai 28,14%.

Penurunan suatu produksi dapat disebabkan oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang dan sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti ice-ice yang menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996). Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer et al. 1998; Peira, 2002).

Produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar 212.478 ton basah dan tahun 2004 sebesar 410.570 ton basah. Rendahnya produksi rumput laut dikarenakan pemanfaatan potensi laut belum maksimal. Areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 1.110.900 ha, namun baru dimanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005 dalam Sirajuddin, 2008). Pada tahun 2010, total produksi telah mencapai 3,082 juta ton.

Sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada jenis dan daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi Selatan, untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000).

Budidaya rumput laut telah berkembang di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), luas areal mencapai 150 Ha dengan potensi pengembangan 1.550 Ha pada tahun 2010, adapun produksi rumput laut pada tahun tersebut mencapai 62,507.50 ton basah (DKPP-KSB, 2010).

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sumbawa Barat, untuk mengetahui potensi optimal budidaya rumput laut yang dapat dicapai berdasarkan alokasi lahan yang sesuai. Misi dari DKPP-KSB yaitu menyukseskan program minapolitan rumput laut, untuk itu perlu adanya riset untuk mengetahui kapasitas


(16)

optimum pengembangan yang dapat dicapai dengan membangun sentra budidaya rumput laut.

Pemilihan lokasi penelitian dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua 1992; Gurno 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut.

Kerangka Pikir dan Perumusan masalah

Keragaman potensi sumberdaya pesisir dan laut tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu sektor unggulan dalam menunjang pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Sumbawa Barat. Usaha budidaya rumput laut di Pesisir Kabupaten Sumbawa Barat merupakan suatu potensi yang dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi para nelayan pesisir untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan. Adanya hambatan melaut ketika musim tertentu karena cuaca buruk memungkinkan pengembangan usaha budidaya ini. Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Sumbawa Barat meliputi :

1. Belum adanya kriteria yang komprehensif didalam analisis kesesuaian untuk budidaya rumput laut, sehingga diperlukan adanya kriteria yang komprehensif. Dalam hal ini termasuk penentuan kriteria ekologis berdasarkan teknologi budidaya yang digunakan.

2. Dalam hal penataan ruang; Penetapan lokasi dan pengaturan ruang perlu diperjelas untuk membangun wilayah pesisir yang sesuai untuk peruntukan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii), sehingga kajian terkait analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut perlu dilakukan. Tentunya dengan mempertimbangkan aspek biofisik dan kimia perairan yang semuanya dipadukan dalam konsep kesesuaian lahan untuk tata ruang kawasan pesisir.

3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi rumput laut perlu dikaji karena akan berpengaruh terhadap pencapaian biomass optimum, kandungan karaginan rumput laut yang nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas gel strength dari Kappaphycus alvarezii. Selain itu, dalam pengembangan usaha budidaya rumput laut perlu memperhatikan teknologi budidaya yang efektif.

Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii) yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Untuk meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan dalam pengembangan budidaya rumput laut, maka terlebih dahulu perlu dilakukan suatu kajian tentang “Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Di Kabupaten Sumbawa Barat" yang diangkat dalam topik tesis pada kesempatan ini.

Tahapan kerangka pemikiran penelitian awal adalah identifikasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir yang berkaitan dengan budidaya rumput laut.


(17)

Penilaian potensi dilakukan dengan menilai produktivitas, identifikasi jenis rumput laut yang dibudidaya dan penilaian kondisi ekosistem dan lingkungan perairan dengan melihat aspek kualitas air, biofisik, morfologi pantai. Penentuan kriteria kriteria ekologis dilakukan melalui studi pustaka. Untuk selanjutnya diformulasikan, dibuat bobot dan skornya lalu digunakan dalam analisis spasial. Sehingga, nantinya akan diperoleh zonasi untuk pengembangan budidaya rumput laut (Gambar 1).


(18)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi dan Permasalahan

Wilayah Pesisir Kabupaten Sumbawa Barat

Analisis Spasial (GIS) Studi Pustaka

Survey Lapangan

Zonasi pengembangan budidaya rumput laut

Pemanfaatan tahun sebelumnya Pemanfaatan lokasi

terkini

Evaluasi pemanfaatan Kriteria ekologis kesesuaian lingkungan

Kajian penentuan parameter utama lingkungan

Identifikasi jenis rumput laut budidaya dan penilaian

produktivitas Kondisi ekosistem dan

lingkungan perairan


(19)

Pendekatan Studi

Pendekatan studi dilakukan dengan cara mengkaji literatur yang berkaitan dengan penentuan aspek ekologis (bio-fisik dan kimia perairan) yang pernah digunakan untuk kriteria kesesuaian untuk ruang hidup rumput laut (Kappaphycus alvarezii) lalu merancang dan membuat kriteria kesesuaian yang baru, serta kajian mengenai aspek produktivitas rumput laut yang dihasilkan dari proses budidaya. Pendekatan terhadap aspek produktivitas dilakukan untuk menentukan kelayakan dari hasil produksi. Jumlah produksi per tali ris rumput laut dihitung untuk menentukan produktivitas rumput laut.

