Sesuai dengan judul dari skripsi ini, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan. Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan
informasi dari berbagai aspek. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang,
pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan konseptual.
35
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi dan penelitian ini adalah dengan cara normatif, yaitu dengan cara melihat apa saja yang
menjadi aturan hukum pertanggungjawaban pidana anak terhadap penyalahgunaan internet sebagai media bullying.
3. Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan mempelajari aturan hukum pertanggungjawaban pidana anak
terhadap penyalahgunaan internet sebagai media bullying. 4.
Analisis Data Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan
cara kualitatif. Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari
fakta yang bersifat representatif sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan.
G. Sistematika Penulisan
35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Halaman 133.
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan yang terdiri dari Pengertian Pertanggungjawaban Pidana, Pengertian Penyalahgunaan Internet,
Pengertian Bullying, Pengertian Anak, metode penelitian dan sitematika Penulisan
BAB II : Merupakan bab yang membahas pengaturan tentang
pertanggungjawaban pidana anak terhadap penyalahgunaan internet sebagai media
bullying yang terdiri dari Pertanggung Jawaban Pidana,
Penyalahgunaan Internet dan Aturan Pertanggungjawaban Pidana Anak Yang Melakukan Penyalahgunaan Internet Sebagai Media Bullying.
BAB III : Merupakan bab yang membahas alasan anak dijadikan sebagai pelaku
dan hambatan yang dihadapi untuk menarik anak sebagai pelaku penyalahgunaan internet sebagai media bullying yang terdiri dari Anak
Sebagai Pelaku Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008, Studi Kasus Anak Sebagai Pelaku
Penyalahgunaan Internet Sebagai Media Bullying dan Hambatan Yang Dihadapi Untuk Menarik Anak Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Internet
Sebagai Media Bullying. BAB IV :
Merupakan bab yang membahas upaya yang dilakukan untuk mencegah anak melakukan penyalahgunaan internet sebagai media
bullying Menurut Peraturan Per-Undang Undangan, Menurut Para Ahli dan Menurut Penegak Hukum.
BAB V : merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran
BAB II
PENGATURAN TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK TERHADAP PENYALAHGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA
BULLYING
A. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar dasar dan aturan-aturan untuk:
36
1 Menentukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2 Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Hukum pidana mengadakan suatu jaminan yang istimewa, yaitu dengan
memberikan suatu hukuman berupa siksaan untuk menjaga kepentingan umum tersebut. Pidana adalah berupa siksaan atau penderitaan berupa hukuman yang
merupakan keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum pidana.
37
Simons mendefenisikan pidana sebagai suatu penderitaan menurut undang-undang pidana yang berkaitan dengan pelanggaran norma berdasarkan
putusan hakim yang dijatuhkan terhadap orang yang bersalah. Van Hammel
36
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, Halaman 1
37
Kansil, Pengantar Imu Hukum Dan Tata Hukum Indonesi, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, Halaman 257-259
menyatakan bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang sebagai penanggung jawab ketertiban
hukum umum terhadap seorang pelanggar karena telah melanggar peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. Sudarto menyatakan bahwa pidana
adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan dan memenuhi syarat tertentu. Terhadap pengertian-pengertian tersebut
dapat diambil kesimpulan : Pertama, pidana adalah penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara kepada seseorang. Kedua, pidana diberikan sebagai reaksi
atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum pidana. Ketiga, sanksi pidana diberikan oleh negara diatur dan ditetapkan secara rinci.
38
Reformation reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh
keuntungan dan tiada seorang pun yang akan memperoleh keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Restraint maksudnya
mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Masyarakat akan menjadi lebih aman dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat. Retribution adalah
pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sistem ini dianggap sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat
yang beradab. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa Pada literatur berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga
R dan satu D. Tiga R itu adalah Reformation, Restraint, dan Restribution, sedangkan satu D adalah Deterrence yang terdiri atas individual deterrence dan
general deterence pencegahan khusus dan pencegahan umum.
38
Eddy O.S. Hariej, Op.cit, halaman 30
sebagai individual maupun orang lain yang berpotensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa.
39
Berkaitan dengan tujuan pidana munculah teori-teori mengenai tujuan pidana secara garis besar yang terbagi menjadi tiga yakni:
40
1. Teori imbalan absolutevergeldingstheorie. Menurut teori ini, dasar
hukum harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain sebagai imbalannya
vergeliding, pelaku juga harus diberi penderitaan. 2.
