ATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG

c. Intersepsi illegal terhadap Informasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik Pasal 31 UU ITE ii. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan interferensi, yaitu: a. Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik atau data interference Pasal 32 UU ITE b. Ganguan terhadap sistem elektronik atau system interference Pasal 33 UU ITE iii. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang Pasal 34 UU ITE iv. Tindak Pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik Pasal 35 UU ITE v. Tindak pidana tambahan atau accessoir Pasal 36 UU ITE vi. Perberatan-Perberatan terhadap ancaman pidana Pasal 52 UU ITE

C. ATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG

MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA BULLYING Berdasasrkan kamus besar bahasa indonesia KBBI, anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan anak adalah Tunas, Potensi, dan generasi muda penerus cita-cita bangsa. 67 67 Nasir Djamil, Op.cit, halaman 8 Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didalam Pasal 10 dikatakan: “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai nilai kesusilaan dan kepatutan”. Pada Pasal 10 dikatakan bahwa anak memiliki hak untuk menerima dan mencari informasi untuk pengembangan dirinya. Didalam mencari informasi anak saat ini sering menggunakan media teknologi informasi yaitu internet. Berdasarkan perkembangannya sehari hari media teknolgi informasi telah melahirkan dunia siberr cyberspace. Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50PUU-VI2008, Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa duni cyber siber adalah sebuah konstruksi maya yang diciptakan oleh komputer yang berisi data-data abstrak sebuah konstruksi maya yang diciptakan oleh komputer yang berisi data-data abstrak yang berfungsi sebagai aktualisasi diri, wadah bertukar gagasan, dan sarana penggugatan prinsip demokrasi. Aktivitas pada dunia siber mempunyai karakter, yaitu mudah, penyebarannya sangat cepat dan meluas yang dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun, dan dapat bersifat destruktif dari pemuatan materi penghinaan danatau pencemaran nama baik dengan menggunakan media elektronik yang sangat luar biasa karena memiliki corak viktimasasi yang tidak terbatas. Melalui pemahaman hakekat dunia siber beserta karakternya, maka diperlukan pengaturan tersendiri untuk mengakomodasi perkembangan dan konvergensi teknologi informasi, yang dapat digunakan sebagai sarana kejahatan. Pengaruh penggunaan sarana teknologi informasi telah mengubah pola hidup manusia dan anak didalam tatanan kehidupan baru dan mendorong terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, kemanaan, dan penegakan hukum. Internet tidak lagi digunakan sebagi media yang positif tetapi internet juga digunakan sebagai media melakukan kejahatan baru cybercrime. 68 Perkembangan kejahatan siber cybercrime saat ini lebih bervariasi, tindak pidana cyber yang saat ini antara lain penipuan, hacking, cracking,deface, pencemaran nama baik, prostitusi, pornografi, perjudian, dan lain lain. Tindak pidana tersebut dapat dilakukan melalui jejaring sosial di internet sperti facebook, twitter dan sebagainya ataupun melalui media siber lain yang berhubungan dengan internet. 69 Pada saat ini terdapat kasus kejahatan baru dan sering dilakukan oleh anak melalui media internet, yaitu adalah bullying. Bullying merupakan peristilahan atau suatu terminologi, konon istilah bullying ini terkait dengan bull, sapi jantan yang suka mendengus untuk mengancam, menakut-nakuti, atau memberi tanda. Kamus Marriem Webster menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively memperlakukan secara tidak sopan atau to affect by means of force orcoercion mempengaruhi denggan paksaan dan kekuatan . Dan Olweus, seorang pakar yang berkonsentrasi menangani praktek bullying, menyimpulkan, bullying mencakup penjelasan antara lain : 70 68 Siswanto Sunarso Op.cit, Halaman 39 69 Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Refika Aditama, Bandung , 2012, halaman 137 70 An Ubaedy, Cerdas Mengasuh Anak, Kinzabooks, Jakarta, 2009, halaman 101 a. Upaya yang dilakukan untuk melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban bullying. b. Korban merupakan seseorang atau pihak yang dianggap lebih lemah atau tidak berdaya oleh pelaku c. Dapat menimbulkan efek yang buruk bagi fisik atau jiwanya. Bullying dikalangan anak-anak memiliki bentuk yang beragam antara lain: 71 a. Penyerangan yang dilakukan secara fisik, yaitu seperti: memukul, menendang, mendorong, dan seterusnya b. Penyerangan yang dilakukan secara verbal, yaitu seperti: mengejek, menyebarkan isu buruk, atau menjuluki sebutan yang jelek c. Penyerangan yang dilakukan terhadap emosi, yaitu seperti: menyembunyikan peralatan sekolah, memberikan ancaman, menghina d. Penyerangan yang dilakukan terhadap rasial, yaitu seperti: mengucilkan anak karena ras, agama, kelompok dan sebagainya. e. Penyerangan yang dilakukan terhadap seksual, yaitu seperti: meraba, mencium, dan seterusnya Barbara Coloroso menyebutkan bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus dari tiga pihak yang disebut tiga rantai penindasan. 