Tujuan dan manfaat penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan kawasan berbasis budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Sumbawa Barat. Sekaligus sebagai bahan masukan untuk penataan ruang pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (tiga) langkah penelitian yaitu :

1. Mengkaji kriteria kesesuaian lingkungan (biofisik dan kimia perairan) sebagai bahan informasi pengembangan kawasan berbasis budidaya rumput laut.

2. Membangun kriteria kesesuaian yang baru melalui analisis untuk selanjutnya dilakukan pengelompokan kawasan budidaya rumput laut (berdasarkan teknologi budidaya) melalui analisis spasial.

3. Mengkaji produksi budidaya rumput laut yang telah dibudidaya menggunakan indikator jumlah produksi untuk mengukur produktivitas budidaya.

4. Menghitung luasan wilayah laut yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Serta rekomendasi teknologi budidaya dan jenis rumput laut Kappaphycus yang cocok untuk ditanam.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Ekologi Rumput Laut

Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga (seaweed). Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005).

Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum, patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thallus bulat silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus.

Menurut klasifikasi Doty (1985) dalam www.algaebase.org rumput laut jenis E. cottonii berganti nama menjadi Kappaphycus alvarezii. Penggunaan nama

Kappaphycus oleh Doty (1985) digunakan untuk keluarga Euchema yang menjadi

komoditas budidaya yang menghasilkan kappa karaginan. Adapun untuk jenis Euchema lain nama speciesnya tidak berubah seperti Euchema denticulatum. Adapun E. cottonii menjadi nama sinonim. Walau demikian beberapa peneliti ditemukan masih menggunakan nama E. cottonii, berikut klasifikasinya:

Empire : Eukaryota Kingdom : Plantae Subkingdom : Biliphyta

Phylum : Rhodophyta

Subphylum : Eurhodophytina Class : Florideophyceae Subclass : Rhodymeniophycidae Order : Gigartinales

Family : Areschougiaceae

Tribe : Eucheumatoideae

Genus : Kappaphycus


(21)

Gambar 2. Morfologi Kappaphycus alvarezii

Menurut beberapa peneliti seperti Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004, bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya (Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut.

Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan

Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya.

Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988).

Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris (lihat Gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode budidaya (Kadi dan Atmadja 1988).

Menurut Aslan (1988), pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu pemeliharaan 1,5 – 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar


(22)

500-600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %. Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering.

Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu

Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20 - 30°C (Luning, 1990).

Menurut Lee et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 20 - 30°C. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara 14 – 18°C. Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27-30 °C dan Gracilaria 20 - 28°C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5°C dan untuk alga biru hijau 37°C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981).

Dawes (1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Kisaran suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum rumput laut berbeda untuk setiap jenis.

Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara 27-29 ºC. Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 27-29 ºC Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer, et al. (2004), bahwa suhu 10 - 15°C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut (L.

saccharina) 10% / hari dan suhu 10 - 18°C dapat tumbuh 15% /hari pada rumput

laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35°C dan pada suhu 40°C dapat mematikan.

Kecerahan

Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken, 1988).

Menurut Effendie (2000), kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan


(23)

dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut.

Menurut Archibold (1995), bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. sacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm – 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 – 80 mm) dapat tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984), Jones (1993), Msuya dan Neori (2002), bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut.

Total Suspended Solid (TSS)

Total Padatan Tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang, arus, dan pasang surut (Effendi, 2000).

Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Menurut Effendi (2000) bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air.

Nilai TSS dapat dipengaruhi oleh musim. Sebagai contoh, TSS di Teluk Jakarta mengalami fluktuasi tahunan yang hampir sama. Konsentrasi TSS maksimum dicapai pada bulan Januari (musim hujan) dan bulan Agustus (musim kemarau), sedangkan konsentrasi TSS minimum ditemukan pada bulan Mei (musim peralihan hujan - kemarau) dan bulan November (musim peralihan kemarau - hujan). Konsentrasi TSS tertinggi yang pernah dicapai pada bulan-bulan maksimum tahunan (Januari dan Agustus) adalah 109.7 mg/l dan 42.0 mg/l, sedangkan pada bulan-bulan minimum tahunan (Mei - November) adalah 24.8 mg/l dan 19.0 mg/l (Setiapermana et al. 1980).

Teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari kualitas perairan, salah satunya adalah TSS dan kecerahan. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu, dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barrett dan Curtis, 1982).

Keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi


(24)

gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh TSS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih (Hasyim, 1997).

Keberadaan TSS pada permukan air dapat digolongkan sesuai dengan warnanya ke dalam kelas-kelas tertentu. Menurut Robinson (1985), berdasarkan sifat optiknya perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan-bahan tersuspensi selain fitoplankton seperti bahan anorganik atau substansi kuning (yellow substance).

Ketentuan TSS pada perairan laut untuk budidaya dimuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yaitu Kep.Men.02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. Pada level yang diperbolehkan nilai TSS mencapai 80 sedang nilai TSS yang diinginkan yaitu lebih kecil (<) dari 25. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menilai kualitas air untuk peruntukan budidaya rumput laut.

Arus

Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes, 1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi lumpur dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987), bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat tertentu.

Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 m/s. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang tenang.

Kedalaman Perairan

Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 – 0,6 m pada saat surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman.


(25)

Salinitas

Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut (Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50 ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17 ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988).

pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo (1987), pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990). Menurut Luning (1990), bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi.

Nutrien

Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981).

Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur.

Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme.

Oksigen terlarut (dissolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984). Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991).


(26)

Selanjutnya menyatakan bahwa oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut.

Oksigen terlarut (DO) pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme.

Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya.

Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada

prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988).

Menurut Widigdo (2002) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2,46 ton per musim tanam. Sedangkan menurut Boyd (2003) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92% merupakan bahan organik. Tingginya konsentrasi TSS di perairan dapat meningkatkan kandungan COD. Keberadaan tambak dan limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD di perairan. Sebaliknya, konsentrasi COD pada perairan yang jauh dari lokasi tambak dan pemukiman cenderung menurun, karena terjadinya proses pengenceran terhadap konsentrasi COD di dalam perairan. Perairan yang memiliki kandungan COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar melebihi 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP, 1992).


(27)

Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb))

Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al. 2004). Logam berat (Pb, Cu, Cr, Zn dan lainnya) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan Teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002).

Demikian juga pada alga merah (P. colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999). Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen.

Menurut Palupi (1994), standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh Food Chemical

Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar 0,004%. Selanjutnya standar mutu

yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung Pb < 10 mg/liter (King, 1983). Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008).

Menurut Villares et al. (2002), bahwa rumput laut banyak yang terakumulasi logam berat pada berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan (Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian konsentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan (Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya Wright dan Mason (1999), melaporkan bahwa konsentrasi logam berat pada alga laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akumulasi dengan logam berat (cu, cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb).

Hama dan Penyakit

Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diadema setosum), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.), ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat pertumbuhan


(28)

rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006).

Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis

Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman

tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat ice-ice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Perifiton yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik, fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005).

Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut

Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut secara tersirat tertuang dalam ketentuan mutu tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Parameter oseanografi sendiri meliputi kedalaman, arus, substrat dasar, keterlindungan, Suhu, Salinitas, pH, TSS.

Tabel 1. Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut.

No. Parameter Satuan Diperbolehkan Diinginkan

A. Oseanografi

1 Kedalaman m 5-40 7 –15

2 Arus m/detik 0.15 - 0.50 0.25-0.35

3 Substrat Dasar - Pasir Karang

4 Keterlindungan - Terlindung Sangat terlindung

B. Kualitas Air

1 Suhu 0C alami alami

2 Salinitas ±10% alami

3 pH mg/l 6-9 6.5-8.5

4 TSS - 80 < 25

Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai bobotnya (8%) (Tabel 2).

Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari beberapa literatur hasil penelitian. Besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter.


(29)

Tabel 2. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan

Skor (S) Bobot

(%) Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai

1 2 3 5

Arus cm/s <10 atau >40 10-20 atau 30-40

20-30 8

Kecerahan m <3 3-5 >5 12

Keterlindungan - terbuka agak

terlindung

terlindung 8

Suhu 0C <20 atau >30 20-24 24-30 8

Kedalaman m <2 atau >15 1-2 2-15 8

Gelombang cm >30 10-30 <10 4

Salinitas ppt <28 atau >37 34-37 28-34 12

Nitrat mg/l <0,01 atau >1,0 0,8-1,0 0,01-0,07 12 Phosfat mg/l <0,01 atau >0,30 0,21-0,30 0,10-0,20 12

Substrat - lumpur pasir

berlumpur

pasir 8

Pencemaran - - sedang tidak ada 8

Jumlah 100

Sumber: Aslan (1988)

Menurut Aslan (1988) dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian budidaya rumput laut tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling melengkapi.

Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas, suhu dan pH memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 3).

Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan

Skor (S)

Bobot (%)

S1 S2 S3 N

80 60 40 10

Kedalaman M 1-5 - - - 35

Oksigen mg/l >6 >5-6 4-5 <4 10

Salinitas Ppt 28-36 >20-28 20-<24 <20 10

Suhu 0C 26-31 >31-33 >33-35 >35 10

Kecerahan % >75 50-75 25-<50 <25 25

pH - 7,5-8,5 >8,5-8,7 6,5-<7 >8,8 10

Jumlah 100

Sumber: Bakosurtanal (2005)

Menurut Radiarta, et al. (2005), memberikan bobot yang tinggi pada morfologi dan kedalaman (15%), arus, substrat dasar, kecerahan, dan salinitas memperoleh bobot (10%), dan hewan herbivora, keamanan, keterjangkauan dan tenaga kerja memperoleh bobot (5%) (Tabel 4).


(30)

Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan

Skor (S)

Bobot (%)

S1 S2 S3 N

4 3 2 1

Kecerahan m 1 4/3 2 4 0,4

Kedalaman m 3/4 1 3/2 3 0,3

Arus cm/s 1/2 2/3 1 2 0,2

Gelombang cm 1/4 1/3 1/2 1 0,1

Jumlah 1,0

Sumber: Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007)

Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 5).

Tabel 5. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut

Parameter Satuan Bobot

(%)

Nilai (Value)

30 20 10

Morfologi 15 Terlindung Cukup

terlindung

Terbuka

Kedalaman m 15 1-10 11-15 <1&>15

Arus cm/dtk 10 20-30 31-40 <20&>40

Substrat dasar 10 Pasir dan

pecahan

Pasir berlumpur

Lumpur

Kecerahan m 10 >3 1-3 <1

Salinitas ppt 10 28-31 32-34 <28&>34

Pencemar 10 Tidak ada Sedang Tinggi

Hewan herbivora ekor 5 Tidak ada Sedang Tinggi

Keamanan 5 Aman Agak aman Tidak aman

Keterjangkauan 5 Mudah Agak sulit Sulit

Tenaga kerja 5 Mudah Agak sulit Sulit

Jumlah 100

Sumber: Radiarta et al. (2005)

Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu peruntukan.

Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora (0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 6).

Untuk parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, pH, substrat dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan parameter penunjang, namun saling melengkapi artinya tanpa parameter penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil.


(31)

Tabel 6. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan Bobot

(%)

Nilai (Value)

4 3 2 1

Morfologi 0,1 Terlindung Agak

terlindung

Terlindung sesaat

Tidak terlindung Substrat dasar 0,1 Pasir dan

pecahan karang Pasir sedikit berlumpur Pasir berlumpur sedang Pasir berlumpur banyak

Kecerahan % 0,1 80-100 70-79 60-69 <60

Logam berat mg/l 0,1 <0,01 0,01-0,04 0,03-0,06 >0,06 Arus cm/s 0,09 20-30 31-40 41-50 <20&>50 Kedalaman m 0,09 5-10 11-15 16-20 <5&>20 Salinitas ppt 0,09 31-35 28-30 25-27 <25&>35

Hewan air 0,08 Tidak ada Kurang Banyak Sangat

banyak Keterjangkauan 0,07 Lancar Cukup

lancar

Kurang lancar

Tidak lancar

Tenaga kerja 0,06 Banyak Cukup

tersedia

Kurang tersedia

Tidak tersedia

Keamanan 0,06 Aman Cukup

aman

Insidentil Tidak aman

Pemasaran 0,06 Lancar Cukup

lancar

Kurang lancar

Tidak lancar Sumber : Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007)

Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel 2, 3, 4, 5 dan 6) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat.

Produktivitas Rumput Laut

Menurut Neori, et al. (1998), bahwa produksi rumput laut tergantung dari musim, misalnya rumput laut Ulva lactuca rata-rata produksi pada musim panas 292 gram berat basah/hari (52 gram berat kering), dan 83 gram berat basah/hari (15 gram berat kering) pada musim dingin. Menurut (Huang, et al, 1998; Rorrer, 2000), bahwa perkembangan sel dan thallus rumput laut baik secara alami maupun budidaya tidak ada perbedaan yaitu dengan diameter awal 2 – 8 mm setelah dipelihara 40 – 60 hari mencapai 10 mm. Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut yang dipelihara dengan pH dan salinitas yang berbeda dapat tumbuh mencapai 600 – 900 gram/m2 dengan berat awal 2 – 3 gram.

