C. HAMBATAN YANG DIHADAPI UNTUK MENARIK ANAK
SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN INTERNET SEBGAI MEDIA
BULLYING
Menurut Nasir Djamil dalam buku Anak Bukan Untuk Di Hukum, beliau menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak terlalu ekstrim
jika disebut dengan kejahatan, karena anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan
menunjukkan tingakah laku yang cenderung mengganggu ketertiban umum. Hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan sebagai kenakalan.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran
diri dan juga mengetahui perbuatan itu dilarang oleh hukum yang berlaku. Didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia tertulis jelas bahwa
suatu suatu perbuatan pidana harus mengandung unsur-unsur:
128
1 Adanya perbuatan manusia
2 Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
3 Adanya kesalahan
4 Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan
Kartini Kartono dalam buku Psikologi Anak menyatakan bahwa perbuatan jahat bukan merupakan peristiwa yang herediter bawaan lahir, warisan namun
merupakan tingkah laku dari orang tua yang memberikan pengaruh menular pada anak. Selain itu pengaruh dari luar juga ikut mempengaruhi tingkah laku jahat
terhadap seorang anak, seperti teman-teman sebaya yang mempunyai
128
Nasir djamil, Op.cit, halaman 34
kecenderungan berbuat jahat, mereka berkumpul menjadi satu dan merupakan kelompok yang kompak, kemudian mereka mulai merancang kegiatan-kegiatan.
Kegiatan kelompok anak tersebut terkadang bersifat positif, tetapi pada umumnya kegiatan tersebut cenderung merugikan dan meneror lingkungannya.
129
Hambatan dalam menarik anak sebagai pelaku dapat berupa tidak dilaporkannya perbuatan bullying tersebut. Pada buku Stop The Bulllying
Pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan jahat seorang anak hanyalah bentuk kenakalan yang dilakukan oleh anak,serta merupakan akibat pengaruh dari
lingkungan keluarga dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya yang buruk, telah melahirkan anggapan bahwa anak pelaku perbuatan kriminal tidak dapat
dipersalahakan dan dianggap sebagai korban dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Anggapan tersebut telah menjadi faktor penghambat untuk menarik anak sebagai
pelaku perbuatan jahat salah satunya perbuatan bullying yang dilakukan anak melalui internet.
Anggapan tersebut seolah menjadi faktor pembenar dan pembiar agar anak pelaku terlepas dari sanksi atas perbuatan jahat yang dilakukannya. Ada baiknya
anak pelaku dijatuhi sanksi yang pantas atas perbuatannya, namun tetap melihat dari kepentingan dari anak pelaku. Sanksi atau hukuman yang dijatuhkan kepada
anak pelaku tidak selamanya hanya menjadi suatu penderitaan, namun dapat menjadi pembelajaran dan sarana bagi anak pelaku untuk merubah sikapnya.
Anak pelaku yang dibiarkan tidak akan menyadari perbuatan salah yang telah diperbuatnya dan dapat membuat anak pelaku menjadi pribadi yang buruk
dikemudian hari.
129
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Mandar Maju, Bandung, 2007, Halaman 224-226
karangan Andrew Matthews, anak yang menjadi korban bullying memiliki alasan tersendiri untuk tidak melaporkan kepada orangtua atas perbuatan bullying yang
diterimanya yaitu:
130
a The bullying would get worse. If my Dad spoke to the bullies or their
parents, i would become a joke. The bullies would get meaner. Perlakuan bullying akan semakin parah. Jika ayahku berbicara
kepada pelaku bullying atau kepada orangtua mereka, aku akan menjadi lelucon dan pelaku bullying akan semakin kasar.
b My parents would be ashamed of me. I dont want my parents to think
im a loser and that everybody hates me. I dont want them think i cant handle it. My mother already tells me how to live. Orangtua ku akan
merasa malu terhadapku. Aku tidak mau orangtua ku beranggapan bahwa aku adalah seorang pecundang dan setiap orang membenciku.