Teori maksud atau tujuan relativedoeltheorie. Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan berdasarkan maksud dan tujuan dari hukuman,
yaitu memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain
itu tujuan hukuman adalah mencegah prevensi kejahatan. Ada perbedaan pendapat dalam hal prevensi, ada yang berpendapat bahwa
prevensi ditujukan kepada umum yang disebut prevensi umum algamene preventie. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman
hukuman dan pelaksanaan eksekusi hukuman . ada pula yang berpendapat bahwa prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan
kejahatan itu speciale preventie. 3.
Teori gabungan verenigingstheorie. Pada dasarnya, teori ini merupakan gabungan dari teori imbalan dan teori tujuan. Teori ini
39
Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, Halaman 28-29.
40
Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung, 2011, halaman 192-193.
mengajarkan bahwa hukuman bertujuan mempertaruhkan tata tertib hukum dalam masyarakat dan meperbaiki pribadi si penjahat.
Ketiga hal tersebut menjadi dasar diadakannya sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana.
Suatu perbuatan dapat dipersalahkan pada pelaku tindak pidana, jika ia melakukan perbuatan pidana tersebut, menghendaki akibat yang disebabkannya
atau setidak tidaknya akibat itu dapat diketahuinya terlebih dahulu.
41
Perbuatan pidana menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga
dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea”.
Asas ini tidak tedapat dalam hukum tertulis tapi terdapat dalam hukum tidak tertulis yang berlaku di Indonesia.
42
Asas geen straf zonder schuld mempunyai sejarah yang dimulai dari aliran klasik dalam hukum pidana bahwa hukum pidana hanya melihat pada perbuatan
dan akibatnya saja atau yang disebut dengan tatstrafrecht. Dalam perkembangannya, hukum pidana aliran modern mulai menitik beratkan pada
orangnya atau pelaku yang dikenal dengan istilah taterstrafrecht namun tidak meninggalkan tatstrafrecht. Pada saat ini aliran neo-klasik, hukum pidana
41
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, halaman 329.
42
Moeljatno, Op.cit, halaman 165.
berorientasi pada perbuatan, akibat dan orang atau pelakunya, yang dikenal dengan istilah tat-tatersrafrecht atau daad-daderstrafrecht.
Pertanggungjawabaan pidana dalam pembahasannya berbicara mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana memisahkan antara
karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukan. George P.Fletcher secara lengkap menyatakan “we distinguish
between characteristics of the act wrongful, criminal and characteristics of the actor insane, infant. Indeed, the model Penal Code builds on this distinction by
defining insanity as a state on non responbility involving, in part, the abssence of susbtantial capacity to apprecieate the wrongfulness of the criminal act. This
defenition would not be coherent unless the issue of responbility were separable from the issues of wrongfulness; if non-responsible acts were not wrongful, it
would make sense to say that insane actor did not appreciate the wrongfulness of his act”. Orang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana,
tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau tidak, sebaliknya, seseorang yang dijatuhi pidana, sudah pasti telah
melakukan perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Elemen terpenting dari pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan.
43
1 Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku dalam arti
jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal; Berkaitan dengan kesalahan, Teguh Prasetyo dalam buku Hukum Pidana,
menyatakan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur:
43
Eddy O.S. Hiariej, Op.cit, halaman 119-120
2 Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya baik
yang disengaja dolus maupun karena kealpaan culpa; 3
Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan. Unsur pertama mengenai kemampuan bertanggungjawab sebagaimana
yang disebut dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa orang yang tidak dapat dihukum adalah orang yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya, sakit berubah akalnya, dan orang yang terganggu pikirannya.
44
Pasal 44 kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menjelaskan mengenai kapan keadaan seseorang mampu bertanggung jawab. Berpikir
sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dapat disimpulkan bahwa orang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila
dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 44 Ayat 1 tersebut. Alasan Undang Undang merumuskan tentang keadaan
jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan bukan mengenai bertanggung jawab, tidak lepas dari sikap pembentuk Undang Undang yang menganggap
“bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab .
45
Unsur kedua terdapat kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan tidak didefenisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Defenisi kesengajaan
terdapat dalam dua teori, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan. Menurut Von Hippel “sengaja adalah akibat yang telah dikehendaki sebagaimana
dibayangkan sebagai tujuan”, sedangkan menurut Frank “sengaja dilihat dari
44
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Halaman 43
45
Adami Chazawi, Op.cit,halaman 21
akibat yang telah diketahui dan kelakuan mengikuti pengetahuan tersebut”. Menurut Moeljatno tidak ada perbedaan perinsip antara kedua teori tersebut
terkait kesengajaan terhadap unsur-unsur delik. Teori pengetahuan mempunyai gambaran dari apa yang ada dalam kenyataan, sedangkan teori kehendak
menyatakan kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik.