Selanjutnya Neori, et al. (2000) melaporkan bahwa rumput laut (Ulva lactuca) dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rata-rata 18,1°C (musim dingin) dan 31,2°C (musim panas), salinitas 41 ppt, pH (8,5 -8,9) dan DO (8,9 – 9.07 mg/l) dengan rata-rata berat 233 gram berat basah/hari atau 78 kg/tahun. Sedangkan rumput laut (Gracilaria converta) lebih rendah yaitu 14 kg/tahun. Westermeier, et al. (1993) melaporkan bahwa produksi biomass rumput laut (Gracilaria chilensis) berkisar antara 0,6 – 1,2 kg/musim pada musim dingin (Juli dan September), dan produksi biomass turun dari 0,6 kg/musim menjadi 0,2 kg/musim pada musim semi. Menurut Matos, et al. (2006) bahwa rumput laut


(32)

yang dipelihara pada suhu 17°C dan 21°C, pH 8.46, DO 8 – 10 mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram berat kering /hari.

Kandungan Karaginan Rumput Laut

Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968). Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 – 72,8% (Tabel 7).

Tabel 7. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Euchema yang dinyatakan dalam persen

No. Jenis Kandungan karaginan Lokasi

1. Euchema spinosum 72,8 Tanzania

2. Euchema striatum 69,0 Tanzania

3. Euchema platycladum 85,0 Tanzania

4. Euchema okamurai 58,0 Tanzania

5. Euchema spinosum 54,0 Tanzania

6. Euchema spinosum 65,7-67,5 Indonesia

7. Euchema cottonii 61,5 Indonesia

Sumber: Gliksman (1983)

Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya. Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rumput laut. Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut. Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990; Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan, 1998).

Menurut Maguire (1991), bahwa teknologi SIG dikembangkan dan diintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti Geografi, Statistika, Kartografi, Ilmu Komputer, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Ilmu Geologi. Beberapa penelitian budidaya laut yang melakukan pendekatan SIG untuk analisa


(33)

daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003).

Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain : kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan tengah bagian selatan teluk. Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk, keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi (4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor paling tinggi yaitu 512,5.

Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas 1.576 ha yang ideal untuk pengembangan budidaya laut di teluk Ekas, Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oseanografi dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari luas teluk 3.000 ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll).

Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang darat, laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan demi memelihara kelangsungan hidupnya.

Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Selama ini, rencana tata ruang yang disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Tata Ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


(34)

Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana Tata Ruang.

Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi manusia dengan berbagai ekosistem yang ada.

Perkembangan pembangunan di suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut.

Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian lahan (Dahuri, et al. 1997).

Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bangda Depdagri, 1998).

Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi.


(35)

Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah suatu zona yang masih dimungkinkan adanya pembangunan namun dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan (Odum, 1989). Kawasan budidaya adalah kawasan yang telah ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Bagian dari suatu wilayah tersebut memiliki fungsi budidaya dengan telah dipertimbangkan daya dukung lingkungan (Sugandhy, 1999).


(36)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mempunyai potensi sumber daya pesisir seperti: Pesisir Kecamatan Poto Tano, Taliwang, Jereweh, dan Sekongkang. Untuk wilayah yang telah memiliki usaha budidaya rumput laut yaitu seperti Poto Tano dan Taliwang (Gambar 3), penelitian dilakukan untuk mengetahui optimalisasi pemanfaatan lahan. Sedang untuk Jereweh dan Sekongkang untuk meneliti peruntukan wilayah pesisir laut yang sesuai untuk pengembangan kawasan budidaya rumput laut.

Pengambilan data dilakukan di empat wilayah perairan kecamatan pesisir, dengan masing-masing dua hingga tiga titik pengambilan sampel. Direncanakan, dengan jarak ±0,5 sampai 1 km dari garis pantai ke arah laut, atau batas kedalaman yang masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya rumput laut. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dan sekunder sudah dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan September hingga Oktober 2011. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei ground check yang dirancang berdasarkan GIS (Geografic Information System).

Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Hadi (2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan 0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Selain itu, penentuan lokasi atau stasiun penelitian juga memperhatikan faktor keterlindungan dengan melihat keberadaan teluk atau pulau-pulau kecil yang berada di depan daratan besar. Faktor keterlindungan akan mempengaruhi besaran gelombang dan kecepatan arus yang sesuai untuk budidaya rumput laut.

Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada pukul 08.00 – 17.00 WITA. Pengamatan parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian meliputi DO, pH, nitrat, fosfat, COD, Logam Berat, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama penyakit. Untuk mengetahui produksi rumput laut dan kandungan karaginan dilakukan proses wawancara dan studi literatur.


(37)


(1)

Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Managemen kualitas Perairan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta

Gunawan, 1998. Typical Geographic Information Resources Management Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia.