72 a. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang menindas 71 Ibid, halaman 102 72 Ibid, halaman 102-103 b. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung , entah karena takut atau kerena merasa satu kelompok . c. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah. Bullying melalui internet sering disebut dengan istilah cyberbullying, cyberbullying tidak jauh berbeda dengan bullying, hanya saja cyberbullying umumunya merupakan suatu tindakan bullying yang menggunakan media internet, sehingga tidak dapat terjadi kontak atau hubungan fisik diantara korban dan pelaku bullying. Menurut Elizabeth Santosa cyberbullying pelecehan secara online adalah pengguna media digital untuk mengkomunikasikan informasi yang salah, mempermalukan, dan mengintimidasi orang lain, umumnya dilakukan antara teman sebaya yang mengakibatkan gangguan psikis pada korbannya mencakup depresi, gangguan kecemasan atau ketakutan berlebih, mengisolasi diri dari lingkungan, dan yang paling tragis adalah bunuh diri. 73 Menurut Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia berupa materi materi penyuluhan yang dapat diunduh dari situs kejaksaan.go.id yang berbentuk slide, memaparkan pengertian cyberbullying yaitu tindakan yang dilakukan secara sadar untuk merugikan atau menyakiti orang lain melalui penggunaan komputer jejaring sosial dunia maya, telepon seluler dan peralatan elektrnik lainnya Sameer Hinduja dan Justin W.Patchin dari Cyberbullying Research Center. Pada slide tersebut dipaparkan juga pengertian cyberbullying merupakan segala bentuk kekerasan diejek, dihina, diintimidasi, atau 73 Elizabeth T. Santosa, Raising Children In Digital Era, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2015, Halaman 72 dipermalukan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia cyber atau internet, teknologi digital atau telepon seluler wikipedia. Didalam slide tersebut juga dipaparkan beberapa bentuk-bentuk cyberbullying yang isi nya memiliki kesamaan dengan tujuh identifikasi cyberbullying yang dipaparkan oleh Australian Federal Police AFP. 74 Menurut Australian Federal Police AFP mengindentifikasikan setidaknya ada tujuh bentuk cyberbullying yaitu. 75 a. Flaming perselisihan yang menyebar Flaming adalah ketika suatu perselisihan yang awalnya terjadi antara dua orang atau lebih dalam skala kecil dan kemudian menyebar luas sehingga melibatkan banyak orang dalam skla besar sehingga menjadi suatu kegaduhan dan permasalahan besar. b. Harrasment pelecehan Harrasment adalah upaya seseorang untuk melecehkan orang lain dengan mengirim berbagai bentuk pesan baik tulisan maupun gambar yang bersifat menyakiti, Menghina, memalukan, dan mengancam. c. Denigration fitnah Denigration adalah upaya seseorang menyebarkan kabar bohong yang bertujuan merusak reputasi orang lain. 74 Slide Dampak Teknologi Informasi Terhadap Perilaku Kekerasan Di Kalangan Generasi Muda Materi penyuluhanpenerangan hukum, diunduh melalui www.kejaksaan.go.idinfohukum.php?hal=2, diakses pada pukul 18.34 WIB, Pada tanggal 24 Maret 2015 75 M.kompasiana.compostread5274093aspek-hukum-dan-pencegahan-cyber- bullying.html, diakses pada pukul 07.00 WIB, pada tanggal 24 Maret 2015 d. Impersonation meniru Impersonation adalah upaya seseorang berpura-pura menjadi orang lain dan mengupayakan pihak ketiga menceritakan hal-hal yang bersifat rahasia. e. Outing and trickery penipuan Outing adalah upaya seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain dan menyebarkan kabar bohong atau rahasia orang lain tersebut atau pihak ketiga. f. Exclusion pengucilan Exclusion adalah upaya yang bersifat mengucilkan atau mengecualikan seseorang untuk bergabung dalam suatu kelompok atau komunitas atas alasan yang diskriminatif g. Cyber-stalking penguntitan didunia maya Cyber-stalking adalah upaya seseorang menguntit atau mengikuti orang lain dalam dunia maya dan menimbulkan gangguan bagi orang lain tersebut. Anak pelaku cyberbullying atau bullying melalui internet dapat dijatuhi atau diberikan sanksi pidana. Terhadap pengaturan perbuatan cyberbulying, terdapat dalam Pasal 27 ayat 1, 3, 4, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Eletktronik UU ITE yaitu: Pasal 27 ayat 1, 3, 4 : 