Aku tidak mau mereka beranggapan bahwa aku tidak dapat mengatasinya. Ibuku telah memberitahuku bagaimana hidup.
c My parents would embrrass me. They might visit the principal. I
would rather die than have my parents came and talk to the teachers. I would look so stupid, i would be the laughing stock of the whole
school. Orangtua ku akan membuatku malu. Orangtua ku akan menjumpai kepala sekolah. Aku lebih baik mati daripada orangtuaku
harus datang dan berbicara kepada para guru. Aku akan terlihat sangat bodoh, aku akan menjadi bahan tertawaan seluruh isi
sekolah.
130
Andrew Mathewsw, Stop The Bullying, seashell, Queensland Australia, 2011, Halaman 23-26
d My parents would want to control me. They are always telling me
what to do now. If they knew what trouble i am in, they would be telling me what to wear, criticising my friends, my clothes and
anything else. Orangtuaku akan mengontrol diriku. Orang tuaku selalu memberitahuku apa yang harus kulakukan sekarang. Jika
mereka mengetahui masalah yang kuhadapi, mereka akan memberitahuku apa yang harus kupakai, mengkritik teman temanku,
pakaianku dan lain sebagainya. e
Its not right to snitch. Children learn that it is not right to snitch on a bully. Young ones of eight or ten may still feel that it is okay to tell
an adult, but by the time they are teenagers they are well and truly conditioned to suffer in silence. Boys especially learn that you have
to shut up and take it like a man. Tidak benar untuk mengadu. Anak belajar bahwa tidak benar untuk mengadu terhadap perlakuan
bullying. Anak berumur delapan atau sepuluh tahun masih merasa tidak masalah untuk memberitahu kepada orang dewasa, namun
seiring waktu mereka menjadi remaja, mereka menjadi terbiasa untuk berdiam diri. Terutama bagi anak laki-laki mereka belajar
bahwa kau harus diam dan menerimanya seperti seorang pria dewasa
f Its just a part of growing up. Many children and adults have come to
belive that bullying is just a part of growing up and no one can help them. Hal tersebut merupakan bagian dari beranjak dewasa. Banyak
anak dan orangtua percaya bahwa bullying hanyalah bagian dari
beranjak dewasa dan tidak ada satupun yang dapat menolong mereka.
g My laptop is my life. If i told my mother about the bullying, she
might confiscate it, together with my phone. I would be a total outcast. If kids are spreading rumours about me, i need to know
what they are. Better to be bullied and be in touch than to be bullied and not know what kids are saying about you. Laptop ku adalah
kehidupanku. Jika aku memberitahu Ibu ku mengenai perbuatan bullying tersebut, Ibu ku akan menyita laptopku beserta dengan
telepon genggam ku. Aku akan menjadi orang buangan. Jika anak- anak lain menyebarkan rumor tentangku, aku perlu mengetahui hal
tersebut. Lebih baik di bullying dan tetap berhubungan daripada di bullying dan tidak mengetahui apa yang dikatakan anak-anak lain
tentang dirimu. h
My parents would want to monitor everything. My parents would freak if they saw some of the chatrooms i visit and some emails i
write. Better to suffer the harrasment than have my parents looking over my shoulder every minute. orang tuaku akan me monitor
segalanya. Orangtua ku akan panik jika melihat ruang chat yang aku kunjungi dan beberapa email yang aku tulis. Lebih baik mengalami
derita dilecehkan daripada orangtua ku harus memperhatikanku setiap menit.