Hadi, A. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005 134 hal.

Hasyim, B. 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan Sistem Informasi Geografi untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai akibat Limbah Industri. Dewan riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jakarta.

Hellebust, JA. and Cragie, JS. 1978. Handbook of Phycological Methods. London : Cambridge University Press.

Huang, YM. Maliakal, S. Cheney, DP. Rorrer, GL. 1998. Comparison of Development and Photosyntetic Gowth for Filamen Clump and Regenerated Microplanlet Cultures of Agardhiella subulata (Rodophyta, Gigartinales) Journal Phycological 34 : 893 – 901.

Hutagalung, H.P. 1988. Pengaruh Suhu Terhadap Kehidupan Organisme Laut. Pewarta Oseana. LON-LIPI Jakarta Vol. 13 Hal : 153 – 163.

Hutagalung, 1997. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air Laut dalam Hutagalung, Deddy Setiapermana, Hadi Riyono (eds). Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota Buku 2 Jakarta. Pusat Litbang Oseanologi LIPI.

Ismail W, Imanto PT, Priono B dan Lamidi. 1996. Pemilihan Lokasi Ideal bagi Penempatan Keramba Jaring Apung Reservat Diperairan Kepulauan Riau, Lombok dan Sumbawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II No. 4, Edisi Akuakultur. BRKP-DKP. Jakarta.

Ismail, W. Wardoyo, SE. dan Priono, B. 1998. Lokasi-lokasi Potensial bagi Panti Benih Terapung Ikan Karang di Selatan Pulau Bintang dan Karimun Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume IV No.4, Edisi Akuakultur. BRKP-DKP Jakarta.

Jones, AB. 1993. Macroalgal Nutrient Relationships. Departemen of Botany, Universitas of Queensland.

Jones, AB. Preston, NP. and Dennison WC. 2003. The Efficiency and Condition of Oysters and Macroalgal Used as Biological Filters of Shrimp Pond Effluent. Aquaculture 33 : 1 – 19.

Kadi A. dan Atmaja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI Jakarta. 71 hal.

Kaur, S. Walia, TPS. and Mahajan, 2008. Compative Studies of Zinc, Cadnium, Lead, and Copper on Economically Viable Adsorbents. Journal Environmment Eng. Sci. 7 : 83 – 90.

Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan untuk Biota Laut (Budidaya perikanan).

Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan untuk Biota Laut (Bahan Baku dan Proses)

Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Lingkungan untuk Biota Laut.


(2)

King, A.H., 1983. Brown Seaweed Extract (Alginat). in Glickman, M.(Ed.). Food Hydrocolloids, Volume 11 CRC Press, Inc. Florida : 118 – 130.

Lee, TM. Chang, YC. Lin, YH. 1999. Differences in Physyiological Responses between Winter and Summer (Gracilaria) Tenuistipitaa to Varying Temperatur. Bot. Bull. Acad. Sin. 49 : 93 – 100.

Legendre, L. dan Lengendre, P. 1984. Numerical Ecology Elsevier. Sc Publ. Inc. New York. 419p.

Levina, HG. 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as Ecological Indicator, Academic Press London.

Luning K. 1990. Seaweed. The Enviromental Biogeografy and Ecophysiology. Charles Yarish and Hugh Kirkman (Editor). John Wiley & Son, Inc. Canada 527 p.

Maquire, 1991. An Over View and Defenition of GIS. p 9 – 20 In D.J. Maquire, M.F. Good Child and D.W. Rhind eds). Geographical Information System. Loongman Scientific and Technical and John Wiley, New York.

Matos, JS. Costa, A. Rodrigues, Pereira, R. and Pinto, IS. 2006. Experimental integrated aquaculture of fish and red seaweed in Northern Portugal. Aquaculture (252): 3 1 -42.

Moll, B. and Deikman, J. 1995. Enteromorpha clatrat : A Potencial Seawater-Irrigated Crop. Bioresource Technology 52 : 225 – 260.

Muñoz, J. Y. Freile-Pelegrín, D. Robledo. 2004. Mariculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) color strains in tropical waters of Yucatán, México. Journal Aquaculture. Vol 239. p 161–177. DOI: 10.1016/j.aquaculture.2004.05.043

Muse, JO. Stripeikis, JD. Fernandez, FM., d’Huicque, L. Tudino, MB.Corducci, CN. Troccoli, OE. 1999. Seaweeds in the Assessment of Heavy Metal Pollution in the Gulf San Jorge Argentina. Environmental Pollution 104 : 315 – 322.