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danmentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik. 4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan danatau pengancaman. Berikut beberapa unsur subjektif Pasal 27 ayat 1, 3, 4 UU ITE: 1. Unsur subjektif dengan sengaja Unsur dengan sengaja merupakan unsur subjektif tindak pidana. Sengaja mengandung makna mengetahui knowingly dan menghendaki intentionally dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh UU ITE, atau mengetahui dan menghendaki terjadinya suatu akibat yang dilarang UU ITE. Terkait dengan Pasal 27 ayat 1 UU ITE, sengaja yang dimaksud ditujukan terhadap perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan, muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik, muatan pemerasan danatau pengancaman. Sengaja juga mengandung makna “sepatutnya mengetahui”, penerapan dan pengertian ini akan dinilai dari kasus per kasus. Pemahaman kesesengajaan dalam UU ITE mengacu kepada teori teori kesengajaan yang berlaku di Indonesia, yaitu: 76 a. Kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk b. Kesengajaan dengan keinsyafan kepastian opzet bij noodzakelijkheids atau zekerheidsbewustzijn c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan opzet bij mogelijkheids-bewustzijn 76 Josua Sitomoul, Op.cit, Halaman 152 Melalui pencantuman kata “dengan sengaja”, maka perlu dibuktikan mengenai kesengajaan dari pelaku dalam hal melakukan delik yang diancamkan. Unsur kesalahan ini sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan hakim dalam hal pemberian pemberatan ataupun peringanan bagi pelaku. 77 Unsur tanpa hak telah dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50PPU-VI2008, dimana Mahakamah Konstitusi menyatakan bahwa unsur tanpa hak dalam Pasal 27 UU ITE merupakan sifat melawan hukum wedderechtelijk sebagai unsur konstitutif dari suatu tindak pidana yang lebih spesifik. 2. Unsur subjektif tanpa hak. 78 Tanpa hak maksudnya tidak memiliki hak baik yang diberikan oleh peraturan perundang-udangan, perjanjian, atau alas hukum lain yang sah without authorization. Termasuk dalam pengertian melampaui hak atau kewenangan yang diberikan kepada orang yang bersangkutan berdasarkan alas hukum itu in excess of authorization. Berdasarkan hal tersebut maka, peraturan perundang- undangan, perjanjian, atau alas hukum lain yang sah tersebut adalah patokan atau dasar untuk menilai dan menentukan ada tidaknya hak seseorang, atau dilampaui ada tidaknya hak yang diberikan padanya. Alas hukum yang dimaksud harus memberikan hak kepada seseorang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya muatan yang memiliki muatan kesusilaan, muatan 77 Budi suhariyanto, Op.cit, Halaman 108-109 78 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50PPU-VI2008 penghinaan danatau pencemaran nama baik dan muatan pemerasan danatau pengancaman. 79 Pasal 27 UU ITE menyatakan terdapat tiga perbuatan yang dilarang, yaitu mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau dokumen elektronik. Hal ini jelas menegaskan hanya tiga perbuatan atau kelakuan tersebut yang dapat dikenakan pidana oleh Pasal 27 UU ITE. 3. Unsur subjektif mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diakses. 80 UU ITE tidak memberikan defenisi mengenai mendistribusikan, mentaransmisikan, membuat dapat diaksesnya. Ketiadaan defenisi terhadap ketiga terminologi ini dipermasalahkan dalam Mahkamah Konstitusi MK pada perkara Nomor 50PPU-VI2008 dan pada perkara Nomor 2PUU-VII2009 terkait dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik di internet. Putusan MK ditujukan untuk Pasal 27 ayat 3 UU ITE, namun pengertian mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya merupakan unsur yang terdapat dalam perumusan dalam pasal 27 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4. 81 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50PPU-VI2008 menyatakan bahwa pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan”. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan 79 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 152-153 80 Budi Suhariyanto, Op.cit, Halaman 110 81 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 153 interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. “Membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan. 82 Mendistribusikan adalah mengirimkan informasi atau dokumen elektronik kepada beberapa pihak atau tempat melalui atau dengan Sistem Elektronik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan mengirimkan email, SMS atau MMS multimedia messaging service kepada banyak penerima. Perbuatan membuat informasi dapat dilihat siapa saja, seperti publikasi di blogspot atau wall facebook, atau mengunggah video melalui file-sharing website juga termasuk dalam kategori mendistribusikan. 