Hambatan mengenai anak yang tidak mau melaporkan perbuatan bullying yang diterimanya terhadap orang tua maupun lingkungan sekitarnya, menunjukan
bahwa kurangnya perhatian yang diberikan maupun cara yang salah dalam menyampaikan perhatian tersebut oleh orang tua dan lingkungan sekitar terhadap
korban bullying. Perlu bagi orang tua dan lingkungan sekitar untuk lebih memberikan
perhatian dan cara pendekatan yang tepat. Sehingga ketika korban merasa nyaman dan dekat dengan orangtua dan lingkungan sekitarnya, anak tersebut tidak enggan
untuk mengutarakan perasaan dan pengalamaan yang dialaminya. Berdasarkan hasil wawancara terhadap KPAID SUMUT, melalui Bapak
Muslim Harahap, Beliau mengatakan terdapat hambatan untuk menarik anak sebagai pelaku penyalahgunaan internet sebagai media bullying, salah satunya
dalam menarik anak sebagai pelaku bullying melalui internet cyberbulllying mememerlukan keahlian profesional dibidang siber, dan untuk menangani kasus
cyberbullying harus dilakukan melalui ahli profesional yang terdapat pada RESKRIMSUS POLDA. Keahlian profesional tersebut belum sampai di tingkat
POLRES. Sehingga dalam menangani kasus cyberbullying, saat ini hanya dapat dilakukan melalui RESKRIMSUS POLDA saja, hal ini menjadi kesulitan atau
hambatan dalam menangani kasus cyberbullying. Berdasarkan hasil wawancara terhadap KPAID SUMUT tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat kesulitan mengenai kesulitan tenaga ahli profesional, sehingga dirasa perlu untuk menyediakan tenaga ahli dalam jumlah yang memadai
dan tersebar merata diseluruh tingkat POLRES, sehingga dalam menangani kasus cyberbullying dapat dengan mudah dilaksanakan di POLRES terdekat.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap DIRRESKRIMSUS POLDA SUMUT, melalui Bapak Jumanto, Beliau mengatakan terdapat beberapa
hambatan untuk menarik anak sebagai pelaku penyalahgunaan internet sebagai media bullying diantaranya yaitu:
a. Kasus cyberbullying dalam praktiknya sulit untuk dibuktikan, seperti
pada kasus cyberbullying berupa penghinaan atau pencemaran nama baik, untuk mengetahui sejauh mana penghinaan tersebut menyakiti
perasaan korban atau sejauh mana nama baik korban tercemar, maka diperlukan saksi ahli pada kasus cyberbullying tersebut.
b. Kasus cyberbullying sulit di proses karena korban tidak melaporkan
kasus tersebut, ketika korban cyberbullying merasa tidak keberatan dengan perlakuan cyberbullying yang diterimanya maka pelaku
cyberbullying sulit untuk ditindak lanjut. c.
Anak pelaku umumnya lebih diperhatikan dan lebih diekspos di depan publik, sedangkan korban kurang mendapat perhatikan publik.
Anak pelaku pada umumnya akan dilindungi, dibela dan juga akan dianggap sebagai korban, tetapi perbuatan dari pelaku dan akibat
yang ditimbulkan terhadap korban kurang mendapat perhatian publik. Hal ini menjadi hambatan atau kesulitan untuk menarik anak
sebagai pelaku. Berdasarkan dari hasil wawancara terhadap DIRRESKRIMSUS POLDA
SUMUT terdapat beberapa hambatan dalam menarik anak sebagai pelaku, seperti sulitnya pembuktian karena memerlukan saksi ahli, korban tidak melaporkan dan
anak pelaku lebih mendapat perhatian dibandingakan dengan korban. Penambahan jumlah tenaga ahli di bidang yang berkompeten dalam
menangani kasus cyberbullying,dirasa perlu dilakukan untuk menangani hambatan
mengenai kurangnya tenaga ahli sehingga kasus tersebut dapat ditangani dengan cepat dan mudah oleh pihak POLDA.
Menangani permasalahan korban yang tidak melaporkan, perlu dilihat bahwa ketika korban tidak merasa keberatan atas perlakuan bullying yang
diterimanya maka kasus tersebut tidak dapat ditindak lanjuti, namun ketika korban tidak melaporkan atas alasan-alasan seperti tidak mengetahui perbuatan tersebut
dapat ditangani secara hukum atau takut atau tidak mau melaporkan atas alasan tertentu, maka dirasa perlu untuk memberikan penyuluhan agar mengetahui apa
itu bullying, bahayanya perbuatan bullying dan upaya yang ditempuh untuk mencegah bullying.
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH ANAK