Msuya, FE. And Neori, AM. 2002. Ulva Reticulata and Gracilaria Crassa Macroalgae that Can Biofilter Effluent from Tidal Fishponds in Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci 1 (2) : 117 – 126.

Neish, I.C. 2003. The ABC of Eucheuma Seaplant Production “Agronomy, Biology and Crop-handling of Betaphycus, Eucheuma and Kappaphycus the Gelatinae, Spinosum and Cottonii of Commerce”. Monograph # 1-0703. SuriaLink.

Neori, A. Ragg, LC. and Shpigel, M. 1998. The Integrated Culture of Seaweed, Abalone, Fish, and Clems in Modular Intensive Land-Based System : II. Performance and Nitrogen Partitioning Within an Abalone (Haliotis tuberculata) and Macroalgae Culture System. Aquacultural Engineering 17 : 215 – 239.

Neori, A. Shpigel, and Ezra, DB. 2000. A Sustainable Integrated System for Culture of Fish, Seaweed and Abalone. Aquaculture 186 : 279-291.

Nybakken, J. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. 459 hal.

Odum, E.P, 1989. Ecology and Our Endagered Life Support Systems. Sinaeur Associates, Inc., Publ. Sunderland Massachusetts.


(3)

Palupi, K. 1994. Cisadane River Water Pollution. Buletin Penelitian Kesehatan 22 (1) : 41 – 47.

Percival E. 1968. Marine Algae Carbohydrates dalam Marine Biology. Editor H. Bames. George Allen and Unein Ltd London, pp. 137 – 161.

Peira, P. 2002. Beach Carryng Capacity Assesment : How Important it is ?. Journal of Coastal Recearch, Special Issue 36 : 190 – 197

Radiarta, N. Wardoyo, S. Priono, B. dan Praseno 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 hal.67 – 77.

Radiarta, N. Adang Saputra, dan Ofri Johan, 2005. Penentuan Kelayakan Lahan untuk Mengembangkan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito Propinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.1 : 1 – 14.

Radiarta, N. Prihadi, TH. Saputra, A. Haryadi, J. dan Ofri Johan, 2007. Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut (Eucheuma, spp.) Berdasarkan Parameter Lingkungan di Perairan Kecamatan Moro Propinsi Kepualauan Riau. Jurnal Riset Akuakultur Vol.2 No.3 : 319 – 328.

Rahayu, S. 1991. Penelitian Kadar Oksigen Terlarut (DO) dalam Air Bagi Kehidupan Ikan. BPPTP No. XLV/91 Jakarta. 91 – 101 hal.

Robinson, W.A., 1985: Interactions Among Planetary Waves and the Generation of Traveling Long Waves. Ph.D. thesis. Columbia University.

Rodgers, Ku‘ulei, S. and Evelyn Cox. 1999. The rate of spread of the introduced Rhodophytes, Kappaphycus alvarezii (Doty), Kappaphycus striatum Schmitz and Gracilaria salicornia C. ag. and their present distributions in Kne‘ohe Bay, O‘ahu, Hawai‘i. Pacific Science, (53)3: 232-241.

Rodríguez, SI. Huerta Diaz, MA.. Choumiline, Guinozes, HO. and Gonjalez JA., 2002. Elemental Concentrations in Different Species of Seaweeds from Loreto Bay, Baja California Sur, Mexico. Implication for the Geochemical Control of Metal in Alga Tissue. Environmental Pollution 114 : 145 – 160.

Rorrer, GL. Mullikin, RK. Huang, B. Gerwick, WH. Maliakel, S. Cheney, DP.1998. Production of Bioactive Metabolites by Cell and Tissue Cultures of Marine Macroalga in Bioreactor System. In FU.T.J. Singh, G. Curtis (Eds). Plant Cell and Tissue Cultural for the Production of Food Ingredients, Cluwer Academic/Plenum Publishing New York pp. 165 – 184.

Rorrer, GL. 2000. Cell and Tissue Cultures of Marine Seaweeds. In Spier, R.E. (Ed.) Encyclopedia of Cell Technology Willey, pp. 1105 – 1116.

Rorrer, GL. and Cheney, DP. 2004. Bioprocess Enginering of Cell and Tissue Cultures for Marine Seaweeds. Aquacultural Engeneering 32 : 11 – 41.

Ross, LG. Mendoza EAQM, and Beveridge MCM, 1993. The Application of Geographical Informasi System to Site Selection for Coastal Aquaculture : an Example Based on Salmonid Cage Culture Aquaculture, 112 : 165 – 178. Sastrawijaya, A. T., 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

Setiapermana, D., A. Nontji dan B. S. Sudibjo 1980. Pengaruh Musim Terhadap Kandungan Seston di Teluk Jakarta. dalam : A.NONTJI, A. DJAMALI (eds.).