83 Mentransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan informasi atau Dokumen Elektronik dari satu pihak atau tempat ke satu orang atau tempat lain. Mendistribusikan mengandung makna mentransmisikan, tetapi perbedaannya adalah esensi dari mendistribusikan ialah menyebarluaskan informasi atau dokumen elektronik, sedangkan mentransmisikan hanya terbatas dari satu pengirim kepada satu penerima. Tindakan ini dapat dilakukan dengan mengirim pesan kepada seorang penerima, atau meneruskan forward pesan kepada penerima lain. “Membuat dapat diaksesnya” memiliki makna membuat informasi atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan linkhyperlink yaitu tautan atau referensi yang dapat digunakan oleh pengguna 82 Putusan Mahkamah Agung Nomor 50PPU-VI2008 83 Josua Sitompul Op.cit, Halaman 154 internet untuk mengakses lokasi atau dokumen. Membuat dapat diaksesnya juga dapat dilakukan dengan memberikan kode akses password. 84 Pada buku hukum informasi dan transaksi elektronik karangan Siswanto Sunarso bahwa “setiap orang” dalam Pasal 27 UU ITE ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum yanga berbadan hukum sesuai ketentuan perundang- undangan. Berikut beberapa unsur objektif Pasal 27 ayat 1, 3, 4 UU ITE: 1. Unsur objektif setiap orang Pada Pasal 1 angka 21 UU ITE ditentukan bahwa orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. 85 Penerapan setiap Pasal dalam UU ITE , harus memperhatikan Pasal 2 UU ITE yang menegaskan bahwa UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut baik yang berada di wiilayah hukum Indonesia maupun diluar wilayah hukum Indonesia danatau diluar wilayah hukum indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. 86 “informasi elektronik” adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, 2. Unsur objektif informasi elektronik danatau dokumen elektronik Menurut Pasal 1 angka 1 UU ITE dinyatakan bahwa: 84 Ibid, Halaman 154 85 Siswanto Sunarso, Op.cit, Halaman 94 86 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 151-152 foto, electronic data interchange EDI, surat elektronik electronic mail, telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”. Menurut Pasal 1 angka 4 UU ITE dinyatakan bahwa: dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan danatau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Esensi perbedaan antara informasi elektronik dan dokumen elektronik ialah bahwa informasi elktronik pada esensinya adalah konten, sedangkan dokumen elektronik merupakan media dari konten itu sendiri yang dapat berbentuk analog, digital, elektromagnetik, atau optikal. Sebagai gambaran sederhana, dalam file “.doc”, “.xls”, “.ods”, yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah kata-kata, kalimat, paragraf, angka, data, atau font yang terdapat dalam file-file tersebut, sedangkan dokumen elektroniknya adalah “.doc”, “.xls”, “.ods”. Gambar dalam suatu file dengan format .jpg merupakan informasi elektronik sedangkan format .jpg pada gambar adalah merupakan dokumen elektronik. Selain perbedaan tersebut tidak ada perbedaan yang esensi antara informasi elektronik dan dokumen elektronik. 87 87 Ibid, Halaman 155 3. Unsur objektif muatan melanggar kesusilaan Pada UU ITE tidak dijelaskan mengenai pengertian “muatan yang melanggar kesusilaan”, oleh karena itu, untuk memahami ruang lingkup terminologi ini perlu mengacu pada KUHP. 88 1. Barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan; Kejahatan dengan sengaja melanggar kesusilaan dirumuskan dalam Pasal 281 KUHP yang rumusan selengkapnya adalah: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4500,-: 2. Barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan. Dalam rumusan Pasal 281, ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yang pertama dirumuskan pada butir satu, dan kejahatan yang kedua dirumuskan pada butir dua, dua bentuk kejahatan tersebut adalah: 1 Kejahatan yang pertama 89 Kejahatan yang pertama terdiri dari unsur-unsur, berikut. a. Unsur objektif, terdiri dari: a Perbuatan: melanggar kesusilaan b Secara terbuka b. Unsur subjektif: a Sengaja opzettelijk 88 Ibid, Halaman 156 89 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Rajagrafindo, Jakarta, 2005, Halaman 11-12 Ada tiga unsur yang membentuk kejahatan kesusilaan pertama menurut Pasal 281, yang merupakan syarat esensial terwujudnya kejahatan, yaitu satu unsur subjektif berupa kesalahan dalam bentuk kesengajaan, satu unsur mengenai tingkah laku atau perbuatan materiil, dan satu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya perbuatan materiil, yakni di muka umum. 2 Kejahatan Yang kedua 90 Kejahatan yang dirumuskan kedua dalam Pasal 281 ini, pada dasarnya sama dengan kejahatan yang dirumuskan pertama. Hanya