46
Kesengajaan pada umumnya terbagi menjadi tiga jenis, dalam beberapa literatur tiga jenis kesengajaan ini dikenal dengan isitilah tiga corak kesengajaan.
Tiga corak kesengajaan tersebut yaitu:
47
1. Kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk
Kesengajaan sebagai maksud adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana antara motivasi seseorang melakukan
perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud affectio tua nomen imponit operi tuo.
2. Kesengajaan sebagai kepastian opzet bij noodzakelijkheids of
zekerheidsbewustzijn Kesengajaan sebagai kepastian adalah kesengajaan yang
menimbulkan dua akibat. Akibat pertama dikehendaki oleh pelaku, sedangkan akibat kedua tidak dikehendaki , namun pasti atau harus
terjadi. 3.
Kesengajaan sebagai kemungkinakan opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn
46
Eddy O.S. Hiariej, Op.cit, halaman132-133
47
Ibid, halaman 135-137
Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah suatu kesengajaan yang menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi, namun kesengajaan
tersebut merupakan kesengajaan dengan kesadaraan akan besarnya suatu kemungkinan.
Kealpaan juga merupakan bagian dari kesalahan. Imperetia culpae annumeratur, yang berarti kealpaan adalah kesalahan. Akibat ini timbul karena
seseorang alpa, semberono, teledor, lalai berbuat, kurang hati-hati atau kurang penduga-duga. Perbedaannya dengan kesengajaan ialah bahwa ancaman pidana
pada delik-delik kesengajaan lebih berat bila dibandingkan dengan delik-delik culpa. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada
kesengajaan, tetapi tidak berarti bahwa kealpaan adalah kesengajaan yang ringan. Penghukuman terhadap kealpaan lebih ringan dari pada kesengajaan: imperetia
est maxima mechanicorum poena kealpaan memiliki mekanisme pidana terbaik, meskipun dapat membuat seseorang dituntut pertanggungjawabannya.
48
Van Hammel membagi culpa atau kealapaan menjadi dua jenis yaitu: pertama kurang melihat kedepan yang perlu, kedua kurang hati-hati yang perlu.
Vos mengkritik pembagian Van Hammel dengan mengatakan bahwa tidak ada batas tegas antara kedua pembagian tersebut, oleh karena itu Vos juga membuat
pembagiannya sendiri terhadap kealpaan. Pertama Vos mengatakan bahwa terdakwa dapat melihat ke depan yang akan terjadi, kedua ketidakhati-hatian atas
perbuatan yang dilakukan.
49
48
Ibid, halaman 149
49
Andi Hamzah Op.cit halaman 125
Unsur ketiga dari kesalahan adalah tiada alasan pemaaf. Alasan pemaaf merupakan bagian dari alasan penghapus pidana. Pembentuk undang undang
menentukan pengecualian dengan batasan tertentu bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana sehingga terdapat alasan penghapus
pidana. Alasan penghapus pidana terbagi menjadi alasan pembenar alasan pemaaf dan alasan penghapus penuntutan.
50
Alasan pembenar adalah merupakan suatu alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan ini menghapuskan suatu peristiwa pidana yaitu kelakuan seseorang bukan suatu peristiwa pidana walaupun
sesuai dengan ketentuan yang dilarang didalam Undang-undang.
51
1. Perbuatan yang merupakan pembelaan darurat Pasal 49 ayat 1
KUHP Alasan pembenar dapat kita jumpai didalam:
2. Perbuatan untuk melaksanakan perintah undang-undang Pasal 50
KUHP 3.
Perbuatan yang melaksanakan perintah jabatan dari penguasa yang sah Pasal 51 ayat 1 KUHP
52
Alasan pemaaf atau penghapus kesalahan adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, menghilangkan pertanggungjawaban pembuat
atas peristiwa yang dilakukannya. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
50
Alviprofdr.blogspot.com201011alasan-penghapusan-pidana.html. Diakses pada pukul 07.05 WIB, Tanggal 21 Maret 2015.
51
Ibid
52
Teguh Prasetyo Op.cit , halaman 126
bersifat melawan hukum, tetapi tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan. Kelakuan seseorang tetap merupakan suatu peristiwa pidana tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Alasan penghapus penuntutan bukan mempersoalkan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, tetapi pemerintah
menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.
53
B. PENYALAHGUNAAN INTERNET