(4)

Teluk Jakarta: Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi dan Geologi. Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI. Jakarta: 107-117.

Sirajuddin, M. 2008. Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB.

Sitorus, H. Widigdo, B. Bibiana, WL. and Kadarwan Soewardi, 2005. Nitrification in Biodegradation of Shrimp Culture Effluent. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 12 No.1 : 59 – 67.

Soegiarto, A, Sulistijo; W.W. Atmadja dan H. Mubarak. 1979. Rumput Laut (Alga), Manfaat, Potensi, dan Usaha Budidaya. LON-LIPI Jakarta 61 hal.

Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Suryaningrum, D. Utomo, D. Murtini, dan Yunijal 2000. Teknologi Pemanfaatan Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan Jakarta 1 – 12 hal.

Sulistijo, 1987. The Harvest Quality of Alvarezzi Culture by Floating Method in Pari Island Nort Jakarta. Research and Development Center for Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta.

Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan Yang Berbeda dan Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis Program Pascasarjana IPB Bogor (Tidak dipublikasikan).

Suwirma, S. Surtipanti, S. dan Yatim (1981). Studi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd, dan Cr dalam Beberapa Jenis Hasil Laut Segar. Majalah Batan 14 (1) : 2-8. Tabachnick, B.G. dan L.S. Fidell., 1996. Using Multivariate Statistic. Third Edition

Harpercollius College Publishers New York. P : 635 – 707.

Tarunamulia, Mustafa, A. dan Hanafi, A. 2001. Penentuan Lokasi Budidaya Keramba Jaring apung dengan Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. P : 43-56. Dalam Sudrajat et al. (Editor). Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan-Japan International Cooperation Agency Jakarta.

Trono, G.C. and Fortes. 1988. Philippina Seaweed. National Book Store, Inc Metro. Manila 330 p.

Undang Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

UNESCO/WHO/UNEP, 1992. Water Quality, Principles and Perspective Academic Press, Inc. London 585p.

Utojo, Mansyur, A. Mustafa, A. Hasnawi, dan Tangko, AM. 2007. Pemilihan Lokasi Budidaya Ikan, Rumput Laut, dan Tiram Mutiara yang Ramah Lingkungan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Jurnal Riset Akuakultur Vol.2 : 303 – 318.


(5)

Villares, R. Puentre, E. and Carballeira, A. 2002. Seasonal Variation and Background Level of Heavy Metal in Two Greed Seaweeds. Environmental Pollution 119 : 79 – 90.

Weber-van Bosse, A. (1913). Marine algae. Rhodophyceae, of the "Sealark" Expedition, collected by Mr. J. Stanley Gardiner, M.A.. Transactions of the Linnean Society of London, Second Series, Botany 8: 105-142, 1 fig, pls 12-14. Westermeier, R. Gomez, I. and Rivera, P. 1993. Suspendid Farming of Gracilaria

chilensis (Rhodophyta, Gigartinales) at Cariquilda River, Maullin, Chile. Aquaculture 113 : 215 – 229.

WHO (World Health Organization), 1999. Safety Evaluation of Certain Food Additive. Genera : International Programme on Chemical Safety.

Wright, P. and Mason, CP. 1999. Spacial and Seasonal Variation in Heavy Metal in the Sediments and Biota of Two Adjacent Estuaries, the Orwell and the Stour. In Eastern England. The Science of the Total Environment 226 : 139 – 156. Zuccarello, G. C., A. T. Critchley, J. Smith, V. Sieber, G. B. Lhonneur & John A.

West. 2006. Systematics and Genetic Variation in Commercial Kappaphycus and Eucheuma (Solieriaceae, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology. DOI: 10.1007/s10811-006-9066-2.


(6)

Penulis dilahirkan di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tanggal 29 Juni 1985 sebagai anak kedua dari pasangan Drs. Husen H. Ismail dan Faridah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2014. Penulis pernah bekerja di PT. Indo Utama Kimia (agen dari PT. Kurita-Waste Water and Water Treatment Industries) pada tahun 2008-2010. Selama kuliah penulis juga bekerja sebagai peneliti di bidang coastal planning dan lingkungan. Serta menjadi anggota pada Asosiasi Peneliti Sumberdaya Perairan dan Lingkungan IPB.

Karya ilmiah yang pernah dipublikasikan yaitu Kajian Morfometrik dan Meristik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) di DAS Mahakam Tengah Provinsi Kalimantan Timur (Skripsi). Selain itu penulis juga pernah menulis lebih dari 15 artikel bertema kebijakan ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang dimuat di Harian Republika, Suara Karya, dan Harian Ekonomi “Kontan” (Kompas Gramedia Group).