pada kejahatan melanggar kesusilaan yang kedua ini, unsur dimuka umum tidak disebutkan, dan sebagai gantinya dirumuskan unsur “didepan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya”. Artinya si pembuat melakukan perbuatan melanggar kesusilaan di muka seseorang, di mana kehadirannya di muka orang lain di luar kehendak orang itu. Rasio larangan dalam melakukan perbuatan melanggar kesusilaan ini adalah melindungi kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan bagi orang lain yang melihat perbuatan itu. Pada perundang undangan konsep kesusilaan diatur secara luas dan secara sempit. KUHP merupakan undang-undang yang mengatur kesusilaan secara luas karena dalam BAB XIV diatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, dan ruang lingkup kesusilaan yang diatur mencakup penyebarluasan muatan pornografi, perzinahan, percabulan, dan termasuk perjudian, sedangkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi “UU Pornografi” memberikan 90 Ibid, Halaman 20-21 gambaran mengenai ruang lingkup konten yang melanggar kesusilaan secara lebih sempit. 91 Berdasarkan ruang lingkup kesusilaan yang dimuat dalam KUHP dan dalam UU Pornografi, muatan kesusilaan yang dimaksud dalam UU ITE lebih tepat mengacu kepada kesusilaan dalam arti sempit, yaitu pornografi walaupun masih dimungkinkan interpretasi kesusilaan dalam arti luas. Namun yang ditekankan adalah irisan besar pengaturan pornografi dalam UU ITE dan UU pornografi. Hal yang diatur dalam UU pornografi ialah pornografi dalam lingkup elektronik maupun non-elektronik, sedangkan dalam UU ITE ialah hanya pornografi dalam lingkup elektronik. Berdasarkan Pasal 1 butir 11 UU Pornografi, Pornografi adalah: “gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi danatau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan, atau eksploitas seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. 92 Seiring dengan perkembangan teknologi maka kejahatan pun berkembang mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Jika dahulu orang hanya bisa melakukan penghinaan danatau pencemaran nama baik lewat tulisan surat atau 4. Unsur objektif muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik 91 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 156 92 Ibid, Halaman 157. perkataan lisan, sekarang dengan adanya internet seseorang juga bisa melakukan penghinaan danatau pencemaran nama baik melalui internet. 93 1 Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh ia melakukan suatu perbuatan, dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui oleh umum, karena bersalah menista orang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp.4500,-. Unsur “muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE juga mengacu pada KUHP, khususnya Pasal 310 dan 311 KUHP memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, yaitu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Pasal 310 KUHP: 2 Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan karena bersalah mencemar orang dengan surat, si pembuat dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- Pasal 311 KUHP: 1 Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2 Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No.1-3 dapat dijatuhkan. Berdasarkan hal diatas, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE sama seperti dalam Pasal 310 KUHP, maksudnya perasaan telah terserangnya nama baik atau 93 Budi Suhariyanto Op.cit, Halaman 116 kehormatan seseorang hanya ada pada korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya, akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif. Kriteria kriteria tersebut dapat dibangun berdasarkan kejelasan identitas orang yang dihina dan muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang. 94 Terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE, Mahakamah Konstitusi MK telah menyatakan bahwa materi pasal tersebut konstitusional sebagaimana ternyata dalam putusan MK Nomor 50PUU-VI2008 dan Nomor 2PPU-VII2009. Pertimbangan MK terhadap konstitusionalitas Pasal 27 ayat 3 UU ITE yaitu: bahwa penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan danatau pencemaran nama baik. Kedua, masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi. Ketiga, rumusan KUHP dinilai belum cukup karena unsur “dimuka umum” sebagaimana diatu dalama pasal 310 KUHP kurang memadai sehingga perlu rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu “mendistribusikan, mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya”; penghinaan yang diatur dalam KUHP penghinaa off line dinilai tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan didunia siber penghinaan on line karena ada unsur “dimuka umum”. Keempat, rumusan Pasal 27 ayat 3 UU ITE telah memberikan perlindungan dengan mengatur unsur 94 Josua Sitompul Op.cit, Halaman 178-179 “dengan sengaja” dan “tanpa hak”. Kelima, bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai penghinaan danatau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat 3 UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. 95 Media internet yang memiliki berbagai bentuk variasi program dalam berkomunikasi misalnya email, blog, friendster, dan yang saat ini sangat populer yakni facebook, dapat digunakan sebagai sarana kejahatan pemerasan danatau pengancaman, sebab di internet yang berdimensi dunia siber tidaklah dengan mudah dapat mengidentifikasikan identitas para pihak-pihak yang berhubungan di media ini karena identitas di alam virtual ini sangat mudah untuk dimanipulasi. Berbeda dengan dunia nyata yang lebih mudah melacak kebenaran identitas seseorang. fenomena demikian mengakibatkan intensitas dan variasi kejahatan berupa teror sangat mudah dilakukan dan dengan sasaran-sasaran potensial. Diantara teror-teror tersebut adalah berupa pemerasan danatau pengancaman, oleh karena itu hal ini perlu di kriminalisasikan. Pemerasan danatau pengancaman yang dilakukan melalui media internet telah diatur oleh pasal 27 ayat 4 UU ITE. 5. Unsur objektif muatan pemerasan danatau pengancaman 96 Konten ilegal yang diatur dalam Pasal 27 ayat 4 UU ITE adalah konten pemerasan danatau pengancaman. UU ITE tidak mengatur ruang lingkup 95 Ibid, Halaman 181-182 96 Budi Suhariayanto, Op.cit, Halaman 122-123 pemerasan dan pengancaman yang dimaksud karena ruang lingkup tersebut telah diatur dalam KUHP, tindak pidana pemerasan telah diatur dalam Pasal 368 KUHP dan tindak pidana pengancaman diatur dalam Pasal 369 KUHP. 97 1 Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. Pasal 368 KUHP: Pasal 369 ayat: 1 Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan ancaman akan menista dengan tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, supaya orang itu memberikan sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau supayaorang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena mengancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. Dari kedua pasal tersebut, esensi dari pemerasan atau pengancaman adalah memaksa seseorang untuk memberikan atau menyerahkan barang demi keuntungan orang lain. Paksaan tersebut haruslah bertentangan dengan hukum, dan berdasarkan kedua pasal tersebut, yang dimaksud dengan memaksa adalah “melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Cara melakukan paksaan tersebut dapat berupa i kekerasan secara fisik dan ii mengancam akan melakukan kekerasan secara fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, atau ii berupa ancaman akan mencemarkan nama baik atau membuka rahasia orang yang bersangkutan 97 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 184 seperti yang diatur dalam Pasal 369 KUHP. Akan tetapi dalam hubungannya dengan Pasal 27 ayat 4 UU ITE, Pasal 368 KUHP dan Pasal 369 KUHP harus mendapatkan pemaknaan kontekstual melalui penyesuaian dengan karakteristik dunia siber. Mengingat dunia siber ialah dunia virtual maka pemaknaan “pemerasan” Pasal 27 ayat 4 UU ITE ialah adanya paksaan dalam bentuk “ancaman akan melakukan kekerasan” dan tidak termasuk kekerasan secara fisik. “Pengancaman” dalam Pasal 27 ayat 4 UU ITE dalam konteks ruang siber bersifat dapat tersebar secara masif. 98 2 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan SARA. Pasal 28 ayat 2: Dalam pasal tersebut teradapat beberapa unsur yakni: Unsur subjektif , dengan sengaja dan tanpa hak serta unsur objektif, setiap orang telah dijelaskan sebelumnya sehingga dirasa tidak perlu untuk dijelaskan kembali pada bagian ini. Berikut unsur subjektif Pasal 28 ayat 2 UU ITE: 1. Unsur Subjektif: menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat Indonesia sebagai negara yang plural dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan hakikat dirinya yang kaya akan perbedaan baik itu suku, agama ras maupun antar golongan penduduk. Dengan kondisi demikian memiliki hal yang positif jika tercipta kerukunan antar kelompok namun akan 98 Ibid, Halaman 184-185 menimbulkan kerusuhan jika terdapat permusuhan. Perpecahan dan permusuhan antar golongan wajib dicegah sebisa mungkin. Perbuatan seperti menimbulkan kebencian seperti menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat dianggap sebagai perbuatan profokasi. 99 Perbuatan profokasi menurut Pasal 28 ayat 2 dapat mengandung delik penuh bilamana delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang yakni menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. 100 Pasal 28 ayat 2 UU ITE ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusuhan atau pertikaian yang menimbulkan kebencian seperti menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat yang didasarkan pada SARA. 101 Pengertian menyebarkan informasi menurut Pasal 28 ayat 2 ditafsirkan sebagai perbuatan mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa dan menyebarkan, satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik, telegram, teleks, telekopi, atau Berikut beberapa unsur objektif Pasal 28 ayat 2 UU ITE: 1. Unsur objektif menyebarkan informasi 99 Budi Suhariyanto, Op.cit, halaman 127 100 Siswanto Sunarso Op.cit, Halaman 100 101 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 194 sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah dan memiliki arti. 102 Pasal 28 ayat 2 UU ITE ini dimaksudkan untuk mengkriminalisasi penggunaan internet untuk menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan SARA yang dapat menimbulkan perang saudara dan merusak integrasi bangsa. Indonesia terdiri dari lebih tiga ratus sukuetnis dan 6 enam agama yang diakui. Isu SARA adalah isu yang sensitif dan dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. 2. Unsur objektif berdasarkan SARA 103 Terbukanya akses informasi dan fasilitas-fasilitas penyebaran informasi di internet membuat pemerintah merasa perlu mengkriminalisasi perbuatan yang menyebarkan profokasi berupa isu yang berhubungan dengan SARA di dunia siber, oleh karena itu, diatur lah permasalahan tersebut dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE. 104 102 Siswanto Sunarso, Op.cit, Halaman 100 103 Josua Sitompul , Op.cit, Halaman 193-194 104 Budi Suhariyanto, Op.cit, Halaman 128 Pasal 29 : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Unsur subjektif , dengan sengaja dan tanpa Hak serta unsur objektif, setiap orang telah dijelaskan sebelumnya sehingga dirasa tidak perlu untuk dijelaskan kembali pada bagian ini. Berikut unsur subjektif Pasal 29 UU ITE: 1. Unsur subjektif: Mengirim Informasi elektronik danatau dokumen elektronik Yang dimaksud dengan mengirimkan ialah cukup mengirimkan informasi atau dokumen elektronik melalui atau dengan menggunakan media elektronik atau sistem elektronik dari satu orang kepada orang lain sebagai target; tidak perlu pengiriman tersebut dilakukan kepada banyak orang. Pengiriman tersebut dapat dilakukan melalui email, SMS, memberikan komentar pada blog target, dan sebagainya. 105 Pengertian mengirimkan informasi elektronik danatau dokumen elektronik adalah perbuatan mengirimkan informasi yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer danatau media elektronik lainnya. 106 Unsur ancaman kekerasan adalah unsur yang menyatakan niat untuk melakukan sesuatu yang merugikan atau mencelakakan pihak lain dengan melakukan kekerasan atau tekanan fisik. Ancaman kekerasan ialah pernyataan niat seseorang bahwa orang tersebut akan melakukan sesuatu yang merugikan atau mencelakakan pihak lain dengan kekerasan atau tekanan fisik; dalam hal ini Berikut beberapa unsur objektif Pasal 29 UU ITE: 1. Unsur objektif berisi ancaman kekerasan 105 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 197 106 Siswanto Sunarso, Op.ct, Halaman 101 pernyataan tersebut disampaikan melalui media elektronik atau sistem elektronik seperti melalui sms, telepon atau email. 107 Unsur menakut-nakuti maksudnya melakukan tindakan dengan menggunakan atau melalui sistem elektronik dengan berbagai cara untuk membuat seseorang menjadi takut. Ancaman atau hal yang menakut-nakuti dapat secara eksplisit maupun implisit. Ancaman kekerasan atau hal yang menakut – nakuti tersebut harus ditujukan kepada orang tertentu dan mengakibatkan dampak negatif yang signifikan terhadap emosi atau kondisi korban, seperti mengakibatkan sakit atau stress atau kekhawatiran yang berkepanjangan. 2. Unsur objektif Menakut-nakuti 108 Materi pada Pasal 29 UU ITE terlihat mirip dengan pengaturan Pasal 27 ayat 4 UU ITE karena ada unsur ancaman kekerasan. Akan tetapi terdapat perbedaan substansial antara kedua pasal yang dimaksud ialah bahwa ancaman kekerasan yang diatur Pasal 29 UU ITE ditujukan kepada satu pribadi. Berbeda dengan Pasal 27 ayat 4 yang bertujuan untuk memperoleh suatu keuntungan. 3. Unsur objektif ditujukan secara pribadi 109 107 Josua Sitompul, Op.cit, Halaman 197-198 108 Ibid, Halaman 198 109 Ibid, Halaman 196 Berdasarkan pasal-pasal tersebut Pasal 27 ayat 1, 3, 4, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29 UU ITE, maka dalam UU ITE terdapat ketentuan pidana terhadap ketiga pasal tersebut yang terdapat dalam Pasal 45 ayat 1, 2 dan 3 UU ITE yakni: Pasal 45 UU ITE: 1 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1, ayat 2, ayat 3, atau ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah 2 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah 3 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun danatau denda paling lama 12 dua belas tahun danatau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 dua miliar rupiah. Terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terdapat pengaturan secara umum dalam Pasal 45 KUHP yang berbunyi: “Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu”. 1. Pasal ini meminta dua syarat yang kedua-duanya harus dipenuhi ialah: 110 a. Orang itu waktu dituntut harus belum dewasa. yang dimaksudkan belum dewasa ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Apabila orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dewasa. 110 R.Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1986, Halaman 61-62 b. Tuntutan itu mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan orang tersebut pada waktu sebelum ia berumur 16 tahun. 2. Hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan, jika kedua syarat itu dipenuhi: 111 a. Anak itu dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu apa; b. Anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman , akan tetapi diserahkan kepada Rumah Pendidikan Anak-anak nakal untuk mendapat didikan dari Negara sampai sampai anak itu berumur 18 tahun. Hal ini hanya dapat dilakukan bila anak itu telah berbuat suatu kejahatan atau pelanggaran yang termaktub dalam pasal ini sebagai residive. c. Anak itu dijatuhi hukuman sperti biasa. Dalam hal ini ancaman hukuman dikurangkan dengan sepertiganya. Terhadap tiga macam kemungkinan ini kepada hakim diberikan kesempatan untuk menimbang tentang kecakapan rohani terdakwa yang masih muda itu. Apabila misalnya hakim berpendapat, bahwa anak-anak yang umurnya 9 tahun atau 13 tahun kecakapan akalnya ternyata tidak normal berkembangnya, maka sudah cukup hakim mengirimkan kembali anak-anak itu kepada orang tuanya, wali atau orang tua yang memeliharanya dengan tidak dijatuhkan suatu hukuman. Hakim memiliki kesempatan untuk menjatuhkan hukuman bila menganggap anak-anak yang berumur 13 atau 15 tahun telah berbuat suatu kejahatan dengan akal yang cukup mampu untuk membeda-bedakan, akan tetapi 111 Ibid, halaman 62 hukuman yang dijatuhkan itu tidak boleh lebih dari dua-pertiga maksimum hukuman yang diancamkan. 112 Selain memberikan penjatuhan sanksi terhadap anak, Pasal 1ayat 6 dan ayat 7 juga menyatakan terdapat dua jenis penyelesaian perkara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu terdapat upaya keadilan restoratif yang Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskah bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, dan juga termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Pada Pasal 32 ayat 1 UU SPPA juga diatur bahwa anak tidak boleh ditahan apabila anak memperoleh jaminan dari orang tuawali danatau lembaga bahwa anak tersebut tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti ataupun mengulang tindak pidananya. Terhadap anak pelaku tindak pidana terdapat dua jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak. Pertama terdapat dalam Pasal 69 ayat 2 UU SPPA bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai sanksi tindakan, dimana dalam Pasal 82 UU SPPA telah ditentukan bentuk bentuk tindakan yang dapat diberikan kepada anak. Kedua terdapat dalam Pasal 71 UU SPPA bahwa anak pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana, serta didalam pasal tersebut telah diatur bentuk bentuk pidana yang dapat diberikan pada anak. 112 Ibid, Halaman 62 terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 dan upaya diversi yang terdapat dalam BAB II pada Pasal 6-15 UU SPPA. Terhadap UU ITE terkait dengan anak pelaku bullying melalui internet cyberbullying maka anak dapat dikenakan sanksi tindakan maupun sanksi pidana sesuai dengan umur anak tersebut bahkan dapat dijatuhi tindak pidana penjara, yang mana merupakan upaya terakhir yang dapat diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

BAB III ALASAN ANAK DIJADIKAN SEBAGAI PELAKU DAN HAMBATAN

YANG DIHADAPI UNTUK MENARIK ANAK SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA BULLYING

A. ANAK SEBAGAI PELAKU BERDASARKAN UNDANG UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2012 DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 Pada KUHP di Indonesia terdapat makna bahwa suatu perbuatan pidana harus mengandung unsur-unsur: 113 a. Adanya perbuatan manusia b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum c. Adanya kesalahan d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Pada unsur tersebut dinyatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan salah yang memiki kententuan hukum dan pelaku perbuatan salah tersebut harus dapat mempertanggugjawabkan perbuatannya tersebut. Pasal 2 113 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010, Halaman 12